»K-20«
Jangan lupa koment, dan vote di tiap bab, yaaa ....
😘😘😘
* * *
"Bu Cristal, rombongan dari Jaya Company baru saja datang," lapor Mbak Mega—sekretaris Papi yang hari ini merangkap asisten gue.
Bibir gue terkatup menahan gugup. Ujung jemari pun sudah sedingin es. Gue meremas kertas berisi catatan penting yang akan gue sampaikan kepada calon kolega kami. Baru sekali ini gue berurusan langsung dengan pabrik. Walau kemarin gue berkali-kali sudah konsultasi dengan Pak Burhan dan Bu Sita mengenai poin-poin dalam surat perjanjian kerja sama, tapi kecemasan gue belum juga berkurang.
"Tolong mereka diantar ke ruang rapat, ya, Mbak," ujar gue setelah berdehem.
Mbak Mega keluar ruangan gue sambil membawa berkas yang sudah gue siapkan. Gue menarik napas dalam-dalam saat Mbak Mega menutup pintu dari luar. Padahal nanti ada Pak Burhan, Bu Sita, dan Om Samosir yang menemani gue. Sedangkan Papi mengurusi perjanjian di Deli.
Pihak Jaya Company pun cuma ada Mas Beryl dan satu orang karyawannya. Seharusnya nggak ada alasan buat gue merasa takut. Sampai-sampai semalam gue nggak bisa tidur.
Kata Mbak Asoka tadi pagi, wajar kalau gue merasa cemas. Karena ini memang langkah pertama gue. Sama seperti bayi yang baru belajar jalan, awalnya mereka pasti ragu untuk melangkah. Bahkan terkadang harus jatuh dulu baru bisa jalan. Tambah Mbak Asoka tadi.
Sekali lagi gue ambil napas dalam, sebelum meraih kruk. Gue merapikan rok lipit cokelat tua semata kaki yang dipadankan dengan kemeja bermotif bunga kecil dengan warna senada. Gue sengaja memilih rok panjang supaya bisa menutupi kekurangan gue.
Dari balik dinding kaca, gue bisa melihat aktivitas para karyawan di luar. Baru kali ini gue bisa mengamati secara langsung kegiatan di kantor Papi. Biasanya gue cuma mampir dan melihat sekilas.
Setelah mengamati selama setengah hari, gue bisa simpulkan bahwa mereka kerja nggak cuma main-main. Wajar kalau ada candaan di sela pekerjaan, tapi nggak ada yang makan gaji buta. Mungkin karena selama ini Papi bersikap tegas dan disiplin, jadi mereka nggak ada yang berani seenaknya sendiri.
Antara berkah dan ujian kalau seperti ini. Gue bersyukur karena kalau memang gue yang akan memimpin perusahaan, karyawan-karyawan sudah terdidik dengan benar. Namun, di sisi lain gue jangan sampai kalah sama Papi. Kalau gue lengah sedikit saja, bisa mereka jadikan peluang untuk membangkang.
Gue berusaha abai pada lirikan serta tatapan para karyawan saat gue berjalan tertatih ke ruang rapat. Kabar tentang musibah yang menimpa gue pasti sudah mereka dengar jauh-jauh hari. Namun, baru kali ini mereka melihat langsung kondisi dari putri bosnya.
"Cristal!"
Gue menghentikan langkah demi mencari sumber suara.
"Eh, Om Sam. Apa kabar, Om?" Gue menyalami teman sekaligus pengacara kepercayaan Papi.
"Kau lihat sendiri, perut ini tambah gondut saja. Om lihat kau sudah segar. Syukurlah kalau kau mulai ikut mengurus pabrik. Kasihanlah papa kau itu, sudah tuanya dia," ucap Om Samosir dengan logat Bataknya yang masih kental. Padahal sudah hampir setengah abad dia di Jakarta.
"Cristal minta bantuannya, ya, Om."
"Kau tenang sajalah. Om kau ini masih muda, masih bisa kalau cuma kau suruh menempel materai. Apalagi cuma menyimpan kertas-kertas macam itu. Gampanglah bisa diatur."
Gue tertawa mendengar candaannya. Ya, walau usia hampir kepala enam, rambut sudah mulai putih semua, tapi gue akui jiwanya masih sangat muda.
"Bu, tamu sudah di ruang rapat semua," lapor Mbak Mega tepat saat gue dan Om Sam hendak melanjutkan langkah.
Here we go. Gue harus bisa melalui semua ini. Toh Papi Mami memang sudah mempersiapkan gue memimpin perusahaan dari jauh-jauh hari. Kalau gue sampai kalah karena fisik, gue bakal bikin malu Papi.
Mbak Mega membukakan pintu rapat. Sebelum masuk gue sempat merapal doa yang gue hapal. Dalam satu tarikan napas panjang, gue melangkah.
Hal pertama yang gue lihat adalah senyum Mas Beryl. Cukup membuat gue tenang menghadapi kelima orang lain di ruangan. Serentak mereka berdiri. Gue menghampiri Mas Beryl lalu menyalaminya.
"Selamat siang, Pak Beryl."
Gue sempat melihat Mas Beryl mengangkat sebelah alis sambil tersenyum geli. Ya 'kan nggak mungkin kalau gue bersikap santai di situasi seperti ini.
"Siang, Mbak ... ah, Bu Cristal."
Walau tampangnya mulai serius, tapi gue tahu kalau dia baru membalas gue. Pakai manggil 'bu' segala.
Setelah sedikit berbasa-basi—untung ada Om Sam yang pandai mencairkan suasana—kami langsung ke inti pembicaraan. Nggak banyak yang kami bahas, karena memang sebelumnya kami—gue dan Mas Beryl—sudah sama-sama menyetujui poin dalam perjanjian.
"Jadi, barang bisa kami terima dalam minggu ini, ya, Pak?" tanya Pak Burhan setelah acara penandatanganan kontrak selesai.
"Kami usahakan dua tiga hari barang sudah bisa sampai Jakarta, Pak," jawab karyawan Mas Beryl dengan percaya diri.
"Alhamdulillah. Kami tidak perlu khawatir melanggar kontrak dengan pihak luar," ujar Bu Sita dengan senyum merekah.
"Semoga kerja sama kita berlanjut terus, ya, Pak." Pak Burhan mengakhiri pertemuan kami siang ini dengan mengantar rombongan Mas Beryl ke ambang pintu.
"Dengan senang hati, Pak Burhan. Semoga pihak Gapoera puas dengan barang kami," ucap Mas Beryl. "Kalau begitu kami undur diri dulu." Mas Beryl menyalami Pak Burhan.
"Sekali lagi terima kasih, Pak Beryl," ucap gue sambil mengulurkan tangan.
Syukurlah semua berjalan lancar. Dengan begini gue nggak perlu lagi berhubungan langsung dengan Jaya Company. Cukup lewat Pak Burhan saja.
"Bu Cristal, ada waktu sebentar?"
Gue mengerjap kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Mas Beryl. Seluruh mata di ruangan menatap gue bergantian dengan lelaki bermata elang ini. Gegas gue tarik tangan gue yang masih ada dalam genggaman Mas Beryl.
"Oh, ada. Tentu ada," jawab Om Sam cepat sambil mendorong punggung gue maju. "Kau culik lama pun tak masalah. Kasihan kali gadis ini tak ada teman, Pak Beryl. Padahal umurnya sudah pantas gendong anak. Papinya sering cerita ke saya, mengeluh dia, katanya ingin cepat-cepat momong cucu."
Astaga! Bapak satu ini apa pula? Jangan-jangan dia punya hubungan darah sama Bella. Hobinya sama-sama suka bikin malu orang.
Daripada mendengar ocehan Om Sam yang pastinya semakin melantur, gue putuskan untuk mengajak Mas Beryl ke ruangan gue.
"Terima kasih, Bu Cristal," goda Mas Beryl saat gue persilakan dia untuk duduk.
"Apaan sih, Mas Beryl ini." Gue letakkan kruk di samping sofa, lalu duduk berseberangan dengan cowok yang masih senyum-senyum.
"Lho, saya cuma mengikuti Bu Cristal."
"Sudah deh, jangan mulai lagi. Mau minum apa, Mas?"
"Kita keluar saja. Kamu belum makan siang 'kan?"
Jarum jam menunjukkan pukul dua siang, memang sudah waktunya makan, tapi gue nggak lapar. Mungkin karena sibuk memikirkan rapat, jadi berasa kenyang. Lagipula tadi Mbak Mega juga menyajikan makanan ringan, perut gue sudah terasa penuh.
"Tapi gue nggak lapar," tolak gue.
"Makan itu nggak harus nunggu lapar." Mas Beryl membantu gue berdiri dan menyerahkan kruk. "Saya senang melihat kamu seperti ini."
Gue menoleh ke kanan, tepat saat Mas Beryl mendekat ke telinga kanan gue.
"Kamu terlihat cantik dan luar biasa," bisiknya yang membuat jantung gue salto.
Gue segera memalingkan muka. "Sudah dari sononya gue cantik. Baru tahu?"
"Dari awal di hotel saya tahu kalau kamu cantik, tapi hari ini jauh lebih cantik."
"Gue baru tahu kalau Mas Beryl pinter ngegombal." Demi menghilangkan grogi, gue menuju meja untuk menghubungi Mbak Mega.
"Gombal itu kalau nggak sesuai fakta, Cris. 'Kan saya bicara apa adanya."
"Ya ... ya ... sesuka Mas Beryl sajalah."
Gue menekan tombol interkom yang tersambung dengan Mbak Mega. Tugas gue sudah selesai, jadi buat apa juga berlama-lama di sini. Selain itu, gue belum resmi bekerja di perusahaan. Rasanya aneh kalau berlama-lama di ruangan Papi.
"Mbak, saya pulang dulu. Untuk berkas dan hal lain terkait kontrak dengan Jaya Company, langsung di-handle Pak Burhan."
Setelah merapikan meja Papi, gue mencangklong tas dan beranjak menuju pintu. Memakai kruk membuat gue lebih leluasa untuk bergerak. Walau nggak bisa segesit dulu waktu kaki gue masih utuh, tapi nggak seribet kursi roda.
"Berangkat sekarang?" Mas Beryl membukakan gue pintu, membiarkan gue keluar terlebih dahulu, baru dia keluar.
"Ada rekomendasi rumah makan nggak, Cris?" tanyanya saat kami sudah ada di dalam lift.
"Mana gue ngerti kalau daerah sini, Mas."
Kami sempat bepapasan dengan karyawan Papi. Beberapa dari mereka melihat ke arah gue, walau cuma sedetik dua detik. Kata Mbak Asoka, mereka cuma ingin tahu. Jadi gue juga berusaha berpikiran positif. Kalau baru setengah hari di perusahaan sudah bikin gue kembali nggak percaya diri, sama saja gue mengaku kalah.
"Kamu pengin makan apa?" tanya Mas Beryl saat kami sudah di dalam mobilnya.
Mas Beryl membuka ponsel lalu mengetikkan sesuatu.
"Gue 'kan nggak laper. Ngikut ajalah, tapi kalau bisa jangan jauh-jauh. Takutnya nanti Pak Man nggak tahu jalan."
"Pak Man nunggu di sini?" Dia mengangkat wajah sebentar lalu kembali menekuri gawai.
Gue menggeleng. "Nanti gue minta jemput."
"Sudah nggak usah. Saya antar pulang saja. Ini ada rumah makan Sunda, ada juga resto Jepang. Eh, ada kafe Italia juga. Kamu suka yang mana?"
"Gue ini omnivora, apa aja suka, Mas."
"Dari review-nya spagetti di resto yang ini enak, Cris." Mas Beryl menunjukkan layar ponsel ke arah gue. "Kita ke sana saja gimana?"
Gue iyakan usul Mas Beryl.
"Tadi pagi Pelangi menghubungi saya, katanya kangen sama kamu," ujar Mas Beryl saat mobil sudah mulai melaju.
Gue menggeser tubuh menghadap lelaki yang tengah mengemudi. "Gimana kabar Pelangi, Mas? Coba Mas Beryl telepon, gue mau ngobrol sama dia."
"Saya nggak ada nomornya, dia 'kan nggak punya ponsel. Tadi dia main ke rumah, terus pinjem ponselnya Bu Sri. Ini coba kamu telepon Bu Sri, minta dia ke rumah Pelangi."
Gue menatap tangan Mas Beryl yang menyerahkan telepon genggamnya. Ini apa maksudnya? Gue disuruh telepon pake HP dia gitu?
"Ini telepon saja."
Gue mendorong tangan Mas Beryl. "Nanti Mas Beryl yang hubungi Bu Sri aja."
"Nggak apa-apa, Cris. Password-nya tanggal ulang tahun saya."
Eh, halooo ... gue mana tahu kapan lo ulang tahun, Bambang!
"140290."
Dengan gampangnya Mas Beryl mengatakan password ponselnya. Ini orang kenapa sih?
Karena gue nggak juga mengambil barang berlabel apel itu, Mas Beryl memperlambat laju mobil. Menekan layar ponsel lalu kembali menyerahkan ke gue.
"Itu sudah terhubung ke Bu Sri."
Kali ini gue baru mau menerima telepon selulernya. Gue nggak berhak membuka-buka barang milik orang lain. Terlebih ponsel. Itu 'kan benda pribadi yang mungkin ada rahasia di dalamnya.
Apa mungkin Mas Beryl sudah terbiasa ikut campur atau membiarkan orang asing masuk ke ranah pribadinya? Gue berkali-kali melirik Mas Beryl sambil menelepon Bu Sri. Sebenarnya nggak masalah kalau memang dia seperti itu. Toh, gue nggak dirugiin juga. Asal bukan hidup gue yang dia recoki.
Setelah meminta tolong Bu Sri untuk ke rumah Pelangi, gue kembali mengembalikan ponsel ke Mas Beryl. Nanti kalau Bu Sri sudah ketemu Pelangi, dia akan mengirim pesan supaya bisa gue telepon.
"Bawa dulu saja, Cris."
Mungkin lebih enak kalau menelepon Pelangi dari restoran, lagian sebentar lagi kami sudah sampai. "Gue masukin tas dulu nggak apa-apa 'kan, Mas? Biar nggak ribet bawanya."
Mas Beryl mengangguk sambil tersenyum. Benar saja, nggak sampai lima menit mobil sudah memasuki parkiran resto. Sedangkan Bu Sri belum juga memberi kabar. Kata Mas Beryl, mungkin Pelangi nggak di rumah.
Mas Beryl membantu gue turun dari mobil. Kami memilih meja di teras belakang yang berhadapan dengan taman. Supaya lebih leluasa jika nanti video call dengan Pelangi. Buat gue di belakang lebih nyaman karena nggak terlalu banyak pengunjung.
Tepat setelah kami memesan menu, pesan dari Bu Sri masuk. Gue biarkan Mas Beryl yang menghubungi Bu Sri. Nanti gue harus minta nomor HP wanita baik hati itu, biar sewaktu-waktu bisa menghubungi Pelangi tanpa menunggu Mas Beryl.
Begitu sambungan dijawab, wajah semringah Pelangi tampak memenuhi layar ponsel.
"Mbak Cristaaal!" pekik gadis cilik itu sambil mendekatkan mulut ke layar.
Spontan gue terkekeh melihat tingkah lucu Pelangi. "Halo, Pelangi. Apa kabar?"
"Pelangi sehat banget, Mbak. Ibuk juga sehat. Mbok Nem, Pak Pur, Mbah Jiyem sama yang lain juga sehat. Ini Pelangi baru di pabrik bantuin Ibuk." Pelangi memutar ponsel hingga membuat gue bisa melihat kondisi pabrik.
Para pekerja melambaikan tangan ke arah ponsel. Mereka menyapa gue bergantian. Senyum lebar mereka benar-benar menular. Gue merindukan kehidupan tanpa beban yang mereka ajarkan ke gue.
Satu kata yang gue bawa sebagai oleh-oleh dari Temanggung. Nrimo. Menerima segala hal yang terjadi pada diri kita sebagai suatu berkah. Karena nikmat Tuhan bukan hanya berupa hal-hal baik. Permasalahan dan musibah pun merupakan nikmat yang harus disyukuri.
Satu kata 'nrimo'. Begitu singkat, tapi sangat susah untuk dijalani.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top