»K-22«
Mohon dukungannya, ya, Mak-Emak tercincaaah ....
Jangan lupa follow akunku, masukin ke perpus kalian, vote ⭐ dan komen di tiap bab
Makasiiih .....
😘😘😘
* * *
"Mereka nggak salah, Mbak. Gue sendiri yang memilih untuk balik ke rumah Toni. Itu jawaban gue, Mbak."
"Oke, Mbak terima jawabanmu, tapi masalahnya bukan itu yang Mbak maksud." Mbak Asoka menyanderkan punggung sambil tertawa.
Gue mengembuskan napas panjang. "Terus jawaban yang gimana, Mbak?"
Hari ini adalah jadwal konseling gue. Seharusnya tadi pagi, tapi gue minta diundur siang sekalian mau ambil pesanan kue di toko langganan Mami. Nanti malam kami sekeluarga diundang makan malam di rumah Om Rifa'i. Padahal siang ini Mami ada rapat membahas malam amal bulan depan. Jadi sebagai oleh-oleh, Mami memesankan beberapa kue basah.
Ruang konseling Mbak Asoka selalu rapi dan wangi. Bunga segar pun nggak pernah absen menghiasi sudut ruang. Pernah sekali waktu gue tanya kenapa nggak pakai bunga plastik. Selain awet juga nggak merusak alam. Jawabannya sama sekali di luar ekspektasi gue.
Dia bilang, menyembuhkan jiwa seseorang harus dengan ketulusan bukan kepalsuan. Dan bunga salah satu cara untuk mengingatkan akan komitmennya tersebut.
"Coba kamu ingat-ingat lagi pertanyaan Mbak. Kalau kamu belum bisa jawab, kita juga bel bisa memulai konseling yang sesungguhnya." Mbak Asoka memajukan tubuh. Menautkan ke sepuluh jari di atas meja sambil tersenyum.
"Hah? Lha, selama ini gue ngapain, Mbak?"
Jelas kaget dong gue. Seminggu sekali selama lima bulan gue menjalani psikoterapi. Belum konsultasi via telepon yang sering banget gue lakukan. Dan Mbak Asoka bilang gue baru bisa mulai konseling setelah menjawab pertanyaan Mbak Asoka?
"Jika diibaratkan kita mau membersihkan rumah rusak yang ditelantarkan pemiliknya, kemarin itu kita baru masuk ke halaman depan. Nah, jawaban yang Mbak minta itu kunci untuk membuka pintu depan, Cris."
"Ternyata mengobati sakit jiwa nggak segampang ngasih obat merah di lutut, ya, Mbak," keluh gue.
"Karena kalau kamu jatuh, lukanya kelihatan, Cris. Nah, tadi kamu bilang kalau yang terjadi pada dirimu bukan kesalahan mereka. Tapi ... pilihanmu sendiri. Yang Mbak tanyakan, misal kamu berada di situasi yang sama, apa yang kamu lakukan?"
Gue memainkan ujung kemeja. Memilinnya hingga kusut. "Terkadang gue yakin akan melakukan hal yang sama, tapi ... kafang gue menyesal dan nggak ingin mengulangnya," jawab gue lirih.
"Perbandingannya berapa persen?"
"Enam puluh empat puluh," jawab gue ragu.
Mbak Asoka mengangguk-angguk. "Bagus, Mbak apresiasi usahamu untuk mencari jawaban. Coba kamu pikirkan ulang di rumah, kira-kira minggu depan akan ada perubahan angka atau tidak."
"Kenapa, Mbak?" tanya gue heran.
"Karena hidup itu terus berjalan dan selama kita bernapas akan selalu ada masalah. Mbak ingin tahu, jika nanti ada masalah dalam kehidupanmu, apakah kamu akan menyalahkan pilihan di hari itu atau tidak."
Gue mendengkus keras. Mbak Asoka ini selalu bikin gue pusing. Setiap pulang dari konseling, pasti ada PR yang harus gue kerjakan.
"Terus untuk masalah Indah bagaimana, Mbak? Gue udah mengikuti saran Mbak untuk mendekati mereka. Toni udah mulai membuka diri, walau tiap ada bahasan tentang kebakaran, dia selalu terlihat menarik diri.
"Gue juga mengikutsertakan Toni di kegiatan gue. Nah, Budi masih selalu menjauh. Sedangkan Indah sama sekali nggak mau ketemu gue."
"Kamu ajak mereka ke sini, ya, atau untuk membangun suasana, kita bisa janjian ketemu di panti asuhan saja."
Gue lebih memilih yang kedua. Selain lebih santai, Indah bisa bertemu dengan teman-teman sebaya. Secepatnya gue harus membawa mereka—terlebih Indah—untuk bertemu dengan Mbak Asoka.
* * *
Pagar setinggi dua meter berwarna emas tampak begitu gagah dan megah. Di sepanjang jalan ditanami pohon palem serta berbagai tanaman hias. Belum masuk saja sudah terasa kemewahan dari rumah Om Rifa'i. Apalagi isi rumahnya.
Saat kami tiba di depan gerbang, seorang satpam langsung menghampiri dan menanyakan maksud kedatangan kami. Begitu Papi menyebutkan nama, tanpa menghubungi pemilik rumah, si satpam langsung membukakan gerbang dan mempersilakan kami masuk. Paling sudah dipesan sama Om Rifa'i kalau kami sekeluarga mau datang.
Benar saja, dari pintu gerbang ke rumah utama masih harus melewati jalan berkelok yang kiri kanannya penuh tanaman hias. Tepat di tengah halaman terdapat air mancur lengkap dengan kolam ikan. Benar-benar terasa asri.
Gue yakin sepulang dari sini, Papi langsung hunting tanaman seperti milik Om Rifa'i.
"Mi, besok panggil Mang Komar ke rumah. Papi pengin taman model begini."
Nah, bener 'kan apa kata gue. Baru juga dibatin, eh sudah terjadi.
"Mana bisa, Pi. Taman kita 'kan nggak sebesar ini," jawab Mami.
Gue setuju sama Mami. Bukan karena permintaan Papi berlebihan, tapi memang beda bentuk rumah. Konsep awal pun berbeda. Kalau rumah Om Rifa'i ini memang didesain bernuansa alam. Sedangkan rumah kami bergaya victorian. Mana bisa digabung.
"Kebun belakang masih bisa itu."
Untung mobil kami sudah sampai di pelataran parkir, jadi gue nggak perlu mendengar adu pendapat antara Mami dan Papi. Gaun slit panjang bergaya camisole berwarna hitam dengan corak bunga dan flat shoes ankle strap putih hitam menjadi pilihan busana gue malam ini.
"Akhirnya kalian datang juga. Sudah aku tunggu dari tadi. Ayo, masuk." Om Rifa'i sudah menunggu kami di teras.
Gue sengaja berjalan agak jauh di belakang. Membiarkan Papi dan Mami naik dulu. Sedangkan Pak Man mengikuti Mami untuk membawakan buah tangan kami. Gue biarkan Papi Mami temu kangen dan berkenalan dengan Om Rifa'i. Lagipula gue masih susah untuk naik tangga, lebih baik nunggu Pak Man selesai naruh barang di dalam.
"Assalamualaikum, Cristal." Mas Beryl mendekati gue lalu menggandeng tangan kiri gue.
"Waalaikumsalam, Mas."
"Saya pikir kamu nggak ikut. Ternyata masih di bawah." Pelan-pelan Mas Beryl membimbing gue naik anak tangga satu persatu.
"Gue masih belum bisa naik tangga sendiri, Mas."
"Saya lihat sekarang sudah lebih lancar, Cris."
Terakhir kali kami bertemu sekitar lima hari lalu, saat Mas Beryl ke rumah untuk mengundang kami makan malam.
"Lumayan, Mas, tapi belum berani lepas kruk. Kadang masih oleng."
"Oh itu artinya kamu butuh pegangan," timpal Mas Beryl.
"Makanya gue pakai kruk dulu sampai lancar."
"Maksud saya ... seseorang yang bisa kamu jadikan pegangan."
Gue tertawa menanggapi candaan Mas Beryl. "Tadinya mau ngajak Toni, tapi dia ada urusan sama mantan penghuni rumah kalong."
Mas Beryl tertawa. "Nggak ada yang selain Toni?"
"Juwita hari ini libur."
"Susah juga, ya, main kode sama kamu," gumam Mas Beryl yang masih bisa gue dengar.
Gue memilih mengabaikan ucapannya. Anggap saja gue nggak dengar apa pun.
"Nah, ini .... Om kira kamu tidak ikut, Cristal," sambut Om Rifa'i begitu gue memasuki ruang tamu.
"Malam, Om." Gue menyalami Om Rifa'i lalu beralih pada wanita yang gue tebak sebagai istrinya.
"Ini Tante Gina, istri om, Cris."
Benar 'kan tebakan gue. Wanita berambut merah kecokelatan dengan gaun cross-over warna merah ini sudah jelas ibunya Mas Beryl.
"Malam, Tante."
"Lho, Cristal kenapa? Habis kecelakaan atau bagaimana? Ayo, duduk dulu." Tante Gina tampak terkejut melihat gue memakai kruk.
Gue mengulas senyum tipis, dia belum tahu kalau di balik gaun ini gue pakai kaki palsu. "Iya, Tante, enam bulan lalu," jawab gue singkat.
Setelah gue duduk, Mas Beryl mengambil kruk gue. "Saya simpan di sana dulu, ya. Nanti saya gandeng."
"Patah, ya? Pakai platina berarti, ya?"
Gue mengambil napas panjang. Gue tahu, pertanyaan sejenis ini bakal sering gue dapat. Nggak semua orang tahu kondisi gue. Dan gue nggak bisa melarang mereka untuk penasaran.
"Kaki kiri Cristal diamputasi, Tante," jawab gue sambil mengulas senyum.
Mami yang duduk di samping kiri meremas tangan gue sambil tersenyum.
"Amputasi? Dipotong? Jadi Cristal tidak punya kaki lagi?" pekik Tante Gina seperti nggak percaya. Dia bahkan nggak menyembunyikan rasa ingin tahu dengan mengintip ke bawah ke kaki gue.
"Ma, ini Ilana mana? Anak itu belum turun, ya? Coba dipanggil, Ma. Ada tamu kok malah sembunyi."
Gue tahu Om Rifa'i berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Paling baru dandan, Pa. Adiknya Beryl itu model, Jeng, jadi kalau dandan pasti lama. Dari kecil Ilana suka sekali difoto. Eh, besarnya malah bisa menghasilkan. Kemarin dia baru pulang dari Paris, ada peragaan busana di sana."
Gue tersenyum miris. Di setiap reuni, hal pertama yang biasa dibanggakan adalah anak. Menjadi hal lumrah jika baru bertemu setelah sekian lama, lalu bertanya 'anakmu berapa?' atau 'anakmu kerja di mana?' atau 'anakmu sudah menikah belum'.
Gue jadi memikirkan Mami. Bagaimana perasaan Mami kalau mendapat pertanyaan-pertanyaan seputar anak? Apa yang bisa dibanggakan dari gue?
Di umur dua puluh empat, gue masih sembunyi di ketiak orang tua. Sedangkan Ilana yang cuma terpaut setahun dari gue sudah melanglang buana.
"Nah, itu anaknya. Lana, sini kenalan sama sahabat Papa dari jaman kuliah dulu," panggil Om Rifa'i saat kami menuju ruang makan.
Pantas saja kalau adiknya Mas Beryl—tadi siapa namanya? Ilana—jadi model. Gue tebak tingginya sekitar seratus tujuh puluh delapan. Nggak jauh beda sama Bella. Untuk wajah menurut gue masih cantik Bella, tapi badannya jelas nggak terkalahkan. Gue yang cewek saja kagum dengan bentuk tubuhnya, apalagi cowok. Gue nggak iri, cuma heran saja, kok bisa orang punya lingkar pinggang sekecil itu. Makannya apa sih?
"Maaf, Om Tante, kebetulan teman Lana ada party. Jadi nggak bisa nemenin lama-lama." Ilana berdiri di samping Tante Gina.
"Pergi sama siapa, Lan?"
Gue pikir cuma Mami doang yang tiap gue mau pergi selalu tanya 'pergi sama siapa' atau 'mau ke mana'.
"Biasa, Ma, dijemput Cia. Itu kayaknya dateng deh."
Buat gue yang dulu sering bersinggungan dengan artis, melihat polah tingkah model yang unik sudah biasa. Gue pun hapal bagaimana pergaulan mereka. Gue nggak menyamaratakan, tapi mayoritas berjiwa bebas. Seperti teman si Lana satu ini.
Datang-datang belum ngasih salam ke Om Tante, langsung memeluk Mas Beryl dari belakang sambil mencium pipinya. Mungkin kalau di luar negeri, hal seperti itu sudah biasa. Tapi ini Indonesia lho. Minimal tahulah kalau ada tamu.
"Malam, Om Tante. Eh, baru ada tamu, ya, Tan?" Dia mengangguk ke arah kami sambil masih melingkarkan tangan di leher Mas Beryl. "Cia kangen banget sama Mas."
Mas Beryl terlihat kikuk. Dari tadi sibuk melepas pelukan si Cia, tapi gagal. Mungkin dia malu karena ada kami.
"Makan dulu, Cia. Ada steak kesukaanmu lho," tawar Tante Gina.
"Duh, enggak deh, Tan. Ini juga mau keluar sama Lana. Kalau nggak terlanjur ada janji, dengan senang hati Cia ikut gabung. Mumpung Mas ada di Jakarta."
Kalau bukan karena Mas Beryl yang duduk persis di depan gue, rasanya males mendengarkan obrolan mereka. Sedangkan Papi, Mami, dan Om Rifa'i juga asyik bicara sendiri. Ponsel gue juga ketinggalan di ruang tamu. Alhasil gue pura-pura tertarik dengan pembicaraan mereka. Yang penting pasang senyum. Beres.
"Yuk, cabut, Ci," ajak Lana sambil menarik lengan Cia yang masih setia di leher Mas Beryl. "Lana pergi dulu, ya, semuanya."
"Mas besok masih di Jakarta 'kan? Pagi-pagi Cia bakal ke sini." Ciuman kembali mendarat di pipi Mas Beryl yang salah tingkah.
"Cia itu temenan sama Lana dari kecil, Jeng. SMP kalau nggak salah, ya, Ryl? Jadi sudah seperti keluarga sendiri. Apalagi dia memang dekat sama Beryl. Ya, semoga jodoh."
Syukurlah Om Rifa'i mulai mempersilakan kami makan. Minimal gue ada kesibukan dari pada jadi kambing congek. Walau sebenarnya gue nggak laper-laper banget.
"Cristal, ayo ambil lagi lauknya."
"Makasih, Om. Sudah kenyang banget." Gue jauhkan piring, lalu mengelap ujung bibir.
"Kegiatan Cristal sehari-hari di rumah saja, ya? Pasti susah kalau mau ngapa-ngapain. Duh, Tante tidak bisa membayangkan kalau tidak ada kaki."
Gue merespon dengan senyum saja. Mau menjelaskan pun percuma. Karena Tante Gina sudah kembali mengoceh.
"Cristal sudah mulai aktif di perusahaan papinya, Jeng. Kemarin untuk urusan kerja sama dengan Jaya Company juga Cristal yang meng-handle." Mami urun suara juga.
"Oh, ya? Bisa, ya?"
Tante Gina terlihat nggak percaya dengan penjelasan Mami. Penginnya gue nggak peduli dengan sikap Tante Gina, tapi tetap saja membuat gue berpikir ulang. Jangan-jangan banyak orang yang meragukan kemampuan gue.
"Ma, Beryl ajak Cristal lihat-lihat taman belakang dulu." Mas Beryl sudah berdiri di samping gue, bersiap membantu gue jalan seperti tadi.
"Cristal bisa? Jalan di belakang banyak batunya, Ryl. Nanti Cristal jatuh. Sudah di sini saja."
Bibir gue tarkatup erat. Apakah orang cacat seperti gue ini selalu dipandang sebelah mata? Apa memang seharusnya kami berdiam diri di kamar? Jangan-jangan keputusan gue untuk maju itu salah.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top