Aku Beserta Harapanku Sendiri

Mereka mungkin hanya tahu nama dan kisahku, lalu menganggapku beban dan menyusahkan. Mereka hanya tidak tahu, seberat apa aku berjuang untuk tetap hidup, diantara tingginya keinginan untuk menyerah dan mati.

Ada banyak hal yang menjadi beban dalam hidupku. Kenyataan bahwa aku belum benar-benar ikhlas menerima kematian kedua orang tuaku adalah salah satu hal yang selalu membuatku tak mau beranjak dari kesedihan tanpa tepi. Tidak mudah, mengikhlaskan orang yang kita sayangi pergi untuk sementara, pun denganku. Aku hanya perempuan lemah yang bahkan harus kalah dari kewarasanku sendiri.

Satu bulan menjadi mahasiswa baru, aku masih sama, masih tetap menjadi sosok pendiam yang tak memiliki banyak teman di sampingku. Mungkin, hanya Aruna yang lumayan dekat, teman lainnya hanya formalitas saja, tidak lebih. Satu tahun lebih ini, aku memang cukup menutup diri dari pertemanan, termasuk membatasi komunikasi dengan teman-teman SMA, aku hanya tidak ingin mereka selalu mengungkit dan penasaran terhadap kejadian yang menimpaku. Percayalah, mengingatnya itu tidak mudah, mengingat kejadian itu adalah bentuk lain dari sakit yang tidak mampu kudeskripsikan.

"Ranala, ke perpus yuk?"

Aku memandang ke arah Aruna, perempuan dengan pancaran mata berbinar itu tampak menunggu jawabanku, buku bindernya bahkan telah rapi masuk ke dalam totebag yang ia gunakan. Milikku sendiri? Masih utuh di atas meja yang menyambung dengan kursi yang tengah kududuki ini.

"Buat?"

"Kan kita ada kerja kelompok, tugasnya Pak Narya. Yuk ah, mending dikerjain cepet daripada ngepas deadline."

Aruna itu orangnya ambisius, semua tugasnya harus rapi, segera dan sempurna, katanya, biar tidak ada beban di kemudian hari. Semangatnya juga selalu menggebu-gebu, ini yang membuatku betah bersamanya, dia selalu ceria, hidupnya seperti tak ada beban.

"Ayuk ah, jangan ngelamun, ntar abis ini beli mie ayam Pak Sani, pengin nih."

"Hmm...ayo deh."

Aku memberesi binderku, kelas sudah bubar lima menit yang lalu, mahasiswa di kelasku juga sudah membubarkan diri, tersisa beberapa saja yang masih asik ngobrol, entah membicarakan tugas atau yang lainnya—aku tidak paham. Oh ya, di kelasku ada sekitar tiga puluh lima mahasiswa, ini kelas tetap, karena KRS kami dipaketkan, jadi penghuni kelasnya tetap sampai akhir perkuliahan nanti.

Perpustakaan fakultas selalu menjadi tempat yang tenang dan menyenangkan. Di sini, suasananya sunyi, sekali berisik sudah pasti di keluarkan oleh petugas perpustakaan. Mungkin ini akan menjadi tempat favoritku di kemudian hari. Aruna sedang mencari beberapa buku untuk dijadikan literatur, sebenarnya, tugas kami tidak terlalu sulit, hanya membuat satu makalah tentang sejarah dan aliran psikologi, kebetulan aku dan Aruna kebagian materi tentang fungsionalisme.

"Ran, ketemu nih sejarahnya fungsionalisme."

Aku meraih buku yang disodorkan oleh Aruna, membaca secara cepat apa yang tertulis di dalam buku itu. Aruna sendiri mulai membuka laptop yang ia bawa, aku kebagian untuk merangkum isi di dalam buku ini.

"Fungsionalisme, mempelajari fungsi dan kegunaan jiwa, tokohnya William James, iya kan, Ran?" tanyanya, ia tentu saja berbisik, kami tidak akan menimbulkan kegaduhan di sini.

"Iya, aku rangkum dulu. Kamu buat halaman judul dan lainnya aja."

"Sip, materi lain biar anak lain aja yang kerjain, jangan kita semua."

Aku mengangguk saja, mengiyakan apa yang dikatakan oleh Aruna. Sedikit informasi, Aruna itu selain perfectionis juga sangat cerewet—seperti kebanyakan perempuan lainnya, dan itu wajar.

Tulisan di buku ini kecil-kecil, seperti kebanyakan ukuran huruf di buku-buku teori lainnya. Aku sedang sibuk dengan duniaku sendiri sampai si cerewet Aruna menepuk pelan tanganku.

Aruna menunjuk ke arah ponselnya, ia mengetikkan sesuatu di sana, membuatku heran dengan Aruna yang tiba-tiba tampak antusias.

'Di sampingmu ada Mas Ravindra, anak kedokteran dia. Ganteng tau. Ga kuat akutuh.'

Aku melirik ke arah yang dimaksud oleh Aruna, Ravindra—namanya, ingatanku jelas masih sangat tajam, laki-laki ini sosok sama yang kutemui tempo hari di rumah sakit dan saat perkenalan mahasiswa baru di kampus. Laki-laki berkumis tipis, berwajah tenang yang kata Aruna tampan.

'Anak kedokteran? Kok nyasar ke sini?'

Aku menyodorkan ponsel milik Aruna setelah selesai menulis kalimat balasan untuknya.

'Mungkin nyari literatur untuk tugas atau mungkin dia berencana ngambil spesialis kejiwaan, mau jadi psikiater setelah lulus nanti'

Aku hanya menatap ke arah Aruna sekilas, setelah membaca pesan yang ia tuliskan. Tidak ada yang ingin kutanyakan, aku juga tidak peduli tentang Ravindra atau siapa pun itu yang kata Aruna—tampan. Lagipula, anak kedokteran di kampus ini memang terkenal tampan dan rata-rata dari kalangan borjouis, yang satu ini, aku tidak heran, karena faktanya kuliah kedokteran memang mahal apalagi ini swasta, sebagian besar hanya orang-orang berdompet tebal saja yang mampu menempuhnya.

Selesai mencatat materi yang akan diketik oleh Aruna, aku mengambil selembar kertas dari binderku dan memberikannya pada Aruna, beserta buku yang tadi kubaca. Di kertas itu hanya berisi beberapa kalimat sebagai penanda sampai mana Aruna harus mengetik dan bagian mana saja yang tidak harus diketik.

Aruna sibuk dengan bagiannya, aku memilih untuk mencari buku yang mungkin akan berguna untuk diriku sendiri. Buku yang kucari tentu saja buku tentang post traumatic stress disorder, penyakit mental yang kuderita hingga saat ini, memang belum waktunya mengenal PTSD di saat masih semester awal begini, tapi...aku menjadi sangat penasaran tentang PTSD. Dokter Windra bilang, aku harus mulai belajar untuk menyayangi diriku sendiri, dan langkah utamanya, aku harus mengerti apa yang sedang kualami. Aku ingin sembuh, aku ingin pulih dari rasa sakit yang mendekapku erat selama satu tahun lebih ini. Semua itu tidak mudah, tapi, setidaknya aku harus mencoba, demi diriku sendiri, demi keluarga Om Redi yang sudi merawatku selama ini.

***

Tidak banyak kegiatan yang kulakukan di rumah, Tante Resti juga melarangku terlalu banyak membantu pekerjaan di rumah, sudah ada pembantu—katanya, dan aku hanya menurut saja. Memang, apa yang bisa kulakukan? Dulunya aku hanya anak manja yang tidak tahu urusan rumah tangga, sudah ada mama dan para pelayan di rumah. Papa dan mama memenuhi semua kebutuhanku dengan baik, karena selain seorang jaksa, papa juga memiliki beberapa usaha restoran bersama Om Redi. Di rumah ini, aku nyaris tidak mengbrol dengan siapa pun selain Tante Resti dan Om Redi, Disty dan Nandra—sepupuku lebih banyak berada di luar rumah, kalaupun mereka ada di dalam rumah, sepertinya juga tidak sudi mengobrol dengan mantan pasien rumah sakit jiwa sepertiku.

Aku masih ingat benar, mengapa aku sampai di rumah sakit jiwa setelah usaha ruqyah yang dilakukan oleh Om Redi gagal—tidak ada kemajuan yang berarti, tante dan om memutuskan untuk memasukanku ke rumah sakit jiwa agar aku lebih cepat mendapatkan penanganan dan karena mereka juga harus bekerja, tidak akan bisa kalau mengurusku sendiri. Semenjak papa meninggal, otomatis Om Redi harus mengurus bisnis mereka sendiri, sementara Tante Resti adalah seorang dosen di kampus tempatku kuliah, hanya saja beliau dosen di jurusan bologi.

Aku sedang berada di dapur mengambil air untuk mengisi tenggorokan, ada Mbok Sayem—pembantu di rumah ini, yang terlihat sibuk dengan gelas di depannya, sepertinya ada tamu.

"Tamunya siapa?"

Mbok Sayem melihatku sekilas, wanita paruh baya itu lalu melanjutkan membuat minum, sepertinya wanita ini juga agak risih semenjak kehadiranku di rumah. Pasien rumah sakit jiwa itu berarti gila—begitu kan stereotip yang ada di masyarakat, aku tidak heran.

"Ibu ada tamu," jawabnya, seperti tidak ikhlas saja.

"Oh, biar aku yang antar saja, Mbok."

"Eh, nggak usah Mbak, nanti saya dimarahi Ibu."

"Nggak akan. Nanti aku bilang sama Tante."

Menghela napas, Mbok Sayem sepertinya menyerah dan mengiyakanku untuk mengantar minuman ini. Setelah semuanya siap, Mbok Sayem menaruh minuman itu di atas nampan dan memberikannya padaku.

"Makasih," pungkasku sebelum pergi, Mbok Sayem sepertinya memang agak takut denganku.

Di nampan yang kubawa ini berisi dua cangkir teh dan kudapan, aku lantas segera membawanya menuju ruang tamu tempat biasa Tante Resti menerima tamunya.

"Kamu kenapa sih Mbak mau ngerawat anak gila itu? Jadi aib aja."

Aku berhenti sejenak, itu suara perempuan, aku tidak tahu pasti siapa pemiliknya, yang kuduga, mereka sedang membicarakanku. Memang, di rumah ini siapa lagi yang dianggap gila selain diriku?

"Dia nggak gila Mirna, dia keponakan suamiku dan otomatis keponakanku juga. Kamu jangan berkata seperti itu."

"Mbak, Mbak. Anak itu kan masih punya rumah, ya biar dia tinggal di rumahnya sendiri, ngerepotin kamu aja di sini."

"Mirna! Jaga mulutmu. Dia sudah tidak memiliki siapa pun kecuali aku dan Mas Redi, merawat satu anak lagi tidak akan merepotkan kami, lagipula Rana cukup penurut dan dia sudah sembuh sekarang."

"Terserah Mbak ajalah, bosen aku bilangin sama Mbak. Lagian, Mbak nggak sadar sudah menjadi gosip di keluarga besar kita karena merawat keponakan Mas Redi yang gila?"

Aku menarik napas, rasanya sesak sekali. Aku beban ya? Hidupku tidak ada gunanya ya? Aku membuat repot Om Redi dan Tante Resti ya?

Mengembuskan napasku, aku mencoba tetap melangkah menghampiri mereka dengan nampan yang masih di tanganku. Tante Mirna—adik Tante Resti tampak terkejut dan menatapku tidak suka, aku coba abaikan, tidak juga tersenyum kepadanya. Kuletakkan dua buah cangkir beserta kudapan itu di atas meja, aku tidak ingin menatap siapa pun, hatiku kembali tidak baik-baik saja.

"Silakan diminum," kataku setelahnya. "Oh, ya, Tan. Aku mau pergi sebentar, boleh ya? Mau ke toko buku nyari binder, binderku ilang tadi."

"Kenapa nggak besok aja?" kata Tante, wajahnya tampak memandangku tidak enak, mungkin tahu kalau tadi aku mendengar percakapan mereka.

"Besok masuk pagi, Tan. Aku butuh binder buat mencatat penjelasan dosen."

"Ya udah, sama supir ya?"

"Iya. Aku ke dalam dulu."

Aku menghela napas setelah meninggalkan tempat itu. Memang benar, binderku tadi hilang saat di kampus, terakhir kali sepertinya kutinggalkan di perpustakaan, tapi sewaktu aku kembali hendak mengambilnya lagi, binder itu sudah tidak ada, bertanya penjaga perpustakaan pun percuma rasanya. Padahal, di dalam sana selain ada catatan perkuliahan, juga ada foto keluargaku, beserta beberapa tulisan jika aku sedang sedih. Siapa pun yang menemukannya, kuharap segera dikembalikan, aku ingat pernah mencatat nomor whatsapp-ku di sana.

Heyo, sorry lam update ya. Semoga kalian masih membaca cerita ini.

IG: Aristavstories dan aristavee

Twitter: aristavee

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top