Kata-kata yang Disekap


Meja dan kursi kafetaria saling diam. Mereka menahan kata-kata yang membuncah di balik pita-pita suara. Masing-masing ingin bicara tapi malu-malu, seperti senja yang tertutup mendung dan aku yang tertutup ragu. Padahal mereka tidak punya salah, pun aku yang bermasalah. Boleh jadi memang digariskan bahwa kami akan diam sampai petang menjelang.

"Mau pesan apa Mas?" Lain denganku, lain pramusaji-pramusaji berbusana kemerahan. Kata-kata mereka mengalir lembut menggemakan pita-pita suara, membuat iri meja dan kursi kafetaria. Mendengkikan aku dan kata-kataku.

"Kopi saja," aku bicara, kata-kataku terbebas sejenak, sebelum mereka kembali dikunci rapat di balik pita-pita suara. Agaknya aku terlalu jahat memperlakukan kata-kata yang tiada punya salah.

Meja dan kursi kafetaria saling diam. Mereka menahan kata-kata yang membuncah di balik pita-pita suara. Sedang senja berbusana mendung makin memuram. Mungkin di luar sana ia sudah menangis sesengukan. Tapi aku tidak tahu dan tidak pula ingin tahu, sebab kata-kataku dicekal dan tiada yang bisa kolontarkan untuk sekedar menghibur senja. Ah, aku merindukan Tuan dan Nyonya empati yang sudah jarang mampir ke sela-sela otak.

"Permisi Mas, silakan kopinya, Mas tidak ingin pesan makanan?" Pramusaji-pramusaji tersenyum ramah sumringah menentang suasana yang kian pekat. Aku menggeleng sambil memasang sunggingan dengan susah payah. Kata-kataku memberontak, tapi aku ini ditelan ragu, dan malu, dan pilu.

"Ah hujannya turun deras," Pramusaji-pramusaji spontan bicara.

"Sial, aku tidak bawa payung," keluhku.

Meja dan kursi kafetaria saling diam. Mereka menahan kata-kata yang membuncah di balik pita-pita suara. Senja yang oranye kehitaman telah hilang ditelan deru-deru air hujan, mereka dengan beringas mengambil tahta, entah sampai kapan. Mungkin sampai esok atau sampai Kata-kata di balik pita suaraku tumpah ruah.

"Saya ada payung tidak terpakai, boleh Mas pinjam," pramusaji-pramusaji berseragam kemerahan yang tidak beranjak baru saja melempar misil ke pita-pita suara. Aku tidak ingin kalah dari meja dan kursi yang tetap tabah.

"Terimakasih, kalau begitu saya pinjam, besok saya akan datang lagi."

"Besok saya tidak ada shift, tapi Mas bisa titipkan ke pramusaji-pramusaji lain, bilang saja untuk Senja." Ah, ia Senja yang tidak terhalang mendung, malu, dan ragu. Ia tidak menangis sesengukan seperti senja di luar kafetaria. Lantas senja mana yang lebih indah dipandang?

Meja dan kursi kafetaria saling diam. Mereka menahan kata-kata yang membuncah di balik pita-pita suara. Bau milik hujan menari bersama milik serbuk-serbuk kopi dalam cangkir. Aku tidak suka, mereka terlalu serasi membuat meja dan kursi iri dan aku makin dengki.

"Boleh saya tahu nama Mas?" Senja mencabik pita-pita suaraku yang makin tipis.

"Tentu, saya Pandu." Aku menunduk, kopiku mengebul perlahan-lahan mendingin sedang aku memanas.

Meja dan kursi kafetaria saling diam. Mereka menahan kata-kata yang membuncah di balik pita-pita suara. Aku masih ingin bicara dengan Senja di senja yang kelam bersama aroma yang memuakkan dan meja kursi yang tetap tabah. Tapi masaku telah habis, cepat-cepat kuteguk kopi yang tidak punya kuasa menguatkan lantas berpamitan.

"Bagaimana dengan Selasa? Kalau aku datang Selasa apa aku bisa bicara lagi dengan Senja?" Senja bersemu merah dan jemarinya yang panjang berkedut.

"Tentu."
__________








Tentang saya yang gemar mencari alasan untuk tidak bicara dan Senja yang meruntuhkan kegemaran saya.

Pandu
22 Mei 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top