»K-2«

"Cristal nggak mau!" Sekali lagi gue menolak dengan tegas. Buat apa buang-buang uang, waktu, tenaga, dan pikiran untuk melakukan operasi plastik? Apa gunanya? Apa dengan operasi plastik, kaki gue bisa kembali seperti semula?

Papi Mami yang duduk di samping kanan brankar, saling berpandangan. Gue sempat melihat Papi mengembuskan napas panjang. Sedangkan Mami kebalikannya. Beliau menarik napas panjang. Kenapa? Sudah capek mengurusi anak cacat seperti gue? Yang bahkan untuk duduk saja butuh bantuan. Yang nantinya nggak bakal bisa melakukan apa pun seorang diri. Anak cacat yang nggak berguna. Anak yang nggak bisa membuat mereka bangga.

"Bisa nggak kalau kita pulang saja? Sudah hampir dua minggu di sini, sebenarnya kita mau nunggu apa lagi? Mau sebulan dua bulan bahkan setahun tinggal di rumah sakit, kaki kiri Cristal juga nggak bakal balik seperti semula."

Gue benci dengan tatapan mereka. Seolah-olah gue ini makhluk aneh yang terbuat dari kaca, sehingga perlu dijaga ketat biar nggak pecah. Sekasar apa pun sikap dan perkataan gue, mereka selalu menerimanya dalam diam. Nggak pernah sekali pun menegur atau menasehati gue seperti dulu. Apa pun yang terucap dari bibir gue, selalu mereka iyakan. Segala keegoisan gue yang terkadang membuat gue sendiri malu, mereka terima begitu saja. Bahkan segala sikap kasar gue, nggak pernah mereka tegur.

Apa sebegitu mengenaskannya keadaan gue sampai-sampai butuh penjagaan ketat? Bahkan gue yakin, Mami selalu berpikir ribuan kali saat mau bicara sama gue. Mereka sangat menjaga struktur kalimat yang mereka ucapkan. Gue sempat berpikir jangan-jangan mereka sudah menyiapkan buku catatan khusus tentang apa yang boleh dan nggak boleh dikatakan ke gue. Dan gue benci itu!

"Cristal mau pulang!"

Lagi-lagi Mami menarik napas panjang. "Sayang, kata Dokter Yusril---"

"Ngapain nurut sama Dokter Yusril? Apa-apa kata Dokter Yusril. Sebentar-sebentar nunggu persetujuan Dokter Yusril. Semua harus sesuai perkataan Dokter Yusril." Gue menarik napas sejenak. "Kaki Cristal diamputasi juga gara-gara disuruh Dokter Yusril 'kan!" bentak gue.

Tarikan napas panjang ke tiga. "Cristal, Mami tahu kalau kamu sedih. Mami juga sedih melihat kamu seperti ini. Papi Mami tidak pernah berniat untuk membuat kamu kehilangan kaki, tapi---"

"Sedih," gumam gue sambil mendengkus kasar, "Cristal memang semenyedihkan itu."

"Sayang, maksud Mami bukan begitu. Kami tidak ada pilihan selain merelakan Dokter Yusril mengamputasi kaki kirimu, Nak. Kalau kami tidak segera mengambil keputusan, nyawamu yang jadi taruhannya."

"Apa bedanya sama sekarang? Apa gunanya Cristal hidup kalau nggak punya kaki?" Emosi gue sudah mulai naik.

"Maafkan Mami, Sayang," lirih Mami sambil mengusap air mata yang mulai jatuh. Sedangkan Papi sibuk menepuk-nepuk punggung Mami.

Seumur hidup, gue nggak pernah suka melihat Mami menangis. Namun, dalam waktu dua minggu, entah berapa liter air mata yang Mami buang gara-gara gue. Gara-gara anak nggak berguna macam gue, yang bisanya cuma bikin repot.

"Pokoknya Cristal mau—"

"Permisi."

Ucapan gue terinterupsi oleh kedatangan Bella, Gio dan Belva. Ketiga orang itu nggak bosan-bosannya ke sini. Seolah rumah sakit ini rumah keduanya. Bahkan kapan hari itu mereka menginap di sini sehari semalam. Belva sampai membawa perlengkapan PS-nya, yang berakhir diusir oleh suster.

"Siang, Om Tante." Bella memberi salam sambil mencium punggung tangan orang tua gue. Disusul Gio dan Belva.

Gio dan Belva mengambil kursi lalu duduk di samping kiri brankar. Sedangkan Bella memilih duduk di kasur gue.

Bella melihat gue lalu ke Mami lalu kembali ke gue lagi. "Lo bikin Tante Fatim nangis lagi, ya?"

Bukannya menjawab, gue memilih memalingkan wajah. Toh Bella juga sudah bisa menebaknya.

"Kenapa, Tan?"

Mami nggak langsung menjawab.

"Cristal menolak melakukan prosedur operasi plastik. Malah minta pulang," jelas Papi.

"Yaaah," desah Bella dengan nada kecewa, "gue gagal lihat kaki lo berwarna doreng dong."

Spontan gue menoleh ke sumber suara, mengerutkan kening sambil menatapnya.

"Rencananya kalau lo operasi plastik, gue mau reques pakai kantong plastik doreng, Cris. Kan keren tuh."

Dasar nggak jelas! Kembali gue palingkan muka. Memang gue akui, pemikiran, kelakuan, candaan, dan sikap Bella membuat gue terhibur. Terlebih hanya mereka bertiga yang memperlakukan gue seperti biasa. Nggak ada perubahan sedikit pun. Bahkan Belva nggak sungkan untuk mengeluarkan komentar-komentar sadisnya.

Awalnya gue sempat ragu, apakah mereka bisa menerima keadaan gue yang seperti ini. Dengan latar belakang keluarga dan pergaulan kelas atas, gue mengira mereka akan malu dan menghindari gue. Namun, gue salah.

"Memang rencananya kapan, Tan?"

"Kalau Cristal setuju, secepatnya Dokter Yusril akan membuat jadwal dengan dokter bedah plastik."

"Oke, Tan. Dijadwalin aja."

"Heh!" Gue menoleh cepat, memprotes ucapan Bella. "Kenapa jadi lo yang jawab?"

"Karena otak lo baru nggak berfungsi, jadi gue yang mewakili."

"Memangnya otak lo masih berfungsi, Bel?" ucap Belva sadis. "Eh, sorry, maksud gue memangnya lo punya organ satu itu?"

"Yang ... si Belva mulai lagi tuh." Seperti biasa, Bella selalu meminta pertolongan dari Gio---kekasihnya. Padahal sama Gio juga cuma dikasih senyum.

"Jadi fix, ya, Tan. Bikin janji aja sama dokter plastiknya," ucap Bella lagi.

"Nggak!" tolak gue tegas.

"Iya. Dan harus iya!" Bella nggak mau kalah. Bahkan lebih ngotot ketimbang gue. "Udah deh, lo itu nurut aja kenapa sih?"

"Kenapa lo nolak?" tanya Belva tepat saat gue bersiap membalas Bella.

Kenapa? Karena nggak ada gunanya. Buat apa mempercantik barang yang jelas-jelas sudah rusak. Toh nggak bakal ada yang melihatnya. Gue juga nggak berniat mempertontonkan kecacatan ini. Kalau cuma bekas luka bakar yang nggak seberapa di kaki kanan, kedua paha, dan punggung, gue rasa nggak seburuk hilangnya kaki kiri gue.

Gue menghela napas panjang. Kalau mengingat bagaimana pertama kali sadar kaki kiri gue hilang separuh---mulai dari lutut ke bawah---rasa-rasanya gue pengin berteriak. Antara marah, kecewa, frustasi, malu, sedih dan seluruh emosi ada di benak gue. Yang ada gue selalu melampiaskan amarah ke siapa pun dan benda apa pun. Gue cuma ingin menyampaikan kekecewaan dan segala perasaan amburadul yang ada dalam diri.

"Kenapa, Cris?" ulang Belva, karena gue nggak juga menjawab.

"Karena dia udah nggak mau bersyukur, Va. Karena Cristal marah sama Tuhan. Karena Cristal sudah menyerah sama hidupnya. Bahkan kalau perlu, dia mau bunuh diri. Iya 'kan, Cris?"

Gue ingin marah atas sindiran Bella, tapi gue sadar dia benar. Berkali-kali terlintas keinginan untuk mengakhiri hidup. Gue pernah mencabut paksa selang infus yang membuat pembuluh darah gue pecah. Gue juga pernah hampir mengiris pergelangan tangan, yang berakhir dengan teriakan histeris dari Mami.

Gue embuskan napas panjang sekali lagi. Lalu memilih balik menatap ke luar jendela.

"Idih, malah melengos. Ditanya baik-baik bukannya jawab malah buang muka," sindir Bella lagi. "Sekarang hobi lo ngeliatin jendela, ya? Apa sih bagusnya?"

Karena langit nggak pernah menatap gue dengan pandangan kasihan dan sedih. Karena langit selalu jujur. Langit akan mendung jika akan hujan. Langit pun akan tampak cerah jika sang surya menampakkan sinarnya. Beda dengan orang-orang yang sudah dan akan gue temui nantinya. Penuh kebohongan.

* * *

Hampir tiga minggu gue menghabiskan waktu di kamar rumah sakit. Permintaan paksa gue untuk segera balik nggak berhasil. Malah lima hari lalu gue terpaksa menjalani prosedur bedah plastik pertama. Katanya untuk memulihkan bentuk tubuh belakang gue yang terbakar.

Entah apa yang mereka lakukan. Setelah bius hilang, bukannya sembuh tapi tambah sakit. Rasa panas serasa terbakar semakin menjadi. Kalau bukan karena ketelatenan Mami yang selalu membelai dan mengipasi punggung, gue pasti kembali menggila. Bahkan sampai sekarang, gue belum bisa tidur terlentang sempurna. Karena rasanya sungguh nggak terkatakan.

"Cris, tadi gue lihat Toni sama Budi di depan kamar lo lagi. Mereka nggak masuk?" Bella meletakkan piring berisi potongan apel dan pir dengan seenaknya di depan muka gue. Padahal sudah dibilang berkali-kali, kalau gue nggak pengin makan apa-apa. "Nggak lo suruh masuk, Cris?"

Gue menjauhkan piring. "Nggak."

"Lo marah sama mereka, Cris?" tanya Bella sambil memasukkan potongan apel ke mulut. Dia memindahkan piring ke nakas.

Alih-alih menjawab, gue memilih untuk melihat ke luar jendela. Sebenarnya gue tahu kalau hampir setiap hari, dua anak itu ke sini. Namun, gue pura-pura nggak tahu. Gue nggak berusaha memanggil mereka masuk.

Gue nggak marah sama mereka. Nggak sama sekali. Hanya saja gue belum siap menghadapinya. Gue takut kalau ingatan buruk hari itu membuat sikap gue berubah. Gue takut kalau emosi gue kembali labil hingga tanpa sengaja menyakiti mereka. Padahal untuk menahan amarah, hingga saat ini gue nggak terlalu gampang mengamuk juga sudah terlalu berat. Gue belum sekuat itu.

"Indah sudah keluar dari rumah sakit. Kondisinya mulai membaik," tambah Bella.

Gue tutup kedua telinga. "Cukup! Gue nggak mau dengar tentang Indah! Gue ... gue yang bikin dia seperti itu! Gue ...." Air mata gue kembali jebol jika mengingat Indah.

Bella mengembuskan napas panjang sambil menepuk bahu gue. "Dia sehat, Cris. Indah cuma—"

"Sehat? Gue yang sudah tua saja merasakan sakit seperti ini, Bel! Panasnya nggak karu-karuan. Gimana dengan Indah? Apalagi saat api membakar tubuhnya, pasti sakit, Bel! Lo masih bilang kalau dia sehat? Bohong!" Gue kembali histeris membayangkan rasa sakit yang harus Indah terima.

Gue nggak pernah berani menanyakan keadaan Indah. Gue takut mendapat kabar buruk. Kalau bukan Bella yang memberi tahu bahwa Indah selamat, mungkin sampai saat ini gue masih mengira bahwa anak itu nggak tertolong.

"Cristal," Bella memeluk gue erat, "percaya sama gue. Indah beneran nggak kenapa-napa. Gue lihat sendiri, Cris. Dia cuma syok dan ada sedikit luka bakar. Tapi sekarang sudah sehat. Semua berkat lo. Semua karena lo udah melindungi dia dari api."

Tangis gue semakin kencang. Gue mencengkeram erat kedua sisi tubuh Bella. Gue tumpahkan ganjalan yang selama ini bercokol di dada.

"Gue yang bikin Indah seperti itu, Bel. Gue yang salah."

"Hei," Bella melepaskan pelukan, memegang kedua bahu gue sambil menatap tajam, "lo sama sekali nggak salah. Lo hebat banget, Cris, udah menyelamatkan Indah. Lo hebat, berani menerobos api demi dia. Padahal lo tahu resikonya kayak apa. Gue bangga sama lo. Tante Fatim dan Om Indra sangat bangga dan bersyukur punya anak kayak lo."

"Tapi gue kayak gini, Bel. Apanya yang bikin bangga?" Gue menangkup wajah ke dalam kedua telapak tangan.

"Kayak gini gimana?" Bella melepaskan pegangan di bahu gue, lalu menarik napas panjang. "Maksud lo tentang kaki yang sekarang cuma satu? Memangnya kenapa?"

Gue menatap garang ke Bella. Napas gue mulai memburu. Memang, gue tahu kalau mulut Bella dan Belva terlalu jujur. Namun, apa dia nggak memikirkan perasaan gue saat bicara tentang kaki gue yang buntung?

"Kenapa? Lo marah sama gue, gara-gara gue ngungkit kaki buntung lo itu?" Bella berdiri di depan gue sambil bersedekap.

Dengan susah payah gue berhasil mengangkat tubuh hingga setengah duduk. Baru kali ini gue malakukannya sendiri. Susah dan teramat sangat sakit. Namun ... gue berhasil. Gue bisa duduk tanpa bantuan.

Emosi yang semula siap gue ledakkan, padam seketika. Gue benar-benar nggak menyangka bisa duduk sendiri. Secercah bahagia timbul dalam benak gue. Namun, hanya sekejap. Karena sedetik kemudian tubuh gue kembali ambruk.

Gue pukul brankar berkali-kali. "Gue yang lemah begini bisa apa, Bel? Gue udah nggak berguna! Bahkan untuk duduk sendiri nggak bisa! Apa yang bisa gue banggain ke kalian! Apa?" teriak gue histeris.

"Cristal, dengerin gue." Bella membenahi letak bantal dan membantu gue kembali berbaring dengan nyaman. "Kami semua selalu bangga sama lo. Bagaimana pun kondisi lo sekarang. Peduli pocong sama kaki lo yang diamputasi. Lo masih punya kaki kanan. Lo masih punya Tante Fatim, Om Indra, Belva, gue, Gio. Eh, jangan! Gio khusus milik gue. Tugas Gio biar gue ambil alih.

"Sekarang memang lo masih lemah, karena tubuh lo masih proses pemulihan. Tapi nggak lama. Sebentar lagi lo bisa pulang. Lo bisa melakukan segala yang lo mau. Kami semua bakal selalu ada untuk lo," tambah Bella.

Gue mendengkus sinis. "Lo bisa ngomong gitu karena nggak berada di posisi gue! Lo bisa ngomong gitu karena masa depan lo masih cerah! Sedangkan gue?"

"Lo kenapa? Cris, yang hilang cuma kaki kiri lo doang. Otak sama hati lo masih ada di tempatnya. Tinggal mau lo pake atau cuma dijadiin pajangan," tambah Bella.

Gue menunduk sambil memainkan cincin di jari manis. Lo bisa ngomong begitu karena Gio selalu ada di sisi lo, Bel. Sedangkan Gyan ....

* * *


Kenawhy dengan Gyan?
Masih ingat Gyan 'kan?
Yang lupa, bisa baca lagi di Prolog.

Jangan lupa tekan bintang, Gaes.
Tinggalin komen yang banyak.
Masukin ke perpus juga.
Oh iya, follow akun Emak jugaaa ....

Love,
05 Maret 2021

Tika Putri

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top