»K-28«

Pencet tanda tanda ⭐ dan komen di tiap bab ....
😘😘😘

* * *

Melihat pemukiman Bantar Gebang mengingatkan gue kondisi rumah kalong. Bangunan yang saling berdempetan dengan dinding papan triplek. Sebagian hanya menggunakan kardus yang dilapisi terpal bekas. Untuk atap pun menggunakan seng ala kadarnya.

Gue sudah terbiasa dengan pemandangan serupa. Hanya saja aroma menyengat yang kurang dapat gue terima. Mungkin karena terbiasa, penghuni Bantar Gebang sudah nggak terganggu dengan bau-bauan ini.

Lain halnya dengan Bella. Tampangnya sudah nggak berbentuk. Sebentar wajahnya merah menahan tangis, sebentar pucat karena takut dengan para preman, sedetik kemudian berubah biru karena menahan napas. Gue sudah mewanti-wanti supaya nggak usah ikut, tapi dia nekat. Untung saja mulut yang biasanya ceplas-ceplos itu bisa direm.

"Mbak, hati-hati. Jalannya nggak rata." Lyora yang sudah berjalan di depan gue memberi jalan supaya gue bisa masuk lebih dalam ke pemukiman.

"Ra, sepatu lo mana?" tanya gue saat melihat alas kakinya.

Minggu lalu gue bawakan dia sneaker untuk alas kaki. Selama ini dia hanya memakai sandal jepit bekas yang diselipkan di paha. Mbak Keke—ibu Lyora—cerita, sering kali kaki putrinya terluka karena bergesekan dengan aspal atau batu di jalan.

Lyora tertawa. "Disimpen, Mbak. Sayang kalau dipakai terus, nanti rusak."

Wajah Bella kembali memerah menahan air mata. Baginya ini pengalaman baru. Melihat kehidupan di bawah garis kemiskinan hanya sekilas ia ketahui dari televisi atau gambar di internet. Bella belum pernah menemui orang-orang yang bahkan menganggap sepatu seharga dua ratus ribu sebagai barang mewah. Baginya sepatu puluhan juta adalah hal biasa.

"Gue beliin untuk dipakai, Ra." Gue sedikit berjingkat demi menghindari kubangan air.

Bella memegangi tangan gue. "Kenapa sih, Ra? Nanti kalau rusak, gue beliin lagi yang banyak."

Gue senggol pinggang Bella dengan sikut tangan. Menyadari sudah salah ngomong, Bella buru-buru menambahkan, "Eh ... maksud gue ... sepatu 'kan memang dipakai. Takutnya kaki lo luka atau gimana gitu." Bella mengkeret di samping gue.

"Aku belum biasa pakai sepatu, Mbak. Baru kali ini aku dikasih sepatu sebagus itu. Belum tentu aku bisa beli, Mbak."

"Bisa gue beliin 'kan," gumam Bella lagi sambil menunduk.

"Aku bakal seneng banget, Mbak, tapi Ibu pernah bilang, jangan pernah menggantungkan hidup ke orang lain. Karena nggak selamanya dia akan bersama dengan kami." Lyora menunjuk rumah di tengah tumpukan sampah. "Itu rumahnya Eko, Mbak."

Gue tersenyum mendengar penuturan Lyora. Ya, ajaran Mbak Keke sangat bijaksana. Dia selalu menekankan untuk anak asuhnya agar mandiri. Mbak Keke nggak suka dengan orang yang hanya menengadahkan tangan. Hanya menerima tanpa berusaha. Dia juga mengajarkan, kekurangan fisik jangan dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Orang hidup butuh makan. Untuk makan perlu uang. Jadi, walau nggak seperti orang normal, tetap harus bekerja. Karena Tuhan nggak akan mengubah nasib seseorang, bila dia nggak berusaha berubah.

Langkah gue terhenti di depan sebuah rumah. Sangat miris untuk disebut rumah. Dinding tripleknya sudah hampir rubuh, pintunya hanya berupa kain yang dibentangkan dengan rafia. Atapnya pun berupa terpal. Disekelilingnya penuh dengan berbagai macam sampah.

Eko—salah satu anak asuh Keke yang cuma memiliki satu tangan dan satu kaki—sudah beberapa hari ini sakit. Kata Keke, dia panas dan mengeluh sakit perut. Namun, karena keterbatasan biaya, orang tua Eko nggak mampu membawanya ke Rumah Sakit. Oleh karena itu, gue berencana mengunjunginya.

Pak Man berjalan di belakang sembari membawa beras dan beberapa bahan makanan lain. Sedangkan Toni dan Budi, gue suruh untuk membagi-bagikan sembako ke semua penghuni pemukiman.

"Permisi, Bu Iin!" Lyora memanggil tuan rumah dari luar. Karena nggak ada jawaban, Lyora mengulang salamnya, "Permisi! Ko ... Eko!"

Masih belum ada jawaban. "Mungkin pada kerja, Ra." Gue memutari rumah. Sekilas gue dengar erangan lirih dari dalam. "Eko, lo di dalam?"

Terdengar lagi erangan itu.

"Pak Man, tolong lihat ke dalam. Ada suara kesakitan."

Pak Man meletakkan barang ke lantai, lalu gegas masuk sambil menutupi hidung dengan telapak tangan.

"Mbak Cristal, ini ada anak yang kesakitan!" teriak Pak Man dari dalam.

Gue bergegas masuk. Gue terpaksa menahan napas dan berpura-pura nggak melihat kondisi dalam rumah Eko. Anak itu meringkuk di lantai beralaskan tikar yang sudah kumal. Tangan kanannya memegang erat perut.

Gue berusaha untuk jongkok dengan dibantu Bella. Ingatkan gue untuk mengapresiasi perjuangan Bella hingga berhasil masuk tanpa muntah.

"Eko, kamu bisa denger aku? Perutmu masih sakit sekali?" Pertanyaan Lyora dijawab anggukan.

Gue nggak bisa membiarkan begitu saja. "Pak, bawa Eko ke mobil sekarang. Kita bawa ke Rumah Sakit!" perintah gue sambil berdiri. "Ra, lo kasih tahu tetangganya kalau Eko kita bawa berobat."

Lyora menyetujui usul gue. Pak Man membopong tubuh kurus bocah sepuluh tahun itu. Sedangkan gue menyusul dengan tertatih. Gue berusaha menghubungi Toni. Karena tugas mereka belum selesai, gue suruh mereka pulang naik taksi online.

Toni sekarang sudah membuka lagi bengkelnya. Walau gue harus memaksa dengan sedikit ancaman sampai akhirnya dia mau menerima bantuan modal dari Papi. Sedangkan Budi sudah aktif bersekolah. Setelah mengikuti beberapa sesi konseling dengan Mbak Asoka, Budi dan Indah mulai mau mendekati gue. Begitu pun dengan gue.

Mobil melaju membelah jalanan Ibukota. Bella kubiarkan duduk di depan, sedangkan gue menemani Eko yang meringkuk di jok tengah. Keringat membanjiri tubuh kecilnya.

"Cris, Mas Beryl telepon." Bella menoleh sambil menyerahkan ponselnya. Pasti sedari tadi dia menghubungi gue.

Mas Beryl bertanya apa gue masih di Bantar Gebang. Semalam gue sempat cerita tentang rencana hari ini. Kebetulan kemarin Mas Beryl baru sampai di Jakarta. Jadi kalau gue masih di Bantar Gebang, dia berniat menyusul.

Gue menginfokan lokasi tepat saat mobil berhenti di depan IGD. Dia minta agar gue memberi kabar sebelum memutuskan sambungan.

Sembari menunggu Eko diperiksa dan ditangani dokter, gue dan Bella membersihkan diri di kamar mandi. Gue cekikikan mendengar Bella mengeluhkan rambutnya yang bau.

"Besok gue temenin ke salon deh," janji gue.

Bella membelalakkan mata sambil menganga seolah apa yang gue ucapkan adalah sebuah berita besar.

"Serius? Lo mau ke salon lagi sama gue?"

Gue mengelap muka dengan tisu basah. "Mau nggak?"

"Cristal, i love you so much!" pekik Bella kegirangan. Sejak gue diamputasi, memang baru kali ini gue menyanggupi untuk ke salon.

"Gue mau ngecat rambut. Enaknya warna apa, Bel?" Sudah lama nggak facial, creambath, potong rambut, dan memperbarui warna rambut, membuat gue terlihat kucel. Kalau pakai istilah Bella 'nggak shining shimering splendid'.

"Shooping sekalian, ya, Cris. Baju-baju lo itu harus kita rombak." Bella menautkan jari-jari membentuk kotak dan pura-pura membidik gue. "Nggak aestetik."

Gue tersenyum. "Terserah lo aja."

Bella tampak kegirangan. Katanya kali ini nggak bakal ngajak Belva. Dia males mendengar gerutuan, kritikan, dan ceramah Belva yang panjang lebar kalau kami terlalu lama di mal.

Saat kami balik ke IGD, Eko sudah dipasangi infus. Kata dokter, radang usus buntu dan jika dibiarkan akan berakibat fatal. Gue putuskan untuk segera dilakukan tindakan.

"Jangan, Mbak," lirih Eko. Dokter sudah memberinya suntikan anti nyeri, sehingga Eko nggak begitu kesakitan.

"Lo nggak perlu takut, nanti lo bakal dibius. Jadi nggak terasa sakit." Gue berusaha menenangkannya.

"Aku pulang saja, Mbak. Aku nggak punya duit untuk bayar rumah sakit. Nanti Ibu marah kalau aku bikin repot." Eko berniat mencabut jarum infus.

Gue mencegahnya. "Lo nggak perlu mikir biaya. Rumah Sakit di sini gratis." Gue terpaksa bohong. Yang penting Eko ditangani dulu.

Setelah mengurus segala pembayaran dan administrasi yang dibutuhkan, gue minta tolong Pak Man untuk membelikan kebutuhan Eko. Gue pun menelepon Toni, menyuruhnya menghubungi Lyora untuk membawa ibunya Eko ke Rumah Sakit.

Setelah memastikan semua beres, gue dan Bella ijin pulang dulu. Bella dari tadi wajahnya sudah pucat. Badan gue pun rasanya lengket nggak karuan. Seharian mengurus ini itu setelah sekian lama vacum ternyata cukup menguras tenaga.

"Tapi gue seneng, Mas," ucap gue sambil tersenyum pada Mas Beryl.

Gue duduk di pinggir kolam renang sambil memainkan kaki di air. Sedangkan Mas Beryl bersila di sebelah gue. Sepulang dari Rumah Sakit, gue sengaja melepas kaki palsu karena terasa sedikit nyeri. Waktu Mas Beryl tiba-tiba datang jam tujuh malam, gue terlanjur malas memakainya lagi.

"Saya ikut senang melihat kamu bersemangat lagi." Mas Beryl membalas senyum gue.

Gue memandang langit. "Ketemu sama Pelangi, Lyora, Mbak Keke dan anak-anak Bantar Gebang bikin gue tambah semangat untuk sembuh, Mas. Awalnya gue merasa kecil di hadapan mereka. Kayak nggak berguna sama sekali gitu.

"Apalagi kondisi mental gue yang labil, bikin gue makin minder. Kalah sama anak-anak kecil itu rasanya nggak enak, Mas." Gue tertawa kecil mengingat diri gue sebulan lalu.

Trauma akibat kebakaran ditambah tenggelam di kolam renang, sempat membuat gue berada di titik terendah. Kalau saja Tuhan nggak mengirimkan orang-orang luar biasa yang selalu ada di saat gue butuh, mungkin saat ini gue masih larut dalam kesedihan.

"Oh iya, pembacaan keputusan sidangnya kapan, Mas?"

"Selasa depan, Cris. Lebih baik kamu nggak usah datang. Biar pengacara saja."

Gue mendesah. "Gue nggak tega juga lihat Felicia kemarin. Dia kelihatan kurus dan pucat."

Tiga hari setelah pengaduan gue, polisi mengirimi Felicia surat pemanggilan. Hingga panggilan ke dua, Felicia masih saja nggak menggubris. Hingga akhirnya polisi melakukan penangkapan secara langsung di lokasi pemotretan. Kata Ilana, terjadi keributan siang itu. Nggak ada yang mengira Felicia berbuat hal nekat.

Setelah penangkapan, ada hal lain yang lebih mengejutkan. Felicia ternyata seorang pecandu. Dua hari di tahanan, gue mendapat kabar kalau dia sakau. Orang tua Felicia pernah menemui gue agar mencabut tuntutan. Namun, ditolak mentah-mentah sama Papi.

Tante Gina dan Ilana pun nggak menyalahkan gue karena sudah memidanakan Felicia. Mereka sadar kalau apa yang dilakukan Felicia salah.

"Biar jadi pelajaran buat Cia, Cris."

Gue melirik ke kanan. Mas Beryl selalu keren kalau pakai kaos polos gelap dengan jin biru. Perasaan kulitnya jadi kelihatan tambah bersih. Sudah baik, ganteng, dan bodinya bagus. Paket komplit sekali. Beruntung banget cewek yang nanti jadi istrinya.

Gue nggak munafik, rasa tertarik itu ada. Gue mengakuinya kok. Tapi nggak cukup untuk membuat gue mau menjalin hubungan dengannya.

Gue nggak ke-PD-an, siapa pun yang melihat gelagat Mas Beryl pasti sadar kalau dia mendekati gue karena ada maksud tertentu. Kode-kode yang dilempar pun bisa gue tangkap dengan jelas. Hanya saja gue memilih pura-pura nggak tahu.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top