»K-18«

Jangan lupa vote ⭐ dan komen yaaa ....
Makasih
😘😘😘

* * *

"Bukannya sekarang kamu sudah melangkah?"

Ucapan Mas Beryl waktu itu terus terngiang bahkan sampai gue balik Jakarta. Menurut Mas Beryl, dengan memantapkan diri untuk ke Temanggung dan mengambil tanggung jawab dalam kerja sama di antara kami, sudah merupakan pembuktian akan eksistensi gue. Mas Beryl juga berpesan agar gue percaya pada kemampuan yang gue miliki, bukan pada fisik.

Jujur, seminggu di Temanggung cukup membuat gue merasakan perubahan. Dari yang awalnya phantom gue kumat ditambah PTSD yang mendadak muncul, gue pikir tugas di sana bakal berantakan, tapi ternyata salah.

Semua perlahan berjalan membaik, bahkan gue merasa lebih tenang dan yakin untuk melangkah. Benar juga, kalau gue nggak berusaha mengubah diri, lalu siapa yang bisa mengubah nasib gue?

Oleh karena itu, dengan mantap gue putuskan untuk bersungguh-sungguh menjalani fisioterapi dan konseling. Gue nggak boleh terus-terusan takut dan malu untuk mengakui kalau gue sudah nggak punya kaki kiri. Gue harus menerima kenyataan ini bagaimana pun pedihnya.

Gue juga bertekad untuk lebih mandiri. Nggak bisa juga 'kan selamanya gue bergantung pada Juwita. Kursi roda ini pun harus gue ganti dengan kruk, supaya gerak gue lebih leluasa.

Melihat Pelangi hanya dengan sisa kaki yang separuh paha saja bisa jalan dengan penuh percaya diri, membuat jiwa bersaing gue bergejolak. Gue nggak boleh kalah mental sama anak sekecil itu.

"Jadi lo besok mulai latihan jalan pakai kruk?" tanya Bella sambil mendorong gue masuk ke lift.

Belva menekan tombol ke lantai lima. "Baguslah kalau lo punya niat maju. Gue dukung seratus persen."

"Kalau gue beratus-ratus persen, Cris. Apapun yang lo butuhin, gue siap sedia. Tapi ... gue penasaran sama si Beryl ini. Gila aja tuh laki, baru juga kenal sama lo, eh udah bikin lo berubah drastis. Jangan-jangan lo dicuci otak, ya, Cris?"

Belva menoyor kening Bella. "Lo kebanyakan baca novel nggak bermutu, Bel."

"Atau lo udah kepincut sama tuh cowok? Seganteng apa sih, Cris? Tadi kata Juwita cakep parah. Coba lihat fotonya dong. Lo pasti punya 'kan?"

Gawat! Kalau Bella mulai penasaran sama Mas Beryl, bisa dipastikan hidup gue nggak bakal tenteram sampai dia kenalan sendiri.

"Nggak ada. Buat apa gue nyimpan foto Mas Beryl?"

"Ya 'kan lo di sana seminggu. Masak nggak foto bareng sebiji pun? Jangan-jangan lo dihipnotis, Cris? Atau dia main dukun gitu, biar lo nurut sama dia." Tebakan Bella semakin nggak jelas.

Gue terbahak dengan pemikiran Bella yang di luar nalar. "Bener kata Belva, lo harus ganti bahan bacaan, Bel."

"Bukan salah gue mikir kayak gitu. Secara kita bertiga bareng udah lebih dari sepuluh tahun, tapi sampai mulut berbusa, omongan kita nggak lo denger. Lha ini, cuma speak-speak seminggu, lo langsung mau kita ajak nongkrong di mal," protes Bella.

Pintu lift terbuka. Kami bergegas keluar karena banyak pengunjung yang gantian mau masuk. Sebenarnya gue masih belum percaya diri untuk jalan-jalan ke tempat umum begini. Bukan perasaan gue saja, tapi memang sedari tadi banyak orang yang melihat dengan tatapan heran.

Namun, nggak sedikit juga yang nggak memerhatikan gue. Walau kami berpapasan, mereka tetap cuek. Melirik ke gue pun enggak.

Ya, seperti kata Mas Beryl, semua pasti ada dua jalan. Tinggal gimana gue menyikapinya saja. Dan kali ini gue memilih untuk berusaha cuek. Kalau kata Bella, peduli poconglah.

"Ini jadinya mau makan nggak? Kalau lo masih mau belanja, mending lo muter sendiri, Bel. Gue nunggu di resto," ucap Belva saat Bella mendorong gue masuk ke toko tas.

"Ck ... nggak sabar banget sih, Pak. Timbang nganter temen shooping aja dari tadi ngeluh mulu," gerutu Bella.

"Lo juga, Bel, belanja nggak kelar-kelar." Gue menunjuk tumpukan paper bag di pangkuan. "Lo pikir gue ini troli belanja apa gimana?"

"Kelakuan lo memang kebangetan, Bel. Ambil tuh barang lo!" perintah Belva tegas.

"Eh, sorry, Cris. Gue nggak maksud gituuu ...." Cristal meringis sambil mengambil barang belanjaannya.

"Gue mau nyari rujak cingur, lo mau nggak, Cris?" Belva mengambil alih kursi roda karena kedua tangan Bella penuh.

"Mau banget." Sudah lama gue nggak makan makanan khas Surabaya itu.

"Ih, kok rujak cingur. Gue pengin budae jjigae," rengek Bella.

"Nggak!" tolak Belva tegas. "Males banget makan mie yang nggak jelas rasanya."

"Ya 'kan ada menu lain, Va."

Bella masih terus membujuk Belva saat gue melihat sekelebat sosok yang nggak asing. Dalam balutan jin biru dan kaos polo hijau tua, laki-laki itu tampak merangkul seorang gadis sambil bercanda. Sesekali si laki mendekatkan bibirnya ke telinga perempuan.

"Va, putar balik," pinta gue lirih.

"Gimana, Cris?"

Bukannya menuruti permintaan gue, Belva malah menghentikan langkah.

"Putar balik, Va," desis gue sambil berusaha menyembunyikan wajah dengan menunduk.

"Ada apaan sih?" tanya Bella.

"Sudah deh, ayo cepat–"

"Cristal?"

Sial! Nggak perlu melihat pun gue tahu siapa yang menyebut nama gue. Tapi lain halnya dengan Bella Belva. Dua anak itu kompak menoleh ke depan.

Gue menarik napas panjang—panjang banget—katanya bisa untuk meredakan emosi juga.

"Siapa, Yang?"

Gue bisa mendengar si cewek memanggil cowok berengsek itu 'sayang'. Gue nggak cemburu. Tolong garis bawahi, gue nggak iri atau sakit hati. Gue cuma males berurusan lagi sama Gyan.

Orang dengan pikiran picik macam Gyan nggak pantas untuk gue cintai. Bahkan gue merasa rugi sudah menghabiskan beberapa tahun untuk bersama dia. Untung saja—ya, gue akhirnya bisa mengambil hikmah dari kebakaran itu—gue segera tahu tabiat asli Gyan, sebelum terlanjur menikah sama dia.

"Dia Cristal, Yang" jawab Gyan. "Lo sudah bisa jalan-jalan? Pakai kursi roda, Cris? Lo nggak malu?" Gyan menatap kaki gue kayak melihat bangkai tikus. Kelihatan banget kalau dia risih.

"Weits, ada cewek yang nyamar jadi cowok ternyata. Gimana badan lo, Sist, udah sembuh belum?" Bukan Belva namanya kalau nggak suka cari ribut. Dia bahkan sudah mengambil langkah hingga kini berdiri tepat di depan gue.

"Udahlah, Va, kita cabut aja," bujuk gue sambil menarik pergelangan tangannya.

Gue menyembunyikan tersenyum miring saat melihat kedua tangan si cewek melingkar sok posesif di lengan Gyan.

"Oh, mantan kamu yang cacat itu." Si cewek semakin mendekatkan tubuhnya, sampai bagian depannya menempel sempurna di lengan Gyan.

Gue menghela napas panjang. Sakit juga disebut cacat, walau kenyataannya memang seperti itu.

"Cewek baru nih? Kalian serasi banget lho, sama-sama mulutnya nggak pernah sekolah," sindir Bella.

"Bella, Belva, yuk cabut aja," pinta gue lagi. Males banget 'kan ribut di mal sama Gyan. Nanti ujung-ujungnya jadi tontonan pengunjung.

"Untung kamu udah putus, Yang, bayangin kalau kamu harus dorong-dorong cewek cacat ini seumur hidup. Habis mukamu karena malu, Yang."

Gue cepat-cepat menarik tangan Bella, telat sedetik saja gue yakin telapak tangan Bella sudah menempel keras di wajah itu cewek.

Namun, gue lupa kalau masih ada Belva. Dengan langkah panjang dia mendekati Gyan.

"Gue nggak suka main kasar sama cewek. Jadi mending lo ajari cewek lo tata krama atau lo yang gue hajar," desis Belva.

"Va, udah deh, jangan bikin malu. Dilihatin orang-orang," cegah gue sebelum Belva berbuat nekat.

Mungkin Gyan masih terbayang bagaimana rasanya dihajar habis-habisan sama Belva, sampai-sampai dia menggeret ceweknya dengan setengah berlari.

"Ngapain lo ngehalangin gue sih, Cris? Rasanya pengin gue sumpel itu mulut pake kaos kakinya Belva."

"Kaos kaki gue bersih dan wangi," timpal Belva.

"Gue sumpahin dua makhluk itu sengsara seumur hidup." Bella masih terus mengomel sambil sesekali dikomentari Belva.

Sedangkan gue memilih diam. Bertemu Gyan sama sekali nggak ada dalam daftar impian gue. Bahkan kalau bisa dia menghilang dari muka bumi.

Gue sudah nggak cinta. Serius. Tapi biar gimana pun Gyan pernah mengisi hari-hari gue. Dan perpisahan kami memang bukan dengan cara yang baik. Sehingga mau nggak mau tetap ada ganjalan di hati gue kalau ketemu sama Gyan.

Rasa kecewa, marah, sedih, dan benci itu belum bisa gue hilangkan. Tadi pun kalau nggak ingat akan rasa malu, gue bakal biarin Bella Belva menghajar mereka.

Saat di mana Gyan membuang gue dengan sesuka hati itu sampai sekarang masih meninggalkan luka menganga. Harga diri, kepercayaan diri, dan rasa ingin dicintai dalam diri gue lenyap seketika.

"Lo masih kepikiran sama dua monyet tadi, ya?" tanya Bella saat kami tiba di rumah.

"Enggak," jawab gue singkat.

"Enggak gimana? Dari tadi lo diam aja, Cris. Bahkan makanan lo tadi nggak lo habisin. Coba kalau tadi gue sempat nabok itu betina, paling nggak gue rada lega, Cris."

"Udah ... udah, kita masuk aja," ajak gue.

Bella membantu gue turun dari mobil, sedangkan Belva mengambilkan kursi roda dari bagasi. Gue mencoba menarik kedua ujung bibir, agar Mami nggak menyadari perubahan emosi gue. Nggak gimana-gimana, cuma kalau Mami sampai tahu kejadian tadi, bisa-bisa dilaporin ke Papi.

Nah, kalau Papi tahu, bisa-bisa hidup Gyan tamat. Kemarin dulu waktu dia mutusin gue secara semena-mena, kalau nggak gue cegah, Papi hampir melabrak Gyan dan melaporkannya ke pimpinan tempat Gyan kerja. Secara pemilik bank itu 'kan kenalannya Papi. Bukan nggak mungkin kalau Gyan bakal dipecat.

"Nah, itu mereka pulang." Suara Mami di dalam terdengar dari teras.

"Ada tamu, Cris?" bisik Bella.

"Mana gue tahu." Gue gulirkan kursi roda memasuki rumah.

"Dari mana saja kalian ini? Mami telepon kamu dari tadi tidak diangkat, padahal ada Beryl." Mami tengah duduk di ruang tamu dengan Mas Beryl.

Mas Beryl melambaikan tangan ke gue sambil tersenyum. Kemeja navy blue lengan panjang yang dia pakai kelihatan pas banget di badan. Nggak tahu kenapa kok gue merasa auranya jadi beda. Tambah keren.

"Maaf, Tan, tadi keasyikan ngobrol sampai lupa waktu." Bella menjawil bahu gue sambil menggulir bola mata ke arah Mas Beryl berkali-kali.

"Sore, Mas, apa kabar? Apa ada masalah sama berkas yang kemarin gue kirim?" sapa gue.

Jawilan Bella sudah berubah jadi cubitan kecil. Terpaksa gue harus memperkenalkan Bella ke Mas Beryl.

"Nggak ada masalah, Cris, kebetulan saya ke Jakarta, jadi sekalian main ke sini."

"Oh iya, Mas, kenalin ini Bella dan itu Belva."

Mas Beryl berdiri lalu menghampiri kami. Dengan senyum yang selalu setia menempel di mukanya, cowok setinggi hampir dua meter itu menyalami kedua teman gue.

"Kapan datang dari Temanggunh, Mas? Cristal sering cerita tentang Mas Beryl lho."

Gue melongo mendengar perkataan Bella. Bisa-bisanya dia menyebar fitnah!

"Hei, siapa yang–"

"Memangnya Cristal cerita apa saja tentang saya?" Mas Beryl melirik gue sambil tersenyum.

Awas saja, bakal gue hajar itu cewek.

"Macem-macem, Mas. Gue pikir dia bohong, tapi ternyata enggak."

Mas Beryl mengerutkan kening. "Wah, saya jadi penasaran ini, apanya yang nggak bohong?"

Perasaan gue benar-benar nggak enak. Senyum Bella ini pertanda sesuatu yang buruk bakal terjadi.

"Mas Beryl benar-benar ganteng."

Dasar sahabat nggak ada akhlak!

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top