»K-3«
"Jadi bener 'kan kalau selama lo di rumah sakit, cowok satu itu belum pernah ke sini?" Bella memandang gue dengan tatapan nggak percaya.
Tadi pagi-pagi sekali Bella dan Belva sudah sampai di sini. Kata Bella biar Mami bisa istirahat di rumah. Padahal sedari tadi kerjaannya cuma mengganggu gue dengan pertanyaan tentang Gyan.
Gue nggak pernah berniat cerita tentang Gyan kepada Bella atau Belva. Karena gue nggak mau mereka semakin membenci Gyan. Mereka memang nggak pernah menyetujui hubungan gue. Bahkan saat Gyan mulai melancarkan aksi pendekatan pun, Bella dan Belva sudah menampakkan ketidakcocokkannya.
Kata Belva, Gyan terlalu egois. Menganggap dunia berpusat padanya, sedangkan orang lain hanya pelengkap. Orang macam Gysn akan susah untuk mengaku salah, menghargai orang lain, bahkan mengapresiasi prestasi orang. Pokoknya cuma dia yang paling hebat.
Sedangkan kata Bella, Gyan terlalu pelit. Sedikit-sedikit ngitung untung rugi. Beli ini dilarang, beli itu dilarang. Mau nongkrong juga pilih-pilih tempat. Yang bikin Bella tambah nggak suka sama Gyan, karena hampir tiap kami jalan bareng, dia jarang ngeluarin dompet. Alias selalu gue yang keluarin modal.
Namun, kata gue, dia cuma berhemat dan nggak suka buang-buang uang. Lagian wajar kalau Gyan perhitungan soal duit. Kerjanya kan di Bank, tentu Gyan terbiasa mengelola keuangan secara teratur. Nggak kayak gue atau Bella yang terlalu boros.
Gue kenal sama Gyan dua tahun lalu, waktu mengantar Bi Minah mengurus ATM-nya yang terblokir. Sebenarnya bukan job desc Gyan. Karena sebagai account officer, tugas dia mencari nasabah yang butuh dana untuk modal usaha. Kebetulan saat kami ke sana, petugas customer service sedang istirahat padahal antrian sudah panjang. Jadi dia sekadar memfotokopikan berkas Bi Minah.
Seperti kelakuan laki-laki pada umumnya yang merasa tertarik pada seorang gadis. Begitu pun Gyan. Dia berusaha meminta nomor telepon gue. Menghubungi gue secara intens. Terkadang dia mengajak gue jalan, sekadar untuk makan atau menghabiskan malam minggu di rumah. Namun, gue jarang nonton sama Gyan. Karena dia nggak begitu suka ke bioskop. Katanya lebih enak nonton video di rumah. Ya, nggak masalah. Toh hobi gue satu itu masih tetap berjalan, walau bukan dengan Gyan. Kedua sahabat gue, Bella dan Belva, dengan senang hati menemani gue.
Setelah masa pendekatan selama dua bulan, akhirnya Gyan meminta gue menjadi pacarnya. Kalau biasanya cowok nembak cewek dengan menyatakan perasaannya dengan romantis, maka Gyan lain dari yang lain. Jangankan makan malam di restoran dengan ruangan penuh lilin, tapi kami jadian di pinggir jalan. Tepatnya di warung bubur kacang hijau 24 jam.
Mungkin gue kualat gara-gara menghina Bella perihal tempat jadiannya yang nggak sesuai ekspektasi. Mendapat ungkapan cinta di depan air mancur, jauh lebih elegan ketimbang di warung kaki lima. Gue nggak bermaksud menghina. Gue sering jajan di pinggir jalan, baik itu dengan Gyan atau kedua sahabat gue. Namun, untuk jadian sama sekali nggak ada dalam bayangan gue.
Gue berusaha memahaminya saja. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, Gyan pasti sudah terbiasa hidup hemat. Ayahnya pegawai negeri sipil di balaikota, sedangkan ibunya guru sekolah dasar di dekat rumah.
Latar belakang keluarga Gyan sama kayak Gio. Cuma bedanya, Gio lebih fleksibel. Padahal kalau dilihat dari kelas sosial ekonominya, Gyan lebih baik daripada Gio. Namun, di saat kami jalan bareng, Gio nggak pernah melarang Bella untuk beli ini itu atau menyidir kami secara langsung. Beda dengan Gyan yang selalu mengkritik gue di depan mereka.
Hal ini yang seringkali jadi perdebatan gue dan Bella. Cewek itu sering menuduh Gyan nggak serius sama gue. Katanya Gyan cuma ngincar harta gue doang. Kalau udah begitu, biasanya Belva mendukung Bella. Dua orang itu selalu berusaha membuat gue putus dari Gyan. Walau pada akhirnya keputusan tetap di tangan gue. Kan gue yang menjalani hubungan ini, bukan mereka.
Sekali lagi, gue nggak bisa menyamakan Gyan dengan orang lain. Prinsip gue, kalau sudah memutuskan menjalin hubungan dengan satu orang, maka gue akan menerima segala kelebihan dan kekurangan orang itu. Karena gue pun bukan orang sempurna. Bisa jadi Gyan merasakn banyak kelemahan gue. Jadi kalau dia saja bisa menerima gue apa adanya, tentu gue harus melakukan hal yang sama.
"Lo udah coba hubungi Gyan belum?" Pertanyaan Belva membuyarkan kenangan gue tentang Gyan. "Dia tahu kalau lo masih di sini 'kan?" tambahnya.
Gue menggeleng sebagai jawaban dari dua pertanyaan itu. Ratusan kali sehari gue mengecek pemberitahuan di ponsel, tapi nggak ada satu pun pesan dari Gyan. Bohong kalau gue nggak kecewa. Bohong kalau gue nggak marah. Cewek mana yang nggak mengharapkan perhatian kekasihnya saat dalam keadaan terpuruk?
Sebelum kebakaran itu, Gyan sudah melamar gue. Walau belum secara resmi, tapi dia sudah meminta gue untuk jadi istrinya. Namun, kenapa selama tiga minggu gue di rumah sakit, nggak sekali pun dia menjenguk. Hah ... jangankan menengok gue, sekadar menghubungi lewat pesan singkat pun nggak ada. Ah, iya, dia pernah sekali menelepon gue. Kata Mami, Gyan menghubungi tepat saat gue dioperasi. Mami yang mengangkat teleponnya sekaligus menceritakan keadaan gue. Sejak saat itu, Gyan nggak pernah menghubungi gue lagi.
"Dia hubungin lo nggak sih, Cris?" Bella tampak mulai emosi. "Selama tiga minggu ini, gue nggak pernah lihat batang hidungnya."
"Nggak beres banget itu orang! Maksudnya gimana sih? Bikin gue emosi," tambah Belva sambil mengambil ponsel gue.
"Lo mau ngapain, Va?" Gue meraih tangan Belva untuk meminta kembali telepon genggam gue, tapi nggak sampai. Belva keburu menjauh dari jangkauan gue. Jangan sampai mereka tahu kalau pesan dan telepon gue nggak ada yang dia gubris.
"Dia beneran udah ngelamar lo atau belum sih, Cris? Ini yang lo sebut calon suami? Pesan-pesan lo nggak ada yang dibalas, bahkan beberapa nggak dibaca. Lo tahu apa artinya itu? Begitu ada pesan masuk, dia langsung hapus pesan lo." Bukannya menjawab pertanyaan gue, Belva malah mulai ceramah. Kalau cowok cuek ini mulai mengeluarkan lebih dari dua kalimat, itu berarti dia dalam kondisi emosi.
Bella berjalan mendekati Belva ikut mengamati isi telepon genggam gue. Dari dulu kami selalu memberi password ganda, jadi semisal salah satu dari kami bertiga mau mengobrak-abrik isi handphone, bisa kami lakukan tanpa menunggu pemiliknya menempelkan sidik jari.
"Lo tahu 'kan, seenggaksukanya gue ke Gyan, gue nggak pernah ngelarang lo pacaran sama dia. Ya, dulu sih gue sering nyuruh lo putus. Tapi kan dulu. Lo juga tahu kan, walau gue nggak setuju lo kawin sama dia, gue tetep berusaha menghormati pilihan lo. Tapi kalau ceritanya sudah begini, gue nggak terima, Cris." Bella berusaha menyuruh Belva untuk menelepon Gyan.
Berkali-kali nada sambung terdengar dari pengeras suara di ponsel gue. Sampai dering terakhir, masih saja belum ada sahutan dari seberang. "Lo nelepon siapa, Va?" tanya gue walau sebenarnya gue tahu siapa yang dia hubungi.
Belva memperlihatkan layar ponsel. "Gyan me-reject panggilan lo."
"Mungkin kerja," jawab gue nggak yakin.
Belva tertawa sumbang sambil menyerahkan ponsel ke Bella. "Bank mana yang masuk di hari Sabtu? Ini sudah jam sebelas, nggak mungkin juga dia belum bangun. Sesibuk apa dia di hari libur, sampai menolak panggilan telepon dari lo?"
Gue menarik napas panjang. "Mungkin baru di jalan."
Bella kembali menghubungi Gyan. "Mau ke mana dia? Bisa gitu jalan-jalan padahal lo di sini? Lagian dia bisa me-reject telepon, kenapa nggak diangkat walau sebentar? Lo jangan membela cowok itu terus, Cris. Gue juga nggak terima kalau baji—sorry, maksud gue, cowok sontoloyo itu bikin lo sakit hati."
Gue mengalihkan pandangan ke luar jendela. "Biar saja, Bel. Gue juga udah nggak pantas buat dia," lirih gue.
Belva mendengkus kesal. "Ke mana Cristal yang gue kenal selama ini? Ke mana perginya cewek kuat dan percaya diri itu? Kenapa sekarang lo jadi menye-menye kayak gini, Cris? Sejak kapan lo harus memantaskan diri buat Gyan? Harusnya dia bersyukur bisa pacaran sama lo."
Gue tersenyum miris. Percaya diri? Gue yang sudah nggak punya apa-apa ini, nggak pantas untuk sok ke-PD-an. Gue harus sadar diri. Bahkan gue sudah bisa menebak kenapa Gyan nggak menghubungi gue. Gue kenal dia lebih baik ketimbang Bella atau Belva. Gyan nggak mungkin mau mengorbankan masa depannya buat cewek cacat seperti gue. Apa yang bisa dia harapkan dari cewek berkaki satu macam gue ini? Nggak ada cowok yang mau merepotkan diri untuk merawat orang cacat seumur hidupnya.
Namun, jujur ... gue masih berharap kalau Gyan tiba-tiba muncul. Asa untuk melihatnya memberi perhatian serta dukungan selalu ada dalam benak gue. Jika satu sisi otak berkata Gyan mundur dari hubungan kami, maka sisi yang lain tetap menunggu kehadirannya.
"Va, hukuman buat pelaku penganiayaan berapa tahun sih?" Bella masih berusaha menghubungi Gyan. Entah sudah berapa puluh kali dia menelpon, tapi masih saja nggak ada sahutan.
"Ntar gue carikan pengacara yang bagus, biar lo nggak perlu masuk penjara." Belva duduk di sofa sambil menopangkan kaki ke meja.
"Sudahlah, Bel." Gue berusaha menghentikan usaha Bella. Semakin lama, dada gue bertambah sakit. Mengetahui orang yang berencana menjadikan gue istrinya, tapi nggak sekali pun menunjukkan perhatian dan cintanya di saat gue butuh, membuat gue sengsara.
"Apanya yang sudah? Gue nggak bakal berhenti sampai cowok satu ini angkat telepon." Bella menyusul Belva duduk di sofa. "Kalau perlu gue bakal samperin ke rumahnya."
Gue mengembuskan napas panjang. Sekali punya tekad, Bella nggak mungkin berhenti sampai tercapai. Percuma gue melarang seperti apa.
Entah sudah berapa puluh menit berlalu, Bella masih saja belum menyerah. Belva yang semula masih sesekali menggantikan Bella untuk memegang ponsel, kini sudah memejamkan mata sambil menyandarkan kepala di sofa.
"Ini cowok benar-benar nggak punya akhlak!" umpat Bella setengah berteriak. "Va, lo kudu nemenin gue ngelabrak Gyan ke rumahnya."
"Buat apa, Bel? Kalau memang Gyan udah nggak mau sama gue, ya, udah. Biarkan dia pergi."
Bella menghentakkan kaki kasar. Tubuhnya menegak sambil memelototi gue. Sedangkan Belva yang semula sudah terlihat tidur, kembali terjaga.
"Terserah lo, Cris, tapi gue nggak rela cowok itu berbuat semaunya sendiri. Kalian jadian baik-baik, kalau mau putus juga harusnya baik-baik." Dengan tegas Belva menolak menuruti permintaan gue. "Astaga! Dia beneran laki-laki atau bukan? Kalau sampai Gyan mutusin elo, gue bersumpah bikin dia minimal masuk rumah sakit!"
"Kenapa kalian nggak ada yang ngerti perasaan gue? Semakin kalian—"
"Gyan ngirim pesan!" pekik Bella sambil menggoyang-goyang bahu Belva.
Rasa penasaran membuat gue memandang Bella dengan tatapan ingin tahu apa isi pesan dari Gyan.
"Br*ngs*k!" umpat Bella yang disusul berbagai sumpah serapah dari mulut Belva.
Gue merebahkan kepala ke bantal sambil memicing. Mendengar respon mereka, gue bisa menebak bahwa isi pesannya bukan sesuatu yang baik.
* * *
Kira-kira apa isi pesan dari Gyan?
Penasaran?
Jangan lupa vote dan komentarnya.
Minta kritik dan sarannya, ya ....
Kalau ada typo, jangan sungkan untuk bilang.
❤❤❤❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top