»K-1«
"Lalu kenapa putri saya belum juga sadar, Dok? Sudah empat hari, tapi belum juga ada perubahan."
Samar-samar gue mendengar suara Mami. Bahkan saking nggak jelasnya, gue nggak yakin Mami sedang membicarakan apa dan dengan siapa. Yang sudah jelas, seluruh tubuh gue terasa panas. Ter-a-mat sa-ngat pa-nas. Terlebih kaki kiri gue.
Gue selalu tertawa miring tiap baca bukunya Bella, di mana tokohnya selalu bilang, "Aku di mana? Aku kenapa?" Di saat mereka baru terbangun dari pingsan.
Namun, sekarang gue terpaksa menanyakan hal yang sama. Gue masih nggak ingat apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa seluruh badan gue rasanya kayak terbakar? Saking sakitnya, gue nggak sanggup menggerakkan tubuh. Jangankan bergerak, untuk membuka mata dan mengangkat ujung jari pun terasa kaku.
Gue coba memutar lagi ingatan. Bukankah kemarin gue ada janji sama Bella dan Belva? Lalu apa yang terjadi di mal? Kenapa sekarang ....
"Kak Cristal! Bangun, Kak!"
"Pak, tolong selamatkan Kak Cristal!"
"Maafin aku, Kak! Maaf, Kak! Aku janji bakal nurut kata-kata Kak Cristal. Aku bakal rajin ke sekolah. Aku mohon ... bangun, Kak!"
Gue mengeryit saat cahaya menyilaukan masuk ke netra, berbarengan dengan sekelebat ingatan. Itu jelas suara Toni bersahutan dengan Budi. Ada apa sebenarnya? Kenapa gue harus diselamatkan? Gue kenapa?
"Cristal ...."
Ada seseorang yang membelai pipi gue dengan lembut. Disusul dengan sentuhan di punggung tangan. Setelah itu, kelopak mata gue seperti dibuka paksa oleh seseorang. Lagi-lagi serangan sinar menyilaukan kembali menyapa. Membuat gue kembali menutup erat kelopak mata.
"Sayang ... bisa dengar Mami?"
Apa itu Mami? Ah, entahlah. Rasa kantuk yang menyerang, terlampau kuat untuk gue kalahkan. Mungkin setelah gue bangun, ingatan dan pikiran gue bakal kembali normal.
* * *
Selama ini gue selalu bersyukur atas segala berkah yang Tuhan beri. Dilahirkan sebagai putri tunggal Indra Yuwono dan Fatimah Azzahra, membuat gue jadi putri mahkota dari kerajaan bisnis mereka. Siapa yang nggak kenal dengan nama Yuwono? Segala kemewahan yang gue nikmati saat ini nggak terlepas dari perjuangan kakek buyut. Di saat penjajah masih merajai Indonesia, beliau sudah mulai berbisnis.
Awalnya hanya sebuah pabrik rokok kecil. Bahkan hasil produksinya hanya cukup untuk antek-antek kolonial dan para penguasa setempat saat itu. Lama-kelamaan Kakek Buyut berhasil mengembangkan bisnisnya untuk skala yang lebih luas. Ketika Opa mulai memegang kendali perusahaan, beliau memperluas cakupan bisnis ke sektor pembangunan. Sehingga kini anak perusahaan Yuwono semakin berkembang.
Papi sebagai putra sulung memegang kendali penuh atas pabrik rokok. Sedangkan Om Faisal memilih perusahaan kontraktor sesuai dengan minat dan bakatnya. Tante Dina, yang paling bontot, lebih suka mengurusi bisnis kuliner yang kini sudah menjamur hampir di seluruh Indonesia.
Balik lagi ke gue. Ya. Hidup gue saat ini sangat berkecukupan. Bahkan kalau gue cuma berleha-leha di rumah sambil nonton drama Korea atau sibuk wira-wiri ke luar negeri sambil buang-buang uang, gue yakin saldo rekening di bank nggak akan berkurang secara signifikan.
Untuk masalah fisik—gue bukan orang narsis yang suka membangga-banggakan diri—tapi gue juga bukan orang sok merendah yang nggak mensyukuri pemberian Tuhan. Memang kalau dibandingkan Bella—si Ratu Kecantikan sejagad itu—gue masih kalah. Gue nggak setinggi Bella, pun nggak seramping dia. Kalau kata Gyan, badan gue berisi di tempat yang tepat. Kesimpulannya, gue cantik dan menawan.
Otak gue juga nggak beda jauh kalau dibandingin sama Belva. Memang ... cowok satu itu nilainya selalu nyaris sempurna. Tapi, gue juga nggak kalah kok.
Jadi, kalau ada yang tanya, "Apa yang gue nggak punya?"
Maka dengan percaya diri gue bisa jawab, "Nggak ada."
Kasih sayang dan perhatian Papi Mami nggak pernah absen. Mereka selalu melimpahi gue dengan cinta. Bahkan di tengah kesibukan Papi menjalankan bisnis, beliau selalu menyempatkan diri untuk mengirim pesan. Entah sekadar mengingatkan makan atau menanyakan posisi gue ada di mana.
Sedangkan Mami, beliau orang pertama yang mengenalkan arti kehidupan pada gue. Tanpa Mami, gue nggak mungkin ada di dunia ini. Kelembutan dan kesabaran Mami nggak perlu diragukan lagi. Apalagi dalam menghadapi masa remaja gue dulu yang penuh warna. Beliau selalu siap menjadi pendengar dan sahabat terbaik yang gue punya, selain Bella dan Belva tentunya.
Dari Mami, gue belajar arti memberi. Ya. Sejak gue duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, Mami mulai memperkenalkan pergaulan kelas atas yang orang awam sebut dengan 'Kaum Sosialita'. Kadang gue suka tertawa kalau ada yang menilai kaum sosialita hanya sekadar buang-buang uang untuk foya-foya. Dimana jalan-jalan ke luar negeri dan membeli barang-barang bermerk sudah seperti membeli cilok di pinggir jalan.
Nggak sepenuhnya salah. Namun, juga nggak gue benarkan. Karena kegiatan kami jauh lebih dari itu. Yang mereka lihat di media sosial hanyalah sampulnya. Foto-foto kami saat bepergian ke berbagai negara dengan tampilan super megah itu hanya sebagai salah satu bentuk ekspresi kegembiraan saja.
Mengenai gosip berbagai arisan yang hanya mengumbar harta, itu pun nggak sepenuhnya benar. Dalam kelompok sosialita kami—di sana yang lumayan aktif ada mamanya Bella dan mamanya Belva—kegiatan rutin selain arisan adalah menjadi donatur tetap di beberapa panti asuhan dan panti jompo. Biasanya diselenggarakan tiap sebulan sekali.
Kalau dilihat secara kasat mata, tentu hanya tampak seperti pamer kekayaan. Karena biasanya kami saling memperlihatkan barang branded terbaru atau termahal yang dimiliki. Bukan apa-apa, tapi itu semua bermaksud untuk menakar nilai jual. Ya. Barang-barang yang kami miliki akan kami lelang, lalu hasilnya diserahkan pada yayasan panti asuhan atau langsung ke perorangan yang membutuhkan. Bahkan nggak jarang kami akan mengadakan malam amal yang mengundang grup sosialita lain atau selebritis untuk menggalang dana bagi korban bencana alam.
Sebagai anggota termuda, empat tahun lalu gue didapuk sebagai bendahara, menggantikan Tante Sofia yang pindah ke Surabaya. Bukan hal mudah mengemban tugas dan tanggung jawab sebesar itu di usia 19 tahun. Karena di tangan gue-lah puluhan bahkan ratusan juta uang milik anggota harus bisa gue alokasikan secara tepat dan merata. Di saat Bella dan Belva bisa nongkrong, gue harus membuat rincian pengeluaran dan berbagai laporan keuangan. Namun, sekali pun gue nggak pernah mengeluh. Karena gue mencintai apa yang gue lakukan.
Dengan berbagi ke sesama, gue merasa berguna. Gue merasa dibutuhkan. Dan yang lebih utama, dengan berbagi berkah yang gue miliki, menjadi bentuk ucap syukur gue kepada Sang Maha Pencipta. Tuhan memberi gue kehidupan yang serba berkecukupan tentu nggak semata-mata biar gue bisa menghambur-hamburkannya begitu saja 'kan? Ada hak-hak orang lain dari tiap keping rupiah yang gue miliki. Dan gue nggak mau jadi pencuri. Itu saja sih.
Makanya ... sedari kuliah, gue sering menyambangi berbagai panti asuhan dan panti jompo. Dan rumah kalong.
Gue tahu tempat itu pertama kali saat pulang kuliah, empat tahun lalu. Entah memang sudah ditakdirkan Tuhan atau bagaimana, tiba-tiba mobil gue mogok di daerah sana. Kebetulan saat itu Toni—waktu itu dia masih imut, kalau nggak salah baru 15 tahun—lewat di depan gue. Jujur, gue agak ngeri melihat penampilan Toni yang urakan dan sangat berantakan. Terlebih waktu itu, hari sudah mulai gelap dan lokasinya cukup sepi.
Namun, kekhawatiran gue sama sekali nggak berasalan. Toni membantu gue memanggilkan montir. Bahkan dia menemani dan melindungi gue waktu ada berandalan yang mencoba mengganggu. Dia banyak bercerita tentang rumah kalong dan keluarganya. Di usia semuda itu, dia harus bekerja dan membesarkan kedua adiknya---Budi yang baru berusia lima tahun dan Indah yang masih bayi. Orang tuanya baru saja meninggal karena kecelakaan.
Sejak saat itulah gue memasukkan keluarga Toni dan rumah kalong sebagai penerima dana bantuan tetap. Bahkan lama-kelamaan gue semakin dekat dengan Budi dan Indah. Gue nggak bisa membayangkan jika harus berada di posisi mereka. Masih kecil, tapi sudah harus hidup sendiri tanpa kasih sayang orang tua. Toni gue kasih modal untuk membuka bengkel motor kecil-kecilan di depan gang. Budi, gue masukkan ke sekolah. Walau lebih sering membolos karena mengasuh Indah di rumah saat Toni bekerja. Dengan melihat kehidupan mereka, gue semakin mensyukuri apa yang gue miliki.
Namun, gue sama sekali nggak menyangka, di sana pulalah segala yang gue miliki terampas.
Siapa bakal menyangka, niat awal gue ke rumah kalong cuma sekadar memberikan oleh-oleh dari Bandung, berakhir bencana maha dahsyat di hidup gue.
"Sayang, satu suap lagi, ya." Mami masih saja membujuk gue. Padahal sejak lima menit lalu, gue sudah menolak untuk melanjutkan makan.
Gue memalingkan muka ke arah jendela. Meskipun hari masih siang, tapi langit sudah menggelap. Seperti suasana hati gue saat ini. Sudah tiga hari gue dipindahkan dari ICU ke ruang rawat inap. Sudah tiga hari pula dunia gue terasa hancur. Dan mungkin bakal gue rasakan seumur hidup.
Sampai detik ini, gue masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Memang setelah semua kesadaran gue pulih, ingatan tentang kebakaran hebat hari itu pun kembali menyeruak. Kenangan ketika gue jatuh tertimpa balok baja, pun saat api menyambar kaki ikut menyembul ke permukaan. Bahkan rasa sakitnya pun hingga kini masih terasa.
Gue meremas kuat ujung selimut yang menutupi tubuh bagian bawah. Hah! Apa yang harus ditutupi? Dengan emosi, gue melempar selimut ke sembarang tempat. Apa yang harus gue tutupi?
"Sayang ... ada apa?" Mami meletakkan piring ke atas nakas, lalu menunduk untuk mengambil selimut yang barusan gue lempar. Dengan perlahan Mami memakaikannya lagi untuk menutupi kaki gue.
Kaki? Kaki yang mana? Gue mendengkus keras. Amarah kembali menggelegak dalam diri gue. Kaki yang mana? Apa ini yang namanya kaki?
Gue kembali melempar selimut. Bahkan guling yang tadinya ditata Mami untuk mengganjal paha kiri pun ikut gue lempar. Buat apa semua ini? Buat apa gue makan? Buat apa gue pakai selimut? Buat apa guling untuk mengganjal benda yang nggak ada?
"Sayang ...." Mami mendekat, mengelus lengan gue.
Gue menepis tangan Mami dengan kasar. Gue nggak butuh dikasihani! Gue nggak butuh tatapan iba! Gue nggak butuh apa pun selain ketenangan!
"Pergi!" desis gue tanpa melihat Mami.
"Sayang ... tenang dulu, Mami di sini."
Gue menatap Mami tajam. "Cristal bilang pergi, Mi! Cristal mau sendiri!" bentak gue kasar.
Gue tahu Mami pasti sedang menahan tangis. Wajahnya sudah memerah, bahkan gue bisa melihat air mata sudah memenuhi netranya. Namun, gue nggak bisa menahan diri. Gue nggak bisa mengontrol emosi yang seolah nggak bisa gue tekan.
"Cristal sayang, Mami---"
"Cristal pengin sendiri, Mi! Keluar!" Gue menunjuk arah pintu. Berharap Mami dapat mengerti bahwa gue benar-benar nggak sanggup berada satu ruangan dengannya.
Namun, rupanya Mami masih juga nggak mau meninggalkan gue sendirian di kamar. Nyatanya beliau cuma mundur menjauh.
"Cristal cuma pengin sendiri, Mi! Kenapa Mami nggak ngerti juga? Cristal nggak mau ada orang lain di sini! Cepat keluar!" Gue kembali mengamuk. Gue lempar segala barang yang terjangkau tangan. Namun, hanya bantal yang menjadi pelampiasan gue.
Mungkin karena pengalaman selama tiga hari ini, seluruh barang seperti ditata ulang agar tidak bisa diraih oleh tangan gue. Nggak ada lagi gelas, piring, buah atau apa pun yang bisa gue lempar. Dan itu membuat emosi gue semakin memuncak.
"Pergi!!!" teriak gue sambil mencabut paksa jarum infus. Nggak merasa puas, gue memukul-mukul ranjang seraya menghentak-hentakkan kaki.
Kaki? Lagi-lagi gue lupa kalau gue sudah nggak punya kaki. Gue nggak punya kaki.
* * *
Apah???
Cristal nggak punya kaki?
Gimana maksudnya???
😱😱😱
Mau lanjut nggak nih?
Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar, ya, Gaes ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top