»K-10«
Restoran ini berada di sebuah hotel mewah. Tepatnya berada di lantai teratas dan dikelilingi dinding kaca. Papi sengaja memilih tempat di dekat jendela sehingga gue bisa melihat langsung kerlip lampu di bawah. Selain itu, tempat ini jauh dari pintu masuk dan keramaian.
Penolakan gue selama dua hari ini nggak digubris sama sekali. Papi tetap memaksa gue untuk mulai bersosialisasi dan bertemu dengan orang baru. Padahal gue sudah bilang kalau belum siap. Gue masih belum tahu harus bersikap bagaimana kalau ada yang tanya perihal kaki gue.
Namun, Papi meyakinkan semua bakal berjalan tanpa rintangan. Beliau berusaha memilih lokasi pertemuan nggak di kantor. Katanya biar gue sekalian refreshing. Ya, memang sih, walaupun restoran ini sangat luas dengan pengunjung yang nggak sedikit, tapi entah kenapa gue merasa nyaman. Mungkin karena penataan interiornya, sehingga gue tetap bisa merasakan privasi. Gue nggak merasa pengunjung lain menatap aneh ke arah gue.
Meja tempat kami duduk sudah disiapkan hanya untuk empat orang. Kami sengaja nggak mengajak Juwita, karena memang pertemuan kali ini lebih ke arah bisnis. Papi juga menyanggupi untuk mendorong kursi roda gue. Sedangkan Mami terlanjur ada janji dengan Klub Esmerald.
Band di sudut ruangan melantunkan lagu-lagu bernuansa cinta. Ditambah pencahayaan yang redup, semakin membuat restoran ini terasa romantis. Pantas saja kalau kebanyakan pengunjungnya adalah pasangan. Entah siapa yang memilih lokasi ini untuk pertemuan bisnis, karena menurut gue kurang cocok. Kenapa nggak di restoran bernuansa alam saja 'kan lebih terasa kekeluargaan.
Tadinya Papi mengajak berangkat mepet jam janjian, tapi gue menolak. Gue lebih nyaman sudah berada di lokasi saat calon penyuplai itu datang.
"Kamu mau pesan apa, Cris? Kata Beni, di sini yang enak steak cordon blue-nya." Papi membolak-balik menu berbahasa Inggris.
"Nanti saja, Pi, kalau mereka sudah datang," tolak gue.
Papi menutup menu lalu menyerahkannya ke pelayan. "Kamu tidak lapar?"
Gue tertawa kecil. "Cristal bukan anak kecil lagi, Pi."
Papi memesan secangkir kopi hitam dan jus mangga untuk gue. "Papi kadang lupa kalau putri Papi sudah gadis. Rasanya Papi tidak rela kalau suatu saat harus menyerahkan kamu ke lelaki yang bakal jadi suamimu." Papi terkekeh.
Gue memalingkan muka menatap pemandangan malam kota Jakarta. Suami? Gue tersenyum sinis memandang pantulan gue di kaca. Lelaki mana yang sudi menikah dengan gadis cacat macam gue? Gyan yang sudah dua tahun berpacaran dengan gue, bahkan sudah melamar gue pun mundur teratur.
Gue masih asyik larut dalam lamunan saat suara pekik terkejut disusul tawa gembira mengagetkan gue. Spontan gue menoleh ke arah sumber suara. Papi tengah berpelukan dengan lelaki seusianya sambil tertawa lepas. Sepertinya Papi nggak sengaja bertemu dengan teman lamanya di sini.
"Wah, tambah gagah saja kamu, Ndra," ucap pria bersetelan jas yang gue tahu betul harganya cukup membuat kantong merana.
Papi membalas dengan tepukan di lengan pria tadi. "Kamu sendiri masih tetap sama seperti jaman kita kuliah, Mas."
Tawa menggelegar kembali memenuhi ruangan. Gue diam-diam memelorotkan duduk. Jujur, gue malu sama sikap Papi yang sudah jadi tontonan gratis pengunjung restoran.
"Aku sama sekali tidak menyangka kita bakal ketemu di sini, Mas. Ayo duduk."
Gue melirik Papi heran. Kok Papi mengajak temannya duduk di sini? Kalau calon penyuplai itu datang bagaimana?
"Nah, kenalkan ... ini putri kesayanganku. Cristal, beri salam ke Om Rifa'i. Beliau ini kakak tingkat sekaligus sahabat Papi waktu kuliah dulu," ucap Papi setelah temannya yang bernama Om Rifa'i itu duduk di depannya.
Gue agak ragu waktu mengulurkan tangan. Bagaimana kalau orang ini jadi memandang rendah Papi karena kondisi kaki gue? "Malam, Om."
"Wah, pantas kamu awet muda, Ndra. Hidupmu dikelilingi bidadari begini," goda Om Rifa'i.
Papi tertawa bangga sambil menepuk punggung tangan gue. Namun ternyata dugaan gue salah besar. Lelaki bernama Om Rifa'i ini sama sekali nggak memedulikan gue yang duduk di kursi roda. Dia bersikap seolah nggak ada yang aneh dengan diri gue.
"Nyonya mana ini, Ndra?" Om Rifa'i melihat ke sekeliling mencari keberadaan Mami.
"Kami cuma berdua saja. Sebenarnya kami sedang menunggu calon rekanan bisnisku." Papi melihat jam di tangan kiri. "Mungkin sebentar lagi dia datang."
"Aku juga menemani si Beryl untuk urusan bisnis. Mumpung maminya baru di luar negeri, aku bisa nongkrong seperti anak muda lagi."
Tawa Om Rifa'i sangat menular. Mood gue yang tadinya sempat anjlok, kini balik naik lagi.
"Tunggu dulu, anakmu tadi siapa? Beryl? Beryl Hamizan bukan? Yang punya perkebunan tembakau di Temanggung?"
Om Rifa'i mengangguk lalu sedetik kemudian tertawa lepas, yang disusul Papi. "Untung tadi aku ikut si Beryl. Jadi kita bisa ketemu lagi, Ndra. Nah, itu anaknya datang. Ryl!"
Gue mengikuti arah lambaian tangan Om Rifa'i. Seharusnya kalau kedua bapak ini teman kuliah, usia anaknya nggak terlampau jauh 'kan? Namun, yang gue lihat, cowok ini nggak mungkin seumuran gue. Terlalu tua untuk umur dua puluh tiga tahun. Walau gue pun cukup terkejut setelah tahu calon rekanan bisnis Papi sangat masih muda.
"Ryl, ternyata calon pembelimu itu sahabat Papa di kampus dulu."
Papi dan Om Rifa'i berdiri menyambut kedatangan lelaki yang dipanggil Beryl itu. Sedangkan gue memilih tetap diam di tempat. Ya, mau ke mana lagi? Nggak gampang buat gue langsung berdiri begitu saja.
"Selamat malam, Pak," sapa pria bernama Beryl itu sambil mengulurkan tangan dengan sedikit membungkukkan badan.
Cukup sopan untuk ukuran cowok Jakarta. Penampilannya pun rapi, walau nggak se-dandy Om Rifa'i, tapi cukup menawan. Memadukan celana jin biru dan kaus hitam polos yang berkesan santai, dengan jas hitam yang memberi aksen formal.
"Jangan panggil pak, om saja." Papi membalas uluran tangannya sambil menepuk lengan pelan. "Sudah besar, ya, kamu. Padahal waktu terakhir ketemu, kamu masih belum bisa jalan." Papi mempersilakan Om Rifa'i dan putranya kembali duduk.
"Jangan kaget, Cristal. Om ini dulu nikah muda. Begitu lulus SMA langsung dijodohkan sama mamanya Beryl. Umur dua puluh sudah punya Beryl ini. Makanya, diumur yang masih muda, Om sudah punya bujang lapuk." Om Rifa'i tertawa sambil melirik putranya, yang dibalas dengan senyum.
"Jangan protes, Ryl. Salah siapa sampai umur tiga satu masih betah sendirian?" lanjut Om Rifa'i.
Gue manggut-manggut saja mendengar penjelasan Om Rifa'i sambil tersenyum kikuk. Pantas saja terlihat tua, ternyata memang sudah berumur.
"Mungkin belum ada yang cocok, Mas, atau kamu yang terlalu galak sebagai calon mertua," seloroh Papi yang ditanggapi tawa oleh Om Rifa'i.
"Tidak mungkin kalau aku galak. Memang anaknya yang terlalu pemilih. Padahal mamanya sudah berusaha mengenalkan ke anak-anak temannya, tapi tidak ada yang nyantol sama anak ini."
"Bukan begitu, Pa. Beryl memang masih ingin konsentrasi mengurus perkebunan dulu."
"Nah, berarti dalam waktu dekat, kamu sudah siap ngasih Papa cucu. Perkebunan sudah jalan lancar 'kan?"
Beryl tersenyum menanggapi ucapan papanya. "Beryl." Pria yang kini duduk tepat di depan gue, mengulurkan tangannya.
Gue membalas hanya sebagai formalitas. "Cristal."
Kalau tahu calon pemasok daun tembakau ini adalah putra sahabat Papi, gue nggak perlu repot-repot datang. Toh kenyataannya sekarang gue cuma duduk, makan, dan mendengarkan. Sesekali menjawab jika Om Rifa'i menanyakan sesuatu.
Gue yakin perjanjian bisnis ini akan berjalan lancar tanpa negosiasi harga yang berbelit. Ya, mungkin tetap butuh sedikit formalitas untuk sekadar memenuhi laporan.
"Om Indra bisa melihat sendiri bagaimana proses produksi kami dan kualitas hasil cacahannya. Kebetulan salah satu pabrik yang kami pasok mengalami permasalahan internal, sehingga untuk saat ini kami bisa mengalihkannya ke pabrik Om Indra." Beryl—gue nggak tahu harus manggil dia apaan—menutup sesi presentasinya dengan begitu meyakinkan.
Papi menepuk permukaan meja seraya tersenyum cerah. "Bagus. Om setuju."
"Untuk masalah harga-"
"Sudah-sudah, itu bisa kita bicarakan lain waktu. Ayo, kita makan dulu. Keburu dingin." Papi menghentikan ucapan Beryl.
"Ryl, Papa ini sudah lama tidak ketemu Om Indra. Masalah remeh begitu biar diurus bawahanmu saja." Om Rifa'i menambahi.
Gue tersenyum miring sambil melanjutkan makan. Bapak-bapak kalau sudah ketemu sama teman lama, pasti nggak bakal sebentar. Dari obrolan a bisa sampai z. Bisa-bisa gue pulang tengah malam kalau begini ceritanya. Bukannya apa-apa, tapi bosen juga cuma diam jadi pendengar setia.
"Cristal, sekarang masih kuliah atau sudah kerja?"
Gue menengadah. Meletakkan pisau dan garpu di piring yang sudah kosong, lalu mengusap ujung bibir dengan serbet walau gue yakin nggak ada saus yang belepotan. Gue melirik Papi yang rupanya masih bernostalgia dengan Om Rifa'i.
"Sudah lulus," jawab gue singkat. Seharusnya gue mulai kerja di pabrik untuk mempelajari seluk beluk perusahaan.
"Kemarin ambil fakultas apa?" Beryl menyesap kopi hitam yang masih mengepulkan uap panas.
"Ekonomi." Lagi-lagi gue menjawab ala kadarnya. Gue baru nggak minat untuk balik bertanya atau memperpanjang obrolan.
"Restorannya ternyata lumayan." Beryl mengedarkan pandangan. "Apa kamu yang merekomendasikan tempat ini?"
Gue menggeleng lalu menyeruput air putih dingin.
"Mungkin karena saya jarang di Jakarta, jadi kurang tahu tempat-tempat seperti ini. Kalau Mama atau ... ah, si Nana pasti pernah ke sini." Beryl tersenyum lebar ke arah gue.
"Memangnya Kak ... eh, Bang—"
"Mas saja. Saya lebih suka dipanggil mas." Lagi-lagi senyum lebar menghiasi wajahnya. "Tadi Cristal mau bicara apa?"
"Oh, itu ... Mas Beryl tinggal di mana?" Akhirnya mulut gue berasa gatal juga untuk mengeluarkan rasa ingin tahu.
"Dulu sampai SMA, saya di Jakarta. Setelah selesai kuliah di Sidney, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Temanggung. Sudah lama perkebunan ditinggal Papa, jadi butuh pengawasan ekstra."
"Oh."
"Kalau Cristal sendiri?" Mas Beryl menautkan kesepuluh jarinya di atas meja, lalu memajukan tubuh hingga menempel pada pinggiran meja.
"Hm ... gue sedari kecil di Jakarta terus."
Mas Beryl mengangguk. "Eh, saya baru sadar. Ternyata kita punya satu persamaan."
Gue menatap lelaki berkulit putih ini dengan bingung. Apanya yang sama?
"Apa kamu tahu apa arti nama saya?"
Gue menggeleng. Jujur, baru kali ini gue punya kenalan bernama Beryl. Agak kurang familiar di telinga, terlebih untuk anak laki-laki.
"Beryl itu artinya permata. Cristal pun permata 'kan. Papa pernah cerita kalau dulu mama saya ingin sekali punya anak perempuan. Setelah tahu hamil, Mama sudah menyiapkan nama Emerald. Eh, ternyata yang keluar cowok, jadilah saya dikasih nama Beryl." Mas Beryl tertawa sambil menggeleng-geleng.
Mungkin menurut dia itu hal lucu. Demi kesopanan, gue ikut tersenyum. Bagaimana pun Mas Beryl ini calon rekan bisnis Papi. Gue harus bersikap baik demi kelancaran usaha mereka.
* * *
Nah, kan .... Ada manis-manisnya 'kan ....
Jangan lupa, vote dan komentarnyaaa ....
Love,
Tika Putri
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top