»K-21«
Mohon bantuannya untuk vote dan komen, yaaa ....
Sejauh ini, bagaimana tanggapan readers tentang cerita Katastrofe?
Jawab jujur, yaaa ....
Makasih
😘😘😘
* * *
"Aduh ... sakit, Bang!" pekik gue sambil berusaha menarik diri.
"Tahan dulu, Cris, sebentar lagi masuk."
Gue mengeryit merasakan nyeri saat Bang Leon nggak juga menghentikan aksinya.
"Cabut dulu, deh, Bang. Kayaknya posisinya salah. Coba dibenerin dulu," usul gue.
"Oke, ini gue lepas sebentar." Bang Leon melepaskan diri dari gue. "Kita mulai lagi, ya."
"Pelan-pelan, Bang, nanti lecet," pesan gue sambil memejamkan mata. Takut kalau sakitnya seperti tadi.
"Nah, bisa masuk. Gimana, nggak sakit 'kan? Nggak mungkin lecet juga, Cris. Ini 'kan ada pelindungnya. Kalau kamu tegang, otot sama syarafnya jadi makin sensitif. Rileks saja. Gue coba gerakin pelan-pelan, ya."
Gue melihat pantulan diri di dalam cermin. Kaki palsu itu sudah terpasang di kaki kiri gue. Dada gue rasanya sesak banget. Setelah hampir lima bulan gue kehilangan kaki, akhirnya detik ini gue bisa melihat kaki gue nggak terputus di paha. Walau hanya barang palsu.
"Ini sudah aman, Pak Agus?" tanya Mami sambil meraba batas antara paha gue dengan kaki palsu.
"Aman, Bu, selama pemasangannya tepat seperti tadi, insyaAllah aman." Pak Agus ini pembuat kaki prostetik yang sengaja dipanggil ke sini sama Mami.
Seharusnya gue fitting kaki palsu di kliniknya Pak Agus, tapi Mami yang minta untuk dilakukan di Rumah Sakit. Ini pun sebenarnya bukan kaki yang diinginkan Papi Mami. Kami sempat mencari tahu di beberapa lokasi pembuatan kaki prostetik yang canggih dan modern. Kata Mami biar lebih mudah untuk mobilisasi.
Akhirnya kami dapat kontak salah satu pengrajin kaki palsu-yang kalau dilihat dari review-nya-yang sangat profesional. Di sana juga sudah menggunakan peralatan canggih, sehingga hampir menyerupai kaki asli. Namun, lokasinya di Bali.
Tiga minggu lalu kami-Mami, Papi, gue, dan Juwita-sudah ke Bali untuk melakukan pengukuran dan lain-lain. Saking banyaknya pesanan, kaki gue baru bisa diselesaikan paling cepat dua bulan. Itu juga karena Papi minta untuk memakai komponen dari Eropa. Yang mana harus pesan dulu, jadi waktunya pun lebih lama.
Selama menunggu kaki yang di Bali jadi, Dokter Yusril merekomendasikan Pak Agus ini untuk membuatkan kaki sementara. Hasilnya juga bagus, walau komponennya nggak secanggih pesanan Papi.
Kata Dokter Yusril untuk latihan menyeimbangkan dulu. Dan ternyata memang nggak segampang kelihatannya. Dari video-video di internet, gue sering banget mencari info tentang kaki palsu. Dan yang gue lihat, gampang banget memakainya. Ternyata sakit dan susah.
Kalau kata Dokter Yusril dan Mbak Asoka, dengan memakai kaki palsu bisa mengobati phantom dan PTSD yang gue alami.
"Sakit atau tidak, Cris?" Mami membelai paha gue yang terbalut celana senam.
"Awalnya sakit banget, ngilu sama nyeri gitu, Mi, tapi ini sudah mulai hilang."
"Wajar, Bu, karena Mbak Cristal baru pertama kali pakai kaki prostetik. Pasti butuh waktu untuk beradaptasi lagi. Walau dirasa kurang nyaman, tetap harus dipakai, ya, Mbak. Supaya terbiasa."
Pak Agus meminta gue untuk berdiri, supaya dia tahu kurangnya di mana. Namanya juga fitting, jadi masih banyak yang harus disetel ulang. Karena nggak semua orang punya kaki yang sama. Entah itu dari sudut lipatnya, dari bentuk kaki, mapun struktur tulang.
Bang Leon membantu gue berdiri. "Latihan berjalan dan menyeimbangkan tubuh kali ini agak susah, ya, Cris. Dari awal gue sudah bilang, jadi lo benar-benar harus kuat fisik dan mental," pesannya.
Bang Leon pun menjelaskan kalau gue nggak bisa langsung jalan begitu saja. Gue masih butuh tongkat untuk menopang tubuh sampai benar-benar bisa berjalan tanpa bantuan.
"Coba lo bagi beban tubuh ke kedua kaki. Lo nggak bakal jatuh, ini gue pegangin."
Kedua tangan gue mencengkeram erat paralel bar, sedangkan Bang Leon memegangi pinggang gue dari belakang. Gue coba menapak dengan kedua kaki, tapi malah limbung ke kiri. Untung Bang Leon memegang dengan kuat.
"Nggak apa-apa. Tarik napas dulu, tenang dulu, nanti dicoba pelan-pelan lagi. Dibuat nyaman dulu saja, Mbak." Pak Agus mengencangkan sekrup di lutut gue.
Gue menghela napas panjang sewaktu Bang Leon kembali meminta untuk menapak. Padahal baru empat bulan lebih gue nggak jalan pakai dua kaki, tapi sudah bikin gue lupa bagaimana berdiri yang benar. Kalau begini caranya, apa mungkin gue bisa jalan seperti orang-orang di youtube?
Nggak! Gue nggak boleh pesimis. Gue pasti bisa jalan. Kalau gue bisa menahan sakit sambil rajin latihan, pasti bisa jalan kayak dulu. Nggak masalah mau setahun, dua tahun, atau berapa lama pun gue harus bisa jalan. Gue harus buktikan kalau gue mampu.
Pada percobaan ke lima, gue bisa berdiri dengan dua kaki. Ya, walau masih pegangan di palang. Kata Bang Leon nggak masalah, berdiri gue sudah tegak.
Pak Agus meminta gue berjalan pelan. Dia memberi instruksi agar gue melangkah dengan kaki kanan dulu. Gue sempat mengerang saat mengangkat kaki kanan. Mungkin karena ada gesekan dan tekanan di antara soket dan ujung kaki gue, membuat rasa sakit itu hadir lagi.
Bang Leon terus menyemangati sambil memegangi pinggang gue, berjaga-jaga kalau gue limbung. Perjuangan selanjutnya adalah saat mencoba mengangkat kaki kiri. Rasanya berat dan kalau dilihat dari kaca, gerak langkah gue seperti robot. Sangat kaku.
"Awalnya memang seperti itu, Mbak. Coba jalan lagi sampai ujung palang, biar saya bisa tahu bagian mana yang perlu diperbaiki."
Gue mencoba melangkah lagi menuruti perintah Pak Agus. Setelah sampai di ujung palang, Pak Agus kembali mengutak-atik sendi-sendi di kaki. Lalu menguruh gue berbalik dan berjalan palang. Dari yang awalnya pegangan kuat-kuat, pada putaran ke tiga gue mulai betani melepas tangan kiri dari palang.
Mami dan Juwita yang semula berdiri anteng di belakang gue, sekarang sudah menyemangati gue dengan semangat kemerdekaan. Mereka nggak sadar kalau sudah jadi tontonan dari orang-orang di tempat tetapi.
"InsyaAllah setelah beberapa kali latihan, Mbak Cristal bisa beradaptasi dan mulai berjalan tegak," ucap Pak Agus di akhir pertemuan.
"Ini sudah bisa dipakai sehari-hari, Pak?" tanya Mami.
"Sudah, Bu. Tadi sudah kami sesuaikan, jadi bisa langsung dipakai Mbak Cristal."
"Jangan lupa untuk latihan di rumah, Cris. Minggu depan kita terapi pakai sepeda dan treadmill," pesan Bang Leon sebelum kami pamit pulang.
"Siap, Bang. Tapi ini beneran nggak boleh dilepas dulu, Pak?" Gue merasa kurang nyaman dengan benda ini. Untuk jalan pun rasanya seperti robot.
"Lo bisa pakai sendiri nggak?" Bang Leon balik bertanya ke gue.
"Enggaklah."
"Nah ... sudah nurut dipakai dulu. Nanti kalau mau mandi baru dicopot."
Sejenak gue menatap diri di cermin. Dengan memakai rok panjang seperti ini, gue merasa seperti kembali memiliki kaki yang lengkap. Gue bisa berdiri tegak. Nantinya pun gue nggak perlu pakai tongkat.
Padahal dengan mengganti kursi roda dengan kruk sudah membuat segala aktivitas terasa lebih mudah. Pasti dengan adanya kaki palsu, gerak dan kegiatan gue semakin bebas. Walau masih pakai bantuan tongkat dan jalannya kayak robot, kalau gue sering latihan pasti lama-lama lancar.
Di berbagai media sosial banyak sekali video-video model berkaki satu. Dengan bangga mereka menunjukkan kekurangan dan menjadikannya sebagai nilai tambah. Namun, bukan sekadar aji mumpung atau menggunakan kecacatan sebagai alasan untuk nggak berprestasi. Mereka justru memperlihatkan bagaimana meraih ketenaran dengan usaha lebih.
Ya, kalau mereka saja bisa, gue juga harus bisa.
* * *
Halaman belakang telah disulap Papi menjadi area bebas hambatan. Pot-pot bonsainya dipindah ke halaman depan. Sebagian digeser mepet dinding. Batas antara teras yang berlantai keramik dengan kebun beralas rumput diberi turunan landai dari kayu. Katanya untuk sementara saja, biar lebih aman. Sepanjang kebun dipasang palang yang bisa gue pakai sebagai pegangan.
Membandingkan keadaan gue dengan Pelangi sungguh bertolak belakang. Dengan perhatian melimpah dan segala hal yang bisa mendukung kesembuhan, gue malah berulah dengan menarik diri dari dunia luar. Bukan itu saja, gue pasti sudah membuat banyak orang sedih. Terutama Mami.
Masih teringat jelas bagaimana sikap gue ke Mami. Keegoisan, emosi yang meledak-ledak, sampai perilaku kasar gue, semua tentu membuat Mami sakit hati. Dan untuk semua itu, gue belum pernah sekalipun meminta maaf.
Semalam gue sempat membuat daftar target pencapaian. Beberapa poin jelas berisi tentang langkah yang harus gue ambil supaya phantom gue benar-benar pulih. Walau masih sering kambuh, terutama di malam hari, serangan terdasyat terakhir kali waktu di Temanggung. Sejak saat itu sampai sekarang, hanya sakit ringan yang bisa gue tahan tanpa harus minum obat pereda nyeri.
Untuk stres dan depresi, gue masih harus terus berkonsultasi dengan Mbak Asoka. Walau sejak malam api unggun itu serangan panik nggak pernah kambuh, tapi yang dikhawatirkan adalah efek ke alam bawah sadar gue. Kata Mbak Asoka jika dibiarkan bisa-bisa muncul gejala gangguan lain. Misalnya pobia, gangguan kecemasan, atau bisa ke obsessive compulsive disorder.
Nggak! Pokoknya gue harus sembuh baik fisik maupun mental. Gue harus bikin Mami Papi bangga. Karena cuma gue yang mereka miliki. Kalau gue nggak memberi yang terbaik yang gue punya, maka mereka bakal kecewa.
"Mbak, waktunya latihan jalan. Mumpung ada Toni sama Budi," ajak Juwita.
Biasanya gue latihan dengan Juwita dan Mami. Kebetulan hari ini Mami ada janji dengan teman-teman klub emerald. Kalau cuma Juwita sendiri, takutnya nggak bisa menopang kalau gue jatuh.
"Jangan pakai sepatu, Ju. Jalannya tambah susah, kayak keseret-seret gitu," tolak gue saat Juwita memberikan sneaker.
"Oke, hari ini latihan tanpa sepatu, tapi besok mulai pakai alas kaki, ya, Mbak. Biar terbiasa."
"Mending gitu, Ju, biar gue lancar dulu aja. Nggak ngerti gue, rasanya ini kaki nggak mau diajak kerja sama. Gue coba tekuk kayak di video susah bener."
"Ton, bantu pegangin Mbak Cristal dari kiri," pinta Juwita saat Toni kebetulan lewat.
Toni memegangi siku kiri gue dan membiarkan gue mencengkeram tangannya.
"Coba lihat, Ju, apa mungkin engselnya bermasalah. Gue udah coba naikin paha lho, tapi ini sendi lutut kayak nggak bisa nekuk gitu," keluh gue sambil berjalan ke parallel bar.
"Besok Pak Agus dipanggil saja, Kak, biar dibetulin dulu," usul Toni.
Gue lepas pegangan di tangan Toni. Kalau sudah ada palang ini, gue bisa sendiri. Biasanya gue berlatih jalan bolak-balik. Awalnya pegangan pakai dua tangan. Setelah otot kaki lemas, biasanya gue cuma pegangan tangan kiri.
Semalam gue buka-buka video di internet. Nah, ada model dari luar negeri-sama-sama difabel kayak gue-bisa berdiri satu kaki pakai kaki palsunya. Kira-kira gue bisa nggak ya?
Kedua tangan berpegangan ke satu palang, lalu berdiri dua kaki sampai seimbang.
"Ngapain, Kak?" tanya Toni yang masih berdiri di dekat gue.
"Ssst," desis gue menyuruhnya diam.
Gue coba memindah beban tubuh ke kiri. Ada sensasi nyeri. Mungkin karena tekanan antara soket dan paha lebih besar dibanding biasanya. Gue diamkan dulu biar kakinya beradaptasi.
Sedikit demi sedikit gue tekuk kaki kanan ke belakang. Gue agak goyang saat ujung jari menumpu di tanah, tapi gue yakinkan diri kalau bisa. Gue angkat lagi kaki kanan hingga benar-benar nggak menapak. Sedetik dua detik masih aman. Detik ke tiga, tubuh gue limbung. Yakin bakal jatuh, spontan gue memejam.
"Kamu ngapain, Cris?"
"Astaga!" Gue memekik saat ada dua tangan yang memegang pinggang gue.
"Alhamdulillah, Cris," ralat Mas Beryl yang membantu membuat gue kembali tegak. "Kamu mau ngapain?"
Gue tersenyum kikuk. "Mau nyoba kayak di video, Mas."
"Bahaya, Cristal. Kalau kamu jatuh bagaimana?" tegur Mas Beryl.
"Mbak Cristal aneh-aneh lho. Aku kaget banget. Kamu juga, Ton, baru ditinggal ke dapur sebentar sudah mau bikin Mbak Cristal jatuh," damprat Juwita yang masih memegangi dadanya.
Toni menunduk. "Maaf, Mbak. Maaf, Kak, aku tidak jagain."
"Kenapa jadi lu yang minta maaf? Gue yang bikin pilih-" Perkataan gue terputus di tengah.
Gue baru saja menyadari satu hal. Kejadian barusan atau waktu kebakaran itu semua karena pilihan gue sendiri. Bukan karena Indah masih di dalam. Bukan karena Toni nggak bisa gue temukan. Bukan karena Budi yang mencemaskan keadaan Indah. Tapi karena gue memilih untuk berada di sana. Gie yang memilih untuk menerobos kobaran api demi Indah.
Indah nggak pernah minta diselamatkan. Kalau saat itu gue memilih untuk membiarkan dan menunggu datangnya pemadam kebakaran, mungkin kaki gue masih ada. Ya, itu karena pilihan gue. Bukan salah Indah, Budi, atau Toni.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top