»K-30«

Sudah Bab 30, lhooo ....
Siapa yang belum masukin ke perpus, belum ngasih vote, dan belum komen hayooo?

* * *

Gue terkejut. "Om sakit? Sakit apa, Tan?"

"Mikirin saya nggak juga nikah-nikah karena ditolak terus."

Gue menarik napas dalam sebelum berbalik. Gue merasa tersindir, tapi pura-pura nggak tahu.

"Pagi, Mas." Gue mengerutkan kening. "Habis ngapain, Mas?" Celana krem yang dipakainya ada noda hitam di mana-mana. Kaos hijau mudanya pun nggak kalah kotor.

"Tante suruh bersihin garasi, Cris. Kemarin Tante lihat ada tikus," sahut Tante Gina.

"Ma, ini bau apaan?" tanya Mas Beryl sambil mengendus.

Sepertinya ada bau gosong dari arah dapur.

"Astaga! Buburnya Papa!" Tante Gina berlari ke dapur. "Yah, gosong, Ryl. Tolong kamu belikan saja, ya. Mama sudah nggak sanggup masak lagi," ucap Tante Gina.

Mas Beryl menyanggupi, tapi ijin untuk mandi dulu. Setelah Mas Beryl naik ke kamarnya, gue mengikuti Tante Gina ke dapur. "Asistennya pada ke mana, Te?" Gue lihat rumah ini begitu sepi.

"Tiga-tiganya pulang kampung semua, Cris. Anaknya Bibik mau nikah akhir bulan nanti. Suaminya Imah yang jadi TKI pulang, jadi dia ijin mudik. Si Mini sama suaminya juga ijin pulang, ibunya masuk Rumah Sakit. Sudah empat hari ini Tante ngurus rumah sendiri. Ditambah Om sakit, jantungnya kumat. Sudah tiga hari ini disuruh bedrest sama dokter. Makanya Tante manggil Beryl ke Jakarta."

Gue menengok isi panci yang sudah kering. Walau belum jadi arang, tapi buburnya pasti nggak enak. Dapur pun seperti habis kena badai. Sampah bececeran di lantai, cucian piring numpuk, bahan makanan juga berantakan di meja.

"Mau masak apa, Tan?" Gue melihat sayuran, ayam, dan ikan di meja.

"Tante juga bingung. Mana tadi jari Tante kena pisau. Ilana disuruh bantuin masak malah balik ke kamar. Semalam dia baru pulang jam dua. Ada fashion show." Tante Gina meletakkan panci bubur di tempat cucian piring.

"Tante istirahat aja. Biar Cristal bantu beresin." Gue mengisi panci dengan air supaya lebih mudah dicuci.

"Sudah ... jangan, Cris. Biar nanti Tante minta tolong pembantu tetangga."

"Nggak apa-apa, Tante, kasihan Om Rifa'i kalau kelamaan nunggu Mas Beryl cari bubur." Gue membuka kitchen set untuk mencari panci kecil lain. "Tante masuk dulu aja."

Tante Gina tampak memerhatikan gue. "Benar nggak apa-apa? Kalau Tante tinggal mandi dulu gimana? Badan Tante bau sekali."

Gue terkekeh. "Silakan, Tan."

Beras gue cuci sampai bersih. Sambil menunggu bubur setengah matang, gue potong-potong wortel dan daun bawang. Lalu gue cuci bersih ikan dan ayam. Gue putuskan untuk masak sup ikan dan rica-rica ayam. Sayurnya gue buatkan ca brokoli yang gampang.

"Kamu ngapain, Cris?"

Mas Beryl terlihat lebih segar. Janggut dan kumisnya sudah dicukur bersih. Rambut pun disisir rapi.

"Masak bubur untuk Om Rifa'i." Gue mencuci jahe, serai, dan berbagai bumbu untuk sup ikan. Gurame pun sudah gue lumuri jeruk nipis biar hilang amisnya. Sedangkan ayam baru gue rendam dengan bumbu rica-rica.

Mas Beryl mengaduk bubur di panci. "Untuk Papa saja? Punya saya mana?"

"Mas mau bubur juga?" Gue memasukkan bumbu ke air mendidih.

"Berarti kalau saya sakit, kamu mau masak buat saya juga 'kan?"

Mas Beryl menyandarkan tubuh di lemari es sambil bersedekap. Dari tadi dia terus memerhatikan gue. Jadi bikin salah tingkah. Semoga gue nggak salah masukin bumbu.

"Memangnya Mas Beryl mau sakit?"

"Bukan tentang mau atau nggak mau, harapannya tentu selalu sehat. Tapi 'kan nggak tahu juga, bisa jadi besok atau lusa atau minggu depan, tahun depan saya masuk angin, kamu mau masakin saya juga 'kan?"

Pertanyaan menjebak. Kalau gue jawab 'iya' pasti akan ada pertanyaan susulan. Kalau gue jawab 'enggak' rasanya kurang pantas.

"Kamu masak apa ini, Cris? Baunya harum sekali."

Gue bersyukur dalam hati saat Tante Gina menyusul ke dapur. Dasternya sudah berganti celana jin selutut dengan kemeja santai bermotif bunga-bunga. Rambutnya tampak basah. Wajahnya juga sudah dipoles bedak tipis-tipis, bibirnya pun nggak pucat lagi.

"Ini mau bikin sup ikan, rica-rica ayam, sama ca brokoli, Tan. Cristal nggak tahu kesukaan Om apa. Tapi biasanya Papi kalau baru sakit, paling suka yang berkuah dan panas." Gue memasukkan gurame ke dalam kuah sup tanpa digoreng. Orang dengan penyakit jantung tentu harus menghindari goreng-gorengan.

"Kamu biasa masak, ya, Cris?" Tante membantu gue mengaduk rica-rica.

"Lumayan, Tan. Dulu sering masak buat Toni dan anak-anak." Gue geprek bawang putih untuk ca brokoli.

"Toni? Siapa itu?"

"Anak asuhnya Cristal, Mi. Dia sekarang tinggal di rumah Cristal sama dua adiknya," jelas Mas Beryl.

Tante Gina mengangguk tanda paham. Gue sempat memergokinya sedang melihat kaki gue. Namun, gue abaikan. Lebih baik fokus ke masakan dulu.

Gue cicipi bubur sekali lagi. Sudah pas. Gue matikan kompor lalu menuangnya ke mangkok. Gue beri taburan bawang goreng yang ada di toples, telur rebus, dan sedikit daun bawang. Sebentar lagi sup matang, jadi bisa gue sajikan dengan buburnya.

"Tante, bisa minta tolong dicicip nggak? Cristal nggak tahu selera Tante sama Om." Gue mengangsurkan sendok berisi kuah sup.

Mas Beryl menunduk dan langsung menyeruput kuah di sendok. "Enak," pujinya sambil tersenyum.

Gue berdeham kecil demi menghilangkan rasa kaget dan salah tingkah. "Gue tanya ke Tante Gina lho."

Mas Beryl yang dari tadi mengekor di belakang gue pun menambahkan, "Di sini lidah saya yang paling sensitif. Kalau saya bilang enak, pasti Mama Papa akan suka."

Dalam waktu satu jam lebih sedikit, gue berhasil masak rica ayam, ca brokoli, sup ikan, dan bubur untuk Om Rifa'i.

Gue sudah mempersilakan Tante dan Mas Beryl untuk makan. Sedari pagi mereka belum sarapan, padahal ini sudah hampir masuk jam makan siang. Om Rifa'i yang tahu gue ada di sini pun nggak mau makan di kamar. Beliau menunggu yang lain untuk makan bersama.

Gue sajikan masakan di meja makan sambil dibantu Mas Beryl. Sedangkan Tante Gina memanggil Ilana di lantai atas.

"Wah, ini Cristal semua yang masak?" Ilana yang masih memakai piyama langsung duduk di kursi makan. "Kelihatan enak banget."

"Kamu sudah cuci muka belum, Lan?" tegur Mas Beryl yang dijawab dengan anggukan. "Jam segini baru bangun. Kasihan Mama dari tadi kerja sendiri."

"Maaf, Mas. Gue baru pulang jam dua." Ilana menuang air ke gelas lalu meminumnya sampai habis.

"Cristal, main di sini malah jadi capek. Maaf, Om bikin repot, ya," ujar Om Rifa'i yang baru datang sambil dituntun Tante Gina.

"Nggak capek kok, Om." Gue menuangkan minum untuk Om Rifa'i.

"Calon istri idaman 'kan, Ma?" Mas Beryl duduk di samping kanan Om Rifa'i.

Tante Gina menanggapi pertanyaan Mas Beryl dengan senyum. Gue pura-pura nggak mendengar dengan cuci tangan di wastafel dekat ruang makan.

"Makanya, cepat-cepat lo halalin, Mas. Keburu disambar orang," tambah Ilana sambil mengerling ke gue.

Gue menarik napas panjang. Pembicaraan seperti ini sebenarnya membuat gue nggak nyaman.

"Benar kata, Lana, Ryl. Tidak usah pacaran lama-lama. Langsung nikah saja," sahut Om Rifa'i.

"Gimana, Cris?" Mas Beryl tersenyum sambil menatap lurus ke dalam mata gue.

Jurus diam masih saja menjadi andalan gue. Sepertinya kalau berlama-lama di sini, mereka—kecuali Tante Gina—bakal lebih intens mencomblangkan gue dengan Mas Beryl.

"Ehm ... Om, Tante, Cristal pamit dulu, ya. Kebetulan ada janji dengan anak-anak Bantar Gebang."

Tante Gina tampak terkejut. "Lho, kamu tidak makan dulu bareng-bareng, Cris? Ini Om sengaja makan di luar biar bisa bareng-bareng sama kamu lho."

Gue menangkup kedua belah tangan di depan muka. "Maaf, banget, Om Tante, tapi ini sudah mepet banget. Cristal terlanjur janji untuk mengajak mereka makan siang di luar. Kasihan kalau mereka nunggu kelamaan. Cristal janji kapan-kapan pasti makan di sini lagi."

"Mana bisa begitu. Ayo duduk dulu, temani kami makan sebentar. Orang kamu yang masak kok tidak ikut makan. Nanti biar diantar Beryl. Kalau urusan ngebut, dia juara," paksa Tante Gina.

Gue bersikukuh menolak tawaran Tante Gina. Gue buru-buru pamit saja karena menghindari Mas Beryl.

"Sekali lagi Cristal minta maaf, Tante Om."

Akhirnya Om Rifa'i dan Tante Gina mengijinkan gue pulang. Gue melarang Om dan Tante mengantar gue ke depan.

"Kalian mau makan di mana?" Mas Beryl nekat mengantar gue sampai mobil. Padahal sudah gue paksa untuk makan saja bareng yang lain.

"Di steak dekat sana, Mas." Gue masih belum bisa menutup pintu karena terhalang Mas Beryl. Lelaki ini berdiri sambil menyender di ambang pintu mobil.

"Nanti share loc, ya, biar saya jemput."

Gue menggeleng cepat. "Nggak usah, Mas, ada Pak Man kok."

Mas Beryl mengembuskan napas panjang. "Cris, kamu nggak nyaman sama saya, ya?"

"Enggak kok," jawab gue cepat.

"Apa ada pria yang baru dekat sama kamu?"

Gue menggeleng pelan.

"Apa ada laki-laki yang kamu sukai?"

Gue pengin jawab ada, tapi siapa? Masak gue bilang Namjoon. "Nggak ada. Kenapa memangnya, Mas?"

Mas Beryl menggaruk tengkuk. "Jawaban nggak ada lebih bagus daripada ada, tapi bukan saya." Gumaman Mas Beryl sangat jelas terdengar di kuping gue. "Siap-siap, ya, Cris."

Gue menyipitkan mata memandangnya bingung. "Siap-siap untuk apa?"

"Untuk menerima saya di hati kamu. Karena begitu saya masuk, nggak akan saya biarin kamu mengeluarkan nama saya lagi."

* * *

"Mikir apa, Cris? Dari tadi Mbak lihat kamu lebih banyak melamun." Mbak Keke meletakkan segelas es sirup ke meja di sebelah gue.

Sepulang dari makan siang sama anak-anak tadi, gue sengaja berlama-lama di rumah Mbak Keke. Berdasar informasi yang Toni beri, Mas Beryl baru di rumah. Gue belum siap untuk ketemu dia lagi setelah ucapannya tadi siang.

"Misal ada cowok yang suka sama Mbak Keke, orangnya baik, ganteng, sopan, dari keluarga baik-baik, pokoknya suamiable banget ...."

"Tapi?"

Gue merenung sejenak. "Tapi Mbak merasa belum siap. Padahal kalau sampai lepas, juga sayang. Mungkin susah untuk ketemu orang seperti dia. Kira-kira apa yang akan Mbak lakukan?"

Gue sengaja meminta pertimbangan Mbak Keke. Hanya dia orang yang netral. Bella Belva jelas berpihak ke Mas Beryl. Apalagi Papi Mami. Sedangkan gue butuh saran dari orang lain.

Mbak Keke menumpangkan kedua siku ke lutut. Duduknya agak membungkuk sambil sesekali menautkan jari-jarinya.

"Apa yang bikin nggak siap? Soalnya alasan ini paling penting. Misal, Mbak masih bersuami, eh ada cowok suka sama Mbak. Walau sayang kalau dilepas, nggak mungkin juga Mbak terima.

"Misal, Mbak baru saja cerai dan dalam masa 'idah. Ya, kalau mau nunggu masa 'idah Mbak selesai. Atau karena sebenarnya Mbak nggak suka sama dia. Semua tergantung alasan kenapa Mbak belum siap," jawab Mbak Keke.

Gue kembali terdiam. Bagaimana perasaan gue sebenarnya ke Mas Beryl? Hanya sekadar tertarik, suka, simpatik, naksir, atau bagaimana?

"Kalau misal, karena ingin melakukan hal lain dulu gimana, Mbak?"

"Siapa sih, Cris? Mbak Keke kenal nggak?"

Gue mengangguk. Mas Beryl sudah pernah main ke sini waktu mengantar gue.

"Belva?"

"Bukan!" sanggah gue cepat.

Mbak Keke tersenyum dengan wajah menggoda. "Oh, cowok tinggi keren itu, ya? Siapa namanya ... Beryl 'kan?"

Gue mengiyakan pelan.

"Seberapa besar rasa sukamu ke dia? Lebih besar mana dibanding hal yang tadi mau kamu lakukan?" tanya Mbak Keke.

"Gue merasa dia terlalu sempurna, Mbak. Gue merasa harus memantaskan diri dulu sebelum menerimanya."

"Dia menuntutmu untuk berubah?"

"Nggak pernah sama sekali. Gue aja yang mikir begitu. Banyak hal yang berubah dan hilang dari diri gue setelah kebakaran, Mbak. Gue merasa harus melengkapi diri gue sebelum membiarkan orang lain masuk atau gue masuk ke hidup orang itu."

Mbak Keke mengangguk-angguk. "Kalau gitu minta dia nunggu sampai kamu siap."

"Pertanyaannya, sampai kapan, Mbak? Gue nggak tahu kapan bisa lepas dari segala trauma itu. Gue juga nggak bisa memprediksi kapan diri gue kembali utuh. Nggak adil banget 'kan kalau gue minta dia menunggu."

"Misal kamu lepas dia, kamu menyesal nggak?"

Kehilangan orang sebaik Mas Beryl tentu bukan hal yang mudah. Namun, membuatnya menunggu juga berat buat gue. Hati gue yang nggak bisa melakukannya.

"Kalau kamu bisa hidup tanpanya, maka lepaskan. Tapi saran Mbak, misal dia nekat mau menunggumu, jangan memaksanya pergi. Biarkan waktu yang menjawab, Cris. Astaga kata-kataku standart banget, ya." Mbak Keke terkekeh.

* * *

Maaak, Si Beryl bikin baper anak orang, Maaak ....
🤣🤣🤣

Cristal malah ngegantungin anak orang ....
😅😅😅

Piye jal?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top