»K-13«

Jangan lupa subscribe dan vote-nya, yaaa ....
😘😘😘

* * *

Sedari kemarin, Mami sudah sibuk wira-wiri ke kamar gue guna menyiapkan segala kebutuhan selama di Temanggung. Padahal rencananya di sana maksimal dua hari, tapi nggak tahu gimana ceritanya Papi memberi titah untuk liburan seminggu. Katanya nggak boleh pulang sebelum tujuh hari. Peraturan apa pula itu?

Bahkan katanya lagi, Beryl sudah membuat jadwal kunjungan dan liburan untuk gue. Benar-benar bikin repot. Namun, sudah kepalang basah kalau gue batalkan semua. Papi sudah terlanjur kegirangan dan gue nggak tega untuk memupus rasa itu.

"Mi, buat apa bawa selimut setebel itu sih?" protes gue saat Mami menumpuk bedcover ke barang bawaan gue.

"Di sana dingin, Cris. Mami takut kamu kedinginan. Nanti kakimu bisa tambah nyeri."

Astaga! Memangnya di sana nggak ada selimut? Kalau begini sih namanya gue bukan liburan, tapi pindahan. Untuk sementara gue biarin Mami menumpuk apa pun di pojok kamar, nanti bakal gue bongkar lagi. Coba lihat, buat apa memasukkan selusin syal dan sweeter? Sedingin-dinginnya Temanggung, gue rasa nggak bisa ngalahin musim salju di Jepang 'kan?

"Ju, kamu sudah siapkan semua obat-obatan yang dibutuhkan Cristal?" Sekarang gantian Juwita yang direcokin Mami.

Juwita mengangguk sambil menjawab penuh antusias, "Sudah, Bu. Kemarin saya juga sudah diajari Bang Leon cara memijat kalau sewaktu-waktu sakit di kaki Mbak Cristal kumat."

"Apa Cristal bilang, ribet banget 'kan. Tahu begini yang berangkat Pak Burhan aja, Mi," gumam gue.

"Tapi anak Papi Mami itu kamu, bukan Pak Burhan. Yang harus mulai belajar bisnis itu ya kamu, Cris. Sedangkan Pak Burhan cuma bisa membantu saja."

"Mana ada bos kakinya buntung." Lagi-lagi gumaman gue terdengar radar Mami.

"Cristal," tegur Mami serta merta menghentikan aktivitasnya.

"Oke ... oke ... Cristal nurut," ucap gue mengalah ketimbang harus mendengarkan omelan Mami yang sepanjang jalan kenangan.

"Mbak, ini Juwita bawakan kruk panjang sama yang kotak atau bagaimana?"

"Bawa satu yang panjang aja, Ju. Nggak dibawa juga nggak apa-apa. Lagian gue pakai kursi roda," jawab gue sambil membenarkan bebat di kaki kiri.

Sampai sekarang gue masih belum terbiasa dengan tampilan kaki baru ini. Rasanya sangat aneh. Kaki yang biasanya utuh, kini hanya tinggal separuhnya. Jangankan telapak kaki, lutut kiri pun sudah nggak ada. Gue terkadang merasa jijik saat melihatnya tanpa kain bebat. Mungkin ini juga yang dilihat Gyan dari diri gue.

"Lho, bukannya kamu harus banyak-banyak latihan pakai kruk? Kok malah pakai kursi roda lagi?" Pertanyaan Mami membuyarkan lamunan gue.

Gue tersenyum miring. "Pakai kruk di depan Beryl? Apa Mami pengin bikin rekanan bisnis Papi itu ngacir?"

Mami meletakkan kaos biru ke atas koper, lalu menyusul gue duduk di pinggir kasur. "Ngacir gimana maksudnya?"

Gue mengembuskan napas panjang. "Kalau Cristal pakai kruk, kaki buntung ini bakal terekspos, Mi. Jangan bikin anak orang ketakutan lihat tubuh cacat Cristal, Mi."

"Astaghfirullah, Cristal. Lagi-lagi kamu mikirnya negatif." Mami mengusap dada kiri sambil mengatur napas. "Mami yakin Beryl tidak mungkin punya pikiran seperti itu."

Gue nggak percaya dengan perkataan Mami. Mendapati Beryl dan Om Rifa'i nggak menanyakan perihal keadaan gue ataupun memperlihatkan rasa ingin tahu ke kaki gue saja sudah bikin gue merasa aneh. Jangan-jangan di rumah, mereka membicarakan tentang gue.

"Jangan selalu berpikiran negatif ke semua orang, Cris. Nanti kamu sendiri yang rugi. Kalau kamu mikir 'jangan-jangan dia mikir ini' atau 'pasti mereka bilang itu', yang ada kamu selalu tidak percaya diri."

Benar 'kan, omelan Mami belum juga selesai. Pasti ini efek dari konseling sama Mbak Asoka. Sejak ikut program psikoterapi, gue dan keluarga diwajibkan konseling rutin. Iya, bukan cuma gue, tapi Papi dan Mami juga. Katanya sih trauma itu nggak cuma berkaitan sama gue doang, tapi orang-orang terdekat juga butuh terapi.

"Pokoknya Mami minta kamu mulai mengubah mindset negatif ke lebih positif. Kamu itu hebat, Cristal. Anak Mami yang paling Mami banggakan. Jadi jangan pernah minder lagi." Nasehat Mami masih saja berlanjut.

"Ya, sudah sana istirahat. Besok kamu harus berangkat pagi-pagi biar sampai Temanggung tidak kemalaman. Ingat, kalau capek harus berhenti dulu," pesan Mami setelah sesi ceramahnya selesai.

Gue embuskan napas panjang setelah Mami dan Juwita balik ke kamar masing-masing. Dengan perlahan gue berpindah ke kursi roda yang berada persis di samping tempat tidur. Percuma gue paksain tidur kalau rasa kantuk saja belum ada. Malah bikin badan pegal.

Gue buka jendela kamar, membiarkan angin berembus masuk. Kalau saja kaki gue masih utuh, tanpa disuruh pun gue dengan senang hati bakal berangkat ke Temanggung. Siapa sih yang nggak suka piknik? Jangankan cuma mengatasi satu masalah, diserahi pabrik pun gue yakin siap. Namun, sekarang kondisinya beda.

Kalau cuma ngomong untuk jangan berpikir negatif itu gampang banget, tapi susah dijalani. Gimana nggak minder, kalau tiap orang yang gue temui selalu melirik ke bawah. Nggak perlu jadi psikolog atau dukun buat tahu isi pikiran mereka. Bisa ditebak kalau mereka kasihan lihat kondisi gue.

Pasti mereka penasaran, kaki gue kenapa? Kenapa bisa buntung? Terus bagaimana kalau mau ini itu? Halah, nggak usah munafik, pasti orang pengin tahu sesuatu yang asing 'kan. Terus ujung-ujungnya pasti pada komentar 'duh, kasihan'.

Padahal gue paling anti dikasihani. Selama ini gue yang selalu membantu orang. Gue selalu bisa melakukan segalanya sendiri. Gue juga selalu ada buat orang lain. Namun, sekarang berbalik seratus delapan puluh derajat. Gue benci itu.

* * *

"Mbak Cristal, nyari apa? Bisa Juwita bantu, Mbak." Juwita sudah berdiri di samping kursi roda.

Gue nggak menjawab pertanyaan Juwita, karena sibuk mengobrak-abrik isi tas. Tempat parkir di rest area mulai ramai karena mendekati zuhur, dan gue nggak mau jadi tontonan. Lagian kalau tambah banyak orang yang istirahat di sini, gue bakal antri lebih lama lagi di toilet.

Perasaan semalam sama Mami ditaruh di ransel, tapi kok nggak ada. Gue mengangkat tas dari jok mobil ke pangkuan, lalu melanjutkan mencari barang yang gue butuhkan. Nggak mungkin ketinggalan, karena gue lihat sendiri Mami yang masukin ke tas. Apa di tas yang satunya?

"Pak Man, tolong bukain bagasi," pinta gue sambil menaruh ransel ke jok mobil, lalu memutar kursi menuju bagasi.

Begitu gue sampai di bagian belakang, Toni sudah membukakan bagasi. Melihat penataan barang yang begitu penuh, gue nggak yakin lagi bisa menemukan barang yang gue butuhkan.

"Mbak Cristal, mau ambil tas yang mana?" Toni bersiap menurunkan koper dari mobil.

Gue menggeleng. "Nggak usah, Ton."

Akhirnya hubungan gue dan Toni mulai mencair. Kami sudah saling bicara. Walau belum seakrab dulu, tapi jauh membaik ketimbang kemarin.

"Memangnya nyari apa, Mbak?" ulang Juwita saat gue memintanya menemani ke minimarket yang ada di samping musala.

"Pembalut," jawab gue singkat.

"Oh itu, tadi pagi waktu masukin topi ke ransel sempat dikeluarin sama Ibu, Mbak. Mungkin lupa nggak dimasukin lagi. Aku beliin aja gimana, Mbak?" tawar Juwita.

Gue melihat ke minimarket yang lumayan ramai. Bisa gue bayangin, kalau nekat masuk pasti bakal ribet. Kursi roda gue pasti nyenggol sana-sini, karena ternyata gedungnya nggak terlalu besar. Apalagi pintunya sempit. Gue sangsi bisa masuk ke sana.

"Beli yang night sama aktive day, ya, Ju," pesan gue sambil menggulir kursi roda ke bawah pohon.

Pergi dalam kondisi datang bulan-walau bukan hari pertama-benar-benar nggak nyaman. Gue memang nggak ada keluhan nyeri berlebih, tapi tetap saja mulas dan risihnya bikin mengganggu. Apalagi gue harus bolak-balik ke kamar mandi buat ganti pembalut. Ribet banget.

Nggak sampai sepuluh menit, Juwita sudah membawakan barang pesanan gue. Dia lalu membantu gue buat balik lagi ke toilet untuk mengganti pembalut.

Gue menahan geram saat melihat antrian yang panjang di depan toilet. Ditambah berpasang-pasang mata langsung menjadikan gue objek tontonan. Emosi gue langsung naik.

Belum lagi gimana caranya gue masuk ke kamar mandi kalau lorongnya sesempit itu. Tempatnya juga jorok dan belum tentu ada WC duduk.

"Cari tempat lain, Ju!"

Juwita menuruti perintah gue dalam diam. Bahkan ketika gue membentaknya gara-gara terlalu lama melipat kursi roda, dia pun tetap diam.

"Kita cari tempat lain atau bagaimana, Mbak?" tanya Pak Man setelah mobil yang kami kendarai meninggalkan rest area.

"Terserahlah!" Gue terlanjur bad mood. Sudah gue tebak bakal seperti ini. Buat orang cacat kayak gue, liburan itu omong kosong. Adanya cuma keribetan dan mempermalukan diri sendiri.

Lihat sendiri, cuma mau ke kamar kecil yang jadi kebutuhan dasar saja repot. Belum lagi yang lainnya. Tentu bakal susah. Yang jelas gue nggak bisa melakukannya sendiri. Gue benci hidup tapi nggak bisa apa-apa seperti ini!

Mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang. Gue kembali melempar pandangan ke luar jendela. Mencoba mengatur emosi agar kembali tenang, karena gue sadar kalau Toni, Juwita dan Pak Man pasti merasa nggak nyaman dengan situasi ini.

"Mbak," Juwita memanggil gue, "Ibu telepon," katanya sambil menyerahkan ponselnya.

Gue berdecak pelan. Malas banget rasanya ngomong sama Mami, tapi kalau gue nolak pasti Mami bakal terus-terusan menelepon.

"Ya, Mi, kenapa?" tanya gue sambil memerhatikan hamparan sawah di luar jendela.

"Dari tadi Mami telepon ke HP-mu tapi tidak diangkat. Semua aman 'kan? Kamu sudah makan siang atau belum? Capek tidak, Cris?" Pertanyaan beruntun dari Mami bikin perasaan gue tambah nggak enak.

"Ya, nanti makan," jawab gue singkat.

"Apa ada masalah, Cris?" tanya Mami setelah jeda beberapa detik.

"Nggak."

"Oh iya, kamu sudah ada nomornya Beryl belum? Barusan dia telepon, kalau ada apa-apa atau bingung alamatnya, disuruh langsung telepon dia."

"Iya, sudah ada. Dah, Mi, Cristal mau tidur." Tanpa mendengar jawaban Mami, gue putuskan sambungan telepon.

Kalau bukan karena paksaan Papi dan Mami, gue nggak bakal mengalami kejadian nggak mmenyenangkan begini. Sudah jelas, orang cacat macam gue ini pantasnya cuma di rumah. Apalagi kalau sampai nurutin jadwal si Beryl yang katanya mau ngajak gue liburan, pasti bakal tambah repot.

Kalau nggak demi Papi, gue sudah meminta Pak Man untuk putar balik ke Jakarta. Namun, gue nggak bisa seegois itu.

Berkali-kali gue mengatur napas untuk meredam emosi. Gue marah-marah pun nggak ada gunanya. Yang ada malah bikin Juwita dan Toni canggung. Dan lagi ini memang sudah masuk jam makan siang. Kasihan Pak Man yang sedari tadi menyopir. Dia pasti capek dan lapar.

"Kita keluar tol Semarang aja, Pak, cari rumah makan di sana. Cari hotel atau rumah makan yang besar!" perintah gue saat membaca petunjuk bahwa kami sudah tiba di dekat pintu keluar tol Semarang.

Sebenarnya tadi Pak Man bilang bisa lewat jalan lain selain Semarang karena lebih cepat, tapi gue menolak. Semakin cepat sampai di Temanggung, semakin lama gue bakal berinteraksi dengan Mas Beryl.

"Mbak Cristal, mau makan apa?" tanya Pak Man setelah kami memasuki jalan raya Semarang.

"Apa aja, Pak. Yang penting tempatnya nyaman."

Akhirnya kami memilih restoran masakan selera nusantara. Lokasinya tepat di pinggir jalan besar. Rumah makannya pun bersih dan besar. Jalan masuknya juga gampang dilewati kursi roda gue.

Gue suruh Pak Man dan Toni mencari meja dulu, sedangkan Juwita membantu gue ke kamar mandi. Kata Pak Man jarak Semarang ke tempat Mas Beryl masih jauh. Bahkan dari Temanggung ke Kaki Gunung Sumbingnya saja butuh satu setengah jam. Kalau gue nggak sekalian ke toilet, pasti kejadian kayak tadi bakal terulang.

"Mbak, barusan HP-nya bunyi, tapi aku nggak tahu siapa yang nelepon," lapor Juwita begitu gue keluar toilet.

Gue ambil ponsel dari dalam tas, lalu mengecek riwayat telepon. Gue pikir Mami yang menghubungi, ternyata Mas Beryl. Ada apaan ya, kok tumben telepon?

Baru saja mau gue telepon balik, sebuah pesan masuk ke aplikasi chat.

Mas Beryl
Assalamualaikum
Cristal, sudah sampai mana?
13.47

Baru saja jempol gue mau mengetik balasan, Mas Beryl kembali meneleponku. Mungkin dia tahu kalau pesannya sudah gue baca.

"Assalamualaikum, Cristal."

"Waalaikumsalam, Mas." Canggung rasanya membalas salamnya. Mungkin karena gue jarang ngucapinnya.

"Cristal, sudah sampai mana? Gimana perjalanannya? Lancar 'kan?"

"Di Semarang ini, Mas. Kami mampir makan siang sambil istirahat dulu. Tadi sengaja nggak ngebut, Mas."

"Jadinya lewat Semarang, ya? Iya, nggak usah ngebut-ngebut. Apalagi nanti kalau sudah masuk Temanggung, pemandangannya lebih sejuk. Kamu pasti suka. Tapi nggak ada masalah 'kan? Kalau capek, lebih baik istirahat dulu. Nanti kalau bingung, biar aku jemput."

Gue pikir ada masalah apaan, ternyata cuma memastikan kami nggak ada masalah. Ya, wajar sih, palingan dia khawatir kalau calon relasi bisnisnya yang cacat ini kenapa-napa. Coba kalau gue orang normal kayak dulu, nggak mungkin juga dia nanyain keadaan gue.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top