»K-33 End«

Lagi-lagi lagu Jin BTS jadi insipirasiku ....
Kali ini yang judulnya AWAKE
Dalam lagu ini kita diajarkan untuk jangan menyerah. Meskipun kita sedang berada di titik terendah. Meskipun nasib dan takdir kita nggak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Meskipun apa yang kita miliki mungkin nggak akan mampu membawa kita ke puncak ketenaran. Namun, yakinlah ... selama kita berusaha, pasti akan ada hal indah yang terjadi.

Lagu ini menjadi penutup dari KATASTROFE.
Terima kasih sudah membaca dan mengapresiasi karya saya.
Semoga ada hal positif yang bisa menginspirasi kita semua dalam kisah Cristal.

Terima kasih,
💜💜💜💜💜

* * *

Sepanjang perjalanan pulang dari restoran kemarin, gue memilih diam. Mas Beryl pun nggak berusaha membangun pembicaraan. Entah dia marah atau sengaja membiarkan gue berkutat dengan pikiran gue. Sesampai rumah pun gue berpamitan ala kadarnya, lalu memilih masuk ke kamar.

Biar Mas Beryl yang menceritakan detail keputusan gue. Gue yakin, Mami Papi akan kecewa. Harapan mereka supaya gue menikah dengan Mas Beryl begitu besar. Buat gue, menolak lelaki sebaik Mas Beryl juga susah. Belum tentu gue bisa dapet yang sama seperti dia. Namun, kalau gue memaksakan diri untuk menjalin hubungan dengannya juga berat. Lagipula gue nggak mau memulai suatu hubungan didasari keterpaksaan.

Mungkin gue terlihat bodoh atau nggak bersyukur. Terserah orang mau bilang apa. Gue nggak peduli. Karena bagi gue saat ini, bukan cinta lawan jenis yang gue pikirkan. Gue harus benar-benar menata hati, pikiran, dan hidup gue sebelum akhirnya melangkah ke kehidupan yang lebih luas.

Berhari-hari setelah malam itu pun Mami Papi masih membujuk gue untuk berpikir ulang. Sepertinya seluruh semesta mendukung Mas Beryl. Bahkan Ilana pun menghubungi gue dan menceritakan bagaimana perjuangan Mas Beryl untuk mendapatkan restu Tante Gina.

Jujur, gue sempat hampir menyerah setelah mendengar penuturan Ilana. Bukan hal mudah untuk mengubah pemikiran Tante Gina. Ibu mana yang rela anak laki-laki kebanggaannya bersanding dengan cewek nggak sempurna. Namun kata Ilana, Mas Beryl terus meyakinkan mamanya. Meskipun gue nggak sempurna secara fisik, tapi itu nggak mengubah siapa diri gue yang sebenarnya.

Ucapan Ilana yang mengutip perkataan Mas Beryl membuat gue bimbang. Apa mungkin keputusan yang sudah gue ambil ini salah?

"Mami yakin, Beryl nggak akan menghalangi kamu untuk fokus ke pembangunan yayasan, Cris," bujuk Mami kala itu.

Gue sama sekali nggak meragukannya. Gue yakin, Mas Beryl akan mendukung seratus persen. Tentu hal itu akan memudahkan gue.

Namun, apa bedanya dengan saat gue kerja di perusahaan Papi? Gue masih bergantung pada orang lain. Sedangkan yang gue inginkan adalah bangkit dengan kaki sendiri. Saat gue menerima uluran tangan orang lain, jika suatu waktu gue mengalami musibah lagi, maka gue akan kembali meminta pertolongan orang tersebut. Kapan gue bisa mandiri kalau apa-apa selalu dibantu.

Pemikiran Mbak Keke sedikit berpengaruh ke diri gue. Namun, hanya sepuluh persen. Selebihnya merupakan hasil perenungan gue pribadi.

Tanpa menerima uluran tangan Mas Beryl pun, dia tetap ada untuk gue. Seberapa kuat gue mendorongnya untuk menjauh, sekuat itu pula dia mendekat. Setiap gue terpentok suatu masalah, tanpa diminta dia datang membantu. Lagi-lagi bukan berarti gue nggak tahu terima kasih, tapi gue cuma berpegang pada prinsip. Dengan menghadapi permasalahan membuat gue semakin kuat. Gue pun bisa mengukur seberapa banyak emosi dan mental gue membaik.

* * *

"Mbak Keke, untuk konsumsinya sudah beres 'kan?" Dengan tangan penuh vas bunga untuk hiasan meja vip, gue sempatkan untuk memastikan semua berjalan lancar.

"Sebagian sudah ditata di meja penerima tamu depan, Cris. Untuk tamu vip nanti kita berikan kalau mereka sudah duduk."

Gue puas dengan jawaban Mbak Keke. Memilih Mbak Keke dan Juwita sebagai pengurus yayasan sama sekali nggak salah. Mulai dari sebelum perijinan keluar, mereka sudah banyak membantu dalam hal ide dan pemikiran.

Bella sempat protes, "Itu lo minta tolong sama Mbak Keke juga. Tapi kalau Mas Beryl nggak mau?"

Jelas berbeda. Mbak Keke membantu gue memang sudah kapasitasnya untuk melakukan itu. Sebagai ketua yayasan, tanggung jawab dan pemikirannya sangat dibutuhkan untuk kemajuan bersama. Sedangkan Mas Beryl, kalaupun dia membantu memang secara nggak langsung dia ikut mengembangkan yayasan. Namun, maksud dari pertolongannya untuk gue bukan yayasan. Jadi sangat berbeda.

"Mbak Cristal, kursi untuk tamu undangan ditata semua atau gimana?" tanya Toni saat gue menata vas bunga.

"Yang sudah ditata ada berapa?" Gue mengedarkan pandangan sambil menghitung cepat.

"Sekitar seratus, Mbak."

"Udah cukup, Ton. Nanti begitu tamu datang dan kelihatan penuh, kamu tinggal tambah saja."

Gue memastikan sekali lagi penataan kursi, dekor panggung, sound, hiburan dan masih banyak hal yang perlu dicek. Kerja keras gue selama delapan bulan akhirnya berbuah manis.

Setelah gedung jadi dan ijin pendirian yayasan selesai, pagi inilah semua usaha gue dimulai. Ya, hari ini langkah gue yang sebenarnya baru akan dimulai. Dengan diresmikannya Yayasan Permata Indonesia sebagai yayasan tuna daksa, akan menjadi tempat membuktikan diri bahwa gue bisa bangkit.

"Cris, ini udah hampir jam sembilan dan lo belum dandan?" pekik Bella begitu melihat gue masih membenarkan letak pita di kursi vip.

"Lo kemana aja? Katanya mau datang cepet buat bantuin gue," protes gue.

Dengan wajah bersalah Bella menangkupkan tangan di depan muka. "Yang Mulia Kanjeng Dinar tuh dandannya lama banget."

"Hayo, kamu nyalahin Mami." Tante Dinar—maminya Bella—muncul sambil membawa buket bunga.

"Pagi, Tante." Gue menyalami wanita yang sudah seperti mama gue itu. "Makasih banget udah dateng di acara Cristal, ya, Tan."

"Kamu itu kayak sama siapa saja. Harusnya dari awal kamu minta tolong Tante," tegur Tante Dinar.

"Lho, siapa bilang? Donasi Tante itu sudah jadi bantuan besar buat Cristal."

Tante Dinar menghela napas panjang sembari menggeleng-geleng. "Benar kata mamimu. Sekarang keras kepalamu tambah parah. Pantes mamimu sering ngeluh pusing mikirin kamu."

Gue tergelak mendengar curhatan Tante Dinar. Gue tahu betul apa yang bikin Mami pusing. Pasti karena gue nggak juga menerima Mas Beryl. Dua bulan lalu, Bella sudah tunangan sama Gio. Tiga bulan lalu, Belva memutuskan untuk ambil S2 di Australia. Padahal kandidat menantu idaman Mami selain Mas Beryl, ya, si Belva itu. Mami jelas kebakaran jenggot dong. Takut anak gadisnya nggak laku-laku.

"Tante duduk dulu, ya." Gue mengantar Tante Dinar ke mejanya. "Paling sebentar lagi Mami atau Tante Indira dateng."

Gue ijin undur diri karena mau membersihkan diri sekaligus ganti baju. Bella gue seret untuk membantu gue dandan. Tinggal setengah jam lagi acara peresmisn dimulai. Gue harus sudah siap sebelum para tamu datang.

Salah satu ruang di sayap belakang memang sengaja dijadikan kamar untuk gue. Jaga-jaga semisal ada suatu hal yang mengharuskan gue menginap. Sedangkan Mbak Keke dan Lyora juga punya kamar sendiri tepat di samping kamar gue.

Midi dress dengan lengan lonceng berwarna salem menjadi pilihan gue. Flat shoes dengan warna senada melengkapi penampilan gue. Memperlihatkan kaki palsu bukan lagi menjadi masalah. Gue sudah terbiasa dengan wajah penasaran orang. Daripada gue memikirkan pandangan orang lain, lebih baik gue memikirkan kenyamanan diri sendiri.

Gaun panjang dengan warna gelap bukan cerminan diri gue yang sebenarnya. Itu hanya dinding yang gue pakai untuk sembunyi.

Gue nggak mau lagi membohongi diri sendiri, dengan menjadikan ketidakpercayaan diri sebagai tameng. Gue sudah bertekad untuk bangun, nggak lagi terlelap dalam mimpi buruk.

Berbagai kejadian buruk yang menimpa gue, jangan sampai menjadi batu sandungan. Namun, harus gue jadikan batu lompatan agar gue bisa memaksimalkan potensi yang ada.

Benar kata Mbak Asoka, pengalaman buruklah yang menempa kita menjadi orang yang lebih tangguh. Jika kebakaran itu nggak terjadi, jika kaki gue masih utuh, bisa jadi gue nggak bakal ketemu dengan Pelangi, Mbak Keke, dan seluruh anak Bantar Gebang.

Mungkin saat ini gue tengah duduk di belakang meja besar sambil memeriksa keuangan atau menyelesaikan masalah di pabrik. Gue nggak akan tahu bagaimana rasanya dijatuhkan hingga ke dasar jurang. Gue nggak mungkin merasakan kehilangan harga diri.

Jika tubuh gue masih lengkap, bisa jadi saat ini gue sudah menikah dengan Gyan tanpa tahu bagaimana sebenarnya orang itu. Mungkin gue nggak akan kenal dengan Mas Beryl.

"Nah, gini 'kan cantik, Cris."

Gue membuka mata dan mengamati wajah di depan cermin. Tangan Bella nggak pernah gagal membuat gue jadi seperti putri. Padahal cuma riasan sederhana, tapi membuat gue berbeda.

Jarum jam di tangan gue sudah menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh. Gue kembali menatap kedua netra gue dari kaca.

"Lo pasti bisa, Cris," gumam gue untuk meyakinkan diri sendiri.

Gue membetulkan letak sepatu di kaki palsu. Gue tersenyum saat membelai betis yang terbuat dari logam. Sekarang gue sudah baik-baik saja.

Nggak ada yang namanya hidup tanpa masalah. Dalam setiap tarikan napas, akan ada ujian yang menunggu. Tinggal bagaimana gue menghadapinya. Apakah gue menyerah atau gue berusaha bangkit dan membalikkan keadaan dari keterpurukan menjadi sebuah berkah?

Ya, semua ada di tangan gue. Dan inilah saatnya gue membuktikan pada dunia bahwa orang cacat pun mampu mengaktualisasikan diri. Bahwa orang-orang seperti gue nggak selalu bergantung pada uluran tangan orang lain. Bahwa kami bisa mandiri.

Di luar sana masih banyak Pelangi, Lyora, dan Eko lainnya yang butuh dikuatkan. Mereka butuh dituntun hingga akhirnya bisa berdiri tegak.

Dan itulah mimpi gue.

* * * TAMAT * * *

Akhirnya KATASTROFE tamat.

Ah, untuk yang penasaran sama Cristal dan Beryl, harap bersabar ini ujian ....
🤣😂🤣😂
Karena nggak semua yang kita harapkan bakal terwujud ....
Semua ada saahnya ....

Nanti akan ada sedikit tambahan di epilog ....

Sekali lagi terima kasih
💜💜💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top