»K-27«

Kira-kira Cristal bakal melaporkan Felicia nggak, ya?
Jangan lupa follow akun Emak,  pencet tanda ⭐ , komen di tiap bab, dan komen yang banyaaaak ....
😘😘😘

* * *

"Kita pulang sekarang atau gimana, Cris?" tanya Belva begitu kami meninggalkan halaman kantor polisi.

Hari ini Belva sedang dalam mode lembut. Dari pagi, saat menjemput gue untuk ke kantor polisi, dia selalu memasang senyum dan nggak pernah bicara judes. Bahkan saat keabsurdan Bella kumat, dia seperti membiarkan. Cenderung menimpali candaan Bella.

Belva nggak main-main dengan perkataannya. Jam delapan pagi dia sudah menjemput gue. Sedangkan rombongan pengacara dan Bella langsung menuju kantor polisi.

Setelah percakapan gue dengan Mas Beryl semalam, akhirnya gue memutuskan untuk melaporkan perbuatan Felicia. Entah dari mana Mas Beryl tahu kalau kecelakaan itu disengaja. Dia juga tahu bahwa Felicia yang merencanakan semua.

Awalnya gue membantah. Gue cuma nggak ingin melukai perasaan Mas Beryl. Kalaupun dia harus tahu, bukan dari mulut gue. Namun, Mas Beryl terus mendesak gue untuk melaporkan Felicia. Dia nggak akan rela jika membiarkan Felicia bebas begitu saja. Perbuatan Felicia kali ini sudah masuk ke tindak pidana serius. Bukan nggak mungkin dia akan mengulangi perbuatannya.

Gue sempat mengutarakan keheranan. Bagaimana mungkin Mas Beryl setega itu sama pacarnya? Tanggapan yang diberikan Mas Beryl sungguh di luar perkiraan. Dengan tegas Mas Beryl membantah ada hubungan dengan Felicia. Memang, dari SMA Felicia sudah memperlihatkan ketertarikan pada Mas Beryl secara gamblang. Namun, katanya sudah ia tolak berkali-kali. Mas Beryl hanya menganggap Felicia sebagai teman Ilana. Jadi dia menyuruh gue untuk nggak memikirkan siapa pun. Yang penting Felicia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.

Setelah mendengar penjelasan Mas Beryl, gue akhirnya membulatkan tekad untuk melaporkan Felicia. Begitu gue menghubungi Belva perihal kesediaan gue mengikuti sarannya, nggak pakai waktu lama Belva menghubungi tim pengacara.

Katanya semua memang sudah disiapkan. Dengan atau tanpa persetujuan gue, dia tetap akan menyeret gue untuk melapor. Khas Belva banget 'kan.

Gue pikir membuat laporan itu cuma sebentar. Masuk, daftar, lapor, lalu pulang. Ternyata prosedur dan berkas yang dibutuhkan banyak banget. Yang membuat gue heran, bagaimana bisa Belva mendapat bukti sampai sedetail itu. Semua CCTV yang ada di venue dikumpulkan. Saksi mata yang ada di dekat lokasi kejadian pun bersedia hadir untuk memberikan keterangan. Ditambah riwayat kesehatan gue sewaktu dirawat itu sudah terkumpul dengan rapi.

"Anterin gue ke kliniknya Mbak Asoka dulu, ya. Nanti lo langsung pulang aja. Biar gue balik dijemput Pak Man," jawab gue sambil mengatur pemutar musik di mobil Belva. Dia selalu membiarkan gue atau Bella menaruh DVD di mobilnya. Padahal jelas sekali selera musik kami berbeda.

"Va, kenapa di sana ada Mas Beryl? Bukannya lo marah sama dia, tapi gue lihat tadi kalian akrab banget." Gue membesarkan volume musik.

Bagatelle no.25 in A minor karya Beethoven mengalun lembut. Melemaskan otot leher yang tegang setelah hampir setengah hari berhadapan dengan pihak penyidik.

Belva melihat gue sambil tersenyum lebar. "Kenapa dia nggak boleh di sana?" Belva balik bertanya.

Gue berdecak. "Bukannya nggak boleh, cuma aneh."

"Simple," Belva berbelok masuk ke pintu tol, "karena dia lebih berhak berada di sana ketimbang gue."

Gue memiringkan badan sehingga menghadap Belva secara langsung. "Maksudnya?"

"Lo pikir siapa yang ngumpulin bukti serapi dan sebanyak itu?"

"Lo 'kan?" Gue memerhatikan wajah Belva. "Bukan lo, ya?"

Belva mengangguk. "Semua kerjaan cowok lo."

"Cowok gue siapa?"

Belva mendorong kening gue dengan telunjuk kiri. "Halah, sok nggak tahu. Memangnya siapa lagi kalau bukan Beryl."

Mas Beryl yang mengumpulkan bukti? "Kok bisa?"

"Ya, bisa. Dia nggak terima lo bisa nyemplung di kolam tanpa sebab yang jelas. Selama lo di Rumah Sakit, lo pikir ngapain dia wira-wiri terus? Nengokin lo? Nggak usah ngayal! Dia minta tolong gue untuk bantuin dia ambil CCTV dari Shangrilla.

"Dia juga yang ngumpulin berkas dari Rumah Sakit. Setelah gue dapet rekaman CCTV, dia juga yang nyari saksi kunci kejadian malam itu. Kebetulan di depan lo saat itu ada model yang melihat kejadian. Nah, selama seminggu dia ngejar-ngejar itu cewek. Sampai harus terbang ke Bali, karena itu cewek memang domisili di sana.

"Tim pengacara yang lo temui tadi juga bukan orang gue. Semua Beryl yang nyiapin. Gue cuma bertugas nganter jemput lo." Belva cekikikan melihat gue manyun.

"Jadi ... bukan gue malaikat penyelamat buat lo. Tapi ... si Beryl," tambahnya.

Gue menatap Belva nggak percaya.

"Terserah lo mau percaya sama cerita gue atau enggak. Lagian buat apa gue bohong? Biar lo respek sama Beryl? Kurang kerjaan banget hidup gue. Asal lo ingat, gue ini sahabat lo. Nggak mungkin gue bikin lo sengsara."

Tapi cerita lo barusan udah bikin hati gue sengsara, Va. Seandainya gue nggak tahu kebaikan yang dilakukan Mas Beryl, tentu gampang buat gue untuk menyingkirkan setitik rasa yang mulai muncul. Kalau begini ceritanya 'kan setitik itu bisa berkembang jadi segunung.

"Memang apa salahnya jatuh cinta, Cris?" tanya Mbak Asoka.

Gue sudah duduk manis di ruang kliniknya. Begitu mengantar gue masuk, Belva langsung pulang. Sengaja gue minta dijadikan klien terakhir, supaya bisa cerita selama mungkin.

Seperti biasa, Mbak Asoka selalu menanyakan bagaimana perasaanku belakangan ini. Dia juga menyuruh gue menceritakan detail kejadian kebakaran dan yang di kolam. Biasanya kalau sudah mulai bercerita, gue nggak akan bisa mengerem mulut. Semua hal yang terjadi selama seminggu pasca konseling minggu lalu, pasti akan gue ungkap.

"Gue belum siap memerima orang baru, Mbak. Sampai detik ini saja gue belum bisa menerima kekurangan gue. Bagaimana mungkin gue meminta orang lain buat menerima gue apa adanya. Gue belum punya apa-apa yang bisa gue banggakan, Mbak.

"Hidup gue masih tumpang tindih. Gue masih mood swing banget. Belum lagi phantom dan serangan panik yang kadang-kadang muncul. Oh iya, gue juga pobia api. Gimana itu?

"Mana ada cowok yang mau sama gue, Mbak. Rasa-rasanya gue nggak layak buat siapa pun. Mungkin benar kata Felicia. Gue lebih baik hidup sendiri." Gue tutup cerita dengan satu helaan panjang.

Mbak Asoka mengambil kertas dan pensil. Lalu menuliskan nama gue di atas kertas. "Kamu bisa melihat tulisan ini?"

Gue mengangguk.

Mbak Asoka membuat coretan asal di atas nama gue. "Kamu masih bisa baca tulisannya?"

"Masih, tapi penuh coretan."

Mbak Asoka mengambil penghapus lalu menghapus semua tulisan dan coretan di atas kertas. "Tulisannya masih ada atau tidak?"

"Udah hilang, tapi masih bisa gue baca, Mbak." Bekas tulisan itu meninggalkan jejak di atas kertas.

"Sama seperti kamu saat ini. Sebelum kebakaran itu, hanya ada hal baik di hidupmu. Semua berjalan sesuai rencana. Segala hal seperti tidak ada kendala. Hidupmu teramat sangat bahagia.

"Namun, hadirnya coretan itu membuat indahnya hidup tertutupi kekurangan. Yang kamu lihat hanya coretannya. Padahal di sana masih ada tulisan indah. Masih ada kebahagiaan untuk kamu.

"Nah, kita berdua berusaha menghilangkan coretan yang merusak hidupmu. Mbak bimbing kamu untuk menerima bahwa di atas kertas yang kamu punya sekarang, nggak cuma tulisan indah namamu saja. Tapi ada coretan-coretan tidak berarti.

"Setelah kamu mencoba merapikan lagi hidupmu. Apa yang kamu lihat di atas kertas? Bekas itu masih ada. Bekas itu nggak akan pernah hilang kecuali kamu merobek kertas dan membuangnya. Yang artinya sama dengan kamu mengakhiri hidup.

"Lalu bagaimana caranya supaya kertas yang sudah ada bekas tulisan baik dan coretan ini kita kembalikan hanya ke namamu saja?" Penjelasan Mbak Asoka yang panjang mulai dapat gue terima dan mengerti.

"Gue tulis ulang nama gue?"

Mbak Asoka menjentikkan jari. "Betul sekali."

Mbak Asoka mengambil spidol warna-warni lalu menuliskan nama gue lebih besar. Tiap huruf menggunakan warna yang berbeda. Font-nya pun terlihat lebih indah, dengan pola melengkung-lengkung.

"Kamu bisa baca namamu di sini?"

Gue mengangguk.

"Bagus mana dengan yang tadi?"

"Yang ini, Mbak."

"Coba kamu lihat dengan teliti." Mbak Asoka mendekatkan kertas ke gue. "Kamu bisa melihat bekas tulisan dan coretan tadi?"

"Masih ada, Mbak, tapi nggak begitu jelas karena tertutup spidol."

"Kamu sudah bisa meraba poin pentingnya, Cris?" Mbak Asoka menyenderkan punggung ke sandaran kursi.

"Gue buat kisah hidup yang lebih indah dibanding sebelum bencana itu."

* * *

Nggak terasa hampir tiga jam gue konsultasi dengan Mbak Asoka. Padahal tadi gue sudah makan siang di rumah makan dekat kantor polisi, tapi sekarang terasa lapar lagi. Sambil menunggu Pak Man, gue putuskan untuk mampir ke minimarket sebelah klinik. Sepotong roti pasti bisa mengganjal perut gue.

Di saat gue mau membayar barang belanjaan, tanpa sengaja gue menyenggol seorang wanita yang sedang berjongkok di dekat kasir.

"Astaga, maaf, Mbak." Gue berusaha membantunya berdiri. Namun, gue begitu terkejut saat menyadari perempuan yang gue tabrak barusan adalah seorang gadis yang nggak memiliki tangan dan kaki.

Gue ralat. Kedua kakinya nggak sama panjang. Sebelah kiri hanya setengah paha dan yang kanan sedikit di atas lutut. Sedangkan kedua tangannya hanya sebatas pergelangan tangan saja.

Gadis itu tersenyum lebar menatap gue yang terdiam. "Maaf, Mbak, saya menghalangi jalan."

Gue langsung tersadar dan membantu gadis itu membawakan barangnya. Awalnya dia menolak, tapi gue paksa. Pasti susah membawa setumpuk keset dengan tubuhnya itu.

"Maaf, gue tadi nggak lihat depan." Gue kembali mengucapkan maaf saat kami sudah berada di emper minimarket.

Kalau gue perhatikan dari wajahnya, dia lebih tua dari Pelangi. Umurnya mungkin sekitar enam belas atau tujuh belas tahun. Gue perhatikan tubuh bagian atasnya mulai terbentuk. Karena tertarik dengan kepolosan Lyora, gue mengajaknya duduk di bangku dekat minimarket sambil mencegat tukang rujak keliling.

Namanya Lyora. Cantik 'kan. Secantik wajah dan senyumnya. Sehari-hari ia berkeliling untuk menjual keset dari rumah ke rumah. Kebetulan pemilik minimarket tadi memanggilnya untuk membeli keset.

Rumahnya di pemukiman dekat TPA Bantar Gebang. Gue kembali dibuat terkejut. Pasalnya dari sini ke sana bukan jarak yang dekat. Bagaimana caranya membawa barang dagangan dengan tubuhnya itu?

"Saya bareng Ibu, Mbak. Biasanya saya menunggu di tempat yang adem. Ibu yang keliling," jelasnya sambil mencocol sepotong pepaya ke sambal dengan ujung tangannya.

Gue benar-benar takjub, dengan tangan yang nggak ada jarinya, Lyora tampak makan seperti orang normal. Di ujung tangan kanannya ada dua daging menonjol yang seperti jari. Dia menggunakannya untuk menjepit makanan.

Lyora sangat supel. Senyum nggak pernah luntur dari wajahnya. Ngobrol dengannya membuat gue lupa waktu. Mungkin karena usia kami nggak terlalu jauh beda, obrolan yang ada pun random. Hal apa pun bisa kami jadikan topik pembicaraan.

Lyora cacat sejak lahir. Ayahnya pergi begitu tahu dia terlahir cacat. Jadi sekarang dia hanya tinggal bersama ibunya. Walau difabel, Lyora tetap sekolah. Saat ini dia duduk di bangku SMA kelas sebelas.

"Jadi semua keset ini buatan sendiri, Ra?" Gue menyentuh keset berbahan dasar kain perca.

"Iya, Mbak. Ibu ngumpulin kain bekas dari pabrik, lalu dipotong-potong. Nanti anak-anak tinggal ngerjain."

"Ada berapa anak yang kerja di tempatmu, Ra?"

"Hm ...." Lyora memandang ke atas sambil menghitung jari. "Delapan, Mbak. Di Bantar Gebang banyak anak difabel kayak saya, Mbak. Kasihan mereka, selalu jadi bahan ejekan orang. Karena itu sama Ibu dikasih pekerjaan, biar mereka bisa mandiri."

Gue mengerjap berkali-kali. "Semuanya difabel?"

Lyora mengangguk dengan mulut penuh dengan melon.

Gue tertegun cukup lama. Menampung dan memberi pekerjaan untuk kaum difabel. Padahal kehidupan mereka pun nggak bisa dibilang berkecukupan. Gue benar-benar penasaran seperti apa Keke—ibunya Lyora—ini.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top