»K-7«

Emak ingetin sekali lagi, jangan lupa pencet bintang dulu sebelum baca.
Ngasih vote nggak bikin pulsa berkurang kok, Gaes.
Komentar yang banyak juga boleh.

Sejak sesi kontrol dengan Dokter Yusril minggu lalu, jadwal pengobatan gue seolah nggak ada habisnya. Setiap Senin gue harus menjalani fisioterapi elektromagnetik yang nggak gue ketahui namanya. Selasa jadwalnya stimulasi otak. Rabu harus ketemu Dokter Faiz—dokter syaraf. Kamis balik lagi ke Dokter Yusril. Hari ini gue mesti menjalani gymnasium dan besok jadwalnya psikoterapi.

Jujur, gue nggak siap menjalani gym kali ini. Kata Dokter Yusril, gue harus mulai latihan fisik karena Mami pengin gue mulai pakai kruk. Sedangkan gue sampai detik ini belum mau mengumbar kecacatan ini ke mana-mana. Gue belum siap.

"Mbak Cristal, kita masuk sekarang, ya." Juwita mendorong kursi roda memasuki ruangan.

Dinginnya ruang semakin membuat kedua telapak tangan gue membeku. Walau gue nggak asing dengan berbagai alat gym yang ada di ruangan, tapi tetap saja membuat bulu kuduk meremang. Gue sering nge-gym. Dulu, saat tubuh gue masih lengkap.

Kalau hanya treadmill, static bicycle, ball therapy, dan barbel, bukan hal baru buat gue. Namun, memakai semua alat itu setelah kaki gue diamputasi, membutuhkan nyali ekstra. Terlebih ditonton orang-orang di ruangan ini.

"Tenang saja, kita mulai perlahan dari yang itu." Seorang laki-laki menunjuk lintasan jalan dengan palang besi di kedua sisinya. "Kamu Cristal 'kan? Kenalkan ... saya Leonidas, penanggung jawab terapimu. Panggil saja Leon."

Pria setinggi kurang lebih 180 senti, dengan kulit coklat dan tubuh atletis, mengulurkan tangan kanannya. "Cristal," balas gue singkat.

"Tadi pagi sudah sarapan 'kan?" Leon mendorong gue mendekati lintasan jalan.

Gue mengerutkan kening, memandangnya bingung. Memangnya kenapa kalau belum?

"Biar kuat." Pria yang gue taksir berumur sekitar akhir dua puluhan ini sedang mengunci roda di kursi gue sambil memamerkan deretan gigi putihnya.

Gue mengepalkan kedua tangan erat, saat Juwita mengambil selimut yang menutupi kaki. Tadi gue bersikeras memakai bawahan rok rumbai semata kaki, tapi Juwita mati-matian menolak. Dia menggantinya dengan celana leging sepaha. Katanya supaya lebih leluasa untuk latihan fisik. Namun, bagi gue ini sama artinya mengekspos kaki buntung yang masih tertutup perban.

Gue menundukkan muka, nggak sanggup melihat tanggapan Leon dan beberapa orang di dalam ruangan. Kalau bukan demi Mami yang memohon supaya gue mematuhi perintah Dokter Yusril dan Dokter Faiz, gue lebih memilih segera cabut dari sini.

"Kamu sudah siap?" Leon berjongkok di depan gue sambil tersenyum. "Jangan pedulikan orang-orang di sini. Mereka sudah sibuk dengan latihan masing-masing."

Pelan-pelan gue angkat wajah lalu mengamati sekitar. Benar kata Leon. Nggak ada yang melihat ke arah gue.

"Kamu tidak sendiri. Mereka pun berjuang keras untuk bisa bergerak normal dengan tubuh barunya. Kamu lihat bapak-bapak itu?" Leon menunjuk seorang laki-laki paruh baya dengan bekas amputasi di kedua kakinya, yang tengah latihan berjalan dengan kaki palsu.

"Namanya Pak Muchtar. Hampir satu tahun lalu beliau mengalami kecelakaan yang membuatnya terpaksa harus merelakan kedua kaki," sambung Leon.

Gue menelan ludah dengan susah payah. "Beliau bisa berjalan?" tanya gue nggak percaya.

Leon nggak menjawab. Dia hanya tersenyum.

"Butuh ... berapa lama?" tanya gue lagi.

"Bicara masalah waktu ... itu sangat relatif. Tergantung niat dan kesungguhan. Karena untuk bisa sampai di tahap seperti beliau, bukan suatu hal yang mudah." Leon menepuk punggung tangan kanan gue, lalu melanjutkan ucapannya, "Entah berapa liter keringat dan air mata yang terbuang demi mencapai keberhasilannya saat ini."

Dulu gue pernah melihat bagaimana kaum difabel seperti kami ini berlatih fisik. Walau hanya lewat Youtube, tapi gue tahu perjuangan mereka nggak gampang. Pertanyaannya, apakah gue sanggup?

"Kamu pasti bisa." Ucapan Leon seolah menjawab pertanyaan di benak gue. "Kita cuma perlu menguatkan otot kaki kananmu, kedua lengan, latihan kardiovaskular, memastikan lukamu sudah sembuh total, dan satu hal yang harus kita lakukan ...."

Gue kembali menatap Leon, menunggunya melanjutkan penjelasan.

"Kita harus membuang kursi roda jelek ini."

Gue mengerjap mendengar kalimat terakhirnya. "Nggak!" tolak gue tegas. Tanpa sadar gue mencengkeram pegangan di kursi.

Leon mengembuskan napas pelan sambil tersenyum. "Tenang, Cristal," Leon mengurai jari-jenari gue hingga melepaskan pegangan kursi roda, "kita akan melakukannya perlahan-lahan."

"Bukan sekarang?" tanya gue dengan suara bergetar.

"Tentu saja tidak. Hari ini kita belajar menapak dulu. Nanti setelah kamu siap, kita berlatih menggunakan kruk. Saya sangat berharap kamu bisa segera siap. Karena saya tidak sabar melihatmu kembali berjalan."

Mungkin karena sudah jadi pekerjaan hariannya bertemu dan berhadapan langsung dengan orang cacat seperti gue, membuat Leon terlihat tenang. Bahkan ucapan-ucapannya cukup membuat gue yakin bahwa semua bisa gue lalui. Atau mungkin karena senyumnya yang menurut gue terlihat tulus yang bikin gue mempercayainya, sehingga tanpa bujuk rayu dari Juwita pun gue berhasil berdiri dengan satu kaki.

Jujur, gue sempat takut dan malu. Bagaimana kalau gue gagal berdiri? Bagaimana kalau gue jatuh dan ditertawai orang-orang? Bagaimana kalau gue terlihat memalukan dan menyedihkan dengan melompat-lompat seperti kangguru?

Namun, semua hanya ada di pikiran gue. Nggak ada seorang pun yang bahkan melirik saat kaki gue tergelincir. Mereka terlalu fokus pada kegiatan masing-masing seperti kata Leon. 

"Nah, jadi tidak ada lagi alasan untuk menunda dan bermalas-malasan saat sesi terapi 'kan?" Mbak Asoka mendorong gue menuju taman di bagian tengah rumah sakit.

Gue mengangguk. "Lalu, gue harus bagaimana, Mbak?" tanya gue setelah tadi menceritakan tentang keberatan awal gue untuk menjalani sesi fisioterapi.

Mbak Asoka mengunci roda di kursi, lalu duduk di bangku depan gue. Kami saling berhadapan. Untung saja untuk sesi psikoterapi, Dokter Yusril menyerahkan sepenuhnya ke gue untuk memilihnya. Tentu saja gue meminta Mami untuk menghubungi Mbak Asoka. Kebetulan tiap Sabtu, Mbak Asoka ada jadwal praktik di rumah sakit ini. 

Tadi begitu gue memasuki ruang praktiknya, Mbak Asoka langsung mengajak berjalan-jalan ke taman. Katanya supaya tidak terlalu tegang. Gue juga merasa lebih nyaman. Kalau konsultasi di ruang tertutup, gue benar-benar merasa seperti orang gila. Dan lagi berada di bawah pohon rindang seperti ini disertai embusan angin sepoi, membuat gue lebih santai.

"Kalau menurut kamu bagaimana, Cris? Apa yang menurutmu lebih penting dan harus diubah?"

Gue terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menggeleng. "Gue nggak tahu harus bagaimana, Mbak."

Mbak Asoka menyandarkan punggungnya ke bangku taman. "Apa yang kamu rasakan sekarang, Cris?"

Gue memandang kolam yang berada di tengah taman. "Apa yang gue rasakan?" beo gue sambil memikirkan jawaban untuk pertanyaannya.

"Sedih, kecewa, marah, malu, nggak percaya diri?" Gue balik bertanya padanya.

"Bisa tolong kamu jelaskan maksud dari masing-masing perasaanmu, Cris?"

Seharusnya itu kalimat perintah 'kan? Namun, gue sama sekali nggak merasa seperti itu. Yang gue dengar malah semacam pertanyaan. "Siapa yang nggak sedih kalau harus jadi orang cacat seperti ini, Mbak? Gue merasa nggak lagi berguna. Gue yang biasanya bisa melakukan segala sesuatu sendiri, sekarang harus dibantu Juwita. Bahkan untuk urusan ke kamar kecil pun butuh bantuan orang lain. Gue nggak lagi bisa melakukan semua aktivitas yang biasa gue lakukan. Hidup gue hancur, Mbak. Gue udah nggak punya apa-apa lagi yang bisa dibanggakan. Gue udah bikin Mami Papi malu. Gue bikin harapan mereka ke gue hancur.

"Gue marah sama diri gue sendiri. Gue kecewa. Gue malu. Bahkan melihat diri gue di cermin pun rasa-rasanya nggak sanggup, Mbak. Gue merasa tubuh gue memalukan. Sampai-sampai Gyan nggak sudi lagi pacaran sama gue. Dia ... dia nggak sanggup punya pacar cacat seperti ini." Air mata sudah nggak mampu lagi terbendung, tapi rasa-rasanya mulut gue nggak bisa berhenti menyemburkan isi hati.

"Gue sebagai putri tunggal keluarga Yuwono, merasa gagal untuk membanggakan keluarga. Gue yang digadang-gadang sebagai penerus Papi di perusahaan, ternyata hanyalah orang cacat yang nggak berguna. Gue nggak sanggup melihat Papi Mami sedih. Gue nggak sanggup melihat mereka malu gara-gara punya anak seperti gue. Gue nggak bisa kalau mereka bakal menerima hinaan dari orang-orang karena punya anak berkaki satu macam gue. Gue ... gue rasanya pengin mati saja, Mbak ...."

Mbak Asoka memberi selembar tisu, lalu membelai bahu gue lembut. Nggak ada sedikit pun komentar atau bantahan atau nasehat yang terucap, hingga tangis gue reda.

"Kamu sedih, marah, kecewa, malu. Apa itu artinya, kamu menyesal sudah menyelamatkan Indah?"

Pertanyaan Mbak Asoka menampar gue dengan keras. Dengan susah payah gue menelan air liur untuk membasahi kerongkongan yang tiba-tiba mengering. Apa benar gue menyesal?

"Mbak Asoka bantu deh. Misal, kamu diberi satu kesempatan berada di waktu dan situasi yang sama, tapi kamu sudah tahu masa depanmu bakal seperti ini, apa yang akan kamu lakukan? Apa tetap balik ke rumah Toni untuk menyelamatkan Indah atau membiarkan bocah itu begitu saja?"

Gue menggeleng sebagai tanda nggak tahu. Gue benar-benar nggak bisa membayangkan jika berada di situasi yang sama. Membiarkan Indah begitu saja, sama artinya gue seperti monster yang tega membiarkan bocah itu mati terbakar hidup-hidup. Namun, kehilangan kaki kiri juga membuat gue merasa seperti monster buruk rupa.

* * *

Hingga sesi konseling berakhir pun, gue masih belum bisa menjawab pertanyaan Mbak Asoka. Katanya, gue harus memikirkannya dan siap menjelaskan padanya di sesi selanjutnya minggu depan. Hal itulah yang membuat gue banyak merenung. Bukan mengurung diri, tapi berpikir. Kata Mbak Asoka, gue harus banyak-banyak menghirup udara segar supaya terlihat lebih hidup.

Gue nggak pernah menyangka, permintaan gue untuk berjemur sambil membaca di taman depan pagi ini, ditanggapi antusias oleh Mami dan Papi. Gue pikir, mereka bakal malu karena nggak menutup kemungkinan ada tetangga yang melihat gue. Namun, kenyataannya mereka begitu mendukung gue. Bahkan Papi langsung memerintahkan Pak Man untuk meletakkan bangku di tengah taman. Sedangkan Mami sibuk menyiapkan minuman dan berbagai camilan untuk menemani gue membaca buku di taman.

Ternyata benar kata Mbak Asoka, udara terbuka membuat otak gue kembali berfungsi. Dengan melihat awan cerah disertai cicitan burung-burung peliharaan Papi, sedikit banyak membuat gue bersyukur atas nikmat yang Tuhan beri. Gue masih punya orang tua yang penuh kasih sayang, gue masih punya rumah, bahkan gue bersyukur masih bisa bernapas dan menikmati semua ini hingga sekarang. Hingga tanpa sadar gue tersenyum. Entah sudah berapa lama gue nggak merasakan kedamaian seperti ini. Padahal cuma berjemur.

"Non Cristal."

Gue menoleh ke sumber suara. "Ya, Bi?"

Bi Minah terlihat gugup. Berkali-kali ia membuka tutup mulut, seperti ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Ada apa, Bi?" tanya gue lagi.

"Itu, Non ... itu ... ada yang nyari Non Cristal."

Gue mengerutkan kening. Siapa kira-kira yang mencari gue? Biasanya Bella, Belva, Gio langsung masuk, tanpa harus minta ijin. "Siapa, Bi?

"Toni, Budi, dan Indah, Non."

* * *

Yang baca Intersection Love, pasti tahu Asoka itu siapa.
😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top