2 - Pria Masa Lalu [Revised]

Ayesha berbaring di atas kasur sambil mengamati kartu nama yang diberikan Ilham siang tadi. Mengingat pertemuan singkat dengannya, membuatnya tersenyum.

Ingatannya kembali berkelana saat pertama kali bertemu dengannya dulu. Tidak ada yang spesial memang, tapi ia tidak akan pernah lupa dengan sikap dingin dan ketusnya waktu itu.

Saat itu ia karyawan baru di HM Architect, tempat Ilham bekerja dulu. Ia disuruh menghadap ke ruangan bosnya tapi tidak tahu harus pergi ke mana, lalu ia bertemu Ilham. Bertanya arah padanya dan Ilham pun menuntunnya. Ilham tidak banyak bicara saat itu, ia sibuk melihat-lihat lembaran kertas di tangannya. Ayesha tak sengaja melihat desain bangunan yang ada di sana dan ia berdecak kagum.

"Apa Bapak membuatnya? Itu keren sekali!"

Ilham mengerutkan kening, meliriknya sebentar. 'Bapak?' pikirnya dalam hati.

"Bukan urusanmu, mengintip itu tidak baik," ucapnya ketus.

"Siapa yang ngintip, orang gak sengaja lihat." Ayesha mengelak. Kesan pertamanya pada Ilham adalah 'mentang-mentang ganteng, songong.'

"Ruangannya di sebelah sana," ucap Ilham lagi lalu pergi ke arah berlawanan.

Ayesha melongo tak percaya, bahkan ia tak sempat berterima kasih. Tapi ia dipertemukan lagi dengannya karena ia ternyata satu tim dengan Ilham. Dan saat itulah semuanya dimulai, setiap pertemuan dengannya, selalu ada hal yang ia pelajari. Ia kagumi.

Ayesha tersadarkan oleh suara pintu kamarnya yang terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang merawatnya selama ini. Ibunya, yang kini tengah memasang wajah masam.

Ayesha menghela napas malas. Ia tahu persis apa yang akan dibicarakan ibunya.

"Kamu tidak menemuinya kan?" tuduh ibunya yang memang benar adanya.

Ayesha bergumam membenarkan.

Gliran Ibunya yang menghela napas. "Padahal Ibu sudah mengantarmu ke sana. Kau tahu, dia menunggumu. Tidak baik membatalkan janji begitu saja tanpa memberitahunya."

Ayesha bangun dan menatap Ibunya. "Dari awal aku tidak pernah menyetujui pertemuan itu."

"Esa.. Bisa tidak sekali saja kamu melakukannya demi Ibu?" Ibunya memohon meski ia sendiri tahu akan percuma.

"Bu, aku sudah mengatakannya berkali-kali bahkan aku sudah bosan. Aku tidak akan menikah. Aku sudah bahagia hidup seperti ini." Ayesha menjelaskan, mencoba untuk membuat ibunya mengerti. Kalau ia tidak butuh pendamping hidup.

"Tapi Esa, bagaimana bisa kamu hidup sendiri terus? Kamu pasti butuh seseorang untuk mendampingi hidupmu."

Ayesha menatap kesal Ibunya. "Kalau Ibu tahu, kenapa Ibu melakukannya? Sudahlah, aku tidak mau membahas ini lagi."

"Ini semua demi kebaikanmu, Ayah dan Ibu mencemaskanmu." Ibunya masih keukeuh pada pendiriannya.

"Kenapa Ibu berkata seolah tak pernah terjadi apapun? Apa Ibu tidak mengerti perasaanku? Semuanya tidak akan berjalan baik hanya dengan aku menikah," ucap Ayesha tegas.

Ibunya nampak sedih dengan keputusan Ayesha. Namun ia sadar, ini semua karena kesalahannya di masa lalu.

"Mbak Eca!"

Ayesha lalu menoleh pada gadis yang memanggilnya. Berdiri di ambang pintu dengan senyum lebar. Seulas senyum ia tampakkan.

"Iya Caca, kenapa? Sini."

Salsa, adiknya yang akrab dipanggil Caca berusia 9 tahun. Gadis yang amat sangat Ayesha sayangi.

Salsa menghampirinya. "Eh, ada Ibu juga," ucapnya yang sepertinya baru menyadari kalau ibunya juga ada di sana.

Ibunya tersenyum, "ada perlu apa sama Mbakmu, hm?"

"Caca bosen Bu," ucapnya sambil cemberut. Lalu kembali menoleh pada Ayesha. "Nanti sore jalan-jalan yuk Mbak!" ajaknya penuh semangat.

"Sore? Emm, kalau sore minggu Mba kan ada kajian, gimana dong? Mending kamu ikut, gimana?" tawar Ayesha, bukan ide yang buruk juga untuk mengajaknya, agar dewasa nanti ia bisa terbiasa.

"Oh iya! Hmm...." Salsa nampak berpikir sambil mengerucutkan bibirnya. "Nggak ah, ntar Caca malah ganggu lagi," putusnya kemudian.

Ayesha tersenyum kecil, "ya udah, oh iya hafalan surah pendeknya sudah nambah belum?" Ayesha mengusap pipi tembem adiknya.

"Udah doong!" Salsa berseru bangga.

Ayesha tersenyum mengacak rambutnya pelan. "Anak siapa sih, pinter deh! Nanti setornya abis Mbak pulang dari kajian ya, selesai sholat magrib seperti biasa. Oke?"

"Siapp!"

Ayesha tersenyum. Lalu ia menatap ibunya yang juga tengah menatap mereka. Memberitahunya bahwa ia baik-baik saja dengan keadaannya yang sekarang.

Setiap satu minggu sekali, Ayesha memang rutin ikut kajian di sebuah mesjid yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Pesertanya tidak terlalu banyak, hanya beberapa wanita sebayanya. Mungkin lebih bisa disebut mentoring, halaqah atau liqo'.

"Mbak Ina!" Ayesha berseru ketika melihat seorang wanita berjilbab toska muda berjalan di depannya menuju mesjid.

Inayah tersenyum menyapa. "Assalamu'alaikum, Esa."

"Wa'alaikumsalam warahmatullah." Ayesha cengengesan. Ia hanya belum terbiasa.

"Materi hari ini apa Mbak? Aku nggak sabar dapet ilmu lagi dari Mbak, hee."

Inayah adalah pementor di acara kajian ini, ia adalah perempuan yang sangat Ayesha kagumi, berkatnya juga Ayesha bisa sampai seperti ini. Ia berperan banyak dalam perubahan Ayesha.

"Aku suka dengan sifatmu yang semangat ini," Inayah tersenyum tipis. "Lanjut yang minggu kemarin, masih ada yang belum dibahas," ucap Inayah tenang seperti biasanya.

Ayesha mengangguk mengiyakan. Itu artinya minggu ini juga akan membahas tentang sepuluh dosa besar. Lalu mereka masuk bersama. Di dalam sudah datang peserta yang lainnya. Duduk melingkar dan terlihat asyik bercengkerama.

Saat Ayesha masuk, semuanya mulai berhenti mengobrol karena tahu kajian akan segera dimulai. Ayesha memulainya seperti biasa, selalu diawali dengan membaca al-qur'an dari peserta, bergilir tiap minggunya.

"Sebelum ke materi, hari ini kita kedatangan teman baru." Inayah melirik seorang wanita berjilbab merah muda paling ujung, nampak lebih muda dari yang lainnya. "Ayo, perkenalkan diri dulu."

Gadis itu mengangguk, terlihat sedikit canggung. "Nama saya Firda Afifah, saya kuliah semester dua. Saya dengar kajian ini dari Mbak Ana, saya baru berhijab dan ingin belajar tentang Islam lebih dalam, mohon bimbingan Kakak semuanya."

Ayesha tersenyum tipis, melihatnya mengingatkannya pada dirinya dulu saat pertama ikut kajian ini diajak oleh Inayah, waktu itu ia juga masih belajar memakai hijab. Ia merasa tidak percaya diri, dan malu, tapi lama-lama jadi terbiasa.

"Jangan merasa canggung ya, di sini kita semua sama, sama-sama belajar, sama-sama mencari Ilmu, bila ada yang salah saling menegur, bila ada yang khilaf saling mengingatkan, di sini kita berbagi, menerima dan memberi, menjalin persaudaraan yang didasarkan atas nama Allah." Inayah menjelaskan yang disambut anggukan dari Firda.

"Iya, terima kasih Mbak," ucap Firda.

"Sudah kenal semuanya?" tanya Inayah memastikan, kalau-kalau ada yang belum saling kenal. Biar bisa mempererat ukhuwah.

"Iya tadi sempat kenalan, emm...." Firda melirik Ayesha ragu, karena ia baru datang jadi belum sempat kenalan.

Merasa diperhatikan, Ayesha pun tersadar. "Oh, hai. Namaku Ayesha, orang-orang memanggilku Esa. Salam ukhuwah Firda.." Ayesha menyambutnya dengan ramah.

"Salam juga Kak," Firda balas tersenyum.

Inayah kemudian mulai membahas materi yang belum sempat selesai di minggu kemarin. Ayesha banyak diam saat materi ini, Inayah menyadarinya namun ia tak ingin ikut campur lebih jauh. Ia hanya tahu Ayesha punya masa lalu yang tidak ingin siapa pun tahu. Saat ia bertanya dulu pun, Ayesha selalu bilang kalau masa lalunya bukan sesuatu yang pantas untuk diceritakan.

Setelah kajian selesai, mereka saling berpamitan. Ayesha dan Inayah selalu jadi orang yang terakhir berada di sana.

"Mbak," Ayesha memanggil Inayah ragu.

"Kenapa Sa?"

"Apa menurut Mbak, orang yang melakukan dosa besar bisa diampuni?" Ayesha bertanya sedikit ragu-ragu.

Inayah menatapnya sebentar lalu ia tersenyum kemudian membacakan quran surah az zumar ayat 53. "Katakanlah, 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas atas diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang'."

Kemudian ia lanjut menjelaskan, "sifat-Nya adalah mengampuni dan merahmati. Di mana keduanya adalah sifat yang selalu pada dzat-Nya, pengaruhnya senantiasa mengalir di seluruh alam semesta dan memenuhinya. Kedua tangan-Nya melimpahkan kebaikan di malam dan di siang hari, dan nikmatnya diturunkan pada hamba-hambaNya baik di waktu terang-terangan maupun waktu tersembunyi," jeda sebentar. "Dia lebih suka memberi daripada menghalangi, rahmat-Nya mendahului kemurkaaan-Nya, namun untuk ampunan dan rahmat-Nya, dan untuk memperolehnya, ada sebab yang jika tidak didatangi hamba, maka sama saja ia menutup pintu rahmat dan ampunan bagi dirinya, di mana sebab yang paling besar dan agungnya ialah kembali kepada Allah dengan taubat nashuha, berdo'a, bertadharru' dan beribadah kepada-Nya."

Ayesha memandang Inayah terkagum-kagum, bagaimana bisa ada perempuan sesempurna dia, pikirnya. "Makasih banyak ya Mbak, Mbak udah banyak bantu Esa. Sampai sejauh ini," Ayesha merasa tenang sekaligus sedih. Juga haru karena Allah mengirimkan sahabat yang bisa membantunya dekat dengan-Nya.

Inayah merangkul Ayesha. "Itulah gunanya persahabatan dalam Islam, carilah sahabat yang bisa mengingatkanmu pada Allah, jika kau menemukannya, genggam tangannya erat-erat. Semoga, kita sahabat sampai ke surga ya." Inayah tersenyum begitu tulus.

Ayesha mengangguk dan mengaminkan. "Aku tidak tahu lagi bagaimana harus berterimakasih sama Mbak,"

"Jangan begitu, itu kan sudah kewajiban kita sesama muslim, udah yuk pulang, udah sore banget, nanti kemaghriban lagi. Nggak bawa mobil kan? Mau bareng?" tawar Inayah, karena kebetulan arah mereka sama.

"Iya mbak, eh nggak maksudnya. Nggak usah mbak, aku mau mampir dulu ke supermarket. Mbak duluan aja," tolaknya. Selain tidak enak, Ayesha memang harus mampir ke supermarket terlebih dulu.

"Ya sudah, sampai ketemu besok di butik ya. Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam warahmatullah,"

Setelah saling rangkul, mereka berpisah di depan jalan. Ayesha pergi ke supermarket. Ada beberapa barang yang harus ia beli. Setelah selesai, ia pergi untuk mengantri di kasir. Melihat jam, masih ada empat puluh lima menit hingga waktu magrib. Ia harus cepat-cepat kalau tidak mau magrib di perjalanan.

"Terima kasih Mbak," Ayesha pergi cepat-cepat dan tak sengaja menabrak seseorang. "Maaf Mas, tidak sengaja," ucapnya saat tahu kalau yang ia tabrak adalah seorang laki-laki, namun ia tak melihat wajahnya. Ia hanya menunduk dan berniat langsung pergi.

"Tunggu," ucap pria tadi.

Ayesha berhenti dan menoleh, saat melihat wajah pria yang ia tabrak tadi ia terkejut bukan main, sama halnya seperti laki-laki tersebut.

"Ayesha? Kau kah..?" ucapnya seakan tak percaya dengan sosok yang ia lihat di hadapannya.

Ayesha terpaku, tak mampu berucap. Dari sejuta kemungkinan, ia tak pernah sekali pun memikirkan akan bertemu lagi dengannya. Sekali pun tidak pernah, ia pikir ia sudah pergi sejauh mungkin. Tapi kenapa ia harus bertemu lagi dengannya.

Dia, pria di masa lalunya.

***

Tbc.

Note: untuk penjelasan surah az zumar, saya ambil dari web tafsir.

Penjelasan kata:

Halaqah secara bahasa berarti lingkaran, sementara liqo' berarti pertemuan. Secara istilah halaqah berarti pengajian di mana dalam pengajian itu orang-orang yang ikut dalam pengajian itu duduk melingkar. Sementara liqo' lebih umum karena isinya tidak hanya kajian ilmiyah tapi juga rapat, pertemuan musyawarah dan sebagainya.

Tadharru' ialah sebuah istilah yang berarti ketundukan diri yang sangat dan rasa malu yang disebabkan oleh rasa putus asa dan ia diekspresikan ketika seseorang mencapai keadaan kritis.

Ps. Maaf jika ada kesalahan, dan maaf atas update yang lama. Wkwk

25 Desember 2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top