»K-16«

Sebelum baca, jangan lupa follow akun Emak dulu, vote ⭐ dan koment yaaa ....

Happy Reading
😘😘😘

* * *

"Jadi ... gue kenapa, Mbak?" Pagi-pagi sekali gue menghubungi Mbak Asoka demi mencari tahu penyebab serangan panik gue semalam.

"Itu salah satu gejala dari PTSD yang kamu derita."

Mbak Asoka pernah menjelaskan tentang apa itu PTSD-Post Traumatic Stress Disorder-penjelasan singkatnya stres karena ada trauma gara-gara suatu peristiwa begitu deh. Dan pada kasus gue dipicu kejadian kebakaran yang bikin gue kehilangan kaki kiri.

Yang bikin gue heran, kenapa baru sekarang serangan panik ini muncul? Gue sering lihat api. Gue juga sering menceritakan ulang detail peristiwa siang itu. Bahkan gue punya buku khusus yang berisi seluruh curahan perasaan yang gue alami.

Namun, gue nggak menyangka kalau nyala api unggun bisa bikin semua kenangan itu langsung muncul. Seluruh detail kejadian seolah gue alami lagi. Nggak cuma bayangan kobaran api saat menyambar kaki, tapi rasa sakit, panas, dan derak suaranya pun bisa gue ingat. Bahkan efeknya lebih parah ketimbang saat gue cerita pertama kali ke Mbak Asoka.

Semalam gue menangis histeris di pelukan Mas Beryl. Nggak tahu sampai berapa lama, yang jelas begitu tangis gue reda, kaus cokelat susu yang dipakai Mas Beryl sudah penuh bercak air mata. Entah dia nggak sadar atau pura-pura membiarkan saja, tapi gue lihat Mas Beryl nggak berniat ganti baju. Karena bukannya naik ke kamar, dia malah beringsut ke meja untuk mengambil cangkir teh.

Gue sempat melihat Juwita dan Toni berdiri tegang di ujung pintu depan. Rasa bersalah kembali datang. Gara-gara gue, keceriaan mereka harus terhenti.

"Maaf, Mas, gue buat ulah lagi. Gue ke kamar aja," pinta gue semalam, maksudnya biar mereka bisa melanjutkan kegiatan yang sempat terhenti.

Mas Beryl kembali berjongkok lalu menyerahkan cangkir teh langsung ke tangan gue. "Diminum dulu, Cris."

Teh manis-yang sudah mulai dingin karena lamanya gue menangis-membasahi kerongkongan yang kering.

"Maaf, Mas, gara-gara gue ...." Tangis gue kembali meledak tanpa bisa ditahan.

"Mbak, diminum dulu, ya." Juwita memberi sebutir obat penenang.

Dengan patuh gue telan bulat-bulat tanpa protes seperti biasa. Gue benar-benar butuh istirahat semalam. Hati dan jiwa gue rasanya sudah terlalu capek. Gue bahkan nggak menolak saat Mas Beryl membantu berbaring, menyelimuti, dan menunggui gue sampai terlelap.

Kini yang tersisa hanya rasa malu, marah, kecewa dan berbagai emosi lain yang nggak gue kenal. Makanya gue memilih untuk menghubungi Mbak Asoka.

"Untuk sementara minum obat yang sudah Mbak bawakan. Juwita tahu mana saja yang harus kamu minum. Selalu upayakan untuk nggak sendirian, Cris. Mbak juga minta kamu untuk mengatakan apa yang kamu rasakan ke orang terdekat, bisa ke Juwita atau kamu bisa telepon Mbak sewaktu-waktu.

"Kita nggak tahu kapan serangan panikmu bakal kambuh. Kalau itu terjadi, nggak apa-apa, Cris. Itu hal yang wajar, jadi kamu terima saja.

"Ingat-ingat lagi cara-cara untuk menenangkan dan menyugesti diri seperti yang sudah Mbak ajarkan," pesan Mbak Asoka secara beruntun.

"Apa sebaiknya gue balik Jakarta aja, Mbak?"

"Saran Mbak, kalau kamu nyaman di sana, lebih baik kamu jangan balik dulu. Dengan adanya udara segar dan pemandangan alam bisa menjadi sarana untuk kamu menenangkan diri."

Nyaman? Mana mungkin gue nyaman di sini. Secara kondisi gue pasti bikin repot Mas Beryl. Sudah untung dia nggak kelihatan marah, tapi belum tentu juga kalau dia nggak terganggu. Siapa orangnya yang suka kalau ada orang sakit jiwa kayak gue dekat-dekat sama dia?

Namun, tugas gue belum selesai. Gue masih harus melakukan observasi sama meninjau pabrik pengepakan tembakau punya Mas Beryl. Sebenarnya gue yakin, kalau toh gue balik pun kontrak kerja sama tetap berjalan, tapi di mana tanggung jawab gue?

Jadi, lebih baik gue cepat menyelesaikan tugas biar bisa cepat-cepat pulang. Sebaiknya gue harus segera menemui Mas Beryl dan mulai membahas kontrak kerja sama dengan serius.

"Bu Sri," panggil gue saat nggak menemukan seorang pun di dalam rumah.

"Njih, Mbak." Bu Sri muncul dari belakang sambil membawa kemoceng. (Ya, Mbak)

"Kok sepi, pada ke mana, ya?"

"Mbak Juwita barusan ijin ke toko depan sebentar diantar Mas Toni. Kalau Pak Man sepertinya baru nyuci mobil di samping, Mbak."

"Mas Beryl?"

"Mas Beryl ke gudang, Mbak."

Kebetulan sekali, sebaiknya gue menyusul Mas Beryl. Setelah menanyakan letak gudang yang didatangi Mas Beryl, gue mengambil kamera dan buku catatan. Lalu pamit ke Bu Sri kalau gue berniat menyusul Mas Beryl ke gudang. Nggak lupa gue menitip pesan untuk Juwita, agar dia menyusul gue begitu sampai rumah.

Jarak rumah ke gudang cuma sekitar dua ratus meter. Benar-benar dekat dan jalannya pun sudah disemen, jadi gue nggak kesusahan menuju sana sendirian.

Beberapa buruh yang bersimpangan dengan gue mengangguk hormat sambil menyapa dengan bahasa Jawa. Karena nggak paham, gue cuma balas mengangguk sambil tersenyum.

Sesampainya di gerbang gudang, hamparan tembakau kering menyapa netra gue. Bau khas daun pengisi rokok itu pun langsung menyengat indera penciuman gue. Jujur, walau punya pabrik rokok, tapi gue paling nggak tahan sama baunya. Apalagi asap rokok, gue paling benci.

Gue menyalakan kamera dan membidik beberapa spot yang menarik perhatian. Gue sengaja mengambil tempat di balik pohon, supaya nggak ada yang sadar dengan kehadiran gue. Karena gue masih belum PD untuk muncul seorang diri dengan memakai kursi roda. Setelah mengambil beberapa foto, gue berencana menelepon Mas Beryl atau menunggu Juwita.

Gue arahkan kamera ke seorang ibu berkain jarik yang tengah menata daun di papan-papan bambu. Setelahnya ke beberapa buruh yang mengantri untuk menimbang hasil panen. Kemudian atensi gue teralihkan ke gadis-gadis remaja dengan caping yang menggendong keranjang kosong dan berjalan ke arah perkebunan. Mungkin mereka mau memanen lagi.

Walau keringat terlihat jelas di wajah dan baju yang mulai basah, tapi ekspresi mereka tampak gembira. Nggak ada raut terpaksa atau susah. Beberapa orang bahkan terlihat bercanda lalu tertawa lepas. Seperti ngga ada beban hidup.

Padahal kalau dilihat, kehidupan mereka sangat sederhana. Selama di sini, gue sempat melihat-lihat rumah yang ada. Dsn kebanyakan masih berupa bangunan setengah permanen.

Setelah puas mengambil gambar, gue gegas menghubungi Mas Beryl. Baru dering ke tiga, telepon langsung tersambung.

"Assalamualaikum, Cristal." Terdengar deru mesin yang menjadi latar suara di ujung sana.

"Waalaikumsalam, Mas." Tanpa basa-basi gue mengatakan kalau saat ini berada di depan gudang.

Nggak ada tiga menit, Mas Beryl sudah terlihat berlari ke arah gue.

"Ada apa, Cris?" Kedua alis Mas Beryl bertaut.

"Enggak, mumpung Mas di gudang, gue sekalian mau observasi aja. Kan tugas gue ke sini memang untuk ngelengkapin dokumen perjanjian kita."

"Kamu sudah sehat? Kita bisa keliling besok atau kapan pun kalau kamu sudah baikan."

"Gue nggak apa-apa, Mas." Gue melihat raut nggak percaya. "Serius, Mas, gue baik-baik aja."

Mas Beryl menghela napas panjang. "Oke, kalau kamu yakin. Jadi ... kita mau mulai dari mana?"

Mas Beryl membuka tuas kunci di roda, lalu mulai mendorong kursi sambil menceritakan kondisi perkebunan saat ini. Gue nggak menyangka, total buruh di sini nggak kurang dari lima puluh orang. Bahkan katanya kalau pas panen raya bisa lebih. Karena harus mengejar waktu, makanya seringkali memakai buruh sewa.

Saat memasuki gudang yang ternyata merangkap pabrik pengolahan tembakau, bau menusuk membuat gue mual.

"Pakai ini, Cris." Mas Beryl memberi masker untuk gue pakai. "Memang yang belum terbiasa, pasti baunya mengganggu. Dulu waktu awal pindah ke sini, sampai seminggu nggak doyan makan gara-gara terbayang bau tembakau."

Gue langsung memakai maskernya. Walau masih tercium, tapi nggak sekuat tadi.

"Sebenarnya wangi, Mas, tapi nyengat banget. Mas, itu apaan?" Gue penasaran dengan mesin di tengah pabrik.

"Oh, itu mesin untuk merajang daun."

"Jadi begitu panen langsung dirajang baru dijemur, ya, Mas?" tanya gue sok tahu.

"Nggak langsung di rajang, Cris. Ada proses sebelumnya."

"Terus biasanya gimana, Mas?" Gue menekan tombol rekam pada gawai, supaya nggak perlu repot-repot mencatat.

"Biasanya kami mulai menyemai bibit di Januari, nanti awal Maret mulai menanam. Setelahnya perawatan tanaman seperti pemupukan, pendaringan, penyiangan dan pemangkasan."

"Pembangiran?"

"Pendaringan, Cris." Mas Beryl tertawa mendengar gue menyebut istilah asing itu.

"Apaan itu, Mas?"

"Inti dari pendaringan itu untuk membuat tanah jadi gembur dan subur. Biasanya saat pendaringan, kami sekalian melakukan penyiangan. Selain tanah jadi subur dan nggak tandus, karena kalau sudah didangir unsur hara lebih mudah terserap tanaman, gulma dan rumput pengganggu juga diberantas."

Gue mengangguk-angguk sedikit paham dengan penjelasan Mas Beryl. "Kalau pemangkasan itu untuk apa, Mas? Yang dipotong apanya?"

"Pemangkasan ini untuk bunganya, biasanya sekalian pengendalian sirung. Semua i i harus dilakukan agar diperoleh
daun tembakau yang lebih tebal dan berisi, jadi hasil produksi dan mutunya juga lebih tinggi."

"Oh ngaruh, ya? Sirung itu apa sih?"

"Biasanya kalau tembakau sudah keluar bunga, kita akan potong. Nah, bekas potongnya itu biasa tumbuh tunas baru. Ini yang dinamakan sirung.

"Tanaman tembakau yang dipangkas bunga dan sirungnya membuat asimilat termasuk nikotin nggak ditranslokasikan ke jaringan generatif tetapi ke jaringan vegetatif. Ini berpengaruh sekali ke mutu dan hasil produksi. Untuk pembuangan sirung ini biasanya kami lakukan tiap lima sampai tujuh hari sekali sampai mendekati waktu panen."

Oke, gue tambah nggak paham sama penjelasannya. Hellooo ... gue lulusan ekonomi, jadi jangan salahkan gue yang nggak tahu apa itu asimilat, jaringan generatif atau apalah itu.

"Itu manual semua, Mas? Nggak pakai mesin gitu?" Membayangkan harus mutar di kebun sebesar ini tentu butuh tenaga nggak sedikit.

"Sebenarnya ada cairan kimia, tapi saya lebih milih manual. Lebih alami dan biar petani ada pemasukan. Lagipula hasil dari pemangkasan sirung pun bisa dijual, jadi nggak ada ruginya juga."

Yah, selalu ada dua pilihan. Kalau mau menghemat waktu dan biaya, tentu yang dikorbankan hasil panen karena tentu lebih mengandung bahan kimia. Sedangkan kalau manual, biaya yang dikeluarkan pun lebih banyak.

Syukurlah kalau Mas Beryl masih memikirkan ke penghasilan petani. Coba kalau otaknya seratus persen pengusaha, pasti yang dikejar cuma untung, untung, dan untung.

"Nah, mulai September Desember seperti sekarang ini waktunya kita panen."

Kami berjalan melewati barisan ibu-ibu yang sedang duduk di tikar.

"Sugeng siang, nderek langkung, Ibu-ibu." (Selamat siang, numpang lewat, Ibu-ibu)

"Eh, Juragan Beryl. Monggo, Juragan," balas seorang ibu paruh baya yang memakai jilbab hitam. (Monggo = silakan)

"Ini namanya proses pemeraman, Cris. Jadi, setelah dipanen daun-daun ditumpuk perhelai dan disesuaikan besar kecilnya. Nah, habis itu diperam. Daun-daun ditumpuk di sana." Mas Beryl menunjuk rak-rak bambu yang bersusun-susun.

"Kalau bahasa sini namanya ngimbu. Daunnya ditata dalam satu baris tapi cuma satu lapis saja biar nggak rusak," lanjutnya.

"Berapa lama itu, Mas?"

"Dua sampai tiga hari saja. Habis itu disortir lagi berdasar warna. Lihat itu," Mas Beryl menunjuk barisan wanita yang memilah daun, "ada yang kuning orange namanya more granny side, ada yang kuning lemon beda lagi namanya less slick, kalau itu masih kuning muda atau kita sebut slick. Nah, itu trash atau cokelat kehitaman."

Ternyata beda-beda warnanya, kalau nggak dijelasin begini gue cuma tahu namanya kuning sama cokelat saja.

"Yang paling bagus yang warna apa, Mas?"

"Jelas yang kecoklatan, Cris, tapi nggak semua hasil peram bisa cokelat. Walau hasil panen kita termasuk mutu tinggi, tapi tetap saja ada daun yang masih kuning."

Mas Beryl melanjutkan penjelasan tentang bagaimana proses merajang, pengeringan sampai ke pembungkusan.

"Kata Papi, dulu perkebunan sempat ambruk, ya, Mas?"

Mas Beryl tertawa. "Benar banget, Cris. Dasarnya Papa yang dari awal nggak begitu suka berkebun. Jadi setelah Opa meninggal, cuma dibiarkan begitu saja. Tanah nggak terurus, tanaman nggak dibudidaya dengan benar, pembukuan juga nggak beres, akhirnya jadi terbengkalai.

"Alhamdulillah, sekarang ada sedikit kemajuan. Jadi petani sekitar juga bisa merasakan hasilnya."

"Ini sih bukan sedikit, Mas. Udah maju banget." Gue melepas masker saat Mas Beryl mendorong gue ke pelataran.

"Juragan Beryl!"

Gue ikut menoleh ke sumber suara. Seketika tubuh gue membeku saat melihat gadis yang memanggil Mas Beryl.

* * *

Siapa yang manggil Beryl?
Kenapa bikin Cristal kaget?

Penasaran?
Yuk, komen biar up cepet.
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top