»K-29»
Beberapa Bab lagi tamat lho, Mak.
😘😘😘
* * *
"Bu Cristal, ini laporan pajak kita tahun lalu dan ini dua tahun sebelumnya." Sisil menyerahkan dua buah map berisi berkas yang gue minta.
"Tahun kemarin yang mengerjakan laporan siapa, ya, Sil?" Gue membuka-buka berkas.
"Timnya Pak Aryo, Bu."
"Dua tahun lalu juga timnya dia, ya?"Gue bandingkan angka di kedua laporan. "Tahun ini kenapa ketua timnya diganti, Sil?"
"Oh, itu ... anu, Bu." Sisil menunduk sambil meremas jari-jarinya.
Gue menutup laporan, menumpukan kedua siku ke atas meja. "Apa ada yang tidak saya tahu?"
Sisil memajukan tubuh sambil berbisik, "Pak Daniel ini saudaranya Pak Zain, Bu."
Ternyata masih ada praktek nepotisme di dalam struktur perusahaan. Yang gue tahu, Pak Zain ini Direktur Keuangan yang kata Papi bermasalah. Sudah lama Papi ingin memecatnya, tapi belum ada bukti kuat tentang korupsi yang ia lakukan.
"Ini beda jauh sekali lho, Sil."
Gue membandingkan jumlah pajak yang harus dikeluarkan perusahaan di tiga tahun terakhir. Di mana tahun ini biaya pajak naik hampir lima puluh persen. Bukan jumlah yang sedikit. Padahal peningkatan aset serta laba perusahaan nggak sedrastis itu.
"Sekarang Pak Aryo di bagian apa, Sil?"
"Dipindah ke pemasaran, Bu."
Gue menghela napas panjang. "Bisa minta tolong panggilkan Pak Aryo, Sil?"
Sisil keluar ruangan setelah menyanggupi permintaan gue. Memikirkan pabrik membuat kepala gue pusing. Mungkin sebaiknya gue cari angin sebentar.
Gue rapikan rok pensil sebawah lutut agar nggak terlihat kusut. Balkon kantin selalu jadi tempat favorit saat gue penat. Tanaman hias dan taman kecil dengan air mancur kecil membuat gue betah berlama-lama di sana.
"Siang, Bu Cristal. Es capucino latte seperti biasa, Bu?"
Gue membalas salam salah seorang pegawai kantin. "Hari ini kopi hitam tanpa gula saja, Mbak."
Sambil menunggu pesanan jadi, gue beranjak ke balkon. Meja bundar di pojok balkon selalu menjadi pilihan gue. Selain dekat pohon pucuk merah yang rindang, juga nggak menjadi fokus utama dari dalam kantin.
"Kopi hitam tawarnya, Bu." Pegawai kantin yang gue kenal sebagai Ijah meletakkan cangkir kopi ke atas meja. "Hari ini Bu Cristal super cantik." Ijah menunjukkan dua jempol sambil tersenyum memamerkan sederetan gigi.
"Wah, berarti biasanya saya jelek dong," goda gue.
Ijah menggeleng cepat. "Bu Cristal selalu cantik. Tapi hari ini bajunya bagus banget."
Gue tertawa kecil menanggapi pujian Ijah. "Terima kasih, Ijah."
"Bu, tahu nggak," Ijah menunduk sedikit dengan mengecilkan volume suara, "pegawai di sini kemarin ngomongin Bu Cristal."
Gue menaikkan kedua alis. "Oh ya? Apa yang mereka bicarakan, Jah?"
"Katanya Bu Cristal itu tegas, berwibawa, agak galak sedikit, tapi baik hati."
Gue tergelak. "Galaknya sedikit apa sedikit?"
Ijah meringis sambil menutupi wajah dengan nampan. "Agak banyak sedikit, Bu."
Gue kembali menikmati langit setelah Ijah undur diri. Sejak dirawat di Rumah Sakit pasca amputasi, langit selalu menjadi pemandangan favorit gue. Entah kenapa rasanya tenang. Beban pikiran yang memenuhi otak pun bisa terurai sedikit demi sedikit.
Gue masih ingat saat awal-awal gabung di perusahaan. Kepercayaan diri gue tiarap. Jangankan untuk menegur kinerja bawahan, sekadar menanyakan suatu masalah pun gue nggak berani. Pengetahuan dan skill gue berada di level basic. Kalau bukan karena bantuan orang-orang kepercayaan Papi, mungkin saat ini gue masih nggak tahu apa-apa. Penampilan gue juga seperti anak PKL. Bawahan gelap panjang dengan kemeja. Yang penting kaki palsu gue tertutup.
Seiring berjalannya waktu, level gue mulai meningkat. Permasalahan dan kendala di perusahaan sudah mulai gue pahami. Para karyawan pun mulai menunjukkan hormat dan kepatuhan ke gue. Sehingga kepercayaan diri gue meningkat. Begitu pun dengan penampilan.
Bella mengubah total style gue. Mulai dari model rambut yang dibuat curly dengan warna biru keunguan hingga pakaian yang gue pakai dirombak total. Semua rok yang menurutnya ketinggalan jaman langsung dimasukkan ke tas. Katanya mau dikirim ke Bantar Gebang.
Kemeja pun dia ganti dengan model yang lebih modern. Sehingga kini gue tampak jauh lebih modis. Gue pun dipaksanya untuk memakai rok atau celana pendek yang memperlihatkan kaki palsu gue. Awalnya gue risih dengan pandangan orang. Namun, lama-lama gue terbiasa.
Keberhasilan di langkah pertama nggak boleh membuat gue berpuas diri. Masih banyak hal yang harus gue lakukan. Pertama, sembuh dari trauma. Kedua, jelas ... gue harus memperbaiki hubungan dengan Indah. Walau sudah banyak perubahan, tetap saja kami belum sedekat dulu. Ketiga, gue harus menyelesaikan berbagai permasalahan di pabrik. Selebihnya bukan prioritas utama.
* * *
"Bagus mana, Cris?" Bella menempelkan dua kemeja di badannya.
"Kanan," jawab gue setelah melihat sekilas.
"Nggak yang kiri? Gue kok suka ini, ya."
Gue merotasikan netra. "Suka-suka lo, Bel. Yang penting lo bahagia."
Bella memajukan bibir. "Ditanya kok jutek."
Gue mengembalikan blazer semi formal berwarna hijau. Bagus sih, tapi kebesaran. "Masalahnya lo udah punya pilihan sendiri, Bel."
"Gue butuh diyakinkan, Cristal. Biar pilihan gue nggak salah."
"Masalahnya ... selera kita beda." Gue mengambil celana panjang kain. Cocok untuk kerja. Formal tapi tetap terlihat modis.
"Ya, udah. Gue ambil dua-duanya," putus Cristal sambil memasukkan kedua baju ke tas belanjaan. "Habis ini kita ke toko buku yuk, Cris."
"Toko buku?" beo gue bingung. Kalau Bella minta ditemani beli tas, sepatu, aksesoris, gue nggak bakal terkejut. Tapi tadi dia bilang buku 'kan?
"Gue mau nyari buku resep masakan. Mamanya Gio seneng banget masak, Cris. Lha, lo tahu sendiri, gue mana pernah ke dapur? Makanya gue butuh panduan untuk belajar masak. Jadi bisa pamer di depan keluarganya Gio."
Gue mengulum senyum. Membayangkan Bella masuk dapur sama berbahaya dengan Belva. Bisa hancur seisi dapur. Jangankan memasak, double B itu bahkan nggak bisa mengupas mangga. Kalau Belva memilih dibuat rumah tawon, jadi cuma tinggal potong dua. Sedangkan Bella memilih kelaparan daripada berkutat dengan perpisauan.
"Memangnya lo bisa pegang pisau?" tanya gue was-was. Khawatir bukannya mengambil hati calon mama mertua, malah bikin ilfeel. Waktu di Rumah Sakit, Bella pernah ngupasin gue apel. Cuma daging buah yang terkupas bareng kulit tebal sekali.
"Bisa dong. Gue udah belajar sama Mami." Bella membanggakan diri. "Lo nggak jadi ambil blazer tadi?"
"Kebesaran. Ukuran gue kosong."
Setelah menyelesaikan pembayaran, kami bergegas mencari lift. Toko buku berada di lantai lima, masih kurang dua lantai lagi. Sebenarnya lebih cepat naik eskalator, karena kalau naik lift membuat kami berputar. Namun, gue masih was-was untuk langkah pertama. Apalagi pas turun. Lebih baik jalan jauh daripada jatuh.
"Gimana kabarnya Eko, Cris?" tanya Bella saat kami berada di dalam lift.
"Udah mulai kerja lagi. Luka bekas operasinya sudah sembuh. Rencananya mau gue bawa ke tempat Pak Agus, biar dibuatin kaki sama tangan palsu."
Bella membiarkan gue keluar terlebih dahulu. "Lo nggak takut dikira pilih kasih?"
"Why?"
"Karena cuma Eko yang lo perhatikan."
Siang ini toko buku tampak lengang. "Siapa bilang cuma Eko doang? Gue udah ijin untuk pakai uang kas emerald buat membantu mereka semua. Biar nyonya-nyonya besar ada kegiatan. Kelihatannya akhir-akhir ini mereka gabut 'kan."
"Setuju! Nyokap gue tuh tiap hari ribut mulu di rumah. Ngerecokin gue terus."
Sebagai beauty blogger merangkap fashion image consultan, memang pekerjaan Bella nggak menuntut jam kerja yang pasti. Bahkan lebih sering dia kerja sambil rebahan. Yang penting klien-kliennya puas.
"By the way, gue suka kaki lo yang ini. Lebih shining shimering splendid, Cris. Warna ungu sama gliternya keren banget. Baru, ya?"
"Gue kemarin pesan ungu, merah, sama tembaga. Yang baru dikirim ungu." Gara-gara ketularan Miss Perfectionis di depan gue ini, tabungan gue menipis untuk beli kaki prostetik dengan berbagai model dan warna.
"Nah, gitu dong. Duit tuh dibagi ke sesama. Lo pesen kaki juga sama aja ngasih rejeki ke karyawannya Koh Huang."
Koh Huang ini pemilik klinik terapi sekaligus pembuatan kaki prostetik di Bali. Begitu pesanan pertama gue terima, gue langsung cocok dengan hasilnya. Jadi tiap gue butuh apa-apa langsung menghubungi beliau. Kalau untuk service bisa di tempat Pak Agus yang lebih dekat.
"Ini lengkap, Bel. Mulai masakan nusantara, western, cina, itali, ada juga kue sama pastry." Gue menunjukkan buku setebal kamus bahasa.
"Astaga, tebel banget, Cris. Gue mabok duluan sebelum bisa masak."
"Ya, daripada lo beli yang tipis-tipis itu." Gue meletakkan kembali buku di rak atas sambil sedikit berjinjit.
Hasil dari latihan gym bersama Bang Leon mulai gue rasakan. Tubuh gue lebih lentur dan nggak cepat capek. Bahkan gue sekarang sudah bisa ikut kelas yoga, pilates, dan aerobik. Kaki palsu gue nggak lagi jadi hambatan yang berarti.
"Cristal?"
Gue menoleh ke kanan. Benar kata orang, dunia cuma seluas daun kelor. Kenapa gue harus ketemu Gyan dan pacarnya lagi sih? Kalau memang dunia ini sempit, kenapa gue nggak pernah ketemu Namjoon atau Suga di mal.
"Lo bisa jalan?" Gyan terlihat heran dengan kondisi gue.
"Seperti yang lo lihat. Gue bisa jalan, gue bisa main, gue bisa nongkrong, gue kerja, dan gue bisa melakukan apa pun tanpa bantuan orang lain." Gue sengaja menekankan kata 'apa pun' dan 'orang lain'. Gue pengin dia tahu bahwa nggak selamanya gue bakal merepotkan orang.
Tanpa menunggu respon dari Gyan, gue melenggang. Membiarkannya melihat gue berjalan dengan tegak. Baru empat langkah, gue sengaja berbalik. "Gue lupa ngucapin terima kasih. Thanks udah memperlihatkan betapa kerdilnya jiwa seorang Gyan," ucap gue telak.
Bella mengacungkan dua jempol saat kami sudah keluar dari toko buku. Perasaan lega menyusup di dada. Rasanya ganjalan yang selama ini bercokol di sana mendadak hilang. Puas dan damai.
"Nah, gitu dong. Ini baru Cristal yang gue kenal. Kalau gitu sekarang lo udah bisa buka hati buat Mas Beryl 'kan?"
* * *
S
esampai di rumah Om Rifa'i, gue teliti ulang berbagai tas dan kotak yang ada di jok belakang. Tadi malam, Papi menitahkan gue untuk memberikan oleh-oleh dari Jepang ke Om Rifa'i dan keluarganya. Gue sempat menolak, kenapa bukan Papi sendiri yang ke sana coba. Bukankah yang temannya itu Papi. Tapi bukan Papi namanya kalau tanpa paksaan. Akhirnya jam sepuluh pagi gue sudah sampai di sini.
Gue tebak ada udang di balik batu. Setahu gue, saat ini Mas Beryl baru di Jakarta. Apalagi kalau bukan untuk mendekatkan gue ke cowok satu itu. Akhir-akhir ini Papi, Mami, Om Rifa'i bahkan Bella gencar menggoda gue dengan Mas Beryl. Dalam satu pertemuan, Om Rifa'i pernah terang-terangan melamar gue walau dibalut dalam candaan. Namun, gue nggak menanggapi. Lagian waktu itu kelihatan banget Tante Gina diam saja. Nggak menolak tapi juga nggak setuju.
Ucapan Mami waktu itu yang nggak rela gue jadi mantunya Tante Gina, rasanya seperti alkohol kena angin. Menguap nggak ada bekas. Semua karena perubahan sikap Tante Gina. Beliau jauh lebih baik dibanding dulu. Nggak pernah lagi berkata julid atau menyakiti perasaan orang lain. Tapi gue yakin, dia kurang sreg kalau gue jadi mantunya.
Ya, bisa gue pahami. Setiap ibu pasti ingin yang terbaik untuk putranya. Sebisa mungkin sang putra menjalani hidup yang bahagia dan tanpa permasalahan. Namun, kondisi gue ini sebuah masalah.
Gue berkali-kali mengungkapkan ke Papi Mami kalau gue belum mau nikah. Gue masih ingin sendiri. Memperbaiki diri dan membuat Papi Mami bangga. Cukup itu saja dulu.
Namun, Mami nggak mau kalah. Beliau selalu beralasan kalau sayang melepas orang sebaik Mas Beryl. Katanya yang akan menikahi gue itu Mas Beryl, bukan Tante Gina. Jadi nggak perlu memikirkan bagaimana sikap ibunya ke gue. Tapi 'kan nggak bisa begitu juga.
Pernikahan itu nggak cuma bersatunya dua orang, tapi juga dua keluarga. Mamanya akan menjadi mama gue. Pun sebaliknya. Jadi nggak mungkin gue abai terhadap orang tua Mas Beryl.
Namun, usaha gue untuk menghindari perjodohan ini seperti nggak berguna. Seolah cuma gue yang berjuang mati-matian menghindari Mas Beryl. Sedangkan dia terus-menerus mendekat. Setiap ke Jakarta, bisa dipastikan Mas Beryl akan main ke rumah. Setiap hari.
Pernah satu waktu saat Mas Beryl main, Bella secara terang-terangan memintanya untuk menghalalkan gue. Dengan tersenyum sambil melihat gue, dia menyerahkan semua keputusan di tangan gue. Kalau gue siap, dia langsung bergerak. Sekali lagi gue menganggapnya sekadar candaan.
"Pak Man, tolong bawakan kotak sama paper bag yang besar, ya." Gue turun dari mobil sambil menenteng dua tas di masing-masing tangan.
Gue yang anak kandungnya saja cuma dapat tas satu biji. Eh, keluarga Om Rifa'i sebegini banyaknya. Gue heran, kemarin Papi Mami ke Jepang untuk mengurusi bisnis atau belanja sih?
"Pagi, Tante."
Gue sempat tercengang melihat penampilan Tante Gina yang nggak seperti biasa. Daster batik dengan apron merah, rambut digelung asal, di pundaknya tersampir kain lap kotak-kotak. Wajahnya polos tanpa riasan. Cenderung kucel dan ada kantong mata.
Tante Gina buru-buru membetulkan cepol rambutnya yang mulai berantakan. "Astaga, Cristal, kamu bikin Tante kaget. Kamu cantik sekali."
Gue tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas pujian tulus Tante Gina. Padahal penampilan gue nggak ada yang istimewa. Gue cuma memadankan slip dress hijau keabu-abuan di atas lutut dengan kaos kuning. Rambut pun sengaja gue kepang dua karena tadi males untuk mencatok.
"Ayo masuk." Tante Gina mengajak gue ke dalam.
"Tante, ini ada titipan dari Papi Mami." Gue menyerahkan oleh-oleh.
"Bilang ke Jeng Fatim, oleh-olehnya sudah Tante terima. Terima kasih lho, Cris. Ini banyak sekali. Memangnya mamimu dari mana, Cris? Tante jadi pengin jalan-jalan, tapi Om baru sakit." Tante Gina menyuruh Pak Man meletakkan barang di kursi ruang keluarga.
Gue terkejut. "Om sakit? Sakit apa, Tan?"
"Mikirin saya nggak juga nikah-nikah karena ditolak terus," jawab Mas Beryl sambil melirik gue.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top