Lembar Keenam
Malam ini tidak sendu.
Tidak juga bahagia hingga menimbulkan tawa merdu.
Namun malam ini, jelas aku merindu.
Ingin rasanya tertawa lepas, mengingat hadirmu yang paten membekas.
Memang singkat torehan kisah yang kita buat.
Namun berhasil menjatuhkan standar laki-laki yang mendekat.
Pergimu sudah sangat kuikhlaskan.
Pun sudah kuanggap sebagai sebuah pembuka kedewasaan.
Tapi dengan hebatnya, karaktermu tak hilang seperti bayangan.
Menetap tanpa pernah meninggalkan.
Dan dengan hebatnya lagi, membuat seluruh kaum adam kalah telak tanpa alasan.
Oh, mungkin beralasan.
Yaitu kalah dengan kamu yang pergi tanpa alasan.
Oh, tidak tidak. Tenang saja, kepergianmu sudah tidak menimbulkan luka apapun. Bisa aku yakini itu. Cuma mungkin menyisakan ringisan kecil mengingat kamu merupakan tawa dan luka dalam satu masa.
Pada saat itu.
Iya, pada saat itu. Beberapa bulan lalu sebelum aku sembuh karena waktu.
Jangan merasa bersalah. Terlalu terlambat bila kamu merasakan itu sekarang saat aku melantangkan kalimat "Aku sudah sembuh walau tanpa waktu cepat."
Tapi yang penting, aku sembuh. Iya, kan?
Omong-omong, kamu hebat.
Pergimu meninggalkan tamparan telak bahwa Tuhan memang sangat pencemburu.
Saat kuyakin bahwa perasaan ini benar jatuh untukmu, Tuhan berhasil membalik takdir dengan menunjukkan jalur lain untukmu.
Iya, kamu berbelok secepat itu.
Hingga aku kalang kabut kehilangan kamu dan perasaanku tanpa persiapan terlebih dahulu.
Ah, sudah cukup menceritakan hancurku.
Sekarang aku ingin menyombongkan diri bahwa aku bisa mempertahankan perasaanku dengan cara yang dianjurkan Tuhanku.
Mendekatkan diri kepada Sang Pemilik Hati dengan memantaskan diri.
Siapa tau, bila aku bisa berusaha menjadi yang terbaik, kamu bisa berbalik.
Dengan membawa hatiku yang sempat kamu cabik.
Atau mungkin, sekiranya kamu tidak berbalik, aku bisa mendapat yang lebih baik.
Tuhan Maha Adil, bukan?
Hubungan hancur kita memang sudah berganti. Atau lebih tepatnya berevolusi.
Kita sudah kembali berteman, walau dengan titel teman dengan kenangan.
Ah, aku tidak masalah. Karena nyatanya, lukaku sudah sembuh berkat dijaga oleh-Nya dengan erat.
Yang kutanya saat ini, bagaimana lukamu?
Luka yang berhasil ditinggal dia—perempuan pilihanmu—dengan cuma-cuma saat waktu itu aku merangkak menyembuhkan luka.
Jahat gak sih, kalo aku mau tertawa?
Aku sudah sembuh dari luka yang kamu beri.
Sedangkan giliran kamu yang merangkak melawan sakit hati.
Ha. Dunia memang berputar.
Seperti yang tadi sudah kukatakan, Tuhan Maha Adil, bukan?
Kita berteman. Dan syukurlah masih saling mendoakan.
Berbalas perhatian dengan sekadar mengingatkan bahwa kita harus sama-sama bangkit dari kenangan.
Juga mendoakan bahwa siapa tahu kita berakhir di pelaminan.
EH, betul kan kemarin aku berkata seperti itu dan kau mengaminkan?
Aku memang tidak akan kembali menerobos luka lama.
Tapi bila kamu dan aku saat ini sedang sama-sama menyerahkan semua jalan kepada-Nya, aku bisa apa?
Iya, malam ini benar aku merindu.
Rindu dua ramadhan lalu saat pesan panjangmu memintaku mengakhiri hari.
Padahal jari sama sekali tidak ingin berhenti.
Rindu saat kamu mengumpat kesal dengan panitia masa orientasi, padahal kamu pula yang memintaku memarahi junior yang beraksi.
Ha. Sungguh aku merindukan masa itu.
Saat dengan sabar kamu menyemangati calon senior yang kesal dengan adik kelas.
Pada saat yang sama pula kamu benci senior yang panjang lebar memberi ceramah tak masuk akal.
Dik, mari sama-sama pantaskan diri.
Membenahi hati dan kembali pada masanya nanti.
Kembali lagi, bila aku ataupun kamu tidak berbalik karena bukan jalan terbaik, Tuhan pasti menyiapkan yang lebih baik.
Ramadhan kedua setelah kamu pergi,
Aku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top