»K-9«
"Jadi ... sekarang mereka tinggal di rumah kamu?" tanya Mbak Asoka saat gue menjalani sesi psikoterapi yang kedua. Kali ini kami memilih atap rumah sakit sebagai lokasi konseling. Kata Mbak Asoka, di sini ada penjual kopi yang enak.
Gue mengangguk. "Sudah hampir seminggu ini, Mbak."
"Bagus dong." Mbak Asoka tersenyum cerah sambil manggut-manggut, membuat gue mengerutkan kening bingung.
"Kamu nggak bisa terus-terusan melarikan diri, Cristal. Kamu harus menghadapi ketakutan terbesarmu. Bukannya sampai sekarang kamu masih belum bisa menjawab pertanyaan Mbak minggu lalu?" lanjutnya.
Gue mengiyakan pernyataannya dengan diam. Bahkan sampai sekarang pun gue masih belum bisa mengajak mereka bicara. Halah, jangankan ngomong. Untuk melihat kedua mata mereka secara langsung pun masih begitu susah untuk dilakukan.
"Tapi ... susah, Mbak. Gue nggak bisa bernapas kalau ada di dekat mereka, terutama Indah," aku gue lirih.
"Jelas. Nggak bakal mudah, Cris. Bahkan Mbak yakin, mimpi burukmu semakin sering muncul 'kan?"
Gue mengangguk cepat. Beberapa hari terakhir ini, intensitas mimpi buruk gue semakin sering. Kilasan peristiwanya pun menurut gue tambah menakutkan. Bahkan gue terpaksa minum obat tidur supaya bisa kembali terlelap.
"Semakin kamu lari, semakin kamu menolak untuk mengakui perasaan yang sebenarnya, semakin kamu bersikeras menyalahkan diri, dan semakin kamu berusaha menutup diri dari dunia luar. Maka memori-memori itu akan terus muncul dalam alam bawah sadarmu."
"Lalu gue harus gimana, Mbak?"
Mbak Asoka menyesap kopi hitamnya. "Coba berdamai dengan masa lalu, Cris. Cari tahu lebih jauh, apa yang sebenarnya kamu rasakan. Apa penyebab segala perasaan itu? Lalu ajak masing-masing emosi untuk berdamai."
Jujur, gue sama sekali nggak ada bayangan bagaimana caranya berdamai dengan ingatan buruk itu.
"Pernah lihat orang fobia sama anjing?"
"Memang apa hubungannya, Mbak?"
"Kamu tahu bagaimana cara menyembuhkannya?" Mbak Asoka kembali menyeruput kopinya. "Kami tidak akan menyuruh mereka menghindari anjing, tapi perlahan-lahan kami dekatkan mereka ke sumber rasa takutnya. Dengan menghadapi rasa takut, perlahan-lahan ketakutan itu akan memudar. Begitu juga dengan kamu. Kalau kamu pelan-pelan mendekat ke Indah, sedikit demi sedikit pasti akan terlihat jelas bagaimana perasaanmu yang sebenarnya." Mbak Asoka meremas gelas kertas bekas kopi, lalu membuangnya ke tempat sampah di sebelah meja kami.
"Sebelum kita lanjut ke sesi berikutnya, Mbak mau tanya dulu. Apa kamu mau berjuang untuk sembuh?" tanyanya kemudian.
Meski enggan mengakui, tapi memang kenyataannya gue sedang nggak baik-baik saja. Gue sakit, Jiwa gue butuh bantuan. "Caranya, Mbak?"
Mbak Asoka mengusap punggung tangan gue. "Mbak bakal bantu."
* * *
Nocturne in E Flat Major Op. 9 No. 2 milik Frederic Chopin mengalun dari pemutar musik. Kata Mbak Asoka, dengan mendengarkan musik klasik bisa membuat gue semakin tenang. Gangguan tidur yang gue alami pun bisa teratasi, jika gue rutin melakukannya minimal tiga puluh sampai empat puluh menit sehari selama tiga puluh hari berturut-turut.
Ya, apa salahnya gue mencoba. Toh mendengarkan Chopin nggak membuat gue rugi. Bahkan dari dulu gue memang lebih suka musik lembut ketimbang yang menghentak-hentak. Terdengar lebih nyaman dan ramah di kuping.
Sejak sesi psikoterapi kemarin, beberapa kali gue mencoba untuk mendekatkan diri ke Toni, Budi, atau Indah. Namun, selalu saja gagal. Ada saja gangguan yang membuat gue enggan untuk memulai pembicaraan dengan mereka. Mungkin gue yang terlalu mencari-cari alasan atau belum siap. Seharusnya kalau memang niat, nggak ada alasan yang bisa menghalangi gue 'kan.
"Non, mau makan malam di kamar atau di bawah?" tanya Bi Minah setelah gue mempersilakan masuk.
Hampir saja gue jawab makan di kamar. Namun, pesan Mbak Asoka kembali terngiang. Gue harus mulai membuka diri. Jangan cuma mengurung diri di kamar, tapi harus mulai beraktivitas seperti biasa. Gue harus membiasakan diri untuk menerima apa pun pikiran dan pandangan orang terhadap kecacatan gue.
"Cristal turun saja, Bi."
Apakah jawaban gue semencengangkan itu, sampai-sampai Bi Minah melongo seolah nggak percaya dengan perkataan gue. Walaupun akhirnya senyum semringah muncul di wajahnya.
"Alhamdulillah. Tadi Bi Minah masak tumis brokoli jamur pake udang kesukaan Non Cristal. Terus ada cumi saos padang juga, Non. Awalnya mau bikin ayam lada hitam atau sapi teriyaki, tapi kata Nyonya bosan daging terus," oceh Bi Minah sambil membantu gue pindah dari tempat tidur ke kursi roda.
Tunggu dulu ... kenapa semua makanan laut? Apa Mami nggak tahu kalau Budi ada alergi seafood?
"Ada masakan lain nggak, Bi?"
"Non Cristal, mau makan apa? Nanti Bibi masakin."
Rupanya pertanyaan gue disalahartikan Bi Minah. "Bukan untuk Cristal, Bi."
Bi Minah memencet tombol lift ke lantai bawah. "Lha terus untuk siapa, Non?"
Nama Budi sudah hampir terucap saat bocah itu berlari menyusul kami sebelum pintu tertutup. Sesaat kami berpandangan, sebelum akhirnya Budi menunduk dan melangkah mundur.
"Kamu jadi masuk apa nggak, Bud?" Bi Minah masih menekan tombol agar pintu tetap terbuka.
Budi menggeleng sambil tetap menunduk. "Budi lewat tangga saja, Bi," ucapnya sebelum berjalan menuju tangga.
"Bocah aneh. Ada yang gampang kok milih yang susah," gerutu Bi Minah.
Apa mungkin seharusnya tadi gue menahannya, ya? Ah, nggak tahulah. Kalau bukan hari ini pasti ada kesempatan lain.
Papi sudah duduk di ujung meja makan. Tatapannya terfokus pada ponsel seperti biasa. Mungkin ada hal penting di pabrik yang harus segera diurus. Sedangkan Mami masih sibuk menata makanan di meja. Sudah jadi kebiasaan Mami untuk melayani Papi sendiri. Katanya, istrinya Papi 'kan dia bukan Bi Minah atau Surti.
Mendengar roda bergesekan dengan lantai, membuat Mami menghentikan aktivitasnya. Pandangan Papi pun terputus dari benda pipih nggak bernyawa itu. Mereka benar-benar tampak terkejut dan nggak percaya kalau gue ikut makan di sini.
Mungkin benar kata Mbak Asoka, gue harus lebih memperhatikan sekeliling. Karena nggak semua yang gue pikirkan adalah hal yang sebenarnya. Mengurung diri selama lebih dari sebulan bukannya membuat gue membaik, tapi malah semakin membawa efek negatif ke dalam diri gue.
Sama seperti ekspresi Bi Minah, Papi Mami pun langsung tersenyum lebar menyambut gue. Bahkan Papi langsung menaruh ponselnya begitu saja. Mami menyuruh Surti memindahkan kursi makan. Mami menggantikan Bi Minah mendorong kursi roda gue mendekat ke meja makan.
"Mami senang sekali akhirnya kamu mau makan bersama lagi, Cris." Mami duduk di sebelah gue sambil meremas tangan kiri gue.
Gue melirik ke sekeliling meja. Kenapa cuma ada Papi, Mami dan gue? Hari ini memang jatah libur untuk Juwita, jadi wajar kalau gadis itu nggak ada di sini. Namun, bagaimana dengan Toni, Budi, dan Indah? Apa mereka nggak makan bareng Papi Mami di sini?
"Kamu mau makan apa, Cris?" Mami menyendokkan nasi ke piring gue.
"Apa saja, Mi," jawab gue sambil berusaha melirik pintu ke arah dapur.
"Ini semua lauk kesukaanmu." Mami meletakkan piring gue yang sudah terisi penuh dengan lauk. "Bi, ambilkan minum dingin untuk Cristal, ya."
Memang kebiasaan gue minum air putih dingin setelah makan. Rasanya lebih segar ketimbang air biasa.
"Ini, Buk."
Gue menoleh sekilas saat suara Toni menyapa telinga kanan. Remaja delapan belas tahun itu menunduk sambil meletakkan gelas ke samping piring gue.
"Terimakasih, ya, Ton. Kamu sama adik-adikmu sudah makan belum?"
"Sudah, Buk," jawabnya sebelum undur diri.
"Mereka itu susah dibilangin. Coba kalau kamu yang nyuruh, Cris, mungkin mereka nurut," gerutu Mami.
Gue menoleh sekilas sambil melanjutkan mengunyah. "Maksud Mami apa?" tanya gue setelah makanan di mulut tertelan.
"Mereka tidak pernah mau makan bareng di sini. Selalu saja ada jawaban untuk menolak perintah Mami. Belum lagi tentang makanan, Toni sama Budi itu tidak pernah mau ngambil lauk. Katanya sudah biasa makan nasi putih. Coba kamu nasehati mereka, Cris."
Nafsu makan gue lenyap begitu saja. Bagaimana mungkin nasi yang tengah gue kunyah bisa masuk ke lambung jika pikiran gue berkelana ke kondisi ketiga bocah itu. Ada apa lagi dengan mereka? Apa susahnya nurut? Apa bedanya tinggal di sini dengan di jalan?
"Cris," panggil Papi setelah kami selesai makan. Nasi di piring gue masih tersisa separuh, tapi perut rasanya sudah penuh. "Mumpung kamu di sini, Papi mau bicara bisa?"
Gue nggak tahu ke mana arah pembicaraan Papi, jadi gue memilih diam dulu. Sejak kecelakaan itu, komunikasi gue dengan Papi menjadi renggang. Kami masih sering ngobrol. Biasanya Papi yang datang ke kamar gue, tapi hanya sekadar menanyakan kondisi atau memastikan gue baik-baik saja. Hampir nggak pernah Papi membicarakan sesuatu yang serius.
Mami mendorong gue ke ruang keluarga. Sedangkan Papi sudah berjalan mendahului kami.
"Kata Dokter Yusril, kondisimu sudah benar-benar pulih 'kan?"
Gue mengangguk. "Masih harus rutin kontrol dan melakukan terapi."
Papi berdeham. "Kalau misal Papi minta tolong, berarti kamu sudah bisa 'kan?"
"Minta tolong?" beo gue, masih belum paham.
"Penyuplai tembakau kita yang ada di Citaman dan Nagreg, tahun ini sedang terkena musibah gagal panen. Padahal permintaan pasar sedang tinggi-tingginya, apalagi untuk pasar ekspor, dan Papi terlanjur menandatangani perjanjian dengan pihak luar. Nah, kemarin Pak Burhan berhasil menghubungi tiga penyuplai dari Temanggung, Jawa Timur, dan Deli." Papi menyesap kopi hitamnya. Kebiasaan buruknya belum juga sembuh. Padahal Dokter sudah sering memperingatkan untuk jangan sering-sering minum kopi, tapi Papi masih saja nekat.
"Lalu?" tanya gue saat Papi sudah meletakkan cangkir ke meja.
"Besok lusa rencananya Papi ada janji dengan penyuplai yang dari Temanggung itu."
Gue mengerutkan kening bingung. Apa urusannya dengan gue?
"Tolong kamu temani Papi, ya."
Kerutan di kening gue semakin dalam. Bisa-bisanya Papi meminta gue menemaninya ke pertemuan bisnis. Maksudnya apa coba?
"Bukannya ada Pak Burhan dan Bu Sita, Pi. Kenapa Cristal harus ikut?"
Papi berdeham. "Pak Burhan dan Bu Sita besok terbang ke Deli lalu lanjut ke Jatim untuk observasi perkebunan di sana."
"Kenapa nggak nunggu mereka balik atau minta salah satu dari mereka tinggal sih, Pi?" protes gue nggak setuju dengan permintaan Papi.
"Kamu tahu sendiri, Pak Burhan kurang cocok kalau untuk urusan negosiasi. Dia bisanya di bagian perencanaan. Kalau Papi nyuruh Bu Sita sendirian, rasa-rasanya kurang pantas."
Alasan Papi terlalu mengada-ada. "Bukannya ada pegawai lain, Pi. Kenapa ngajak Cristal sih?"
Papi kembali berdeham. Gue yakin ada sesuatu yang Papi sembunyikan. Karena sudah jadi kebiasaannya kalau berbohong pasti terlihat gugup. "Ada apa sebenarnya, Pi?"
Papi menarik napas pangjang lalu mengembuskan perlahan. "Jadi sebenarnya ... kemarin Papi telepon mbakmu."
Gue bisa menebak siapa yang dimaksud Papi. Pasti Mbak Asoka. "Kenapa Papi telepon Mbak Asoka? Papi pengin tahu apa?"
"Bukannya begitu, Nak." Mami gantian urun suara. "Papi sama Mami cuma pengin tahu apakah kamu sudah siap untuk terjun ke masyarakat atau belum. Karena Mami merasa selama ini kamu selalu mengurung diri. Papi Mami ingin kamu seperti dulu lagi. Mami sudah kangen untuk datang ke arisan bareng kamu. Papi juga tidak sabar untuk memasukkanmu ke jajaran dewan direksi di pabrik. Toh cepat atau lambat, kamu yang bakal meneruskan usaha Papi."
Apa gue nggak salah dengar? Kondisi gue jelas-jelas jauh dari kata baik-baik saja. Bagaimana mungkin mereka ingin gue balik seperti dulu?
"Cristal nggak bisa."
Mami menghela napas panjang. "Kenapa, Nak?"
"Mi, kondisi Cristal sudah nggak sama seperti dulu!" Gue menunjuk kaki kiri yang tinggal separuh.
"Apa yang beda? Buat Papi, kamu tetap Cristal yang dulu. Selalu jadi putri kebanggaan Papi." Papi menatap tajam tepat di netra gue.
Benarkah Papi nggak kecewa dengan kondisi gue saat ini? Namun, gue nggak juga menemukan kebohongan dalam raut wajah Papi.
"Dengar, Nak," Mami meremas telapak tangan gue, "jangan pernah kamu merasa kalau kami malu atau kecewa dengan keadaan kamu sekarang. Karena Papi Mami selalu bangga sama kamu. Mami bangga sudah melahirkan, membesarkan, dan mendidik kamu sampai seperti ini. Kamu rela mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan Indah. Itu suatu kebanggaan untuk Papi Mami, Nak, bukan hal yang memalukan."
Benarkah? Apa gue nggak salah dengar? Papi Mami masih bangga dengan gue, walaupun dengan kaki buntung ini?
"Papi Mami nggak malu punya ... punya anak kayak Cristal?" Suara gue mulai bergetar. Gue takut kalau mereka bilang malu.
Papi berdiri dari duduknya, lalu berjongkok di depan gue. "Ini," Papi menyentuh perban yang menyelimuti bekas lutut kiri gue, "cuma kaki. Anak Papi bukan sekadar ini saja, tapi di sini," Papi menunjuk dada kiri gue, "dan di sini." Papi mengecup kening gue lembut.
Papi membawa gue ke pelukannya sambil mengelus puncak kepala gue. Gue bisa merasakan Papi tengah menangis. Berkali-kali beliau mengecup puncak kepala gue. Membuat tangis gue pecah. Gue mencengkeram erat punggung lelaki pertama di hidup gue.
"Cristal selalu menjadi putri cilik kebanggaan Papi. Cristal selalu jadi permata yang paling bersinar di hidup Papi dan Mami. Selalu."
* * *
Sesuai janji Emak, untuk bab ini sebanyak 2020kata nggak mengandung bawang 'kan.
Untuk bocoran, di bab 10 bakal ada ke-uwu-an yang haquiqui lhooo ....
Jangan lupa vote dan komennyaaa
😘😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top