Aku dan Sebuah Langkah Baru
Hidup memang tentang melangkah dan berubah, bukan berdiam diri dan hilang arah.
Akhirnya, aku mengajak Ravindra untuk sarapan bersama. Untungnya tadi yang kumasak cukup untuk dua orang, rencananya memang akan kumakan lagi kalau-kalau lapar di sore hari, tapi karena ada Ravindra dan dia juga belum sarapan, kuputuskan untuk mengajaknya sarapan.
"Dulu kamu memang sengaja milih jurusan psikologi apa gimana, Ran?" satu pertanyaan dari Ravindra mengusikku.
Aku menelan sisa kunyahan di dalam mulutku sebelum menjawab pertanyaannya. Jarang sekali aku bercerita tentang diriku pada orang lain, mungkin ... aku harus memulainya lagi, setelah sempat ingin menjauh dari Ravindra, setelah sempat memasukkan Ravindra ke dalam daftar orang-orang yang harus kuhindari.
"Nggak, dulu aku lolos seleksi SNMPTN di UI, jurusan HI, memang penginnya kerja di luar sih. Cita-cita dari kecil, tapi karena kejadian itu ya, akhirnya kulepas. Keadaan nggak memungkinkan."
Aku mengingat kenyataan itu dengan pahit, mimpiku menjadi mahasiswa salah satu universitas favorit di Indonesia, seketika harus terkubur bersama kejadian yang seumur hidup akan menghantuiku itu.
"Setelah menerima banyak masukan dari Dokter Windra, akhirnya kuputuskan buat kuliah di Psikologi. Selain berobat jalan, juga nantinya aku bisa bantu orang lain."
"Kenapa nggak psikiater aja?"
Aku menggeleng, "Terlalu panjang prosesnya, harus jadi dokter umum dulu baru ambil spesialisasi kejiwaan kan?" kuberikan sebuah pertanyaan retorik pada Ravindra, ia pun mengangguk dengan wajah kesal.
"Ya ... sepanjang itu, perjalananku masih panjang," katanya lalu tertawa tipis.
"Nggak papa, Vin. Nikmati aja, tahu-tahu nggak kerasa."
"Ya, juga."
***
Aku masih sering melamun, lebih tepatnya mengosongkan pikiran dan duduk seorang diri di balkon apartemen. Hidupku memang membosankan, aku mengakuinya. Tapi, belakangan ini aku menemukan hobi baru, mendadak aku jadi orang yang hobi menggambar. Aku menggambar apa saja. Mulai dari komik hingga abstrak, apa pun yang melintas di kepalaku. Selama aku bisa menuangkannya ke atas kertas, aku pasti melakukannya. Hubunganku dengan Ravindra baik-baik saja, bahkan kami semakin dekat. Beberapa kali ia mengajakku nongkrong dengan teman-teman kuliahnya. Awalnya, semua terasa asing, terkadang aku juga ketakutan, tapi dukungan Ravindra membuatku pelan-pelan bisa membaur dengan mereka.
"Mau sampai kapan kamu menuruti ketakutanmu, Ran? Kamu harus bisa keluar dari cangkangmu sekarang, Ran. Mulai hidupmu dari awal, jangan berkubang dengan masa lalu yang menyakitkan. Jangan sampai masa lalu itu jadi hantu gentayangan yang menghambat semua langkah hidup kamu. Kamu, berhak menikmati kebahagiaanmu, Ranala."
Apa yang Ravindra ucapkan memang benar, walau kenyataannya aku nggak akan pernah bisa sembuh, tapi setidaknya fase relapse itu bisa kutekan. Aku masih bisa bahagia, seperti yang dikatakan mereka yang peduli padaku. Kematian Mama dan Papa bukan akhir dari duniaku. Karena nyatanya, sekaras apa pun aku berusaha dan meminta Tuhan untuk sebuah kematian, jika belum saatnya, aku akan tetap hidup.
"Rana."
Aku menoleh pada sumber suara, dia—Ravindra, seseorang yang baru saja melintas di kepalaku. Laki-laki itu sedang menjemur handuk, mungkin baru selesai mandi. Wajahnya kelihatan lelah, Ravindra sepertinya baru pulang dari kampus. Maklum, mahasiswa tingkat akhir sepertinya sudah pasti sibuk berkutat dengan skripsi, belum lagi rencana koas dan yang lainnya.
"Kenapa, Vin?"
"Mau nonton?"
"Nonton apa?"
"Film, ada film bagus, baru rilis."
Ravindra pernah mengajakku nonton film sebelum ini, waktu itu dia mengenalkanku pada Talitha dan Redian—temannya.
"Jam berapa?"
"Jam tujuh. Mau?"
Berpikir sejenak, akhirnya aku mengangguk. Kebetulan, tugas kuliahku sudah selesai, aku juga tidak ada janji dengan Aruna, dia sedang pulang ke Malang, katanya rindu pada ibunya.
"Oke, aku masuk dulu kalau begitu," katanya, laki-laki itu lalu masuk ke dalam apartemennya, sementara aku masih berdiam diri di atas balkon, dengan secangkir lemon tea tanpa gula.
Ponselku bergetar, aku melihat nama Aruna ada di layar. Tidak biasanya dia menghubungiku saat sedang pulang. Mendadak, aku jadi khawatir pada Aruna, lalu buru-buru aku mengangkat panggilannya.
"Ran ...."
Aruna tidak sedang baik-baik saja, ada getaran dalam suaranya ringkih. "Kamu kenapa, Run?"
"I wanna hug you tight."
"Kamu baik-baik saja?" pertanyaan retorik lagi, padahal aku sudah tahu jawabannya, dia sedang tidak baik-baik saja, dari getaran suaranya, aku tahu Aruna sedang ada masalah.
"Maaf, Ran."
"Kenapa meminta maaf?"
Dahiku berkerut-kerut, aku tidak tahu mengapa Aruna tiba-tiba meminta maaf. Dia tidak punya salah padaku, yang ada malah, aku yang sering merepotkannya.
"Maaf. Aku sedang kacau."
"Cerita sama aku, Run, kalau kamu mau ...."
Aku selalu ingat perkataan Dokter Ravindra ketika melakukan sesi konseling padaku, beliau selalu memberiku pilihan untuk mau menceritakan masalahku atau tidak. Tapi, aku selalu berakhir dengan menceritakan semua isi kepalaku.
"Aku belum siap, nanti ya, Ran."
"Nggak papa, yang terpenting sekarang, kamu tenangin diri dulu. Relaksasi jangan lupa, Run."
"Iya, makasih udah diingetin. Kita tetap temen kan, Ran?"
Ia melempar pertanyaan yang membuatku heran. Dia bahkan satu-satunya teman perempuan yang akrab denganku, lantas ... mengapa kami harus bermusuhan, atau mengakhiri pertamanan? Aku tidak memiliki alasan untuk melakukannya, terlebih lagi, Aruna itu orang baik.
"Iya, kamu jangan mikir aneh-aneh."
"Besok aku balik ke Surabaya."
"Hati-hati ya."
Aku mendengar Aruna terisak, tidak tahu apa yang membuatnya menangis. Sepertinya, masalah yang dialami Aruna kali ini sangat berat. Aruna itu jarang menangis, tidak sepertiku yang setiap kali relapse selalu menangis. Dia itu perempuan yang kuat, mungkin lebih kuat dariku.
"Hati-hati ya, Ran. Jaga diri," pungkasnya sebelum ia menutup telepon tanpa memberiku kesempatan untuk mengucapkan hal yang serupa.
***
Aku tidak menikmati film bergenre sci-fantasy yang saat ini sedang kutonton bersama Ravindra. Pikiranku terus memikirkan soal Aruna. Ada apa dengannya? Mengapa dia menangis? Bagaimana keadaannya? Aku sangat khawatir, mungkin malam ini aku juga tidak akan bisa tidur tanpa bantuan obat dari Dokter Windra. Ravin sendiri sibuk menonton film sambil memakan popcorn yang dia beli tadi, sesekali wajahnya tegang atau dahinya yang berkerut, tampak serius.
"Kayaknya kamu ada pikiran, kenapa?" dia bertanya, seolah bisa membaca pikiranku. Ah, aku lupa ... aku seperti sebuah buku yang terbuka, mudah dibaca.
"Kepikiran Aruna, kelihatannya dia lagi ada masalah."
"Dia nggak ada cerita?"
Aku menggeleng, "Mungkin belum siap."
"Nggak usah dipikirin, Aruna pasti baik-baik aja. Pikirin diri kamu sendiri, hidup kamu nggak melulu soal memikirkan orang lain. Lagipula, dia sudah dewasa. Jangan berlebihan untuk peduli pada orang lain."
Aku mengangguk saja, biar mudah. Padahal, dalam kepalaku penuh dengan pertanyaan tentang Aruna. Semoga Aruna baik-baik saja. Aku benar-benar khawatir dengannya. Aku memang tidak bisa berhenti memikirkan masalah orang lain, jika itu membuatku penasaran. Mungkin aku terlalu peduli pada orang lain seperti yang dikatakan oleh Ravindra. Tapi, memang sangat sulit untuk menjadi orang yang cuek.
"Udah makan?"
Ravindra kembali bertanya padaku, film yang diputar sudah selesai rupanya. Tak ada satupun plot yang menempel di otakku. Sepanjang dua jam, aku hanya memikirkan Aruna.
"Belum."
"Ayo makan!"
"Aku yang traktir ya? Tadi kan udah ditraktir."
"Yakin? Makanku banyak loh." Ravindra sedikit bergurau.
"Nggak papa."
"Terserah deh, ayo!"
Ravindra mempersilakanku untuk keluar lebih dulu. Kami menuju sebuah kedai masakan cepat saji, aku sedang ingin makan ayam krispi dengan saus pedas, beserta minuman berwarna merah muda kesukaanku, hanya dijual di kedai ini. Tidak ada yang lain. Aku melakukan satu langkah besar, aku menerima Ravindra masuk ke dalam hidupku, aku membiarkannya mendekat dan berteman baik denganku. Hidup memang tentang melangkah dan berubah, bukan berdiam diri dan hilang arah.
tbc
Part ini singkat, karena mulai masuk konflik. Terima kasih untuk yang masih menunggu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top