PROLOG: Apa yang Terjadi, Terjadilah

Mimpi Rosemary Bliss menjadi kenyataan.

Dia pembuat kue paling terkenal di dunia. Dia chef termuda yang pernah menjuarai Gala des Gâteaux Grands, kompetisi paling bergengsi di Prancis. Dia adalah gadis dua belas tahun yang telah mengalahkan chef selebritas Lily Le Fay dan menghentikan rencana jahat bibinya itu. Dia anak setempat yang menyelamatkan kampung halamannya dan mengamankan Cookery Booke ajaib milik keluarga Bliss.

Lantas, kenapa dia tidak bahagia?

Pada pagi hari ketiga belas setelah kembali dari Paris, Rose bangun dan membuka tirai kamar tidurnya.

Jepret. Kilat. Klik. Klik.

Itulah sebabnya.

"Hei, lihat itu! Ada Rose!" Klik. Kilat. Jepret. "Rose, bagaimana perasaanmu setelah menang?" Klik. Kilat. Kilat. Jepret. "Rose! Bagaimana rasanya menjadi pembuat kue terbaik di dunia?" Jepret. Kilat. Klik. "Mengingat kau baru dua belas tahun?" Klik. Kilat. Jepret.

Huh, pikir Rose. Mereka masih di sini. Lenyaplah suara pagi yang menenangkan, desir angin, dan derit tali ayunan ban di batang pohon ek tua di luar jendelanya. Sekarang, bunyi-bunyian itu berasal dari segerombolan paparazi yang bermukim secara permanen di luar Follow Your Bliss Bakery. Setiap pagi, mereka menunggu Rose membuka tirai, kemudian mengambil ratusan gambar dan berseru meminta kesan atau pesan mengenai kemenangannya yang gemilang.

Selama ini, Rose dalam hati selalu penasaran bagaimana rasanya menjadi terkenal. Kini, dia tahu jawabannya. Rasanya seperti menjadi ikan hias di akuarium. Ada ratusan mata menatap kagum sehingga kau tidak bisa berlari atau bersembunyi di mana pun, kecuali mungkin di istana plastik mungil.

Rose langsung menutup tirai, bertanya-tanya apakah dirinya sudah muak membuat kue. Rasanya tidak sepadan jika artinya adalah semua ini.

"Kalau saja aku tidak perlu membuat kue lagi," kata Rose, tidak kepada siapa-siapa.

Tiba-tiba, sebuah kepala kelabu berbulu dan bertelinga ceper muncul dari segundukan pakaian kotor di kaki tempat tidurnya. "Hati-hati dengan harapanmu," kata Gus. "Kedengarannya memang agak aneh, tapi harapan yang diucapkan sebelum ulang tahun sering menjadi kenyataan." Kucing ras Scottish Fold itu mengangkat cakarnya dan mulai menjilati sela-sela setiap cakarnya dengan cermat.

"Konyol, ah," kata Rose. "Ulang tahunku baru akhir musim panas nanti. Lagi pula, aku tidak serius, kok." Dia mengusap-usap kepala si kucing yang langsung mendengkur. "Aku hanya ingin untuk sementara tidak perlu membuat kue." Dia menjadi pembuat kue karena mencintai keluarga dan kotanya. Memanggang kue sudah mendarah daging baginya. Namun, berkat kemenangannya di Gala des Gâteaux Grands, segalanya kini berubah drastis.

Dia tahu kejadiannya baru dua minggu lalu, tetapi empat belas hari terakhir itu adalah hari-hari terpanjang dalam hidupnya. Tidak ada kedamaian dan ketenangan. Tidak ada waktu untuk menikmati musim panas. Membuat kue tidak lagi menyenangkan. Seakan-akan dia memang diharapkan untuk melakukannya, seperti mengerjakan tugas rumah.

Dan, itu sama sekali tidak menyenangkan. Rose membulatkan tekad, jika tidak ada yang berubah musim panas ini, dia tidak mau lagi membuat kue. Selamanya.

Di bawah, di dapur toko kue keluarga Bliss, situasinya tidak lebih baik. Lampu kilat kamera berkelebat menembus tirai penutup bagai kerlip halilintar. Teriakan para reporter di luar pintu menimbulkan kesan seolah-olah ada ribuan orang di luar sana, dan bukannya hanya beberapa ratus. Kenapa, sih, mereka mengganggunya?

Belum lagi surat-surat yang datang.

Kedua saudara laki-laki Rose, Sage dan Ty, sudah duduk di dapur, menyortir kiriman kemarin, membuang surat-surat yang tidak penting ke kantong sampah hitam raksasa, dan menyisihkan surat-surat yang perlu dijawab dalam satu tumpukan. Rose tahu surat-surat itu untuknya ("Penggemarmu mencintai kami—maksudku, kau," begitu kata Ty), tetapi Rose sudah lelah membacanya. Dia tidak ingin melihat surat apa pun lagi—selamanya. Dia hanya ingin kehidupan normalnya kembali.

"Sampah," kata Sage mengumumkan dan melemparkan setumpuk kertas yang sudah diremas-remas ke tempat sampah. Adik laki-laki Rose yang berpipi tembam itu baru berusia sepuluh tahun, tetapi tampangnya seperti belum delapan tahun. Rambutnya pirang kemerahan berombak dan satu-satunya bagian tubuhnya yang bertambah dalam setahun ini hanyalah jumlah bercak di hidungnya.

"Apa isinya?" tanya Ty. Kakak Rose yang tampan itu juga bertumbuh, tetapi sepertinya kurang banyak—belakangan, dia mengaku kepada Rose bahwa dirinya cemas impiannya menjadi bintang NBA kandas.

"Presiden Spanyol ingin kue," kata Sage sambil membolak-balik beberapa surat. "Warren Buffet ingin pai raksasa berbentuk bagan pai dengan rasa berbeda untuk setiap potongan."

"Apa itu bagan pai?" tanya Ty.

"Siapa itu Warren Buffet?" tanya Rose.

"Sepertinya seseorang yang suka pai," kata Sage dan membaca surat lain. "Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ingin kita membuat cupcake untuk setiap duta besar pada pertemuan mereka yang berikutnya, dihiasi bendera negara masing-masing, dan—coba dengar ini—'cita rasa kampung halaman setiap duta besar dalam setiap gigitan'."

"Iiih," kata Ty. "Kapan, ya, ada orang penting yang mau menulis surat untuk kita?"

Sage membuka surat berikutnya, sebuah amplop merah muda tebal yang mengembuskan aroma lembut parfum manis. Tiba-tiba, dia jatuh ke lantai dan mencengkeram dada, bagaikan terkena serangan jantung.

"Ini dia!" jeritnya dan menyerahkan surat itu kepada Ty dan Rose.

Rose mengamati kertas surat yang halus itu.

Yang Terhormat Rose dan Anggota Follow Your Bliss Bakery!

Tolong kirimkan aku kue. Tolong. Aku tidak peduli apa jenisnya. Aku harus mencoba salah satu kuemu. Aku bisa mati tanpanya. Aku bersedia membayar berapa saja. Kau bahkan bisa bermain di band kami pada tur berikutnya. Cepatlah kirim kuenya.


"Tidak mungkin!" seru Ty. "Dia pasti menonton kompetisinya, melihatku, dan jatuh cinta. Kue hanya sekadar cara untuk mendekati aku."

Rose menghela napas. Dia tahu mestinya dia gembira, tetapi semua surat dari orang-orang terkenal ini hanya membuatnya lelah. Membuat kue tidak ada hubungannya dengan mendapat surat dari selebritas. Membuat kue artinya mencampur, mengocok, dan mengaduk adonan, menambahkan tepung, mentega, gula, hati, cinta, dan—

"Kita kaya raya!" teriak Ty, mengulurkan surat dengan cetak timbul gambar kartun Kathy Keegan, nama konglomerat kue dan roti ternama.

"Rose," kata Ty, "mereka menawarkan tujuh ratus tujuh puluh tujuh ribu dolar hanya untuk mempromosikan produk mereka."

"Kenapa semuanya tujuh?" tanya Sage.

"Yang perlu kau lakukan hanya makan Keegan Kake dan berkata, 'Aku Rosemary Bliss, pemenang termuda Gala des Gâteaux Grands dalam sejarah,' dan, hmm, 'Kathy Keegan adalah inspirasiku!'" Ty menyerahkan surat itu kepada Rose dan melamun menatap langit-langit. "Kalau aku menikah dengan Katy Perry dan kau menandatangani kontrak promosi ini ..., tidak seorang pun dari kita perlu bekerja lagi!"

"Kathy Keegan tidak nyata," sahut Rose. "Keegan Corporation didirikan sekelompok pengusaha. Bagaimana bisa aku bilang dia inspirasiku padahal dia bukan orang sungguhan? Lagi pula, aku tidak pernah makan Keegan Kake. Kau tahu bagaimana pendapat Mom tentang kue kemasan." Dia menyelipkan surat itu ke saku dan berbalik. Dia tidak sanggup lagi melihat satu surat pun.

Saat itulah Rose tersadar bahwa setiap sentimeter permukaan dapur tertutupi loyang-loyang yang dilapisi kertas kue.

Ibunya, Purdy Bliss, tiba-tiba masuk lewat pintu ruang depan toko. Kedua tangannya dipenuhi kantong belanjaan. Dia wanita bertubuh kuat dengan wajah manis, rambut hitam ikal, dan poni yang menjuntai liar di dahi.

"Anak-Anak, kepingannya!" serunya. "Kalian sudah kusuruh menyuntikkan adonan cokelat dan baru berhenti setelah semua kertasnya terisi!"

Kedua putranya menggerutu sambil memungut kantong spuit untuk menyuntikkan adonan. Purdy mengacak-acak rambut merah anak-anak itu saat mereka bersiap menyuntikkan gumpalan-gumpalan kecil adonan cokelat ke kertas kue dalam barisan rapi.

"Ada apa?" tanya Rose.

"Reporter-reporter di luar," kata Purdy sambil mengecup kening Rose. "Kita tidak akan bisa berbuat apa pun sebelum mereka pergi."

"Akan kubantu," kata Rose, merasa antusias untuk pertama kalinya setelah berhari-hari. Mungkin dia benar-benar bisa berguna.

"Rose, Sayang," kata Purdy sambil membuka kantong-kantong belanjaan, "sebaiknya kau kembali ke atas. Kaulah satu-satunya yang bisa menarik perhatian mereka."

"Jadi, aku harus menunggu di menaraku saja, seperti Rapunzel?" tanya Rose, melemparkan kedua tangan ke udara dengan sebal. "Kukira tidak." Dia mengambil kantong spuit yang penuh adonan cokelat, lalu memencetnya dan membentuk beberapa gumpalan rapi, sementara kedua saudaranya menyelesaikan sisanya.

"Tiga ratus keping," kata Purdy sambil menghitung. "Sudah cukup. Anak-anak, kemarilah." Dia menarik Rose dan kedua putranya mendekat, dengan lembut memegang bahu mereka.

Pintu menuju kamar pendingin berayun membuka dan kakek buyut dari kakek buyut Rose, Balthazar, muncul membawa stoples biru besar yang dilapisi kawat berduri. Dari dalam stoples, terdengar suara seperti sepuluh ribu sikat gigi listrik yang mendengung serentak. "Kalian siap?" tanyanya.

Purdy mengangguk dan berseru, "Lepaskan lebah-lebahnya!"

Balthazar meletakkan stoples di tengah lantai dapur, kemudian membuka sedikit tutupnya. Sekawanan lebah berhamburan keluar memenuhi dapur, bagaikan kepulan asap hitam-dan-kuning mendengung yang mengerikan.

"Lihat, Kawanan Teror Tubertine!" seru Balthazar sambal menarik-narik jenggotnya.

"Nama kuenya adalah Urus Lilin Lebahmu Sendiri," kata Purdy menjelaskan di sela bunyi dengung. "Kalau kau makan kue yang terkena sengatan Kawanan Teror Tubertine, benakmu hanya akan memikirkan masalahmu sendiri. Awalnya, resep ini digunakan para biarawan Trappist. Sejarahnya, sebelum adanya sumpah diam, para biarawan ordo tersebut tidak bisa menutup mulut. Kerja mereka mengoceh terus! Setelah melahap kepingan ini, para biarawan mengambil sumpah diam pertama dalam sejarah kebiaraan." Purdy menarik peluit dari saku celemeknya. "Lihat ini!"

Dia mengerutkan bibir dan meniupkan alunan tango yang berirama. Kawanan lebah itu langsung bergeming di udara, kemudian beterbangan hingga setiap lebah melayang-layang di atas satu gundukan kecil adonan cokelat. Lebah-lebah itu menatap Purdy dengan mata lebar dan posisi siap. Rose bisa merasakan kibasan angin dari sayap-sayap kecil mereka yang berdengung.

Ketika Purdy kembali meniup peluit, setiap lebah menusukkan sengat mereka ke gundukan adonan. Mereka seperti mendesah, berdengung semakin pelan, kemudian berpaling dari Purdy dan terbang dalam satu baris kembali ke dalam stoples.

Balthazar memasang tutupnya lagi.

Ty dan Sage merangkak dari bawah meja yang biasa dipakai saat sarapan, menghela napas lega.

"Ih," kata Sage. Rose melihat dinding dan lantai bernoda cairan lengket kuning. Sage mengusapkan jari ke salah satu noda. "Mereka membuat tempat ini licin."

Balthazar menggaruk-garuk kepala botaknya dan jarinya meneteskan cairan kuning lengket itu. Dia meletakkan satu jari ke ujung lidahnya. "Ini madu," gumamnya.

Purdy dan Rose memasukkan loyang demi loyang kepingan cokelat yang sudah disengat lebah itu ke oven. Beberapa menit kemudian, mereka memindahkan kue-kue panas ke nampan saji. Tidak lama kemudian, Ty dan Sage sudah berada di luar, membagikan kepingan-kepingan itu kepada gerombolan reporter dan fotografer.

Begitu menggigit keping cokelat, mata setiap reporter berpijar keemasan, mirip leher lebah, kemudian mereka bergegas kabur dari pekarangan. Dalam sepuluh menit, gerombolan itu sudah lenyap dari halaman, bersama semua kamera, mikrofon, lampu kilat, dan lain-lain.

Ty dan Sage kembali ke dapur dengan tumpukan nampan yang kini kosong. Rambut Ty, yang sejak kontes Gala ditata dengan gel sehingga mencuat sepanjang delapan sentimeter, tampak layu bagaikan sepetak semak-semak patah. Ada bilur merah muda cemerlang melintang di kening Sage.

"Ada yang memukulku dengan mikrofon," kata Sage marah. "Orang-orang itu sudah seperti hewan saja. Hewan, kubilang!"

Ty mengulurkan selembar kertas oranye dan berkata, "Setelah semua orang pergi, aku menemukan ini di pintu depan. Rupanya, kertas-kertas ini ditempelkan di seluruh rumah." Pinggiran kertas oranye itu penuh bekas selotip.

Purdy mengambil kertas yang disodorkan dan membacanya keras-keras. "Atas Perintah Biro Usaha Amerika dan Undang-undang Kongres HC 213, Tempat Usaha ini akan segera DITUTUP."

"Memangnya bisa?" tanya Sage. "Bukannya mereka harus lebih dulu bicara dengan kita?"

"Padahal kita baru sukses besar!" kata Ty putus asa. "Katy Perry bahkan menginginkan kue kita!"

Purdy mengerutkan alis dan membaca lebih lanjut. "Undang-undang Diskriminasi Usaha Kue Besar Amerika menyatakan bahwa toko kue yang mempekerjakan kurang dari seribu karyawan harus berhenti beroperasi. Toko-toko kue besar merugi karena keuntungan tidak adil yang diperoleh toko-toko kue kecil di seluruh Amerika Serikat. Mulai saat ini, Anda harus berhenti menjual kue dan roti untuk mencari keuntungan. Setiap pelanggaran akan mendapat hukuman seberat-beratnya."

Rose menelan ludah dan merasakan sesuatu yanglembut menyentuh pergelangan kakinya. Dia menunduk dan melihat Gus si kucingmendongak ke arahnya. "Harapan buruk selalu membuat terpuruk," ujarnya, kemudian menyusup di antara kedua kaki Rose. "Sudah kubilang!"[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top