»K-24«
Nggak terasa sudah bab 24, Maaak
Yang nggak mau ketinggalan Katastrofe, masukin ke perpus dulu. Terus kasih vote bintang ⭐ dan jangan lupa komen di tiap bab
Terima kasih
😘😘😘
* * *
Kedai es krim ini belum banyak berubah dari terakhir gue ke sini. Hanya ada penambahan ornamen dan pergantian jenis tanaman. Justru gue yang mengalami perubahan. Empat bulan lalu gue masih pakai kursi roda, sekarang gue sudah bisa berjalan dengan kaki palsu.
Dulu gue belum mau mengakui kekurangan dan memilih bersembunyi. Sekarang gue lebih membuka diri.
"Memangnya lo udah beli kado?" Belva menyesap kopi hitam. Kebiasaannya kalau baru banyak pikiran. Cuma Belva yang pesan kopi panas di kedai es krim.
"Belumlah. Gue nggak tahu bakal dateng atau enggak. Rasanya masih males ke sana lagi," keluh gue.
Sudah satu jam gue dan Belva di sini. Awalnya Bella yang mengajak kami berkumpul, tapi mendadak dia memberi kabar kalau ban mobil bocor. Padahal gue dan Belva sudah menuju lokasi.
"Kalau lo nggak nyaman, lebih baik nggak usah dateng."
Jalan keluar dari Belva terasa menggiurkan. Gue nggak perlu repot-repot pasang wajah baik-baik saja. Lagipula gue nggak kenal sama Ilana. Baru juga sekali ketemu, itu pun cuma sekilas pandang saja.
Kalau bukan adik Mas Beryl, gue pasti langsung menolak untuk datang. Apalagi Mas Beryl sendiri yang ke rumah untuk menyerahkan undangan ulang tahun Ilana. Kalau nggak datang gue merasa nggak enak sama Mas Beryl.
"Temenin gue yuk, Va."
"Males banget." Belva menggeser vas di atas meja dan memainkan bunganya.
"Balikin, Va, nanti rusak." Setiap barang yang dipegang Belva, kebanyakan nggak berwujud seperti semula.
"Minta temenin Bella sana," usul Belva. "Lo cukup setor muka. Habis ngucapin selamat, ngasih kado, terus balik." Belva masih memuntir-muntir batang bunga plastik.
"Bella mana? Coba lo telepon, Va. Kalau masih lama, mending kita cabut."
Belva mendorong vas ke tempat semula, tapi susunan bunga sudah amburadul. Dia sengaja me-loudspeaker panggilan.
"Kalian udah sampai?" tanya Bella begitu sambungan terhubung.
"Lo di mana? Masih lama nggak? Gue tinggal nih," tembak Belva tanpa basa-basi.
"Gue nggak ada yang nganter, Va," rengek Bella.
"Heh, lo nggak kenal teknologi taksi online?" Belva jelas ngamuk dengar alasan Bella. "Gue sama Cristal cabut. Hukumannya lo besok malem harus nemenin Cristal ke ulang tahun ... siapa tadi, Cris?"
"Ilana."
"Siapa tuh?"
"Adiknya Beryl," jawab Belva singkat.
"Asyik, gue gabut banget. Tiap malem minggu nggak ada yang apel. Besok jam berapa? Dress code apaan? Lokasi pesta di mana?" tanya Bella beruntun.
"Di hotel Shangrilla, jam tujuh malam, dress code hitam. Lo beneran bisa 'kan? Kalau iya, ini gue beli kado sama Belva."
"Iiih, gue mau dong ikut nyari kado."
"Nggak ada! Gue udah buang waktu setengah jam buat nungguin lo di sini. Dah, gue balik sama Cristal. Inget, besok lo jemput Cristal," pesan Belva sebelum memutus sambungan.
"Lo nggak malu jalan sama cewek pincang 'kan, Va?" tanya gue sambil mengekor Belva ke kasir.
Belva melirik gue tajam. "Ngomong sekali lagi, lo pergi sendiri."
Gue cekikikan melihat tampang Belva. "Lo memang terbaik." Gue lingkarkan tangan ke lengan kirinya. "Kita ke toko emas atau silver aja, Va."
Pilihan gue jatuh ke kalung emas putih dengan liontin berlian mungil. Gue nggak tahu selera Ilana seperti apa. Kalau perhiasan 'kan bisa dia simpan. Misal mau dijual pun masih ada harganya.
Belva sempat mau membelikan gue gelang berinisial nama gue, tapi gue tolak. Cowok satu ini nggak tahu yang namanya hemat. Apalagi sama orang yang dia anggap dekat. Bersyukur sekali cewek yang bakal jadi istrinya nanti.
"Lo udah ada bajunya?" Belva membiarkan gue memeluk lengan kirinya. "Lo nggak punya gaun panjang hitam, Cris."
Heran. Gimana ceritanya dia hapal isi lemari gue. "Pinjem punya Bella aja deh."
Belva melihat gue dari atas ke bawah. "Yakin cukup?"
Cabe banget 'kan mulutnya. "Beliin kalau gitu."
Tanpa menjawab Belva menggandeng gue ke toko pakaian yang gue tahu harganya pasti membuat kantong menangis.
"Yakin nih?" balas gue.
"Gue beli setokonya juga bisa."
"Idih, sombooong."
Nggak butuh waktu lama buat gie menemukan gaun yang cocok. Yang penting panjang semata kaki dan berwarna hitam.
Belva mengusulkan untuk memilih gaun midi, tapi gue menolak keras. Mana mungkin gue memamerkan kaki palsu ini. Bisa-bisa jadi bahan tertawaan. Membayangkan gue berjalan pincang saja membuat kepercayaan diri gue amblas.
* * *
Gue mematut sekali lagi riasan di spion mobil Bella. Untung masih ada lahan parkir kosong di dekat pintu masuk hotel. Jadi gue nggak perlu jalan jauh. Sebenarnya bisa parkir di basement atau lantai atas, tapi lokasi pesta di kebun dekat lobi lantai dasar. Sangat buang-buang waktu dan tenaga 'kan.
Jam digital di mobil menunjukkan pukul tujuh tiga puluh. Gue sengaja datang telat supaya nggak perlu terlalu lama di dalam. Kalau bisa lima menit langsung cabut.
"Bel, nanti bantuin gue jalan, ya," pinta gue.
"Apa sih yang enggak buat lo?" Bella membetulkan letak liontin gue yang miring. "Lo udah bilang ke Mas Beryl kalau gue ikut nggak?"
"Harus bilang, ya?" Gue merapikan rambut yang sengaja gue gerai. Sudah lama gue nggak ke salon. Warna rambut yang semula ungu kemerahan sudah luntur.
"Heh, nanti dia pikir gue mau numpang makan doang, Cris. Lagian jangan-jangan dia pengin kalian bisa berduaan gitu."
"Nggak usah ngaco." Gue menutup pintu mobil. Dari undangannya, ini outdoor party yang berada di area kolam renang. "Awas kalau nanti bikin gue malu. Ingat, gue nggak ada dan nggak akan ada apa-apa sama Mas Beryl."
"Istighfar, Cris. Jangan mendahului Tuhan, you know."
Gue yang tengah merapikan bagian bawah empire waist dress yang gue kenakan pun serta merta terkejut. "Lo kasambet jin apaan? Tumben otak lo bener."
Rok sepanjang mata kaki dengan model sedikit mengembang benar-benar bisa menutupi kaki palsu gue. Cinta sekebon buat Belva yang sudah merogoh kantong dalam-dalam. Besok kalau sneaker limited edition yang dia pengin keluar, pasti gue balas belikan.
"Jin Gio." Bella tersenyum bangga. Memang yang namanya cinta bikin buta akan segala hal. Tapi Gio membawa efek baik buat Bella. Gadis slengekan itu jadi lebih kalem dan alim.
Gue menggandeng Bella, nggak sampai memeluk lengan seperti Belva kemarin. Gue bisa dibunuh sama Bella kalau bikin gaunnya kusut. Memasuki lobi hotel, suara musik dari band sudah terdengar.
"Umur berapa sih, Cris?" bisik Bella saat kaki kami tiba di pintu masuk acara.
Kebun belakang dan kolam renang disulap menjadi area pesta mewah. Di atas kolam dibangun panggung utama. Sedangkan kirinya terdapat panggung kecil untuk para anggota band.
Di sepanjang jalan diberi lampu dengan untaian bunga segar. Gazebo-gazebo makanan bertebaran di seantero area pesta.
Gue mengedarkan pandangan, mencari tuan rumah. Tepat di depan jembatan yang menghubungkan ke panggung di tengah kolam, gue melihat Om Rifa'i, Tante Gina dan Ilana sedang menyalami tamu undangan.
"Dua lima," desis gue agar nggak terdengar tamu lain.
Bella yang setengah menunduk sambil mengisi buku tamu pun menoleh ke arah gue dengan cepat. "Umur segitu masih dirayain?" pekiknya kaget.
Gue memelototi Bella dan gegas menariknya dari antrian. "Kecilin suara lo."
"Buang-buang duit." Bella mengerucutkan bibir sambil bersedekap. "Kalau cuma bikin party kayak begini, tiap hari selama sebulan juga gue bisa. Tapi buat apa coba?"
"Jangan mulai ketularan julidnya Belva deh. Tiap orang 'kan beda-beda, Bel. Lagian si Lana ini model. Mungkin kebiasaan temen-temennya begini."
Bella mengangguk. "Ya, kalau model lain cerita. Pantes yang ke sini badannya kayak triplek semua. Rata depan, rata belakang." Bella cekikikan sendiri.
Gue menarik Bella ke dekat panggung di mana Lana dan keluarganya berdiri. "Bel, penampilan gue gimana?" desis gue tepat di telinga Bella.
Kami mengantri untuk memberi ucapan selamat dan memberikan kado. Gaun one shoulder putih dengan potongan setinggi paha yang berhiaskan permata, membuat Lana tampak begitu memesona. Perhiasan berlian menghiasi leher dan telinganya. Pada dasarnya dia sudah cantik, ditunjang penampilan maksimal tentu membuatnya bersinar.
"PD, Cris. Lo luar biasa malam ini," balas Bella.
Gue mengambil napas panjang dan berusaha menenangkan diri. Setiap orang yang berpapasan dengan gue, pasti langsung melihat kaki. Berada di tengah-tengah komunitas kaki panjang, badan seksi dengan wajah rupawan membuat gue minder. Lain halnya dengan Bella. Cewek ini tampak pantas sekali ada di sini, seolah dia merupakan salah satu bagian dari mereka.
"Cristal 'kan ini? Wah, Om benar-benar pangling. Cantik sekali kamu." Om Rifa'i membawa gue ke pelukannya, sambil berkali-kali menepuk punggung gue.
"Malam, Om. Maaf, Cristal terlambat," salam gue setelah lepas dari pelukan Om Rifa'i.
Gue juga memberi salam pada Tante Gina yang berdiri di samping Om Rifa'i. Dia terlihat kaget melihat gue. "Cristal sudah tidak pakai tongkat, ya? Jalannya bagaimana?"
Gue mencubit paha Bella yang sudah membuka mulut. Pasti dia mau menjawab perkataan Tante Gina. Bisa berabe.
"Mami papimu mana?" Om Rifa'i mencari keberadaan Mami Papi.
"Papi Mami nitip salam buat Om dan keluarga. Papi juga minta maaf nggak bisa hadir, karena baru di Singapura, Om." Sebenarnya Mami di rumah, nggak ikut Papi, tapi nggak mau datang.
"Oh iya, papimu sempat cerita." Om Rifa'i tampak melihat ke kanan kiri. "Kamu sudah bertemu Beryl?"
"Belum, Om."
"Ada di mana anak itu? Tunggu, Om carikan."
Baru saja gue mau mencegah, Om Rifa'i sudah meninggalkan kami. Bella mendorong pinggang gue, memberi isyarat untuk maju dan memberi ucapan ke Ilana.
"Lana, selamat ulang tahun." Gue menyalami Ilana lalu menyerahkan kado yang sudah gue siapkan.
"Hm ... makasih." Ilana tampak bingung melihat gue, lalu menjawil mamanya.
"Ini Cristal, Lan, anaknya Om Indra yang tempo hari ke rumah." Tante Gina menjelaskan sambil tersenyum. Sebenarnya mukanya itu nggak yang julid, khas pemeran antagonis. Cuma mulutnya kadang kalau ngomong bikin sakit hati.
"Oooh .... Makasih banget, ya, udah dateng ke pesta gue. Maaf, gue sempat nggak kenal." Ilana tersenyum lebar.
"Kamu juga pangling 'kan, Lan. Mama tadi juga kaget, soalnya Cristal sudah tidak pakai tongkat lagi. Hebat lho, padahal kaki kirinya diamputasi, tapi bisa jalan."
Sebenarnya kalimat Tante Gina nggak ada masalah. Serius. Ucaoan Bella Belva terkadang lebih pedas, tapi gue biasa saja. Mungkin karena beda nada bicara dan cara penyampaiannya, jadi di kuping pun terasa aneh.
"Oh, ya? Jadi Cristal ini nggak punya kaki, Tan?"
Gue menoleh ke kanan, ke sumber suara. Sepertinya wajah itu nggak asing. Kira-kira pernah ketemu di mana, ya?
"Siapa?" Bella berbisik.
Gue menggeleng pelan. Benar-benar nggak bisa ingat siapa dia.
"Cristal, kenalkan ini Felicia. Temannya Lana yang waktu itu pernah ketemu di rumah Tante."
Mendengar penjelasan Tante Gina, gue baru ingat. "Hai," sapa gue.
"Lo serius nggak punya kaki?" Felicia menunduk dan membuka rok gue.
"Heh, yang sopan dong!" bentak Bella.
Gue menarik pergelangan tangan Bella. Jangan sampai Bella terpancing emosi.
"Weits, santai, Sist. Gue cuma pengin tahu. Soalnya belum pernah lihat cewek yang nggak punya kaki." Felicia mengangkat kedua tangan sambil cekikikan. Dia mungkin beranggapan orang cacat adalah badut yang pantas ditertawakan.
"Yah, mending nggak punya kaki, daripada nggak punya hati," balas Bella.
Gue harus segera membawa Bella menyingkir dari sini. Kebetulan di belakang gue ada orang yang datang untuk memberi selamat. "Sekali lagi selamat ulang tahun, ya, Lana." Gue mengangguk berpamitan. "Tante, Cristal turun dulu. Mari, Tante."
Gue tarik paksa Bella yang masih memelototi Felicia. "Ssst, ayo turun."
Memaksakan diri untuk berjalan cepat dengan gaun panjang ternyata ribet. Gerak gue yang tertatih semakin terlihat. Apalagi saat melewati turunan di jembatan. Berkali-kali gue salah langkah, sehingga terpaksa menyeret kaki kiri.
"Pelan-pelan, Cristal." Harum parfum yang nggak asing, terhirup samar saat seseorang mendekat.
Sebelah tangannya melingkari pinggang gue, sedangkan tangan kirinya menggenggam tangan kiri gue. Dengan perlahan tapi pasti, dia menarik gue mendekat ke arahnya. Hingga otomatis bahu gue bersinggungan langsung dengan dada bidangnya.
Gue mengerjap berkali-kali demi memulihkan kesadaran. Jangan sampai gara-gara aroma yang menggoda dan interaksi sedekat ini dengan seorang pria membuat gue hilang kontrol.
"Kamu cantik sekali, Cristal." Suara serak dan dalam menerobos gendang telinga gue. Membuat sekujur tubuh merinding dan perut gue terasa tegang.
Hingga detik kelima gue baru sadar dan kembali bernapas. Bisa-bisanya gue lupa cara untuk mengambil oksigen.
"Hai, Mas." Gue menarik tangan dari genggamannya dan menjauhkan diri.
"Malam, Mas Ganteng." Bella memamerkan senyum pemikat sambil mengedip genit.
Mas Beryl tertawa dalam dan halus. Membuat dada gue berdesir. Tubuh gue kenapa sih? Perasaan malam ini aneh banget.
"Malam, Bella. Terima kasih sudah menemani Cristal, ya." Mas Beryl mengajak kami beralih menjauhi kerumunan.
"Untung gue ikut. Kalau enggak, bisa-bisa Cristal diterkam penyihir—"
Gue cubit punggung Bella dengan kuat. Setelahnya gue menyesal, karena pasti nanti membekas biru.
"Aduh! Apa-apaan sih lo!" Bella memelotot sambil berkacak pinggang.
"Penyihir? Siapa maksudnya?" Kedua alis Mas Beryl tampak bertaut.
"Jangan dengerin Bella, Mas. Dia kelaparan jadinya ngaco." Gue menoleh ke Bella sambil menyuruhnya tutup mulut dengan isyarat bibir.
"Iya, gue lapar sampai bisa makan orang bulat-bulat!"
Gue dorong punggung Bella sambil meringis ke Mas Beryl. "Ambil minum sana, biar dingin," perintah gue.
Bella berdecak. "Gue titip Cristal, Mas. Lo mau minum apaan? Ada alkohol nggak, Mas?"
"Heh, jangan macam-macam, Bel!" bentak gue.
Bella meninggalkan gue sambil tertawa. Dengan gesit dia bisa meloloskan diri dari kerumunan orang.
Untung malam ini cerah. Cenderung berhawa panas menurut gue. Ditambah berdiri di samping cowok gagah ini membuat gue tambah panas. Entah cuma perasaan gue, tapi Mas Beryl semakin mendekat. Tadi sepertinya masih ada jarak, tapi kenapa sekarang bahu gue jadi menempel lagi di dadanya begini?
Tunggu dulu! Bukan gue yang mendekat 'kan, ya? Spontan gue melangkah ke kanan, mengurai jarak lagi. Terdengar tawa dalam dan serak dari lelaki berjas hitam yang berdiri di samping gue.
"Kamu takut sama saya?"
Iya! Gue takut berbuat khilaf!
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top