»K-14«
Jangan lupa follow, vote bintang, dan koment di tiap bab, yaaa ....
Mamaciiih
😘😘😘
* * *
Dari kejauhan, vila itu begitu asri. Berada di tengah-tengah perkebunan tembakau, dengan pagar dari tanaman teh-tehan. Berbagai rupa bunga—yang gue tahu cuma mawar merah, melati, bunga terompet, dan krisan kuning—menghiasi bagian depan halaman. Kalau Papi lihat vila ini, yakin, dia pasti nggak mau pulang.
Akses jalannya sudah luas, bahkan truk pun bisa lewat. Walau belum diaspal, tapi nggak seperti bayangan gue yang berupa jalan berbatu. Malahan kata Pak Man, jalan yang disemen—cor-coran katanya—lebih kuat dibanding aspal kampung.
Semakin dekat, gue bisa melihat bangunan lain yang mirip gudang nggak jauh dari vila. Mungkin itu pabrik pengemasannya. Syukurlah, gue pikir harus jalan jauh kalau mau kunjungan ke pabrik. Ternyata dekat.
Gue sengaja membuka jendela, membiarkan hawa sejuk alami menggantikan AC yang sedari tadi memenuhi mobil. Beberapa petani yang berada di ladang menoleh saat mobil kami lewat.
Gue lihat beberapa petani berjalan menjauhi perkebunan. Mungkin karena sudah jam empat, jadi banyak yang mau pulang.
Sejauh mata memandang, yang ada cuma pohon tembakau. Gila juga, ternyata luas banget perkebunan punya Mas Beryl. Pantesan hasil panennya bisa untuk menyuplai beberapa pabrik rokok besar.
"Mas Beryl ini masih muda atau sudah tua, Mbak?" tanya Juwita.
"Hm, sekitar tiga puluhan. Kenapa memangnya?" Gue balik bertanya.
Selepas makan siang tadi emosi gue mulai stabil. Sebisa mungkin gue harus menciptakan suasana yang kondusif, jangan sampai gara-gara kelabilan gue semua jadi berantakan.
"Kaya banget ini kayaknya, Mbak. Lihat deh, kebunnya aja luas banget. Vilanya juga gedhe. Udah nikah belum sih, Mbak?"
Gue mulai tahu arah pembicaraan Juwita. "Belum, Ju. Gebet aja sana." Gue tertawa pelan melihat tampang Juwita.
"Kok Juwita sih, Mbak? Mau dikemanain si Feri, Mbak? Gini-gini Juwita setia lho."
"Lho, kalau ada yang lebih baik kenapa enggak, Ju? Mas Beryl ini ganteng banget lho. Orangnya tinggi, kulitnya putih." Gue kembali terkikik setelah menggoda Juwita.
"Itu bukan, Mbak?" Juwita menunjuk ke depan Vila.
Gue fokuskan pandangan ke arah depan. Walau masih kurang dua ratus meter lagi, gue bisa menebak kalau lelaki yang berdiri di depan gerbang itu Mas Beryl.
"Iya, itu orangnya. Gimana, ganteng 'kan?" Gue menjawil lengan Juwita.
"Ih, Mbak Cristal malah godain aku."
Gue tertawa mendapati Juwita mengeluarkan kaca dan mengoleskan lip balm. "Katanya ada Feri, katanya setia, tapi ...."
"Biar nggak buluk banget, Mbak."
Gue biarkan Juwita dengan alat riasnya, sedangkan gue memilih merapikan beberapa barang di jok mobil lalu memasukkan ke ransel. Vila tinggal beberapa meter lagi, bahkan gue bisa lihat senyum mengembang di wajah Mas Beryl.
"Ya ampun, Mbak, itu cowok titisan Dewa Yunani atau gimana? Ganteng banget sih," bisik Juwita saat mobil kami berhenti tepat di depan gerbang.
Dasar sableng! Mana ada Dewa Yunani berkulit seputih itu? Malah menurut gue lebih mirip Chris Evans. Ganteng, berotot, gagah, putih. Cowok banget. Kalau Bella sampai tahu bentuk Mas Beryl, pasti itu cewek bakal bikin malu nggak jelas. Untung saja dia nggak maksa gue buat ikut ke sini.
"Assalamualaikum, Cristal, gimana perjalanan tadi?" sapa Mas Beryl begitu Toni membukakan pintu buat gue.
"Waalaikumsalam, Mas. Lumayan bikin pegel, tapi sebanding dengan pemandangannya."
Mas Beryl membantu Toni memegangkan kursi roda saat gue turun dipapah Juwita. Untung gue pakai rok model a-line, seenggaknya Mas Beryl nggak melihat langsung bentuk kaki buntung gue.
"Maaf ngerepotin, Mas," gumam gue nggak enak saat Mas Beryl mendorong kursi roda menjauh dari mobil.
"Apanya yang bikin repot?" Mas Beryl menghentikan langkah.
"Gue bawa rombongan nih, Mas," jawab gue.
"Masih kurang, Cris, harusnya Om dan Tante ikut juga biar tambah rame. Sekalian kita bisa liburan di sini. Kata Om Indra, kalian belum pernah main ke daerah Temanggung 'kan? Besok kalau sudah hilang capeknya, saya ajak putar-putar."
Gue manggut-manggut saja dengar ucapan Mas Beryl. Gue tambah yakin kalau cowok satu ini termasuk tipe cerewet, hm ... mungkin ramah kali ya. Dia kalau ngomong kayak nggak ada remnya, tapi tetap sopan.
"Oh iya, Mas, kenalkan ini Juwita, yang itu Toni dan yang bawa mobil itu Pak Man."
Mas Beryl menyalami mereka satu per satu. Senyum yang nggak pernah hilang dari mukanya, bikin Juwita mesam-mesem nggak jelas. Dasar centil. Gue tersenyum dikulum melihat tingkah gadis itu.
"Nah, Cris, kenalkan ini Bu Sri yang bantu-bantu saya mengurus rumah. Sedangkan itu Pak Pri, suaminya Bu Sri. Kalau nggak ada Pak Pri, saya nggak tahu bagaimana bentuk halaman depan," jelas Mas Beryl yang diakhiri dengan tawa renyah.
Gue sambut uluran tangan Bu Sri dan Pak Pri sambil menyebutkan nama.
"Kalau ada apa-apa, kamu bisa minta tolong mereka. Atau kalau mau request menu makanan, bisa banget. Masakan Bu Sri ini enak banget, Cris. Nggak kalah sama masakan restoran." Mas Beryl kembali mendorong gue masuk.
Untuk masuk ke vila, ada undakan dengan lima atau enam anak tangga. Yang bikin gue heran, disebelah tangga ada tanjakan dari semen yang sepertinya baru saja dibuat. Apa mungkin Mas Beryl sengaja ngasih tanjakan biar bisa dilewati kursi roda gue?
Pikiran itu bikin hati gue terasa dicubit. Sememprihatinkan itukah kondisi gue sampai-sampai bikin orang repot kayak gini?
Gue mengedarkan pandang ke seantoro ruang. Rumah ini lebih mirip tempat tinggal dibanding vila. Perabotnya seperti sudah sering dipakai. Masih bagus, tapi bukan seperti vila yang jarang ditempati.
"Semoga kamu nyaman selama di sini. Harap maklum, yang biasa di sini cuma saya, jadi barang-barangnya juga nggak lengkap."
"Mas Beryl tinggal di sini?" Gue sedikit terkejut. Memang dulu dia pernah cerita kalau lebih banyak tinggal di Temanggung, tapi gue pikir dia punya rumah lain di kota. Bukan di pelosok seperti ini.
Mas Beryl tertawa. "Ya, mau di mana lagi kalau nggak di sini? Daripada harus bolak-balik ke Semarang, saya lebih milih tinggal di sini. Selain udara lebih segar, saya bisa langsung mengawasi perkebunan."
Gue kembali manggut-manggut mendengar penjelasannya.
"Sebaiknya kamu istirahat dulu, biar hilang capeknya. Kamu bisa pakai kamar ini." Mas Beryl membukakan pintu kamar yang berada persis di samping ruang tamu. "Pak Pri, tolong kasih tahu Pak Man dan Toni kamarnya. Biar mereka bisa istirahat dulu. Untuk Juwita di kamar atas nggak apa-apa 'kan?" Mas Beryl menunjuk tangga kayu di pojok ruang keluarga.
"Tidak apa-apa, Pak," jawab Juwita sambil senyum-senyum
"Waduh, jangan panggil pak. Saya berasa tua sekali," jeda sedetik sebelum dia kembali melanjutkan, "tapi jangan panggil om juga. Karena saya bukan om-om."
Juwita mengangguk-angguk sambil tetap mengulum senyum. Kelihatan banget ini cewek terpesona sama Mas Beryl. Lebih baik gue turun tangan sebelum Juwita tambah GR.
"Gue boleh ke kamar dulu, Mas? Mau bersih-bersih, rasanya lengket semua."
"Oh iya, silakan. Kamar mandinya ada di dalam, Cris. Bikin dirimu nyaman, ya. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan minta ke Bu Sri."
Gue meminta Toni memasukkan barang-barang ke kamar. Juwita menawarkan diri untuk membantu gue beres-beres dan mandi, tapi gue juga tahu kalau dia sendiri pun capek. Jadi gue suruh Juwita istirahat ke kamarnya saja. Lagian gue pengin sendirian dulu untuk menata diri.
Setelah Juwita menutup pintu, gue baru bisa mengamati isi kamar. Ruangan ini lebih kecil dibanding kamar gue di Jakarta, tapi kelihatan luas dan rapi. Mungkin karena nggak ada barangnya. Cuma ada tempat tidur, lemari baju, meja, dan rak buku di dekat jendela.
Kelihatan banget kalau ini sebenarnya kamar Mas Beryl. Tempat tidur berwarna hitam putih, nakas senada, dan pemilihan lampu meja sudah bisa menjelaskan semua.
Gue gulirkan kursi menuju jendela kamar yang tertutup. Penasaran saja ada pemandangan apa di baliknya. Benar saja, begitu gorden dibuka, gue disuguhi hamparan hijau yang menyejukkan.
Jendela gue buka lebar-lebar. Sayang banget kalau udara sesejuk ini digantikan hawa AC. Seandainya kondisi gue nggak seperti ini, pasti sekarang gue sudah melanglang ke perkebunan.
Gue membalik kursi roda, rencananya mau mengambil remote AC di meja. Lebih baik dimatikan saja, sayang listrik. Tapi gue tertarik sama rak buku yang ada persis di sebelah jendela. Penataannya begitu rapi dan kelihatan banget kalau dirawat.
Baru saja gue mendaratkan pantat di kasur, terdengar ketukan di pintu.
"Ya?" tanya gue sambil menggeser tubuh hingga duduk bersandar di tempat tidur dengan kedua kaki selonjoran.
Mungkin karena sedari pagi tertekuk, pinggang sampai ujung jari gue rasanya pegal. Di bekas amputasi terasa sedikit kebas dan nyeri, tapi biasa terjadi kalau gue memang capek.
"Nyuwun pangapunten, Mbak, saya Sri." (Maaf, Mbak, saya Sri.)
"Masuk aja, Bu, nggak dikunci."
Bu Sri masuk sambil membawa nampan berisi cangkir dan piring kecil. "Niki diunjuk rumiyen teh angetipun, Mbak." (Ini diminum dulu teh hangatnya, Mbak)
"Apa, Bu?" tanya gue.
Gue mana tahu bahasa Jawa. Seumur-umur baru kali ini gue ke Jawa. Oke, maksud gue ke daerah Jawa Tengah.
"Maaf, Mbak, saya kelupaan pakai bahasa Jawa. Silakan diminum tehnya, Mbak, biar anget," ucapnya kali ini dengan bahasa Indonesia walau terdengar medok banget.
Bu Sri meletakkan cangkir yang masih mengepul di nakas samping tempat tidur.
"Makasih, ya, Bu."
Gue sedikit mengaduh saat tiba-tiba nyeri di kaki kiri bertambah hebat. Gue pikir hanya serangan ringan, ternyata semakin lama semakin sakit. Bahkan gue sampai meremas kuat sprei.
"Mbak ... Mbak Cristal, kenapa?" Bu Sri mengelus lenganku dengan panik, saat gue mengerang sambil menunduk memegangi paha kiri.
"Bu, tolong panggilkan Juwita di atas," pinta gue lirih.
Keringat dingin mulai membasahi kening dan punggung gue. Padahal sudah lama banget serangan parah begini nggak pernah datang.
"Cristal, kenapa? Sebelah mana yang sakit?" Mas Beryl menerobos masuk ke kamar langsung berjongkok di dekat kaki gue.
"Juwita, Mas."
"Tunggu sebentar, saya panggilkan." Mas Beryl berlari keluar kamar sambil memanggil Juwita.
Terdengar langkah kaki mendekati kamar. Gue benar-benar berharap Juwita segera mengambilkan obat pereda nyeri yang masih ada di ransel.
"Bu Sri, minta air putih, ya." Juwita mengambil tas obat, lalu duduk di samping gue sambil memberikan sebutir anti nyeri.
"Sakit banget, Ju," keluh gue sambil memijit ujung paha kiri.
"Ini air putihnya, Mbak."
Gue segera mengambil obat dari tangan Juwita dan meminumnya. Efeknya nggak bakal langsung terasa. Paling cepat lima belas menit nyerinya baru berangsur reda. Selama menunggu obatnya bekerja, Juwita memberikan pijatan ringan seperti yang biasa ia lakukan kalau gue kumat.
"Buat berbaring aja, Mbak, biar ototnya nggak tambah ketarik," saran Juwita.
Gue pikir Juwita yang membantu menggeser bantal dan memosisikan tubuh gue dengan nyaman di kasur. Ternyata gue salah. Mas Beryl yang melakukannya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top