»K-6«
Buat pembaca Katastrofe, terima kasih sudah setia menunggu tiap bab yang Emak publish.
Terima kasih buat vote dan koment-nya yang bikin mood booster banget ....
❤❤❤
Buat silent riders, makasih juga deeeh ....
Emak mah gitu orangnya, semua harus disyukuri .....
Tapi ... kalau bisa siiih tetep pencet bintang alias vote di tiap bab yaaa.
"Kebakaran!" Teriakan orang-orang yang tengah berlarian saling bersahut-sahutan.
"Lari, Bud!" Gue meneriaki Budi yang masih sibuk menyingkir-nyingkirkan barang.
"Ambil air, Ton! Cepet padamin sebelah sono!" Entah siapa lagi yang berteriak. Gue bingung. Terlalu banyak orang. Terlalu ramai.
"Indah! Indah!" Gue memanggil bocah itu berulang kali. Api semakin membesar, hingga pintu masuk pun menjadi merah membara. Api menyelimuti rumah Toni.
"Kak Cristal, Indah takut," ucap Indah dengan suara bergetar.
Gue memeluk tubuh ringkih Indah, tapi api semakin membesar. Melalap setiap inci bagian rumah. Atap runtuh menimpa gue dan Indah. Kobaran api semakin membumbung tinggi, menyambar tubuh gue.
"Tolong! Tolong!" gue berteriak sekeras mungkin, tapi nggak ada seorang pun yang datang menolong. Tubuh gue diselimuti kobaran api. Panas. Rasanya sungguh nggak tertahankan.
"Tolooong! Panas!"
"Mbak ... Cristal! Mbak Cristal!"
Samar-samar gue mendengar seseorang memanggil gue. Namun, suaranya sangat jauh. Gue nggak bisa menggapainya.
"Mbak ... Mbak Cristal!"
Goncangan di bahu membuat gue tersentak. Mata gue nyalang menatap langit-langit kamar. Napas gue memburu nggak beraturan dengan detak jantung yang meningkat. Gue di mana? Tadi itu apa? Apa gue mimpi lagi?
"Mbak Cristal, minum dulu." Juwita membantu gue duduk, lalu menyerahkan segelas air mineral.
Gue menerima gelas dengan tangan masih gemetar akibat mimpi buruk barusan. Sudah lebih dari seminggu ini—sejak pulang ke rumah—pasti kejadian itu terulang lagi dalam tiap gue tidur. Entah itu siang atau malam, selalu saja membuat gue kembali teringat semuanya.
Padahal di hari ke dua, gue sudah memerintahkan Bi Minah untuk membuang seluruh benda yang nggak lagi berguna. Segala tetek bengek yang berhubungan dengan Gyan pun sudah dikeluarkan dari kamar.
"Mimpi buruk lagi, Mbak?" Juwita menerima gelas yang telah gue tandaskan, lalu meletakkan ke nakas samping tempat tidur.
Jarum jam menunjukkan pukul dua, pantas saja di luar masih gelap. "Lo balik tidur lagi saja, Ju."
Kasihan juga Juwita, setiap malam pasti terganggu dengan teriakan gue. Bahkan di hari ke dua dia memutuskan tidur di lantai kamar, demi menunggui gue tidur.
Setelah membantu mengambilkan obat tidur hingga gue kembali berbaring, Juwita kembali ke kamarnya. Sedangkan gue terlanjur terjaga, rasanya susah untuk memejamkan mata lagi walau sudah dibantu dengan obat. Mungkin obatnya butuh waktu untuk bekerja. Akhirnya gue memutuskan untuk berselancar di dunia maya.
Baru kali ini gue memberanikan diri melihat semua media sosial. Ratusan pesan pribadi masuk di seluruh akun yang gue punya. Kebanyakan hanya mengucapkan keprihatinan atas musibah yang menimpa gue. Ya, apalagi yang bisa gue harapkan?
Atensi gue terarah pada sebuah postingan di feeds Instagram. Gyan baru saja meng-upload foto. Memang bukan gaya gue kalau putus lalu saling mem-blokir akun mantan. Sebenarnya Bella dan Belva sudah menyuruh untuk menghapusnya, cuma gue belum sempat saja.
Ada sesuatu hal yang membuat gue tergelitik untuk menggeser ke foto selanjutnya. Seharusnya gue nggak perlu lagi memedulikan laki-laki satu itu. Seharusnya gue mulai belajar membuangnya jauh-jauh dari ingatan. Namun, kebodohan seolah membutakan segala nalar yang tersisa.
Gue tertawa getir begitu selesai menggulir layar hingga foto ke tujuh. Dengan wajah yang masih lebam-lebam, Gyan terlihat tertawa lepas di setiap pose yang berlatar belakang pantai. Nggak ada sedikit pun tampak kesedihan atau rasa galau dalam raut wajahnya. Bahkan yang ada gurat kebebasan.
Rasa penasaran gue semakin tinggi. Akhirnya gue masuk ke akunnya demi melihat postingan sebelum-sebelumnya. Tawa sumbang kembali lolos dari bibir gue. Sejak kapan Gyan jadi sok puitis dengan membuat berbagai quotes sedih. Berbeda sekali dengan foto setelah kami putus. Seolah baginya, memutuskan hubungan dengan gue adalah suatu berkah tersendiri.
Gue sedikit menyesal karena Belva gagal mematahkan tulangnya. Bisa-bisanya Gyan piknik dengan gembira setelah memutuskan gue sedemikian kejamnya. Apa yang kemarin dia bilang? Nggak tega melihat gue sengsara? Halah, omong kosong! Ternyata dia yang nggak sanggup bertahan sama cewek cacat macam gue.
Dalam sekali tekan, gue hapus akunnya dari daftar pertemanan. Sempat ada keinginan untuk memblokirnya, tapi buat apa? Toh gue nggak bakal kepingin tahu tentang cowok itu lagi. Pun gue yakin Gyan nggak bakal menghubungi gue lagi.
* * *
"Coba kaki kanan digerakkan, Mbak," ujar Juwita sambil memegangi paha kiri gue.
Dalam posisi terlentang, gue dilatih untuk mengangkat kaki satu per satu. Hampir setiap pagi-siang-sore, Juwita menstimulasi kedua tungkai gue agar tidak kaku. Awalnya gue menolak. Buang-buang tenaga saja. Namun, karena setelah dua minggu di rumah gue masih belum juga bisa ke kamar mandi sendiri, maka mau nggak mau gue harus melemaskan otot kaki.
Sekarang gue mulai bisa berdiri dengan kaki kanan, walau masih harus berpegangan. Dokter Yusril menyarankan untuk memakai kruk. Katanya selain bisa membantu menyeimbangkan tubuh, otot-otot tangan dan kaki gue akan menjadi lemas. Namun, gue menolak.
Gue bisa ke kamar mandi dengan pegangan. Papi menyuruh orang untuk memasang besi pegangan di sepanjang tembok di kamar gue. Sehingga lebih memudahkan gue untuk berpindah tempat. Lagian buat apa pakai kruk? Toh sehari-hari gue terus di kamar.
Sekarang dunia gue hanya seluas enam kali tujuh meter persegi. Segala kebutuhan gue sudah terpenuhi di sini. Bi Minah nggak pernah telat mengantar makanan untuk gue. Televisi yang nggak pernah lagi gue lihat pun ada. Berbagai jenis buku bacaan tersedia.
"Sekarang coba angkat kaki satunya." Juwita ganti memegangi kaki kanan dan membiarkan gue mencoba menggerakkan paha kiri.
Susah sekali. Perasaan gue sudah berusaha sekuat tenaga. Namun, jangankan terangkat, paha gue cuma bergeser beberapa senti. Kata Juwita sudah ada kemajuan. Dia menyuruh gue mengulanginya.
Gue mengernyit kesakitan saat mencoba kembali mengangkat paha kiri. Rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk tiba-tiba menyerang kaki kiri gue. Ya. Bukan di paha, tapi bekas kaki gue. Ini bukan kali pertama. Sudah sejak lama gue merasakan keanehan di tungkai kiri. Terkadang ada rasa kebas, kesemutan, bahkan sensasi panas seperti terbakar gue rasakan. Namun, kali ini berbeda.
"Panas, Ju. Sakit banget!" pekik gue saat serangan rasa panas serta kram begitu hebat melanda. Saking sakitnya, gue sampai menggigit bibir bawah.
"Bagian mana yang sakit, Mbak?" Juwita merotasi sekitar bekas amputasi gue dengan perlahan.
"Di ... di kaki ... kiri, Ju." Gue sendiri juga nggak yakin, tapi saat nyeri itu kembali hadir, gue pastikan kaki kiri gue yang diserang. Bagaimana mungkin? Bukankah gue sudah nggak punya kaki?
"Paha kiri bekas lukanya, Mbak?" Juwita masih memijat perlahan kaki gue.
Gue menggeleng keras. "Kaki gue, Ju!" jawab gue di tengah pekik dan rintih kesakitan. Bahkan rasanya hampir sama saat gue berada di kepungan api waktu itu.
* * *
"Kemungkinan besar, Cristal mengalami Phantom Limb Syndrome," ujar Dokter Yusril saat akhirnya Mami memaksa gue memeriksakan diri.
Sudah hampir seminggu, gue terus-terusan merasa bahwa kaki gue masih ada. Rasa kebas, kesemutan, nyeri seperti di tusuk-tusuk bahkan panas terbakar sering mendera. Gue awalnya mengira ini efek dari dihentikannya obat anti nyeri. Namun, sakitnya nggak bisa lagi gue tahan.
Sebenarnya gue enggan untuk periksa ke Dokter Yusril. Gue takut dikira gila. Bagaimana mungkin kaki yang sudah nggak ada, tapi masih bisa merasakan sakit. Gue nggak mau dicap gila gara-gara cacat di tubuh gue.
"Itu ... apa, ya, Dok?" Pertanyaan Mami mewakili gue. Karena jujur, gue sedikit lega. Ternyata ada istilah medis untuk permasalahan yang gue alami.
"Phantom limb syndrome merupakan kondisi di mana rasa nyeri, gatal, kesemutan, atau mati rasa terjadi berkelanjutan pada bagian tubuh yang telah diamputasi. Sekitar 60 – 80% orang yang pernah menjalani amputasi mengalaminya."
Mami memajukan tubuh hingga menempel pada tepian meja. "Bahaya atau tidak, ya, Dok?"
"PLS tidak membahayakan Cristal secara langsung, Bu. Dalam artian jika kita diamkan begitu saja tanpa adanya pengobatan, yang terkena dampak lebih pada psikis Cristal, Bu. Rasa sakit pada bagian tubuh yang jelas-jelas sudah tidak ada, tentu bukan suatu hal yang bisa disepelekan. Namun, Bu Fatimah dan Cristal tidak perlu cemas. PLS bisa kita alihkan dan bisa sembuh."
Mami meremas telapak tangan gue sambil tersenyum lega. "Saya minta yang terbaik untuk putri saya, Dok. Apa pun pengobatan dan berapa pun biayanya, saya setuju. Yang penting Cristal tidak merasa kesakitan lagi."
Gue membuang napas pelan. Perkataan Mami begitu tegas, nggak bisa gue bantah. Jadi percuma juga kalau gue menolak. Walau sebenarnya gue merasa sia-sia mengikuti serangkaian prosedur pengobatan.
Rasanya malas jika membayangkan obat-obatan yang bakal gue minum. Belum lagi fisioterapi yang harus gue jalani. Entah apa tadi istilahnya, mirror box or something like that. Ada juga terapi gelombang elektomagnetik atau apalah itu. Dan satu lagi yang paling gue hindari. Sesi konseling dan psikoterapi.
Karena gue nggak gila. Gue cacat, tapi bukan orang nggak waras.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top