»K-5«
Hallooo ....
Gimana bab 4 kemarin?
Ada yang tiba-tiba tekanan darah naik gara-gara si Gyan?
Jangan khawatir, bab 5 ini lebih selow.
Jangan lupa, seperti biasa:
1. Follow akun Emak
2. Vote di tiap bab
3. Koment sebanyak mungkin
4. Masukin Katastrofe ke perpus biar tahu kalau Emak publish bab baru
"Cris, hadiah yang untuk anak-anak sudah kamu masukkan ke mobil?" tanya Mami sambil merapikan tatanan rambut. Hari ini rencananya kami akan melakukan kunjungan rutin ke panti asuhan milik Bunda Dahlia.
"Sudah semua, Mi." Gue memasukkan handycam ke tas ransel. "Kok tumben cuma bikin lima puluh bingkisan, Mi? Biasanya 'kan lebih."
"Kata Bunda Dahlia, sebagian anak baru pulang kampung," ujar Mami seraya memasukkan lipstik ke quilted bag hitam yang belum pernah gue lihat. Kalau nggak salah minggu kemarin Mami dan Tante Dinar baru dari Paris, mungkin barang itu dibeli di sana.
"Bella tidak kamu ajak, Cris?"
Gue mengikuti Mami ke ruang makan. "Libur-libur begini, Bella jelas kencan sama Gio, Mi."
"Kamu sendiri tidak pergi sama Gyan?" Mami menuang jus jeruk lalu memberikannya ke gue.
Gue menghabiskan jus jeruk dalam satu napas. "Gyan nganter ibunya ke kondangan. Paling nanti malam dia baru ke sini."
"Mami lihat sejak pacaran sama Gyan, kamu jadi lebih sering di rumah."
"Bagus 'kan, Mi. Cristal jadi bisa berhemat."
"Bagus sih, asal jangan sampai mengubah hobimu." Mami merapikan kerah kemeja gue. "Kamu sudah siap belum?"
Gue merotasikan bola mata. "Nggak lah, nyatanya Cristal masih sering ikut kegiatan Klub Esmerald. Mami udah selesai belum? Dari tadi Cristal cuma nunggu Mami, lho."
Mami tertawa lalu mengambil tas. "Ya, sudah. Kita berangkat sekarang?"
"Sesuai titah Ibu Ratu."
Pak Man membukakan pintu untuk Mami. Sudah hampir dua puluh lima tahun, beliau ikut keluarga gue. Awalnya dia supir di pabrik, tapi karena sikap dan kinerjanya yang tenang akhirnya Papi menjadikan Pak Man sebagai supir pribadi Mami. Gue sudah menganggap Pak Man seperti paman gue sendiri. Terlebih Bi Minah yang notabene istri Pak Man adalah pengasuh gue sejak orok.
"Mi, nanti pulang dari panti, Cristal nebeng sampai Anggrek, ya. Barusan Bella ngajak kumpul di sana," pinta gue sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Sejak kapan dari panti bisa lewat Anggrek?" Mami melepas kacamata hitam sambil mengerutkan kening.
"Lewat, Mi. Coba tanya Pak Man, deh. Iya, 'kan, Pak?"
Pak Man hanya tersenyum menanggapi permintaan gue. Sedangkan Mami cuma geleng-geleng. "Nebeng kok jauhnya kebangetan," gerutunya.
Gue pura-pura cemberut. "Jadi ... nggak ikhlas nih nganter anaknya?"
Mami mengacak rambut gue. "Kapan Mami bilang nggak ikhlas?"
"Ih, Mami! Rambut Cristal jadi berantakan 'kan." Gue merapikan lagi anak rambut yang berantakan karena ulah Mami. "Papi kapan pulang, Mi?"
"Katanya lusa. Kenapa? Kamu sudah kangen?"
"Cristal nunggu oleh-olehnya, Mi. Kemarin waktu video call, Cristal minta dibawain coklat."
"Coklat? Sejak kapan kamu suka makan makanan manis?"
"Bukan buat Cristal, Mi, tapi untuk anak-anak rumah kalong. Cristal sudah janji bakal belikan mereka coklat sama permen."
Mami tertawa lepas. "Kamu itu keterlaluan sekali. Masak nyuruh Papi beli permen coklat? Terus bukan buat kamu pula."
Gue memonyongkan bibir. "Biarin aja. Lagian nggak mungkin Papi yang beli sendiri. Cristal yakin, Papi bakal nyuruh orang kok. Sebenarnya kalau Papi nggak mundurin jadwal pulang, coklatnya juga mau Cristal bagi-bagiin di panti."
"Kamu itu, ya, selalu saja mikirin orang lain. Kenapa nggak minta oleh-oleh untuk kamu sendiri?"
Gue gantian mengerutkan kening. "Cristal mau minta apa lagi sih, Mi? Cristal sudah punya semua yang Cristal mau."
Percakapan kami terhenti saat mobil sudah memasuki halaman panti. Dari jauh gue sudah bisa melihat anak-anak berkumpul di depan seperti biasa. Gue nggak pernah bosan untuk berkunjung ke panti milik Bunda Dahlia. Selain penerimaan mereka yang luar biasa ramah, anak-anaknya pun sangat sopan, tapi yang paling gue suka adalah ngobrol dengan Mbak Asoka. Entah karena beliau seorang psikolog atau memang pembawaannya yang dewasa, setiap gue mencurahkan beban pikiran, rasanya langsung lega. Nyaman banget kalau komunikasi dengannya.
"Halooo ...." Gue berlari kecil demi menyapa anak-anak dengan riang.
"Kak Cristal!" Mereka pun nggak kalah antusiasnya dengan gue. Bahkan si kecil Sasi langsung menghambur ke pelukan gue.
"Kalian kangen nggak sama Kak Cristal?" Gue sudah berjongkok dengan dikelilingi bocah-bocah berbau bedak bayi. Pasti ini kerjaan Kembang---asisten rumah tangga Mbak Asoka. Dia selalu beranggapan, anak dengan muka penuh bedah terlihat lucu dan menggemaskan.
Jawaban kompak langsung terdengar membahana di kuping. Rugi banget kalau sampai gue melewatkan momen penuh sukacita ini.
"Kak Cristal juga kangen sama kalian semua. Ngomong-ngomong, Mami Fatim punya oleh-oleh buat kalian, lho. Mau nggak?"
Melihat anggukan penuh antusias serta raut muka sarat akan kebahagiaan selalu menjadi mood booster bagi gue. Rasa-rasanya kehadiran gue bisa sedikit menghibur mereka. Setidaknya sedikit kasih sayang yang gue beri, bisa mengganjal kekosongan dalam hidup mereka.
Namun, itu dulu. Kenangan indah saat gue masih jadi gadis sempurna. Saat hidup gue berasa nggak ada cela. Sebelum kebakaran di rumah kalong merenggut kaki kiri gue.
Sekarang gue merasa nggak ada bedanya dengan anak panti, anak rumah kalong, dan anak-anak di rumah singgah. Cacat ini membuat gue menjadi senasib dengan mereka. Gue merasa hampa. Kosong. Nggak ada lagi semangat hidup.
"Mbak Cristal, kita sudah sampai." Ucapan Juwita---perawat yang disewa khusus oleh Mami untuk merawat gue di rumah---membuyarkan lamunan gue tentang masa lalu.
Gue mengedarkan pandang ke bangunan yang berdiri megah di depan gue. Empat minggu lalu, ketika gue keluar dari rumah ini, gue nggak pernah mengira bakal pulang dengan kondisi yang berbeda 180 derajat.
"Pak Man bantu, ya, Non."
Pak Man mengambilkan kursi roda dari bagasi, lalu menempatkan tepat di sebelah pintu. Sedangkan Juwita berdiri di depan pintu, bersiap memapah dan mendudukkan gue ke kursi roda.
Juwita meminta gue menurunkan kaki kanan terlebih dahulu. Dia berjanji akan memegangi gue agar nggak jatuh. Kedua bahunya gue jadikan sebagai pegangan saat kaki kanan menapak di tanah. Namun, nggak berjalan mulus. Gue nggak bisa menyeimbangkan tubuh, sehingga oleng. Juwita yang semula memegangi pinggang dan selimut pun seperti nggak siap menopang berat tubuh gue. Dia ikut-ikutan terhuyung, hingga selimut yang gue pakai untuk menutupi kaki cacat ini terjatuh.
"Bisa kerja nggak sih lo?" damprat gue sambil kembali duduk di kursi mobil.
Gue paling nggak suka memperlihatkan kaki ini ke orang lain. Gue benci dengan tatapan ingin tahu dan kasihan mereka.
"Ada apa, Sayang?" Mami mendekati kami.
"Kalau kerja yang bener dong!" semprot gue lagi.
Mami memicing sedetik sambil mengembuskan napas perlahan. "Pelan-pelan saja, ya, Ju." Mami menepuk bahu Juwita.
"Maaf, Bu, Mbak. Kita coba lagi, ya," ucap Juwita tenang.
Sedikit pun gue nggak melihat ada amarah atau kekecewaan di mukanya. Halah, munafik! Pasti di dalam hati, dia sudah mengata-ngatai gue. Mana ada orang yang nggak marah kalau diperlakukan kasar.
"Nggak usah! Gue bisa sendiri!" Gue menepis tangan Juwita agar melepaskan pegangannya.
Gue mengambil napas panjang sebelum mencoba menjejakkan kaki kanan ke tanah. Gue harus bisa. Kedua tangan gue pakai untuk berpegangan pada rangka mobil. Dalam hitungan ke tiga, gue mengangkat pantat dari dudukan kursi. Gue berhasil berdiri dengan satu kaki. Namun, hanya dua detik. Karena pada detik ke tiga, gue kembali luruh ke tanah.
Teriakan Mami dan pekikan Pak Man membuat gue terdiam. Keterkejutan mengalahkan rasa sakit yang terasa di bekas kaki kiri. Gue tetap bergeming saat mereka membopong, mendudukkan hingga mendorong gue masuk rumah.
"Juwita, bukankah kaki kanan Cristal tidak kenapa-kenapa, ya?" Pertanyaan Mami mewakili keheranan gue.
Kata Dokter Yusril, bekas luka bakar dan operasi plastik di kaki kanan gue sudah membaik. Bahkan katanya sudah bisa bergerak normal. Namun, kenapa untuk menopang tubuh saja nggak kuat? Ketakutan menjadi lumpuh pun tiba-tiba mendera.
"Karena selama sebulan ini kakinya jarang digunakan, jadi ototnya menjadi kaku, Bu. Seperti saran Dokter Yusril kemarin, sebaiknya Mbak Cristal segera menjalani fisioterapi. Supaya otot-otot kaki dan tangan jadi lebih lemas dan siap untuk latihan berjalan."
Jalan? Hah! Mimpi apa lagi itu? Untuk berdiri saja kaki gue sudah nggak kuat, apalagi jalan. Bisa-bisa gue mempermalukan diri di muka umum. Lagipula, gue nggak mau jalan dengan kondisi seperti ini. Lebih baik pakai kursi roda seumur hidup.
"Non Cristal, siang ini mau makan apa? Bi Minah akan buatkan apa saja yang Non mau."
Gue tersenyum miring. Apa dia pikir gue ini bocah cilik yang bisa disogok dengan iming-iming makanan? "Cristal mau ke kamar. Sekarang!"
Mami memerintahkan Pak Man untuk mendorong gue ke lantai dua, sedangkan Bi Minah membawakan koper Juwita ke kamar tamu. Lihat 'kan? Sekarang gue seperti anak bayi yang butuh seorang baby sitter ke mana pun gue pergi. Bahkan kamar Juwita sengaja dikasih persis di sebelah kamar gue.
"Gue mau sendiri!" usir gue setelah Pak Man dan Juwita berhasil memindahkan gue dari kursi roda ke tempat tidur.
Setelah mereka keluar, gue mengedarkan pandangan ke tiap sudut ruang. Kamar ini masih sama seperti saat sebelum kebakaran itu terjadi. Bi Minah nggak mungkin berani mengubah letak barang-barang di sini, paling dia cuma membersihkan debu dan menyapunya saja. Di satu sisi, gue merasa nyaman berada di lingkup kekuasaan gue. Namun, ada rasa nyeri jika mengingat kembali kenangan tiap benda yang ada.
Sepatu roda berwarna merah di dekat rak sepatu, yang dulu sering gue pakai saat lari pagi di Senayan. Skateboard merah maroon bercorak petir, oleh-oleh Belva dari Bali. Koleksi sepatu gue yang jumlahnya nggak kalah dengan milik Bella. Handycam di atas meja belajar yang biasa gue pakai untuk merekam berbagai kegiatan amal.
Melihat semua barang yang nggak mungkin bisa dipakai lagi---terlebih berbagai macam kegiatan yang nggak mungkin lagi gue lakukan---membuat sesak di dada gue kembali hadir. Gue melempar bantal dan guling ke segala arah. Kebencian akan diri gue sendiri lagi-lagi membuat tangis histeris nggak bisa gue kendalikan.
Apa gunanya gue selamat dari kebakaran, kalau seumur hidup harus merepotkan orang lain. Seumur hidup harus bergantung pada orang lain. Seumur hidup harus menjadi benalu yang nggak memberi manfaat.
Seharusnya waktu itu gue mati terbakar. Seharusnya Mami membiarkan kaki gue tetap utuh walau nyawa yang jadi taruhannya.
Gue memukul-mukul dada sekeras mungkin, dengan harapan segala sesak yang mengganjal bisa luruh. "Gue benci kaki ini! Gue benci semua barang di kamar ini! Gue benci semuanya!"
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top