»K-11«

"Cristal belum siap, Pi." Gue meletakkan gelas air es kembali ke meja makan.

Bi Minah dibantu Toni mulai membereskan piring bekas sarapan kami. Gue melirik dapur di mana Budi baru sibuk mencuci piring dengan Indah yang bergelayut di kakinya.

"Kenapa, Cris? Papi lihat waktu itu kalian bisa nyambung. Jadi sepertinya tidak masalah kalau untuk urusan penandatanganan kontrak dengan Beryl, Papi serahkan padamu."

Gue menghela napas panjang, kembali fokus pada Papi. "Nggak semudah itu 'kan, Pi. Cristal nggak cuma ketemu sama Mas Beryl saja. Tentu Cristal harus komunikasi sama pihak-pihak lain, baik dari kita maupun mereka."

"Kalau kamu belum mau ke kantor, Papi bisa atur semua dikerjakan dari rumah. Pak Burhan, Bu Sita atau Beni juga sudah biasa wira-wiri ke sini. Papi juga yakin kalau dari Beryl tentu tidak keberatan kalau pembicaraan dilakukan di rumah. Apalagi yang jadi masalah?" Papi meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju teras belakang yang langsung menghadap kolam renang.

Gue menggulirkan kursi roda mengikuti Papi. Kata Bang Leon, semakin sering gue melatih kekuatan lengan, semakin cepat otot-otot gue siap untuk maju ke tahap selanjutnya.

Memang urusan kantor bisa dipindah ke rumah. Gue pun yakin kalau Om Samosir—pengacara langganan keluarga kami—nggak keberatan kalau nantinya perjanjian atau segala tetek bengeknya dilakukan di sini. Namun, permasalahannya gue harus mulai membuka diri untuk orang lain. Itu yang membuat gue berat hati.

"Indah, ayo makan dulu."

Gue menghentikan kursi roda saat mendengar Surti bicara ke Indah. Langkah gue ke teras belakang pun terjeda demi mendengar percakapan mereka.

"Nanti biar sama aku saja, Buk," ucap Budi yang masih membereskan dapur.

Tunggu dulu ... gue baru sadar, kenapa Budi masih di rumah? Seharusnya dia 'kan sudah masuk sekolah? Kemarin kata Mami, Budi mau didaftarkan ke sekolah dekat rumah. Walaupun sudah sembilan tahun, Budi harus mengulang dari kelas dua karena banyak pelajaran yang belum dikuasainya. Tapi kok ini masih di rumah?

Indah juga harusnya sudah mulai masuk kelas PAUD-nya 'kan? Coba nanti gue tanyakan lagi ke Mami. Gue kembali menggulirkan roda menyusul Papi ke belakang.

Sinar mentari pagi langsung menyambut begitu gue tiba di teras. Awalnya gue pikir Papi sedang merokok sambil minum kopi, ternyata beliau tengah sibuk memangkas pucuk bonsai yang mulai kurang rapi. Gue heran, apa sih bagusnya pohon pendek itu? Jelas-jelas Tuhan menciptakan beringin itu untuk jadi sarang burung atau tempat berteduh. Eh, ini malah dengan seenaknya dikerdilkan sampai bisa muat di pot kecil.

Berkali-kali gue protes ke Papi untuk nggak menambah lagi jumlah tanaman kurcacinya, tapi mana pernah didengar. Katanya cuma ini kesenangan Papi setelah dilarang Mami untuk mengoleksi motor Harley. Hingga akhirnya, kebun belakang penuh dengan tanaman bonsai.

Nggak cuma beringin dengan berbagai bentuk, tapi ada juga sawo setinggi satu meter yang sudah mulai berbuah. Belum lagi mangga, jeruk, apel, dan entah apa lagi yang ada di sana. Biasanya Pak Pri—selaku tukang kebun—yang menata dan membersihan halaman depan atau belakang. Sedangkan tugas Papi jelas yang bikin kotor.

"Jadi ... kamu setuju 'kan, Cris?" Papi kembali bertanya sambil menyiangi tanaman kesayangannya.

Gue menarik napas panjang. "Nggak!" jawab gue tegas.

Papi menurunkan gunting daun yang dipegang lalu menoleh ke arah gue. "Kalau bukan kamu, siapa lagi, Cris?"

Gue merotasikan bola mata, mulai nggak suka dengan paksaan yang Papi beri. "Ada Beni atau siapalah itu yang sering nemenin Bu Sita."

"Apa alasan kamu menolak? Kasih penjelasan yang masuk akal ke Papi."

Gue mulai kehilangan kesabaran. "Bisa nggak sih kalau Papi nggak maksa-maksa Cristal?" Gue menaikkan volume suara agar Papi tahu bahwa sikapnya mulai membuat gue nggak nyaman. "Kalau Cristal bilang enggak, ya, berarti enggak. Titik."

"Cristal." Panggilan Papi nggak meghentikan niat gue untuk beranjak dari sini.

Gue membelokkan kursi roda untuk kembali ke kamar. Terlalu lama di sini semakin membuat gue dongkol.

"Astaga!" pekik gue saat tanpa sengaja roda depan menyenggol kaki Budi yang berada tepat di belakang gue.

"Ma ... maaf, Kak. Maaf ...." Budi menunduk dalam. Nampan yang ia bawa, berisi gelas air putih dan piring kecil tempat obat terlihat goyang. Bahkan air di dalam gelas pun tumpah walau nggak banyak.

"Bisa nggak sih lo hati-hati!" damprat gue kesal. Suruh siapa berada di tempat dan waktu yang salah. Mood gue sudah terlanjur berantakan gara-gara tekanan dari Papi.

"Maaf ... maaf, Kak. Ini ... ini anu ...."

"Ini anu ini anu apaan? Kalau ngomong yang jelas! Minggir lo!" Gue membentaknya sambil memajukan kursi roda lagi.

Masa bodo dengan panggilan Papi yang menyuruhku untuk tetap tinggal. Gue juga nggak menggubris saat Mami dan Juwita mengingatkan untuk meminum obat yang dibawakan Budi. Tujuan gue cuma satu, masuk kamar dan mengurung diri di sana. Gue butuh ketenangan.

Bahkan ketukan Juwita yang membawakan obat serta mengingatkan gue bahwa siang ini ada jadwal kontrol dengan Dokter Faiz pun nggak gue indahkan. Sengaja gue menyetel musik dengan volume maksimal, supaya gangguan di luar kamar nggak terdengar.

Gue buka tirai jendela, membiarkan angin sepoi masuk melalui celah teralis besi. Kenapa nggak ada yang bisa mengerti perasaan gue? Padahal gue sudah berusaha berubah. Gue berusaha membuka diri seperti saran Mbak Asoka. Namun, masih saja kurang. Kenapa Papi harus mendorong gue sedemikian keras? Apa sih yang Papi harapkan dari diri gue? Apa nggak bisa bersabar, supaya gue beradaptasi dengan lingkungan dan kondisi fisik yang baru.

"Cristal, ada apa, Nak?"

Gue memejam sesaat saat menyadari Mami telah mengecilkan volume pemutar musik. "Cristal baru pengin sendiri, Mi."

Mami berdiri di belakang kursi roda sambil mengelus kedua bahu gue. "Minum obatnya dulu, ya."

Gue mendengkus kesal. Sampai kapan gue harus minum racun-racun itu? Sudah hampir tiga minggu gue rutin mengonsumsi obat supaya Phantom Pain gue sembuh. Gue juga rajin ikut terapi, tapi sakit di kaki kiri masih saja belum hilang. Memang sudah nggak seperti awal-awal dulu yang bikin gue histeris. Sekarang gue mulai bisa menahan nyeri dan rasa panas terbakar. Namun, tetap saja gue mulai bosan. Gue takut kalau usaha gue nggak membuahkan hasil.

"Yuk, diminum dulu." Mami meletakkan nampan berisi gelas dan obat gue ke atas meja di samping jendela.

Gue melirik jumlah dan macam obat yang ada di piring. Sesuai perkiraan, nggak cuma penghilang nyeri, tapi lagi-lagi obat penenang itu kembali diberikan ke gue, setiap emosi gue naik sedikit.

"Cristal, Mami mohon diminum dulu obatnya." Mami membukakan aluminium pembungkus obat lalu menyerahkan ke gue beserta air putih.

Gue melengos. "Buat apa minum obat itu? Biar Cristal tidur 'kan? Biar kalian nggak dengar teriakan Cristal 'kan?"

Mami meletakkan obat ke piring, lalu menggeret kursi untuk duduk di sebelah gue. Mami mengikuti arah pandang gue ke luasnya langit. "Kamu ada masalah apa sama Papi?"

Gue diam. Nggak mungkin Mami nggak tahu perselisihan gue barusan dengan Papi.

"Cris, maaf kalau Papi atau Mami sudah memaksakan kehendak yang bikin kamu marah. Semua ini juga demi kamu. Cuma mungkin cara kami salah."

"Kalau gitu jangan paksa Cristal, Mi! Kenapa Papi nggak ngertiin perasaan Cristal? Cuma punya kaki satu itu nggak gampang, Mi! Cristal harus nerima pandangan kasihan dari semua orang. Apalagi kalau harus ketemu karyawan-karyawan Papi, Cristal nggak mau!"

Mami menghela napas panjang. "Ya, sudah kalau kamu memang belum siap. Nanti Mami yang bujuk Papi. Sekarang obatnya diminum dulu."

Gue menghela napas panjang. "Cristal mau tidur, Mi." Gue memutar kursi roda mendekat ke ranjang. "Obatnya taruh di situ saja, nanti kalau sakit baru Cristal minum," lanjut gue.

Setelah memastikan gue berbaring di kasur, Mami baru meninggalkan kamar. Tentu setelah mewanti-wanti untuk meminum obatnya.

"Mi, Budi sama Indah belum jadi sekolah?" tanya gue sesaat sebelum Mami membuka pintu kamar.

"Sudah mau Mami daftarin, Cris, tapi anaknya nolak. Katanya takut merepotkan kita. Ini Mami baru bujuk lagi. Kemarin Toni juga sudah mau untuk membujuk Budi. Ya, sudah, kamu tidur dulu. Mami turun, ya."

Gue mengangguk dan membiarkan Mami keluar kamar.

* * *

"Angkat perlahan kaki kanan sambil tetap fokus ke kaca." Bang Leon kembali memotivasi gue untuk berusaha melakukan perintahnya.

Gue masih belum terbiasa berlama-lama di depan kaca. Apalagi dengan baju yang benar-benar memperlihatkan potongan di kaki kiri gue.

"Ya, bagus. Sekarang luruskan kaki kanan lalu angkat kaki kiri perlahan." Bang Leon membantu memegangi ujung kaki kanan gue. "Cristal, fokus ke kaca. Jangan lupa atur pernapasan."

Gue rapalkan berbagai kata-kata positif yang diajarkan Mbak Asoka dan Bang Leon. Ya. Gue baik-baik saja. Gue bisa melakukan apa pun. Gue kuat. Gue pasti bisa berjalan dengan kaki satu.

"Ya, cukup." Bang Leon mengulurkan kedua tangan, membantu gue untuk duduk. "Sekarang, lo coba berdiri sendiri."

Gue menarik napas panjang, bersiap untuk bangkit dari posisi melantai. Pada pertemuan minggu lalu, Bang Leon sudah mengajarkan cara untuk berdiri.

"Susah, Bang." Lutut gue tergelincir di matras, menggagalkan usaha untuk berdiri.

"Pakai lutut kiri, Cris." Mungkin karena melihat wajah gue yang nggak yakin, Bang Leon kembali berucap, "Kaki kiri lo itu sudah sembuh, Cris. Sudah aman kalau kamu pakai untuk latihan berdiri."

Kata Dokter Yusril dan Dokter Faiz pun demikian. Walau masih perlu hati-hati agar bekas luka gue nggak infeksi, tapi secara umum bekas potongannya sudah kering. Gue pernah melihat saat Juwita membersihkan bekas sendi lutut yang kini mulai mengerucut. Memang bersih, bekas jahitannya terlihat rapi, dan bagian paha belakang yang terbakar pun sudah kembali seperti semula.

"Oke, terus angkat tubuh lo. Bebankan semua ke otot tangan dan paha kanan. Ya, begitu. Nah ... itu lo bisa 'kan." Bang Leon menepuk punggung gue.

Gue menatap takjup pada sosok di depan kaca yang kini berhasil berdiri sendiri dengan satu kaki. "Gue ... bisa, Bang."

Gue menatap Bang Leon sambil tersenyum lebar. Juwita bahkan sudah berjingkrak sambil memeluk bahu gue.

"Mbak Cristal hebat!" pekik Juwita girang.

"Gue bilang juga apa. Lo pasti bisa." Bang Leon memberi aplaus atas kemajuan gue hari ini.

Sekarang, kami sudah nggak seformal dulu dengan menyebut saya-kamu lagi. Katanya biar gue nggak merasa sedang berinteraksi dengan terapis, tapi seperti teman. Sehingga gue bisa lebih santai.

"Masih sering kumat nggak, Cris?" tanya Bang Leon saat gue bersiap untuk pulang.

Gue menggeleng. "Sudah jarang, Bang. Paling dua hari sekali, itu pun kalau nggak sengaja kepentok barang atau terlalu lama duduk di kursi roda."

"Berarti lo sudah siap untuk latihan jalan pakai kruk 'kan?"

Gue terdiam.

"Kenapa? Masih malu?"

Gue nggak bisa bohong di depan Bang Leon. "Iya, Bang. Gue belum percaya diri kalau harus pakai tongkat."

Seperti biasa, Bang Leon nggak pernah menghakimi dengan segala ke-insecure-an gue. Apa pun yang gue katakan, selalu ia terima dengan pikiran terbuka.

"Begini saja, gue nggak bakal maksa lo untuk pakai tongkat, tapi minggu depan kita tetap latihan jalan, ya. Cuma latihan."

Gue mengangguk pelan. Walau belum yakin, gue harus mencoba 'kan.

"Bagus." Bang Leon menepuk pelan bahu kiri gue. "Habis ini kalian mau langsung pulang atau ke mana?"

"Langsung pulang, Bang. Memangnya gue bisa ke mana sih," jawab gue skeptis.

"Wah, iniii ... lo berarti belum pernah nongkrong setelah operasi?"

Gue menggeleng. Makan di hotel sama Papi gue anggep bukan dalam kategori nongkrong. Sebenarnya Bella dan Belva sering maksa untuk jalan dan makan di luar bareng, tapi selalu gue tolak.

"Kalau gitu, habis ini gue traktir makan bakso di depan, yuk." Bang Leon membereskan alat-alat kembali ke tempatnya.

"Gue langsung pulang saja, Bang," tolak gue.

"Ini anak, dapet rejeki kok ditolak. Pamali!" Bang Leon tersenyum ke arah gue sambil membetulkan tali sepatunya.

"Tapi, Bang ...."

"Baksonya gue jamin enak. Lo pasti ketagihan. Gue kalau makan di sana, minim habis dua porsi." Bang Leon masih kekeh mengajak gue makan sebelum pulang. "Sekaligus merayakan keberhasilan lo bisa berdiri sendiri."

Gue terkekeh mendengar kalimat terakhirnya. "Gue baru bisa berdiri, Bang."

"Lho, apa pun kemajuan yang kita alami, harus selalu disyukuri. Lo nggak keberatan kalau kita makan dulu 'kan, Ju?"

Juwita tentu mengangguk cepat dengan semangat empat lima. Gadis dua puluh dua tahun itu kelihatan banget kalau ngefans sama Bang Leon. Walau katanya hanya sebatas kagum, karena Juwita memang sudah punya kekasih sedari SMA.

"Nah, kita berangkat sekarang? Cacing di perut gue sudah mulai demo, Cris." Tatapan Bang Leon akhirnya membuat gue mengalah.

"Tapi ... gue pakai kursi roda," ucap gue saat Bang Leon mulai mendorong gue keluar dari ruang fisioterapi.

Bang Leon tertawa renyah. "Kalau lo malu, bisa gue gendong."

Mendengar jawaban Bang Leon, sontak membuat Juwita bercie-cie nggak karuan. Memang kelakuan lelaki satu ini kadang nggak jelas. Namun, nggak urung bikin gue tersipu.

* * *


Ehem ... ehem ....
Cieee ... cieee ....
Si Cristal digodain sama Leon ....

Ayo, PD dong Cris!
Jangan kalah sama pikiran negatifmu sendiri.

Ada yang nunggu cerita ini nggak sih?
Menurut kalian, sampai bab 11 ini gimana?

Minta pendapatnya, ya, Gaes.
Terima kasih,

❤❤❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top