»K-32«

Anyeong ....
Maaf baru sempat Up lagiii ....
Bodi bener-bener kurang gula garam .... Nggak enak, Brooo ....
😅😅😅

Btw, ini 1 bab menuju ending lhoooo .... Nggak mau ninggalin komen kah?

Buat yang udah baca dan vote Katastrofe, makasih banyaaak ....
Love you all
💜💜💜

* * *

"Terus lo jawab gimana?"

Bella yang semula duduk di meja makan Mbak Keke, memindahkan kertas dan barang-barangnya ke meja depan TV. Mengikuti gue yang sedang merancang desain untuk gedung yayasan.

Sebenarnya minta tolong Bella untuk menghitung rincian biaya yang perlu gue keluarkan, bukan solusi tepat. Sedari tadi dia cuma merecoki gue. Sekarang malah kerjaannya ditinggal begitu saja. Fokusnya teralihkan sama cerita gue tentang permintaan Papi kemarin.

"Berapa total biaya yang gue butuhkan, Bel?" Gue berusaha mengembalikan Bella ke jalur yang benar.

"Ratusan juta," jawab Bella singkat. "Om Indra nyuruh lo nikah sama Mas Beryl 'kan?"

"Mana rinciannya, Bel?"

"Elah, ini anak ngeles mulu," gerutu Bella sambil meletakkan kertas berisi angka-angka yang seketika membuat kepala gue pening.

"Ini apaan, Bel?" Gue mengibarkan secarik kertas yang lebih mirip coretan anak SD ketimbang rincian biaya.

"Katanya lo minta dibikinin rancangan biaya." Bella mencomot pisang goreng buatan Mbak Keke

"Tapi nggak gini juga, Bel. Mana keterangannya? Kalau cuma angka, dari mana gue tahu ini untuk apa," protes gue.

Bella menyelonjorkan kaki. "Harusnya tadi lo minta tolong Belva, Cris. Gue mana paham begituan."

"Belva baru sibuk, Bel, mana tega gue gangguin dia. Lagian tuh anak akhir-akhir ini baru mood swing banget. Gue pikir lo bisa, secara waktu kuliah lo 'kan pernah jadi asisten dosen, Bel."

"Putus lagi, ya, sama ceweknya? Siapa suruh jadi cewek kok posesif banget. Kapan hari itu gue telepon Belva, dia yang jawab 'kan tapi juteknya minta ampun. Ya kali, Belva tahan sama orang model begitu. Lagian nih, ya, walau gue LDR, tapi cinta gue cuma untuk Gio. Nggak bakal gue naksir sama Belva. Lo inget nggak waktu Belva bantuin lo ngurusi Felicia? Idih, gayanya sok jadi Nyonya Belva aja. Syukurlah kalau mereka putus," cerocos Bella.

Gue meletakkan pensil. "Mungkin kita yang harus mulai menjauh, Bel. Udah berapa kali Belva putus gara-gara kita."

"Kalau menurut gue, mereka yang kebangetan. Jelas-jelas gue nggak bakal ngerebut Belva. Makanya, lo cepet pacaran sama Mas Beryl. Jadi nggak ada yang ngira kalau lo ada hubungan sama Belva."

Gue merotasi bola mata lalu kembali menekuri gambar rancangan gedung. Untuk biaya bisa gue kerjakan nanti di rumah. Sekalian gue bikin proposal penggalangan dana.

Atas ijin Papi, gue menghibahkan tanah warisan Opa yang ada di daerah Tanjung Priok. Walau masih berupa kebun kosong, gue yakin dalam waktu dua bulan, gedung yang gue impikan bisa berdiri. Papi juga punya kenalan kontraktor yang bisa kasih harga miring. Kalau menurut perkiraan gue, dari sisa tabungan dan bantuan donatur yayasan gue siap beroperasi lima atau enam bulan ke depan.

Program kerja sudah kami—gue, Mbak Keke, dan Juwita—bahas minggu lalu. Untuk masalah jenis kegiatan dan apa yang akan dilakukan dalam yayasan, gue serahkan ke Mbak Keke dan Juwita. Untuk sementara gue lebih konsen ke dana saja. Sembari pelan-pelan mencari orang yang bisa gue serahi tanggung jawab sebagai bendahara.

Beberapa hari lalu gue sudah cari info tentang pendaftaran pendirian yayasan. Papi sudah menyanggupi untuk menjadi pengawas. Gue cuma butuh namanya saja sih. Sedangkan pembina sekaligus pendiri sudah jelas gue. Nah, ternyata pembina nggak boleh merangkap menjadi pengurus.

Gue putuskan untuk mengangkat Mbak Keke sebagai ketua. Juwita sebagai sekretaris—walau nanti pada pelaksanaannya Juwita lebih ke penanggung jawab kegiatan—tapi saat ini gue butuh orang-orang yang bisa gue percaya. Awalnya gue mau minta tolong Belva untuk jadi bendahara, tapi jadwalnya begitu sibuk.

Bella? Jangan mimpi! Bisa kacau yayasan gue kalau urusan duit jatuh ke tangan anak itu. Bukan berarti Bella nggak bisa ngatur uang, hanya saja pemikiran kami jauh berbeda.

Mas Beryl pernah menawarkan diri untuk membantu gue. Namun, gue nggak mau merepotinya. Lagipula kalau Mas Beryl ikut terjun ke pengurusan, gue akan semakin susah untuk menjauhinya.

"Mbak, gue minta tolong carikan orang yang sekiranya bisa bantu-bantu urusan dapur yayasan, ya," pinta gue. "Masih lumayan lama sih, tapi daripada kita mendadak nyari."

Mbak Keke menyanggupi. Katanya sekalian bisa memasakkan para pekerja bangunan, jadi kami bisa lebih menghemat biaya. Gue merasa sangat terbantu dengan pemikiran dan ide-ide yang Mbak Keke beri.

"Cris." Bella menunjuk ke luar dengan dagu. Sebuah mobil baru saja berhenti tepat di depan rumah Mbak Keke. "Jemputan datang tuh," goda Bella sambil tertawa.

Sudah seminggu Mas Beryl di Jakarta. Katanya perkebunan sudah mulai bisa ditinggal. Memang sih suka-suka dia mau tinggal di mana. Cuma gue merasa terbebani karena hampir setiap hari Mas Beryl bakal mengantar jemput ke rumah Mbak Keke. Padahal gue sudah sengaja pergi sama Bella supaya Mas Beryl nggak perlu menjemput gue, tapi bukan Mas Beryl namanya kalau nggak nekat.

Tadi pagi gue sudah menolak tawarannya. Jelas-jelas gue bilang kalau pergi sama Bella. Eh, nyatanya siang ini masih saja ke sini.

"Siang, Mbak Keke. Hai, Bel," sapanya sambil melepas sepatu dan mengantongi kunci mobil.

"Apaan tuh, Mas?" Bella menunjuk plastik hitam besar yang ditenteng tangan kiri Mas Beryl.

"Nasi bebek goreng." Mas Beryl mengangkat barang bawaan.

Aroma lezat langsung menguar ke seantero rumah. Lyora yang sedang membuat keset di garasi sebelah bersama anak-anak lain, sampai melongokkan kepala ke dalam.

"Baunya enak banget, Mas. Jadi laper," ucap Lyora sambil memasang tampang lapar.

"Sini, Ra, ajak teman-teman makan dulu." Dengan santai Mas Beryl melantai tepat di samping gue.

Ditawari makan, apalagi lauk bebek goreng, tentu membuat anak-anak berlarian masuk. Buat mereka, bebek goreng menjadi menu langka yang sangat jarang mereka nikmati.

"Hayo, cuci tangan dulu." Gue mengingatkan mereka.

Jujur, gue sempat terkejut saat melihat mereka makan pertama kali. Mereka seperti nggak peduli dengan kebersihan, padahal baru saja memilah sampah.

"Bilang apa sama Mas Beryl?" Mbak Keke membagikan kerdus makan satu per satu.

Dengan kompak anak-anak mengucapkan terima kasih lalu kembali ke garasi.

"Kamu juga cuci tangan sana." Mas Beryl merebut pensil gue.

"Ih, Mas, balikin dong. Nanggung banget, bentar lagi selesai ini," protes gue sambil berusaha mengambil lagi pensil yang dimasukkan ke kantong kemeja Mas Beryl.

Bella tertawa menggoda. "Cristal minta disuapin itu, Mas."

"Dengan senang hati." Mas Beryl mengambil sekotak nasi lalu membuka tutupnya.

Gue menutup lagi kotak nasi yang dipegang Mas Beryl. "Gue belum lapar, Mas."

"Cris, makan dulu."

Kalau sudah pakai suara rendah begini, gue mana bisa berani keras kepala. Bukan karena takut kena marah. Mas Beryl hampir nggak pernah ceramah panjang lebar kalau gue nggak nurut. Biasanya Mas Beryl cuma diam, tapi justru di situ letak horornya.

Dengan berat hati gue beranjak ke dapur untuk membersihkan tangan. Baru saja menuang sabun ke telapak tangan, Mas Beryl sudah menyusul gue.

"Nanti malam kamu nggak ada acara sama Bella 'kan?" Mas Beryl membukakan kran air.

Gue bilang ada pun percuma. Mereka pasti sebelumnya sudah ngobrol. "Kenapa, Mas?"

Mas Beryl menyerahkan kain lap untuk mengeringkan tangan gue. "Saya jemput jam enam lebih, ya."

Gue sengaja nggak balik ke ruang depan dulu, malas kalau Bella dengar pembicaraan kami. Pasti bakal digoda sampai mampus.

"Mau ke mana, Mas?"

"Saya dapat info rumah makan yang enak. Tempatnya juga nyaman. Temani saya cobain makan di sana, ya."

"Ajak Bella juga, ya. Dia pasti seneng banget." Gue sudah melangkah saat Mas Beryl mencegat tepat di depan gue.

"Kapan-kapan kita ajak Bella. Malam ini saya cuma ingin berdua sama kamu."

* * *

A-line midi dress warna biru keabu-abuan yang sudah gue siapkan, masih tergeletak di atas kasur. Jarum jam sudah menunjukkan pukul lima tiga puluh. Namun, gue belum berniat untuk merias diri. Entah kenapa gue merasakan firasat buruk. Tadi siang waktu mengantar gue pulang, tatapan Mas Beryl terasa lain.

Bukan kebiasaannya juga mengajak gue makan malam di tempat mewah. Sebenarnya Mas Beryl nggak bilang mau ngajak gue ke mana. Bella yang menyuruh gue pakai gaun pesta karena tempatnya formal.

Gue yakin ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Karena Bella juga nggak berhenti menggoda. Bahkan demi memastikan gue nggak salah kostum, dia melakukan video call.

Jangan-jangan—

Gue menggeleng cepat. Jangan mikir yang aneh-aneh. Pasti cuma makan malam biasa.

Gue mulai mengoles serum ke wajah. Makan malam, ya, makan saja. Memang mau ngapain?

Namun, perkiraan gue meleset.

Lelaki dengan setelan jas hitam, serta sepatu pantofel hitam mengkilat, ditambah potongan rambut rapi, serta parfum yang bikin jatung gue bedenyut aneh, berdiri menambut gue di ruang tamu.

Ah, gue lupa ... segepok mawar merah juga ia bawakan buat gue.

Jangan-jangan Mas Beryl mau nembak gue? Atau lebih parahnya, mau melamar gue?

Sepanjang perjalanan, gue nggak berhenti meremas ujung gaun. Kalau memang dia mau nembak, gue harus jawab apa?

Gazebo di tengah kolam ini mengingatkan gue seperti adegan Bella waktu berdansa dengan Edward di film Twilight. Dekorasi bunga di tiap tiang, cahaya lilin yang memenuhi sudut ruang, ditambah alunan musik yang lembut dari pemain musik di samping gazebo, membuat gue semakin yakin bahwa ini bukan makan malam biasa.

Tenang, Cristal! Lo harus berpikir cepat supaya nggak terjebak di situasi yang makin canggung.

"Tempatnya bagus banget, Mas. Dapat info dari mana ini?" Gue membuka pembicaraan agar terlihat santai.

Mas Beryl mengangguk setelah beberapa saat mengedarkan pandangan. "Ilana yang bilang. Syukurlah kalau kamu suka."

"Bella sama Belva harus tahu tempat ini." Gue mengeluarkan ponsel dari tas.

"Cris." Mas Beryl memanggil tepat saat gue mau menekan tombol panggilan video.

"Gue video call mereka, ya."

Mas Beryl berjalan memutari meja lalu berjongkok dengan bertumpuan pada lutut kiri tepat di depan gue. Spontan gue meletakkan ponsel ke meja lalu memundurkan kursi.

"Mas, berdiri," bisik gue sambil melihat sekeliling. "Malu dilihat orang."

Mas Beryl merogoh katong celana dan mengeluarkan kotak beludru berwarna merah. Gue bisa menebak apa isi kotak itu.

Dalam satu tatapan lurus tepat di netra gue, Mas Beryl membuka tutup kotak. Sebuah cincin bertahtakan berlian tampak mengisi kotak tersebut. "Cristal, saya—"

"Mas, stop please." Gue mendorong kotak itu menjauh dari gue. "Maaf," gumam gue.

Tatapan yang semula penuh kepercayaan diri sekejap menjadi raut terkejut. Rasanya gue nggak tega melihatnya.

"Maaf, Mas, tapi gue nggak bisa. Gue belum siap." Sungguh berat mengatakan kebenaran ini. Gue merasa jadi orang paling jahat di dunia karena sudah mematahkan hati lelaki sebaik Mas Beryl. Tapi ini sudah jadi keputusan gue.

Gue meminta Mas Beryl untuk kembali ke kursinya agar kami bisa bicara serius. Kali ini gue harus benar-benar bersikap tegas. Gue nggak ingin Mas Beryl berharap terlalu jauh pada hubungan kami.

"Mas, gue harap lo melepaskan gue. Saat ini prioritas gue ada di yayasan dan penyembuhan diri gue. Gue belum siap untuk menjalani hubungan apa pun. Karena gue nggak yakin bisa membagi waktu dan pikiran."

"Kalau kamu tidak ada waktu, maka saya yang akan meluangkan waktu untuk kamu. Kalau kamu tidak bisa memikirkan saya, maka saya yang akan terus memikirkanmu. Tapi biarkan saya berada di sebelahmu untuk memberi dukungan, Cris."

Gue menggeleng lemah. Jangan sampai air mata gue menetes. Gue nggak mau terlihat lemah di depan Mas Beryl.

"Gue nggak bisa. Mas nggak pantas diperlakukan sejahat itu."

"Saya tidak keberatan melakukannya. Kalau saat ini kamu belum siap, maka saya akan menunggu minggu depan. Kalau minggu depan kamu masih belum siap, saya tunggu bulan depan. Jika bulan depan masih belum bisa menerima saya, maka saya akan tunggu sampai kamu siap."

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top