Aku Ingin Tetap Hidup
Katanya, semua orang berhak bahagia. Lalu, apakah si mantan pasien rumah sakit jiwa ini, juga berhak merasakannya?
Ravindra Danuraja Djiptadi. Itu adalah nama lengkap Ravindra, Aruna yang memberitahuku. Aku tidak pernah berusaha untuk mencari tahu tentang Ravindra, namun Aruna—sahabatku itu dengan sendirinya menceritakan semua hal tentang Ravindra yang ia ketahui.
Ia—Aruna, sedang sibuk bermain di bibir pantai, bersama Eja. Terkadang, aku berpikir untuk bisa seterbuka Aruna, ia dengan mudah menerima orang baru masuk ke dalam hidupnya. Tapi, berkali-kali aku mencoba, aku tetap merasa sulit untuk kembali seperti sifatku dulu, sebelum peristiwa itu terjadi. Dulu mungkin, aku termasuk orang yang lumayan mudah bergaul, walau tidak sesupel Aruna, tapi setidaknya tidak semenyedihkan saat ini. Aku terlalu berkubang pada ketakutan yang tidak memiliki akhir, terlalu memanjakan pikiran negatifku, sehingga ... selama satu tahun ini, sangat sedikit sekali orang yang bisa diterima dengan baik oleh isi kepalaku. Mungkin hanya Aruna dan Ravindra.
"Ada yang kamu pikirkan?"
Aku menoleh pada Ravindra, ia duduk di sampingku sambil menyodorkan satu botol air mineral yang kemudian kuterima.
"Nggak papa."
"Kata orang, kalau cewek udah bilang nggak papa itu pasti kenapa-napa." Ia menatapku sambil menahan tawa.
Aku mengerutkan dahiku, "Ha? Teori dari mana?"
"Kata orang, ya dari orang." Ravindra tergelak yang mau—tak—mau membuatku ikut tertawa.
"Ada-ada aja."
"So, kenapa?" Ia kembali mengulang pertanyaan yang sama, aku menghela napas. Aku baru tahu, kalau Ravindra itu orang yang tidak akan puas dengan satu jawaban singkat.
"Nothing."
"Daritadi kamu lihat Aruna. Ada yang salah?" Ia masih menyelidik, berusaha memaksaku itu menjawab.
"Sori, nggak maksa. Jangan dijawab kalau nggak nyaman," lanjutnya, mungkin Ravindra berpikir kalau rasa penasarannya membuatku tidak nyaman.
"Nggak papa, aku hanya berpikir ... kapan bisa seperti Aruna, dia bisa santai menjalani hidupnya, dia bisa menerima banyak orang baru masuk ke dalam hidupnya. Aku sulit melakukannya."
"Ran ...." Ravindra memandang hamparan ombak yang terhampar di depan kami, Pantai Gatra ini tidak begitu ramai, hanya ada beberapa pengunjung. Padahal, pemandangannya luar biasa indah, dengan air lautnya yang berwarna biru kehijauan, serta hamparan karang yang membentuk bukit, mungkin karena aksesnya agak sedikit sulit, tadi kami harus berjalan cukup jauh untuk mencapai pantai ini, karena mobil Ravindra tidak bisa masuk. Aku dan Ravindra sendiri memilih untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindang, sambil menikmati udara pantai yang menerpa kulit. Aroma air laut menenangkan.
"Jangan mengikuti orang lain. Kamu tentu nggak lupa kalau individu itu unik, punya kebiasaannya masing-masing dan pasti berbeda dengan orang lain."
"Aku tahu, tapi kadang tetap rasa insecure itu sulit dilawan."
"Pelan-pelan, Ran. Kamu pasti bisa melawannya, kamu itu perempuan yang ... menarik."
"Menarik? Maksud kamu?"
Ravindra tersenyum lembut, laki-laki itu lalu meminum air mineral dari botol miliknya. Ia tak kunjung menjawab pertanyaanku.
"Bagiku, kamu perempuan kuat yang istimewa. Kamu bisa melawan banyak hal menakutkan yang kamu alami, nggak semua orang bisa sepertimu, Ran."
"Aku hanya mencoba menjalani hidupku, sekalipun aku terus menerus menyesali semuanya, itu nggak akan bikin Mama dan Papa hidup lagi." Ada kepahitan di ujung lidah yang berusaha kutekan. Aku tidak sekuat itu, setiap kali membicarakan kedua orang tuaku, ada perasaan sedih yang menyusup tanpa permisi.
'Terkadang aku bertanya, bagaimana jika Mama dan Papa masih hidup, pasti aku nggak akan mengalami kejadian buruk ini sendiri. Aku selalu bertanya, kenapa Tuhan hanya menyelamatkanku, mengapa aku nggak mati aja saat itu?"
"Tuhan tahu kamu kuat, Ran. Terbukti kan, kamu bisa menjalani semuanya sampai hari ini."
Aku mengigit bibirku berusaha agar tidak terisak, saat dengan tidak tahu dirinya air mataku membasahi wajah. Aku tidak tahu kapan mulai menangis, atau mungkin sudah sejak tadi? Entahlah, terkadang memang ... aku tiba-tiba saja menjadi emosi seperti saat ini. Aku memang belum sekuat itu, meskipun sudah sejauh ini berusaha.
"Nggak ada yang instan, semua butuh proses. Kamu juga butuh proses untuk pulih dari luka-lukamu, Ran. Jangan nangis ya? Sori kalau gara-gara pertanyaanku, kamu jadi inget soal kejadian itu lagi."
Ravindra mengusap air mata yang sudah membasahi wajahku, aku tidak bisa berpikir jernih untuk sekadar menepis tangannya. Waktu yang kubutuhkan memang akan sangat panjang, untuk memulihkan semua luka yang kualami. Tidak mudah, hidup dengan kenangan buruk yang selalu menjadi hantu di kepala. Tapi, setidaknya aku telah berjuang.
"Ran, kamu kenapa?"
Aruna tiba-tiba datang dan memelukku. Aku bersembunyi di balik tubuhnya yang mengenakan dres pantai berwarna putih. Aku melanjutkan tangisanku, entah karena percakapanku dengan Ravindra atau hanya perasaan rindu kepada orang tuaku, mengingat dulu kami sering liburan bersama, dan beberapa kali Papa juga mengajakku ke pantai.
"Mas, biar Ranala sama aku dulu ya. Kalian bisa pergi dulu nggak?"
"Oke, jaga Rana dulu kalau gitu," kata Ravindra yang masih bisa kudengar, lalu suara langkah kaki tampak samar melangkah semakin jauh.
"Ran, kamu kenapa?"
"Aku nggak papa, cuma inget dulu Papa sama Mama sering ngajak liburan ke pantai."
Aruna mengelus-elus punggungku dengan lembut. Ia benar-benar teman yang baik, dan aku merasa bersalah karena sudah memiliki perasaan rendah diri karenanya. Aku merasa bukan teman yang baik bagi Aruna, mungkin aku akan sering merepotkannya.
"Hei, kamu nggak sendiri. Ada aku, jangan khawatir ya, Ran. Semuanya akan baik-baik aja."
"Maaf, Run."
"Maaf kenapa? Kamu nggak salah, udah ... jangan dipikirin lagi, mending kita nikmati pemandangan pantai kayak gini. Kapan lagi ke sini?"
Aruna melepas dekapannya, ia lalu mengusap air mataku, persis dengan yang dilakukan Ravindra tadi.
"Udah ya? Inget Ran, matahari itu pasti akan terbit, nggak mungkin malam menetap selamanya, dan kamu ... nggak akan melalui ini sendirian, ada aku sekarang. Kita sama-sama berjuang ya?"
Aku mengangguk, bukankah Aruna itu sosok yang sangat baik? Sama seperti Ravindra, dan kupikir mereka cocok satu sama lain.
"Udah, sekarang ... ayo kita main lagi, kamu jangan sedih lagi, nanti makin jelek."
"Emang jelek."
"Duh, kalau kamu jelek aku apaan haha ...."
Aku ikut tertawa, mungkin saat ini, Aruna menjadi salah satu alasanku untuk bertahan hidup dan memulihkan diri. Aku tidak boleh membuatnya sedih. Sekarang, aku hanya ingin berjuang, untuk menjalani hidupku dengan baik. Amsih belum terlambat untuk membangun kembali mimpi-mimpiku di masa lalu.
***
Kami mencari keberadaan Ravindra dan Eja, mereka tidak terlihat sejak tadi. Aruna lalu memutuskan untuk berjalan di sekitar pantai, mencari keberadaan mereka. hingga akhirnya, kami menemukan Eja dan Ravindra sedang duduk di bawah pohon rindang yang lumayan jauh dari tempatku dan Aruna tadi.
Mereka sedang asik mengobrol sewaktu kami mendekat, dan Ravindra tampak sedikit tegang—entah apa yang mereka obrolkan. Mungkin hal yang cukup serius.
"Ran, diem dulu sini," bisik Aruna, aku hanya mengangguk mengikuti perintahnya.
"Vin, lo yakin suka sama Ranala?"
"Maksudmu?"
"Aruna cerita, Ranala punya masa lalu yang buruk. Nah ini, lo yakin kagak sih? Dia mantan pasien rumah sakit jiwa kan?"
Tubuhku sedikit kaku, aku melihat ke arah Aruna yang tampak menahan marah. Kedua tangan Aruna sudah terkepal di sisi tubuhnya, aku menyentuh tangannya, berusaha menguraikan emosi Aruna yang mendadak naik.
"Apa urusanmu? Apa yang salah sama mantan pasien RSJ?"
"Vin, lo dari keluarga yang terpandang, masa depan cerah ... seenggaknya kan lo bisa sama cewek yang lebih baik dari Ranala. Bukan berarti Ranala itu nggak baik, hanya aja menurut gue, lo bisa dapet yang lebih dari Ranala."
"Itu pendapatmu, bukan pendapatku." Ravindra memalingkan wajahnya, kedua matanya terbeliak saat menyadari ada aku dan Aruna yang sedang berdiri tidak jauh dari mereka.
"Ran ...." Ia memanggilku dengan keterkejutan yang tak juga luntur.
"Well ... well, Ja ... jangan pernah menghakimi Ranala soal pantas dan nggak pantasnya dia sama Mas Ravin. Kamu nggak kenal siapa Ranala, dan nggak berhak menilai dia. Semua orang punya masa lalu yang buruk, nggak cuma Ranala, bahkan mungkin kamu sendiri." Aruna berbicara dengan menggebu-gebu. Eja sendiri tak mampu membalas, hanya diam menghindari tatapan Aruna.
"Mas Ravin, ayo pulang sekarang," kata Aruna lagi, lalu menyeretku untuk segera pergi.
Aku menahan sesak di dada. Ternyata memang begitu anggapan orang tentang mantan pasien rumah sakit jiwa. Apa memang, kami yang sedang berjuang melawan sakit mental ini, tidak berhak mendapatkan pasangan yang sehat secara mental, dan tidak berhak bahagia? Apa mungkin tingkat kesempurnaan seseorang itu selalu tentang mereka yang punya fisik dan psikis yang baik dan sehat? Aku menghela napas, entahlah, hari ini mendadak pikiranku kembali semrawut.
tbc
Ini tulisan pertamaku setelah sekian lama. Mengalami depresi yang berkepanjangan membuat mood menulisku terjun bebas. Sumpah, punya sakit mental itu nggak enak. Nggak enak sama sekali. Terima kasih, untuk kalian yang masih mau menunggu tulisan ini, semoga suka ya, semoga nggak aneh.
IG: Aristavee, aristavstories
Twitter: Aristavee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top