Aku dan Aruna si Pemberani
Rasanya memang melelahkan, saat mengingat hal – hal menyakitkan di masa lalu, sempat ingin menyerah karena sudah terlalu lelah. Tapi, Tuhan maha baik dengan segala rencananya, selalu ada yang menguatkan, selalu ada yang memberi dorongan, dan selalu ada sebuah harapan.
"Kalau ada apa – apa langsung kabari Tante sama Om ya, Sayang?"
Tante Resti menatapku dengan khawatir. Hari ini aku resmi pindah. Siap memulai hidupku yang baru, tanpa keluarga, hanya ada diriku sendiri yang akan menghuni apartemen ini.
"Iya, aku pasti kabarin kok, Tan. Enggak usah khawatir. Aku pasti baik – baik aja."
Tante Resti memelukku lagi, seperti tak rela aku keluar dari rumahnya. Aku mengerti, mungkin tante khawatir padaku, takut terjadi apa – apa. Bagaimanapun aku hanyalah seorang perempuan yang baru menginjak masa dewasa, perempuan lemah yang mencoba bangkit dari kenyataan yang pernah ia hadapi.
"Tante akan sering berkunjung."
"Iya, Tante."
"Ya, sudah. Tante sama Om pergi dulu. Kamu baik – baik ya?"
Aku mengangguk, lalu mengantarkan tante dan om ke depan pintu apartemenku. Mereka memberikan senyum hangat sebelum akhirnya pergi. Orang – orang baik, aku bersyukur sekali lagi, Tuhan masih menyisakan orang baik di dalam hidupku. Dua malaikatku.
"Kamu tinggal di sini sekarang?"
Suara Ravindra membuatku sedikit terkejut, laki – laki itu tiba – tiba berdiri di depanku yang masih terpaku di depan pintu apartemen. Ia mengenakan kemeja berwarna biru muda dengan celana kain berwarna hitam. Tangan kanannya membawa sebuah jas putih, mungkin jas lab miliknya.
"Eh, iya. Baru pindahan. Kamu baru pulang?"
"Baru selesai praktek."
Ravindra lalu melihat jam di pergelangan tangannya, ini masih sore, sekitar pukul empat. Laki – laki itu lalu kembali melihatku, seperti memikirkan sesuatu.
"Mau temani aku makan?"
"Makan?"
"Iya, aku belum makan dari pagi. Di restoran bawah?"
Aku sedikit menimbang ajakannya, tidak enak juga untuk menolak. Ravindra juga sepertinya orang baik, lebih penting dia adik Dokter Windra dan seorang calon dokter, beberapa kali kami juga pernah mengobrol dan cukup nyambung. Kecil kemungkinan akan berbuat buruk. Dokter Windra bilang, aku harus berani, berani untuk memulai dan mematahkan ketakutan serta keraguan. Toh, ini hanya ajakan makan. Kurasa tidak masalah.
"Aku ambil dompet dulu deh."
"Enggak usah. Aku traktir, anggap saja salam perkenalan tetangga baru."
"Nanti merepotkan."
"Enggaklah, ya kecuali kamu memborong semua makanan di restoran."
Ia tergelak, mau tak mau aku ikut tertawa. "Emh, yaudah."
***
Kami makan di sebuah restoran Jepang di dalam mal. Ravindra bilang, ia menyukai makanan Jepang. Kami memesan shabu – shabu dan ocha. Sebenarnya, Ravindra yang memesan, aku hanya ikut saja. Tadinya, Ravindra ingin memesan sashimi, namun tidak jadi karena ia melihat ada menu shabu – shabu di restoran ini.
"Jadi, selama ini kamu tinggal bersama keluarga Om kamu?"
"Iya, sejak orang tuaku enggak ada."
Ravindra tampak terdiam sesaat, dia mungkin tahu sebagian kisahku, kami bercerita beberapa hal sejak tadi.
"Sori ya, aku banyak bertanya," katanya sambil tersenyum tidak enak. Aku membalas dengan senyum singkat sambil membalik daging yang sedang kupanggang.
"Enggak papa, aku juga sudah baik – baik aja."
"Kamu kuat Ranala. Mungkin perempuan paling kuat yang pernah kutemui selama ini."
Aku meletakkan daging yang kupanggang ke atas piringnya, sembari membalik daging lain yang masih ada di atas alat pemanggang. Ravindra menggumamkan terima kasih.
"Aku tidak sekuat itu. Aku pernah ingin mati."
"Itu wajar, apalagi masalahmu memang cukup berat. Kamu bertahan sampai sejauh ini aja udah hebat banget, Ran."
Aku tersenyum menanggapi ucapannya. Terkadang, perasaan ingin mati itu masih datang disaat-saat tertentu, tapi intensitasnya semakin lama semakin jarang.
"Itu karena orang – orang hebat seperti Om Redi dan Tante Resti. Aku beruntung punya mereka."
"Tuhan enggak akan mengambil semua orang baik dalam hidupmu, Ran. Disaat yang paling kamu sayangi pergi, pasti digantikan sama orang baru. Siklus kehidupan, udah pasti begitu."
Aku memakan daging yang sudah agak mendingin, mengunyahnya pelan. Makanan ini juga membuatku ingat dengan papa, dulu saat tidak terlalu sibuk, papa sering mengajakku makan di restoran Jepang seperti ini, dan hampir selalu memesan menu ini, karena papa tidak begitu suka dengan daging mentah.
"Ya, tapi terkadang, semuanya terasa hampa. Perasaan rindu dan ingin menyusul kedua orang tuaku, beberapa kali masih muncul."
Ravindra meletakkan sumpitnya, ia menatapku sambil tersenyum. "Kamu masih dalam tahap sembuh, suatu hari, ingatan itu akan membuatmu kuat. Kamu pasti bisa melalui ini semua."
"Thanks, I hope so."
"Aku juga pernah putus asa."
Aku menaikkan kedua alisku, melihat Ravindra yang tampak sedang memikirkan sesuatu. Ravindra tipe laki – laki yang memiliki wajah tenang, seperti air danau yang tak bergerak di permukaan, tapi siapa yang tahu isi hatinya? Air danau tampak diam di permukaan, dan terkadang di dalam arusnya bisa saja kencang.
"Kenapa?"
"Dulu pernah punya cita – cita sebagai atlet. Sudah akan masuk pelatnas juga. Atlet badminton, tapi karena cidera parah di pergelangan kaki dan dokter bilang enggak bisa dibuat banyak gerak, akhirnya mimpi itu lepas, perjuangan bertahun – tahun sia – sia. Sempet down, harapan dalam sekejap mata berantakan, kalau dipaksa bisa – bisa malah enggak bisa jalan."
"Pasti enggak mudah, tapi kamu berhasil melewatinya, Vin."
"Ya, karena ada yang menyemangati. Dan, hal itu justru yang membuatku semangat buat jadi dokter jiwa. Sakit jiwa itu obatnya susah, kalau sakit fisik bisa dilihat dan diukur secara nyata, sakit jiwa? Lukanya siapa yang bisa mengukur, kalau bukan orangnya sendiri?"
"Iya, kamu benar."
Ravindra tertawa kecil, "udah makan lagi, biar badanmu gemukan. Kamu pasti sering lupa makan."
"Cenayang ya?" aku membalas, Ravindra menggelengkan-gelengkan kepalanya.
"Ngaco haha, sekolah susah – susah dibilang cenayang."
"Kali aja ada bakat cenayang."
"Wah, enggak bener kamu, Ran haha..."
"Udah makan! Nanti keselek," kataku, ia lalu berhenti tertawa dan melanjutkan makan. Berbicara dengan Ravindra, ternyata tidak seburuk itu, aku tidak lagi merasakan takut. Ternyata, memang benar. Rasa takut harus dilawan, pelan – pelan, jangan langsung serentak.
***
Aku sedang makan di kafetaria dengan Aruna. Kafetaria kampus ini sedang ramai, letaknya di antara fakultas hukum dan FIB, apalagi ini jam makan siang. Banyak mahasiswa yang berjubel memenuhi meja makan yang tersedia, untuk sekadar ngobrol dengan segelas minuman dan camilan atau memang sedang makan siang. Pandanganku jatuh pada sosok perempuan yang kukenal, Disty—sepupuku. Oh, aku belum bercerita ya? Disty memang satu kampus denganku, hanya saja kami berbeda fakultas. Dia kuliah di jurusan hukum, lebih dulu dariku, yang berarti seniorku juga.
"Ngeliatin apa?"
Aruna membuatku kaget, aku lalu memutuskan pandangan, dan melihat ke arah perempuan itu.
"Oh. Enggak kok, itu lagi liatin sepupuku."
"Siapa?" ia tampak penasaran, matanya lalu menoleh ke belakang, mencari sesuatu. Mencari Disty mungkin.
"Di belakangmu, baju merah marun. Namanya Disty."
Aruna membulatkan kedua matanya, "loh, itu? Dia selebgram bukan sih?"
Aku mengangkat kedua bahu. Mengenai itu, aku tidak tahu. Aku sangat jarang membuka media sosial, tidak sesering dulu, apalagi media sosial itu terkadang jadi toksik. Dulu, setelah kejadian itu, banyak yang tiba – tiba mengikuti akun media sosialku dan DM-ku dipenuhi oleh ucapan bela sungkawa, untungnya semua itu baru kubuka setelah pulang dari rumah sakit jiwa, dan kuputuskan untuk menonaktifkan media sosialku, aku ingin membuka lembaran baru, tanpa dikenang sebagai orang yang menyedihkan, aku tidak ingin dikasihani. Lagipula aku memang tidak berteman dengan Disty di media sosial, bahkan whatsapp sekalipun. Ia mungkin memblokirku.
"Oh iya, kamu jarang buka IG." Aruna tertawa kecil.
"Itu tahu hehe, males buka IG, cuma ya, kadang – kadang aja buka."
"Emang banyak yang toksik, media sosial jadi tempat orang pamer sih, aku juga kadang gitu tapi haha..."
"Dasar."
Kami kembali diam sambil menikmati menu makan siang. Tadi, aku memesan mie pangsit dan Aruna memesan batagor. Ternyata enak juga, besok aku akan membelinya lagi.
"Terus Dis, sepupumu yang gila itu udah keluar dong dari rumah?"
"Iyalah. Untung aja tu anak sadar diri. Lega rasanya, ngerepotin ortuku banget tu anak. Heran aja, Mama sama Papa mau nampung dia."
"Karena kamu lagi seneng, boleh kali ditraktir."
"Beres, ambil sepuas kalian deh. Aku yang bayarin, berasa merdeka aja si anak gila itu keluar dari rumah. Lihat mukanya udah males banget."
Mereka tertawa, iya benar. Itu suara Disty dan teman – temannya, karena jarak tempat mereka duduk tidak begitu jauh dan kantin tidak seramai tadi, aku jadi mendengar semuanya. Ternyata memang, Disty benar – benar tidak menyukaiku, sampai harus membicarakanku dengan teman – temannya.
"Eh, kurang ajar. Dia lagi ngomongin kamu, Ran."
Aruna berhenti mengunyah, ia berbisik dengan wajahnya yang menahan emosi. Aku hanya tersenyum seadanya.
"Enggak papa, udah biasa."
"Enggak bisa gitu dong, musti banget dilakban mulutnya. Dasar nenek lampir."
"Enggak papa, aku enggak papa."
"Kamu enggak baik – baik aja. Itu kamu nangis, kamu tenang ya, ada aku kok."
Aruna berdiri, perempuan itu menyerahkan selembar tisu padaku, setelahnya, Aruna memundurkan kursinya, dan melangkah ke arah Disty, aku baru akan mengikutinya tapi Aruna sudah menyembur Disty dengan kalimat pedas.
"Eh, punya mulut dijaga dong. Gosipin orang kok di depan orangnya langsung. Punya mulut tuh dijaga ya, enggak ada yang mau bernasib kayak Ranala, saudara bukannya mendukung malah menjatuhkan, dih apaan? Inget ya, Dis, Tuhan enggak tidur. Kamu boleh tertawa di atas penderitaan Rana, tapi ingat, setiap tindakan ada balasannya. Memang ya, banyak yang namanya saudara tapi enggak punya sikap sebagai saudara, lebih sering menjatuhkan, ya kayak kamu ini."
"Kamu siapa sih? Dateng – dateng marah. Gila ya?" bentak Disty tidak terima, Aruna tersenyum miring, aku hanya berdiri kaku di belakangnya.
"Oh, temen si gila?" katanya kemudian, kami menjadi sorotan dan jelas ini tidak akan menjadi hal baik. Apalagi kalau sampai Tante Resti tahu—bagaimanapun Tante Resti mengajar sebagai dosen di sini, dan berita ini bisa jadi akan sampai ke telinganya.
"Udah ayo pergi," kataku pada Aruna, tak ingin memperpanjang masalah.
"Well, Rana doesn't deserve this. Inget, hukum tabur tuai berlaku. Ayo Rana!"
Aruna menarik tanganku, kami meninggalkan Disty, teman – temannya dan beberapa orang yang menatap penasaran. Aku baru tahu sisi pemberani seorang Aruna, dia perempuan kuat yang tidak akan mudah ditindas, dan Tuhan menghadirkannya untukku. Aruna, terima kasih sudah menjadi harapan baru untukku, bahwa di dunia ini, masih ada persahabatan yang tulus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top