4 - (Bukan) Kebencian [Revised]

Ayesha menunggu Ilham di tempat yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Tapi sudah tiga puluh menit berlalu, Ilham belum datang juga. Dihubungi pun tidak bisa. Ayesha tidak bisa menunggu lebih lama lagi, ia harus kembali bekerja.

"Sudah ketemu orangnya?" Inayah bertanya saat Ayesha kembali ke butik.

Ayesha menggeleng. "Dia nggak dateng," ucapnya lesu. Padahal sebelumnya ia begitu semangat karena akan bertemu dengannya.

"Lho? Maksudmu dia membatalkan janjinya?"

Ayesha mengangkat bahu. "Mungkin," ucapnya tak ingin berspekulasi apa-apa, apalagi bersuudzon.

"Sudah coba dihubungi?" Inayah kembali bertanya.

"Sudah, tapi tidak diangkat. Tidak papalah, mungkin dia sibuk." Ayesha tersenyum, menutupi rasa kecewa karena Ilham membatalkan janjinya begitu saja.

"Ya sudah, nanti saja coba dihubungi lagi. Oh iya, aku membuat desain jilbab yang baru, ada di ruanganku, aku ingin kau melihatnya," ucap Inayah dengan mata berbinar.

Ayesha juga tak kalah semangat, ia selalu menyukai semua desain jilbab yang Inayah buat. Selalu terlihat sederhana namun elegan dan cantik.

"Wahh ini cantik banget Bu, pasti jadi best seller nih nanti kalau sudah dibuat." Ayesha takjub dengan desain jilbab yang dibuat oleh Inayah.

"Kau selalu saja bilang seperti itu,"

"Tapi perkataanku selalu benar, kan? Kemarin saja jadi best seller. Kali ini pasti juga sama. Aku yakin."

Inayah tersenyum. "Aamiin, semoga yah Sa.."

Ayesha mengangguk. Butik milik Inayah ini memang butik khusus pakaian muslim. Butik yang didirikan oleh Inayah sendiri, butiknya sudah sangat terkenal bahkan sudah memiliki cabang. Sekarang butiknya sudah menjadi pusat pakaian muslim terbesar di Jakarta.

***

Di sisi lain, Ilham sudah mengambil cuti untuk mengurusi pemakaman Ibunya, juga adiknya yang kini akan tinggal bersamanya di Jakarta. Sekarang, ia sudah tak punya siapa-siapa lagi.

"Besok kita berangkat, bawa yang sekiranya kamu perlukan saja," ucap Ilham pada Syifa yang tiduran di ranjang Ibunya.

Syifa tak menyahut. Ilham kemudian duduk di sampingnya.

"Fa...."

"Syifa mau di sini aja," tukasnya.

Ilham menghela napas, "Abang tahu kamu sangat kehilangan Mama, kamu pikir Abang nggak? Fa...."

Syifa kembali terisak. "Rasanya seperti sebagian diri Syifa ikut hilang Bang, selama ini Mama yang ada di samping Syifa."

"Kamu masih punya Abang Fa," Ilham mencoba untuk menguatkan adiknya. Memberitahunya, kalau ia tidak sendiri.

Syifa bangun dan menatap Abangnya, ia bisa melihat kesedihan itu tergambar di matanya. Kemudian ia menghambur pelukan Ilham dan menangis kencang.

"Ikhlaskan Mama, biarkan Mama tenang...." Ilham mengusap lembut punggung adiknya. Membiarkan adiknya menangis, melepas semua beban dan sedihnya.

Setelah menangis sepanjang malam, Syifa akhirnya tertidur karena lelah. Padahal dia sudah cukup dewasa tapi baginya, Syifa masih adik kecilnya yang merengek minta digendong dan dibelikan es krim.

Ilham baru sempat mengecek ponselnya, ada tujuh panggilan tak terjawab, dan lima pesan, kebanyakan dari Ayesha. Ilham baru ingat kalau ia punya janji, seharusnya ia bertemu dengannya siang tadi. Kemudian ia berniat menghubunginya, tapi melihat waktu sudah terlalu larut ia pun urung dan kembali meletakkan ponselnya. Kemudian berbaring dia atas kasurnya.

Kilas balik saat bersama mamanya, terputar di benaknya.

"Mama ingin melihatmu menikah, kapan kamu akan menikah? Kau belum pernah membawa gadis ke rumah."

"Iya nanti, Ma.."

"Nanti kapan, kalau Mama sudah meninggal?"

"Mamaaa jangan ngomong gitu!"

"Ilham, Mama sering sakit-sakitan, Mama takut nggak bisa lihat kamu nikah, Mama juga pengen lihat Syifa nikah, gendong cucu, pasti menyenangkan."

"Ish Mama, Mama pasti bisa gendong cucu, mau cucu berapa? Nanti Ilham kasih yang banyak."

"Kamu ini."

Ilham lalu tertawa bersama Ibunya. Ia memeluknya. "I love you, Ma."

Ilham merubah posisi tidurnya menjadi meringkuk.

"Maafin Ilham, Ma.." Lirihnya sambil terisak. Jika saja ia tahu ibunya akan pergi secepat ini, ia pasti akan mengabulkan semua keinginan ibunya.

***

"Sudah semua?" Ilham bertanya pada adiknya sebelum mereka benar-benar pergi.

Syifa mengangguk, lantas memandang rumahnya untuk terakhir kalinya.

"Ayo Fa," Ilham masuk ke dalam mobil terlebih dahulu.

Syifa pun hendak masuk, namun ada seseorang yang memanggilnya. Syifa pun urung dan kembali berbalik.

"Irfan?" ucap Syifa pelan saat melihat seseorang yang berlari ke arahnya.

Laki-laki itu terengah-engah saat sampai di hadapan Syifa karena berlari.

"Ada apa?" Syifa bertanya heran. "Kenapa lari-lari begitu?"

Irfan mengatur napasnya kemudian menatap Syifa tepat di manik matanya, hal itu membuat Syifa terkejut hingga ia menundukkan kepalanya.

"Apa kau akan pergi?" tanya Irfan setelah mengatur napasnya dengan baik.

"Iya," jawab Syifa masih menunduk. Menatap kedua kakinya.

"Apa kau akan kembali lagi ke sini?" Irfan kembali bertanya membuat Syifa mendongak.

"Aku.. Sepertinya tidak," jawab Syifa ragu. Mungkin ia tidak akan pernah kembali lagi ke sini. Ia juga tidak tahu.

Raut kesedihan terlihat di wajah laki-laki itu. "Kuliahmu?" tanyanya lagi.

"Aku juga akan pindah," jawab Syifa.

"Begitu...," ucapnya pelan kemudian menunduk, seolah ingin mengatakan sesuatu.

Ilham memerhatikannya dari dalam, kemudian sudut bibirnya tersungging kecil.

"Apa artinya aku tidak akan bertemu denganmu lagi," ucapnya sangat pelan. Lebih kepada diri sendiri.

"Kau bilang apa?" Syifa bertanya karena tak begitu jelas mendengar hal yang diucapkan oleh sahabatnya.

"Oh, bukan apa-apa, sebentar," Irfan merogoh sesuatu dari sakunya. Sebuah gelang dengan bandol kupu-kupu. "Untukmu, terimalah."

Syifa menerimanya, kemudian ia tersenyum. Ingat dulu ketika SMA ia sangat menginginkan gelang itu, namun Irfan tak mau memberikannya.

"Benar untukku? Kau yakin?" Syifa memastikan, takut-takut kalau Irfan mengambilnya lagi.

Irfan mengangguk dengan senyum tipis.

"Thanks," ucap Syifa lagi yang dibalas senyuman. Matanya tak lepas memandang Syifa.

Ilham berdehem dari dalam mobil.

"Oh, aku harus segera pergi. Terima kasih gelangnya," ucap Syifa kemudian berbalik hendak membuka pintu.

"Fa...."

Syifa kembali berbalik. "Ya?"

Irfan seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia kembali menahannya. Syifa menunggunya berbicara karena Irfan malah terdiam.

Irfan mengepalkan tangannya dan memejamkan mata. Menghela napas sejenak lalu menatap Syifa dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Jangan lupakan aku," ucap Irfan, pada akhirnya hanya kata itu yang mampu ia ucapkan.

Syifa tersenyum manis. "Tentu saja, mana mungkin aku melupakan sahabatku."

Mendengar ha itu, Irfan tersenyum hambar.

"Aku pergi. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah.."

Syifa pun masuk ke dalam mobil, melambaikan tangannya pada sahabatnya kemudian mobilnya mulai meninggalkan tempat yang tak akan pernah bisa ia lupakan, tempat ia tumbuh, tempat yang meninggalkan banyak kenangan dalam hidupnya.

Syifa memandang gelang pemberian Irfan dengan sedih. "Maafin aku Fan.." gumamnya sangat pelan.

"Pacar?"

Syifa terlihat kaget dengan pertanyaan Abangnya yang tiba-tiba itu. Ia mendelik sebal.

"Bukanlah, Syifa nggak pernah pacaran ya!" sungutnya tidak terima.

"Oh, ya sudah kalau bukan, kenapa sewot begitu." Ilham menahan senyum.

Syifa tak mau meladeni Abangnya yang ujung-ujungnya pastilah ia yang kalah.

"Kalau jodoh entar juga ketemu lagi," celetuk Ilham lagi.

"Apaan sih Bang! Udah ah jangan ngomong. Syifa mau tidur." Syifa tak ingin membahasnya atau kalau ia mau jadi bahan ledekannya.

Ia menyimpan gelang di saku jilbabnya, lalu memejamkan mata. Ilham tersenyum, setidaknya berkat laki-laki tadi Syifa bisa sedikit melupakan kesedihannya atas kepergian Ibu mereka.

"Abang harap kamu tidak terlalu lama larut dalam kesedihanmu, kamu tahu hal itu tidak baik," ucap Ilham yang tahu kalau Syifa tidak benar-benar tidur.

Syifa membuka matanya, memandang ke luar jendela dan menyenderkan kepalanya ke jendela pintu, mengingat semua kenangan dua puluh tahun bersama Ibunya.

***

"Ini apartemen Abang?" tanya Syifa saat mereka sampai.

"Iya, kamarmu yang sebelah sana, Abang belum sempat membereskannya, karena jarang terpakai, kalau mau istirahat di kamar Abang aja dulu," Ucap Ilham mengambil air mineral dari kulkas.

Syifa mengangguk, berjalan ke arah kamar Ilham. Melihat sekeliling dan pandangannya jatuh pada bingkai foto mereka bertiga yang kacanya retak. Ia pun mengambilnya. Mengusapnya perlahan.

"Abang tak sengaja menjatuhkannya," ucap Ilham yang kini sudah berada si belakang Syifa.

Syifa kembali menaruhnya kemudian tersenyum. "Aaah kamar Abang enak ya," ucapnya membaringkan tubuhnya di kasur, memejamkan matanya.

"Abang yang akan mengurus pindahan kuliahmu, mulai sekarang kamu tanggung jawab Abang, kalau ada apa-apa atau butuh apa-apa bilang sama Abang, janganㅡ"

"Bang...," Syifa memotong kalimat Ilham.

Ilham berhenti berbicara, lantas memandang adiknya. Menunggunya berbicara.

"Kenapa Abang nggak tinggal sama Papa?"

Ilham terdiam.

"Apa Papa tahu kalau Mama meninggal?"

Syifa bangun, duduk memandang Ilham dengan tatapan sedih.

"Apa Papa tahu kalau aku pernah lahir? Ah, tidak. Apa aku punya Ayah?" Syifa bertanya dengan perasaan sakit dan kesal, ia menunduk, air matanya kembali jatuh.

Ilham duduk di sebelahnya. Ia tidak tahu harus berkata apa.

"Aku tidak tahu seperti apa laki-laki yang menjadi Ayahku, aku tidak pernah melihatnya tapi kenapa aku begitu membencinya?" Syifa terisak lagi. Ilham memeluknya. Ia sangat paham bagaimana perasaan adiknya.

Benar, Syifa tidak pernah tahu siapa Ayahnya, melihat wajahnya pun tidak pernah. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, dan sekarang ia harus kehilangan Ibunya.

"Abang minta maaf," ucap Ilham lirih. Hanya itu yang bisa ia katakan.

Syifa menggeleng, melepaskan pelukan dan menghapus air matanya.

"Kenapa Abang minta maaf? Memang Abang salah apa?"

"Kamu ingin bertemu Papa?" Ilham bertanya dengan hati-hati.

Syifa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak butuh dia, sekarang Abang satu-satunya keluarga Syifa. Abang sudah seperti Ayah bagi Syifa."

Ilham mengusap air mata adiknya dan tersenyum. "Istirahatlah," ucapnya kemudian ia keluar kamar.

Ilham terduduk di depan pintu kamarnya. Menelungkupkan wajahnya ke lutut. Tiba-tiba saja kebencian pada Ayahnya memuncak. Jika saja ... Jika saja dulu Ayahnya tak pernah meninggalkan keluarganya. Apakah segalanya akan lebih baik dari ini?

***

Tbc.

04 Januari 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top