PROLOG
"Bud, cepetan lari!" Gue menarik paksa bocah sembilan tahun yang masih meronta ingin melepaskan diri. Sebisa mungkin gue harus mengamankan Budi, sebelum api bertambah besar.
"Indah, Kak! Indah masih di rumah!" Teriakan Budi seketika membuat tubuh gue menegang. Gue melihat lagi ke belakang.
Sial! Gue meraup wajah dengan sebelah tangan, sambil mencengkeram lengan Budi kuat-kuat. Api sudah semakin membesar, bahkan akses masuk ke rumah kalong pun hampir nggak terlihat. Tertutup api dan asap. Gue hentakkan kaki kesal. Frustasi tepatnya. Karena mobil pemadam kebakaran yang gue telepon sepuluh menit lalu pun masih belum juga muncul.
"Lepasin aku, Kak!"
"Lo udah gila? Lo mau mati?" Gue membentaknya supaya bocah ini sadar, karena hampir saja dia lolos dari cekalan gue. "Lo tunggu di sini! Gue bakal minta tolong orang buat balik ke rumah!" ancam gue tegas.
Sial! Sekali lagi merutuki kecerobohan gue yang lupa mengecek keberadaan Indah. Gara-gara sibuk memindahkan barang, gue lupa kalau bocah empat tahun itu masih tidur di kamar.
Membayangkan asap bahkan api yang mengelilingi tubuh mungilnya, membuat gue bergidik ngeri. Semoga rumah Toni masih aman. Gue nggak berhenti merapal doa, sambil berlari mencari Toni atau siapa pun yang gue kenal. Namun, semua orang tengah panik. Sebagian besar sibuk mengangkat barang berharga mereka atau mencoba memadamkan api dengan air seadanya. Jangankan menolong, bahkan mereka nggak menoleh waktu gue panggil.
Tempat tinggal Toni cuma berjarak tujuh rumah dari tempat gue berdiri, tapi api sudah melalap bangunan di samping kanannya. Gue nggak boleh menyerah. Indah butuh gue saat ini.
"Bang, tolongin gue!" pinta gue sambil menarik paksa tangan Bang Supri-laki-laki yang tinggal di seberang rumah Toni. "Indah masih di rumah, Bang!"
"Kita kagak mungkin bisa masuk, Cris. Api daerah sono tambah besar. Lhah, Toni mana?"
Gue menggeleng. "Tadi dia mindahin barang ke depan, tapi sekarang gue nggak tahu. Terus Indah gimana, Bang?"
Gantian cowok ini yang menggeleng. Sial! Api benar-benar sudah membesar. Kalau gue cuma berdiam diri di sini dan menunggu pemadam kebakaran, bisa-bisa Indah nggak tertolong. Nggak! Gue harus menyelamatkan bocah itu.
Gue kencangkan ikatan rambut membentuk cepolan di puncak kepala. Kalau nggak ada yang bisa dimintai tolong, berarti gue harus turun tangan sendiri. Nggak bakal gue biarin Indah kenapa-kenapa.
"Woi! Lo mau ngapain?"
Mengabaikan larangan Bang Supri, gue menggegas langkah masuk ke dalam gang. Masih ada celah yang belum terkena kobaran api. Kalau gue bisa bergerak cepat, pasti nggak ada masalah untuk masuk ke sana.
Berada di tengah amukan si jago merah sama sekali nggak ada dalam daftar kegiatan gue hari ini. Seharusnya setengah jam yang lalu, gue sudah duduk manis di bioskop. Rencana untuk nonton bareng Bella dan Belva terpaksa gue batalkan, karena ledakan tabung gas dari warung depan merembet dengan cepat ke seantoro rumah kalong.
"Indah!" teriak gue sambil menendang pintu rumah agar terbuka.
Untung saja api belum mencapai rumah Toni, hanya saja asap sudah memenuhi segala penjuru ruang. "Indah!" Kembali gue panggil bocah itu.
Samar terdengar tangis sesenggukan dari dalam kamar. Gue harus segera membawa Indah pergi dari sini keburu api merembet masuk.
Gue embuskan napas lega saat melihat Indah duduk meringkuk di pojok kamar. Pasti dia sangat ketakutan. Segera gue raih tubuh mungilnya ke dalam pelukan, sambil gue beri tepukan lembut di punggungnya.
"Cup ... cup, Sayang. Kak Cristal sudah di sini."
Butuh dua detik bagi Indah untuk menyadari kedatangan gue, sampai akhirnya jari-jari mungil itu mencengkeram erat kedua sisi tubuh gue. "Indah pegangan Kak Cristal yang kuat!" perintah gue sambil membopong tubuh kurusnya, bergegas membawanya ke luar.
Napas gue tercekat saat melihat kobaran api di depan rumah semakin membesar. Bagaimana caranya keluar dari sini dengan selamat? Sedangkan sedari tadi belum gue dengar suara sirine pemadam kebakaran.
Rumah Supri yang hanya berjarak dua meter di depan gue, sudah habis terlalap api. Suara gemuruh kayu yang terbakar memekakkan telinga gue. Dengan susah payah gue basahi tenggorokan yang mengering dengan menelan ludah. Gue nggak boleh kalah sama api ini. Gue harus bisa keluar dari sini.
Gue dekap erat tubuh Indah, jangan sampai dia melihat kebakaran ini. Sambil terus menenangkannya, gue mengambil ancang-ancang untuk menerobos kobaran api. Dalam satu tarikan napas panjang, gue berlari sambil menunduk.
Bohong kalau gue nggak takut. Panas menyengat sudah menampar tubuh gue sedari tadi. Kepulan asap hitam pun membuat gue sesak napas. Berkali-kali kami terbatuk-batuk karena asap begitu pekat menyapa paru-paru. Belum lagi suara bangunan runtuh yang membuat nyali gue menciut.
Nggak sampai sepuluh meter lagi, gue sudah sampai ke tempat aman. Dalam kabut asap, gue bisa melihat Toni dan Budi di sana. Gue yakin mereka tengah mengucapkan sesuatu, tapi sayangnya gue nggak bisa mendengar. Samar-samar gue lihat Toni menunjuk ke bangunan di samping kiri gue.
Dalam satu lirikan, gue tahu arti teriakan mereka. Langkah gue spontan terhenti, saat sebuah balok kayu dengan api berkobar jatuh persis di depan kaki gue. Dekapan di tubuh Indah semakin gue pererat.
Kalau gue terlalu lama berdiri di sini, tentu dengan mudahnya kami terlalap api. Namun, untuk bisa keluar dari kungkungan si jago merah ini pun bukan perkara mudah. Api sudah benar-benar menutup akses jalan ke luar. Suara derit kayu terbakar nggak berhenti menerpa gendang telinga gue.
Dalam satu tarikan napas panjang, gue memutuskan untuk menerobos api. Dengan resiko api bakal menyambar tubuh gue. Itu lebih baik ketimbang terbakar hidup-hidup di sini. Lagipula ada Indah yang harus gue selamatkan.
Tepat saat gue berhasil melompati balok kayu, teriakan Toni kembali terdengar. Namun, kali ini gue nggak lagi bisa mengelak. Hantaman atap rumah yang runtuh menimpa tubuh gue. Refleks gue biarkan punggung sebagai tameng agar bongkahan genteng nggak mengenai Indah.
Hanya pekikan yang mampu gue suarakan, saat sebuah tiang penyangga dari baja jatuh tepat di kaki kiri gue. Suara retakan terdengar jelas. Rasa sakitnya benar-benar nggak tertahankan.
Gue berusaha menarik kaki gue agar terbebas dari timpaan tiang. Namun, dalam hitungan sepersekian detik, runtuhan triplek penuh api secara beruntun menimpa gue. Nggak ada lagi yang bisa gue lakukan selain berdoa agar bantuan segera datang. Panas menyengat menerpa tubuh bawah gue.
Sakit. Panas. Semua bercampur jadi satu. Entah seberapa keras gue teriak, entah seberapa banyak air mata mengalir, tapi nggak juga mengurangi sakit yang menyerang. Gue yakin, api sudah membakar kaki kiri gue. Panas sekali.
Wajah Mami, Papi, Bella, Belva dan Gyan menari-nari di pelupuk mata. Padahal gue belum sempat membuat bangga Mami Papi. Gue masih punya hutang janji ke Bella dan Belva.
Gue mengusap cincin di jari manis dengan ibu jari. Bahkan baru seminggu yang lalu gue menerima lamaran Gyan. Sesak sekali membayangkan akhir hidup gue di sini. Namun, rasa sakit dan sesak yang gue rasa sudah nggak mampu gue tahan.
Bahkan kini pandangan gue sudah kabur. Namun, gue masih bisa merasakan gerakan Indah di bawah gue. "Maafin Kak Cristal," gumam gue di tengah isak tangis.
Samar-samar terdengar sirine pemadam kebakaran, tepat saat gue berada di ambang batas kesadaran.
* * *
Hai ... hai ....
Emak datang lagi bawa judul baru nih ....
Gimana prolognya?
Kurang nyesek nggak?
Kasih masukan dooong ....
Jangan lupa vote, tinggalkan komentar dan masukkan Katastrofe ke perpustakaan kalian, yaaa ....
Terima kasih,
Solo, 01 Maret 2021
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top