»K-19«
"Ngapain sih lo ikut?" Gue masih marah sama Bella gara-gara kelakuannya tempo hari.
Karena keabsurdannya, gue harus menahan malu di depan Mas Beryl. Mana itu cowok juga kayak sengaja menggoda gue. Tiap kami nggak sengaja ketemu pandang, dia pasti langsung sanyam-senyum sambil naik-naikin alis.
Gimana gue bisa melangkah kalau belum apa-apa jalan gue sudah di bikin susah. Gue mana ada muka untuk ketemu Mas Beryl lagi. Padahal gue masih ada jadwal penandatanganan kontrak kerja sama. Kalau gue absen, namanya lepas tanggung jawab.
"Lo masih ngambek, ya, Cris?" Bella menyusul naik ke mobil dan langsung duduk di samping gue.
Hari ini jadwal gue fisioterapi sama Bang Leon. Sepertinya Bella sudah mencari info dari Juwita, karena tahu-tahu muncul di samping mobil saat gue mau berangkat.
Beberapa hari ini gue memang sengaja mendiamkannya. Akhirnya dia kelimpungan sendiri 'kan. Biar tahu rasa.
"Maafin gue dong, Cris. Iya, gue ngaku salah. Ngambeknya udahan, ya," rayu Bella.
Hari ini jalanan terlihat lebih ramai dibanding biasanya. Baru keluar komplek saja sudah hampir setengah jam, bisa-bisa gue sampai di Rumah Sakit tengah hari.
"Criiiis ...." Rengekan Bella nggak gue gubris. Biar Bella kapok dan nggak seenak udelnya sendiri.
"Atau gue telepon Mas Beryl? Gue jelasin kalau kemarin itu ulah gue."
Sejak kapan Bella punya nomor Mas Beryl? Jangan-jangan bohong lagi ini bocah. Gue lirik Bella mengutak-atik ponselnya.
"Waalaikumsalam, Mas."
Spontan gue menoleh dengan mata melotot sempurna. "Lo telepon siapa?" tanya gue tanpa suara.
Bella menyuruh gue untuk diam. "Gue ganggu, ya, Mas? Wiiih, enak banget."
"Lo serius telepon Mas Beryl?" Gue merebut paksa ponsel Bella, tapi gagal.
"Kapan-kapan lo harus ngajak gue ke sana, Mas." Bella tertawa renyah sambil menjulurkan lidah ke gue.
"Bel!" bentak gue.
"Cristal, Mas. Gue nganterin dia fisioterapi." Jeda sejenak, "Nyusul aja, Mas."
"Apaan sih lo?" Gue pelototi gadis berambut merah yang baru memainkan kuku.
"Oke, ntar gue share loc. Gue tunggu di Rumah Sakit, ya, Mas."
"Lo nelepon Mas Beryl beneran, Bel?" tuntut gue setelah Bella memasukkan ponsel ke tas.
"Menurut ngana?" Bella memasang tampang centil sambil menjentikkan kuku lentiknya, tapi palsu. (Ngana = kamu)
"Astaga, Bel! Lo belum kapok juga?" Suara gue sudah naik dua oktaf, sampai-sampai Pak Man dan Juwita yang duduk di depan menoleh.
"Suruh siapa lo ngambek terus."
"Heh, turun lo sekarang! Berhenti, Pak, biarin ini orang turun," perintah gue sambil menahan emosi.
"Lanjut, Pak Man. Nggak usah dengerin Cristal. Dia pikir enak didiemin berhari-hari. Padahal, Pak, dia itu juga bilang kalau Mas Beryl ganteng. Ya 'kan gue nggak salah, gue jujur."
Juwita terkikik di depan. "Wah, Mbak Bella belum pernah ketemu Bang Leon, ya?"
"Diem nggak, Ju, atau lo juga gue turunin di sini!" ancam gue, walau sepertinya percuma.
"Itu laki ganteng juga, Ju?" Bella memajukan duduk.
"Banget, Mbak. Badannya kekar, Juwita yakin perutnya kotak-kotak. Nanti lihat sendiri, Mbak."
"Nggak! Nggak ada ceritanya lo ikut gue masuk. Kalian berdua turun di sini!"
"Astagaaa ... beruntung banget sih hidup lo, Cris. Dikelilingi cowok ganteng. Eh, tapi Gio juga paling tamvan sedunia. Mas Beryl mah lewaaat."
Gue merotasikan mata bosan. "Bel, gue peringatkan sekali lagi, jangan macam-macam!"
Perkataan gue cuma dianggap angin lalu sama Bella. "Gue nggak sabar lihat Leon sama Mas Beryl ketemuan di sana. Seru nih."
Awas saja kalau sampai bikin malu, gue lempar pakai barbel!
* * *
Berkali-kali gue melirik Bella yang duduk tenang di dekat pintu. Setelah berkenalan sama Bang Leon—yang syukurlah nggak pakai drama seperti dengan Mas Beryl kemarin—Bella cuma duduk diam di kursi tunggu.
Sesekali dia bersorak sambil memotret saat gue berhasil jalan dengan kruk.
"Lo sudah semakin lancar, Cris. Kalau saran gue, mending lo lepas kursi roda. Jadi lebih terbiasa jalan pakai kruk," ucap Bang Leon di akhir sesi.
"Wah, kereeen. Berarti pulang dari sini, Cristal udah bisa pakai kruk langsung, Bang?" Tahu-tahu si Centil sudah berdiri di samping gue.
"Tentu saja bisa. Kalian mau langsung nongkrong pun nggak masalah. Apalagi kalau gue diajak," ujar Bang Leon sambil tertawa.
"Boleh tuh, Bang. Secara kita bertiga cewek semua, butuh perlindungan dari cowok gagah macem Bang Leon dong. By the way, itu otot semua, Bang? Duh, kayaknya gue mesti maksa Gio ikut gym biar badannya sekekar Bang Leon."
Gue geleng-geleng melihat kelakuan Bella. Urat malunya benar-benar sudah putus. Bagaimana bisa Gio kuat bertahan sama cewek model begini sih?
"Ajak saja ke tempat latihan gue, nanti gue latih. Gratis."
"Serius?"
"Gratis pertemuan pertama," lanjut Bang Leon sambil tertawa.
"Wah, ngajak bercanda nih. Cris, kita jalan ke mana enaknya?"
"Kalian aja deh yang jalan, gue nggak bisa ikut karena harus nyiapin berkas untuk besok," potong gue cepat sambil mencubit punggung Bella, memberi kode supaya balik ke kursinya.
"Penandatanganan perjanjiannya besok, Cris?" tanya Bang Leon.
Gue memang pernah cerita sekilas waktu mau berangkat ke Temanggung. "Iya, Bang. Biar bisa cepet dikirim barangnya, keburu deadline."
"Pas banget berarti," celetuk Bang Leon.
"Apanya yang pas?" tanya gue bingung.
"Pas lo tanda tangan kontrak, pas lo lepas kursi roda. Berkah double 'kan."
"Yang kayak gini harusnya dirayakan nggak sih, Bang?" timpal Bella lagi.
"Jelas banget." Bang Leon mengacungkan kedua jempol.
"Gimana kalau minggu depan sepulang terapi, kita nongkrong?" usul Bella kepedean.
Mau nolak secara terus terang nggak mungkin gue lakukan. Mau setuju pun gue berat.
"Dah sana kalian balik, biar bisa siap-siap untuk besok. Jangan lupa, Cris, besok pakai kruk. Kursi roda lo itu udah waktunya masuk gudang."
"Tapi kayaknya gue pakai kursi dulu deh, Bang. Soalnya besok jadwal Juwita libur, gue takut kepleset atau jatuh."
"Yakin sama diri lo sendiri, Cris. Gue percaya kalau lo pasti bisa. Otot tangan sama kaki lo sudah jauh lebih kuat dibanding pertama kali terapi. Biasanya juga lo bisa jalan tanpa kruk 'kan? Kalau pakai satu kaki saja bisa, apalagi dibantu tongkat."
"Iya deh, besok gue coba lepas kursi."
"Melihat perkembangan lo seperti ini, bukan nggak mungkin kalau bulan depan lo udah bisa pakai kaki palsu." Bang Leon mengikuti langkah gue ke kursi tunggu.
"Kemarin Dokter Yusril juga bilang begitu ...."
"Tapi lo belum siap lagi?" tebak Bang Leon.
Gue memasukkan handuk ke tas, memeriksa sekali lagi barang di atas kursi. Soalnya ada Bella, bisa jadi dia mengobrak-abrik isi tas dan lupa nggak diberesin.
"Apa yang nggak siap?" Bella ikut nimbrung.
"Itu si Cristal sepertinya belum siap pakai kaki palsu."
"Kalau itu gampang, Bang. Ntar gue cariin pawangnya, biar dia nurut."
"Udah deh, jangan mulai lagi," tegur gue.
Bella memajukan bibir. "Gini nih, apa-apa nggak boleh. Dikit-dikit ngambek."
Gue nggak menggubris gerutuan Bella. Sudah biasa.
"Oke, kalau gitu gue duluan, ya. Inget, Cris, lo harus percaya diri. Nggak usah minder, lo itu cantik." Ucapan Bang Leon jelas memancing keributan Bella dan Juwita.
Mereka sibuk menggoda kami, sampai Bang Leon gue usir dari ruang terapi. Kalau nggak begitu, nggak bakal selesai.
"Pak Man sudah di lobi, Ju?" tanya gue sambil meletakkan ransel ke atas kursi roda. Bang Leon tadi memaksa gue untuk mulai pakai tongkat, jadi kursi roda gue alih fungsikan sebagai troli.
"Eh, gue lupa bilang ... tadi pas lo latihan, Pak Man ijin pulang. Saudaranya ada yang meninggal, jadi dia ijin mudik."
"Ya udah, kita pesen taksi online aja," usul gue.
"Nggak usah, ini Mas Beryl udah hampir nyampe."
Astaga, ternyata anak ini serius menghubungi Mas Beryl.
* * *
"Lho kok malah mau pulang. Sudah, makan malam di sini dulu. Tadi katanya tantemu mau masak enak," ajak Papi saat Mas Beryl berpamitan.
"Dengan senang hati, Om." Mas Beryl yang semula sudah bersiap berdiri, jadi menyanderkan tubuh di sofa lagi.
Naga-naganya nggak sebentar ini mereka ngobrol. Secara sekarang baru jam empat sore, jam makan malam jelas masih lama. Mending gue balik kamar saja, daripada jadi kambing congek. Lagian badan gue rasanya sudah lengket, sepulang dari terapi tadi belum sempat mandi.
Sedangkan Bella sudah dari sejam yang lalu pulang. Katanya mau siap-siap karena sepulang kerja Gio mau apel.
Memang sahabat rasa musuh benar cewek satu itu. Setelah bikin ulah, sok menjodohkan gue sama Mas Beryl, dia langsung cabut. Meninggalkan gue yang canggung setengah mati di depan Mas Beryl.
Untungnya ... Papi muncul sebagai penyelamat gue. Biarlah mereka ngobrol ke sana kemari, yang penting gue terlepas dari rasa kikuk.
"Pi, Mas, Cristal naik dulu, ya. Gerah banget," pamit gue.
"Jangan lama-lama, cepat turun," pesan Papi.
Ya kali, gue bakal nurut. Lebih baik gue tiduran di kamar, ketimbang harus nemenin Mas Beryl. Lagian yang tadi nahan itu cowok biar nggak pulang 'kan Papi. Jadi sudah sewajarnya kalau Papi yang tanggung jawab.
Tepat di depan lift, gue lihat Budi baru menggendong Indah yang menangis.
"Indah kenapa, Bud?" tanya gue sambil berjalan mendekat.
Indah sempat menatap gue, tapi cuma sedetik. Habis itu dia memeluk erat Budi sambil menyembunyikan wajah di lekukan leher kakaknya.
"Tadi jatuh di halaman, Kak," jawab Budi.
"Udah diobati belum?"
"Ini baru mau dibersihin, Kak."
Dibersihin dalam kamus mereka itu cuma diguyur air, tanpa dikasih antiseptik atau salep. Gue hapal betul, karena biasanya gue yang selalu memaksa memakaikan obat ke mereka.
"Ikut Kak Cristal naik," perintah gue sambil berbalik kembali ke lift. "Ayo, cepet."
Dalam diam Budi mengikuti gue masuk ke lift. Sedangkan sesekali gue masih dengar sisa tangis Indah.
Semenjak hubungan gue dengan Toni mencair, gue juga mulai mendekat ke Budi dan Indah. Gue pikir nggak akan ada masalah dengan dua anak itu, tapi ternyata mereka terlanjur takut sama gue.
Budi hampir nggak pernah melihat wajah gue saat kami berbicara. Kalau gue suruh mengangkat kepala, matanya tetap nggak mau menatap gue.
Sedangkan Indah lebih parah. Dia selalu menghindar tiap ketemu gue. Atau kalau enggak, dia bakal sembunyi di belakang orang lain. Tiap gue tanya, nggak pernah sekalipun dia menjawab. Paling cuma mengangguk atau menggeleng saja.
"Sana kakinya dicuci di kamar mandi." Gue duduk di depan meja rias, lalu menyanderkan kruk ke tembok.
"Nanti biar dibersihin di bawah saja, Kak," tolak Budi yang masih berdiri di ambang pintu kamar gue.
"Apa bedanya di sini sama di bawah?"
"Itu ... nanti kamar mandi Kak Cristal kotor. Soalnya tadi Indah lari-larian di kebun," terang Budi.
"Kalau kotor nanti bisa dibersihin. Sudah sana masuk kamar mandi, terus kaki Indah dicuci yang bersih," perintah gue dengan nada tegas.
Dengan ragu Budi menggendong Indah ke kamar mandi. Gue sempat dengar Indah menolak untuk turun, dia minta dibawa ke kamarnya.
Gue menghela napas panjang sambil memicing. Kebakaran itu nggak cuma mengambil kaki gue, ternyata hati gue pun sempat terenggut. Sampai-sampai gue nggak sadar kalau sudah melukai Budi dan Indah.
Besok gue harus konsultasi ke Mbak Asoka, karena bukan cuma gue yang butuh konseling. Dua anak itu pun harus menjalani terapi. Gue nggak mau traumanya terbawa sampai mereka dewasa.
"Sudah, Kak. Kami turun dulu." Suara Budi membuyarkan lamunan gue.
"Sini dulu."
Budi menuruti kata-kata gue.
"Sini, Indah duduk sama Kak Cristal dulu, biar Mas Budi ambil obat di laci sana." Gue mengulurkan kedua tangan bersiap menerima Indah, tapi gadis itu malah semakin erat memeluk leher Budi.
"Indah, sini dulu, diobati Kak Cristal kayak biasanya," bujuk gue.
Indah menggeleng pelan. Sedangkan Budi menunduk dalam.
"Indah marah sama Kak Cristal, ya?" Gue menggeser kursi agar lebih mendekat ke Budi.
"Indah sudah lama nggak dipangku Kak Cristal 'kan? Memangnya Indah nggak kangen main-main sama Kakak lagi?" Gue masih belum bisa meraih dua anak ini.
"Sini, yuk, kalau kalian di situ, Kak Cristal nggak bisa ngobatinnya."
Tangis yang tadinya sudah reda, sekarang malah semakin kencang. Indah menangis histeris sambil menghentakkan kaki. Gue langsung meraih kruk dan berjalan mendekati mereka.
Gue lipat jarak yang dalam empat langkah. Tanpa pikir panjang, gue lepas kruk kanan, lalu membawa kedua anak itu ke pelukan gue.
"Maafin, Kak Cristal, ya."
Sikap diam dan nggak mau tahu gue selama ini benar-benar salah kaprah. Gue menyesal. Teramat sangat.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top