Chapter 9

[Bab 8 bagian 1 sudah bisa kalian baca, ya. Bagian 2 menyusul karena aku dalam fase mengumpulkan semangat nulis! Kalo kalian kasih dukungan mungkin semakin nambah semangat :) love you.]

Tavi merasa tak nyaman ketika tak sengaja mendengarkan pembicaraan Arthur di telepon. Pria itu tadi keluar dari kamar dan dalam posisi membelakangi Tavi yang datang dari arah dapur. Dari apa yang Tavi tangkap, sepertinya ibu dari Arthur yang menghubungi. Tavi tidak pernah mengenal secara langsung ibu Arthur, karena pria itu tak pernah mengenalkannya. Fakta bahwa mereka pernah tinggal bersama tidak menjadi jaminan. Dari percakapan itu, sepertinya keduanya membicarakan Davni.

Jika ibu Arthur membahas Davni, itu artinya Arthur sudah mengenalkan keduanya, 'kan? Rasa tak nyaman muncul dari hati Tavi sendiri. Berulang kali menyadarkan diri bahwa dia tak boleh berharap lebih pada Arthur, tapi tetap saja merasa kecewa ketika mendapati fakta semacam ini. Ketika tangisan Mory terdengar, Tavi tak langsung bergegas masuk ke kamar. Dia membiarkan Arthur masuk lebih dulu dan Tavi sibuk bersembunyi di balik dinding.

Setelah merasa lebih siap, barulah Tavi memasuki kamar dan melihat Arthur yang sudah panik. Pria itu berdiri di sisi ranjang Mory tapi tidak menggendong bayi itu.

"Akhirnya kamu dateng, Vi. Mory nangis, aku nggak tahu kenapa—"

"Minggir."

Tavi tidak ingin berbasa basi dengan Arthur. Perempuan itu memaksa Arthur menyingkir dan menggendong bayinya.

"Kamu bisa pergi. Aku mau nyusuin Mory."

Tavi tidak ingin melihat wajah pria itu. Satu-satunya cara untuk bisa lebih tenang adalah mengusir pria itu untuk segera pergi.

"Oke, aku tunggu diluar—"

"Aku bilang kamu pergi, itu bukan tawaran buat kamu masih ada di rumahku. Kamu bisa pergi karena jam kunjungan kamu ketemu Mory udah habis!"

Tavi tahu bahwa tidak seharusnya dia bersikap sangat sinis seperti ini terhadap Arthur. Pria itu tidak tahu apa-apa hingga Tavi mengusirnya seperti ini, tapi sulit sekali bagi Tavi untuk menahan diri meluapkan rasa kesalnya pada Arthur.

Arthur terlihat masih mematung di tempat, menatap Tavi dengan bingung.

"Tunggu apa lagi?! Anakku udah nangis kenceng dan kamu masih berdiri di sini?!"

Kali ini nada bicara Tavi sudah begitu diluar kendali. Arthur tidak bisa bertahan di sana dan membuat Tavi semakin marah.

"Oke. Aku pulang, Vi. Makasih untuk hari ini."

Tavi membiarkan arthur untuk pergi. Ketika pria itu sudah tak ada di hadapannya, Tavi menyusui Mory dengan hati yang kembali tercabik. Kenapa harus selalu begini, sih?

Perempuan itu hanya bisa menyusui Mory dengan tangisan yang turun dari pipi. "Bantu mama biar nggak cengeng lagi, ya, Mory. Mama cuma punya kamu, Sayang."

***

Kegiatan Tavi kembali seperti normal hingga sore harinya. Ibu Nolan tidak menanyakan apa-apa mengenai pembicaraan Tavi dan Arthur. Wanita itu sangat pengertian pada Tavi dan dia mensyukuri hal seperti ini. Tidak ada sosok ibu kandung, Tavi masih memiliki kasih sayang dari ibu Nolan yang luar biasa.

Suara mesin mobil terdengar, Tavi dan ibu Nolan otomatis mengenali mobil siapa yang terparkir di sana. Nolan masuk setelah mengucapkan salam. Pria itu melepaskan sepatu dan mencuci tangan sebelum melihat Mory yang ditidurkan di kamar ibunya. Nolan yang tadinya tinggal sendiri di kos dekat kantor menjadi lebih sering pulang ke rumah ibunya semenjak ada Tavi yang satu lingkungan dengan ibu pria itu.

"Kue pesenannya makin banyak, tapi karyawan cuma tiga. Kayaknya Bunda sama Tavi harus tambah karyawan. Kalo bisa malah bikin dapur khusus."

Nolan duduk di lantai mengambil satu potong kue yang belum dikemas untuk masuk ke mulut pria itu.

"Ini udah bukan usaha rumahan menurutku. Udah bisnis kue beneran."

Tavi memang mengakui bahwa Nolan selalu mendukung langkahnya dan ibu pria itu sendiri. Semua yang disarankan Nolan memang sangat masuk akal.

"Butuh modal banyak untuk bikin dapur sendiri, Lan. Bayar lebih banyak karyawan juga bakalan masuk ke pembiayaan yang nggak sedikit."

"Itu, kan, salah satu cara untuk mengembangkan bisnis, Vi. Lagian lo udah harus banyak ngurusin Mory. Bunda juga makin tua. Kalian udah seharusnya lebih banyak mantau ketimbang terjun ke dapur sendiri."

"Bunda belum bisa percaya sama kerjaan orang lain, Mas." Ibu pria itu memberikan kalimat penolakan lainnya.

"Bun, jangan begitulah. Kalo nggak diajarin, kapan bisanya? Masa sampe tua mau kerja sendiri?"

Orang tua memang terkadang lebih banyak pikiran. Tavi sendiri terkadang merasa lebih simple memikirkan banyak hal ketimbang ibu Nolan. Semakin tua, tampaknya semakin banyak pula hal yang dikelola dalam pikiran. Posisi Tavi sekarang memang lebih banyak masalah, jadi rasanya wajar ketika memiliki beban pikiran. Namun, ibu Nolan selalu ada saja yang dipikirkan dan cenderung tak bisa tidur nyenyak karena isi pikirannya sendiri.

Masalah usaha pesanan kue mereka sendiri memang sudah begitu pesat. Semenjak ada karyawan yang membantu memposting kue buatan mereka ke media sosial, pesanan semakin membludak. Untuk itulah pesanan dibatasi setiap harinya. Ibu Nolan memang suka kelewat semangat mengurus pesanan, hingga tidak sadar jika belum istirahat. Tavi adalah pihak yang lebih banyak istirahat karena menyesuaikan jam mengurus Mory. Bisa dibilang, ibu Nolan dan dua karyawan lain yang lebih banyak mengurus pesanan ketimbang Tavi sendiri.

"Tapi nanti aku akan coba cari karyawan baru, Bun. Lagian Erlita udah makin pinter bikin kue-nya. Nanti bunda bisa lebih sering ngawasin aja. Aku sadar banget, sih, Bun kalo kerjaan aku makin terganggu sama Mory yang harus aku perhatiin lebih sering."

"Nah! Itu Tavi udah paham. Aku bantuin nanti cari orang baru sama lahan buat bikin dapur khusus. Kalo ada lahan kosong deket sini kita bisa manfaatin, Bun."

"Ya, ya, ya. Terserah kalian aja. Atur udah!"

Nolan tersenyum dengan bangga, dan Tavi melakukan hal yang sama.

"Kamu bantuin Tavi, ya, Lan. Bunda mau anter kue buat tetangga dulu."

"Okeh!"

Kini mereka hanya berdua karena karyawan yang lain sudah pulang. Kebetulan ini sudah jam setengah sembilan malam, karyawan pulang pukul tujuh dan datang jam enam pagi. Membuka usaha seperti ini memang dua kali lebih melelahkan ketimbang bekerja di kantor, menurut Tavi. Namun, memang lebih terasa bebas secara beban pikiran. Uang juga diatur sendiri dan pengeluaran lebih bisa dikontrol. Jika biasanya Tavi akan mengeluarkan uang lebih untuk pakaian, sepatu, dan tas agar terlihat menata diri sesuai jabatan di kantor, maka sekarang tidak lagi. Intinya, semuanya menjadi lebih bebas.

"Gue denger tadi pak Arthur dateng. Itu bener, Vi?"

Tavi langsung menatap Nolan. "Kapan bunda cerita?"

"Pagi tadi. Dia langsung telepon gue karena ngerasa lo dalam bahaya. Ada laki-laki yang mau ketemu sama lo, tapi lo nggak mau awalnya. Bunda makin bingung karena tiba-tiba lo keluar lagi dan bilang mau ngomong berdua sama laki-laki itu."

Tavi mengangkat kedua bahunya dengan pasrah. "Ada drama tadi pagi. Arthur dateng ke makam Rory. Singkat cerita, dia emang maksa mau jelasin. Dia ikutin gue sampe rumah, dan bunda liat. Semoga aja nggak ada tetangga yang liat drama bunda ngusir Arthur tadi pagi."

Ada hening sesaat yang mengisi suasana. Tavi tidak tahu apa yang dipikirkan Nolan hingga pria itu bertanya, "Lo sendiri gimana?"

"Hm? Gimana apa maksudnya?"

"Perasaan lo gimana setelah ketemu sama pak Arthur?"

Tavi tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Ingin sekali Tavi berbohong, tapi Nolan pasti akan tetap tahu.

"Lo pasti paham, Lan."

"Jadi, langsung balikan?"

"Ya, nggaklah! Balikan apa? Rasanya ... gue masih sakit banget kalo liat muka dia. Tapi nggak munafik gue seneng dia cariin gue, Lan."

Tavi menoleh pada Nolan yang terdiam dan tidak membungkus kue ke dalam toples. "Lan?"

"Nggak bisa, ya, Vi?" celetuk pria itu.

"Hah? Nggak bisa apa, Lan? Lo ngomong apa?"

Pria itu langsung menggelengkan kepala dan mengubah topik pembicaraan. "Gimana soal Mory? Pak Arthur tahu?"

"Hm. Gue nggak mau sembunyiin Mory. Apa pun alasannya, faktanya Arthur emang ayah kandung Mory. Gue kasih dia kesempatan buat mengenal Mory."

Nolan menganggukkan kepalanya seoalh paham betul dengan apa yang Tavi putuskan.

"Dia sekarang makin sukses. Semenjak lo resign, dia jadi jarang kerjasama ke kantor, sih. Tapi sekarang udah beli saham. Kadang masih suka ke kanntor, tapi gue nggak terlibat sama dia."

"Terus kenapa? Gue nggak perlu tahu hal begitu, Lan. Biarin aja dia hidup dengan hidupnya sendiri."

"Nggak bisa gitulah, Vi. Dia bukan laki-laki lajang lagi. Dia punya tanggung jawab yang nggak bisa disepelekan. Lagi pula, dia harusnya juga nggak perlu memperganteng penampilan. Bikin laki-laki lain merasa tertindas aja! Dia udah kaya, makin bugar, makin ganteng pula. Gimana nggak semua perempuan jatuh cinta coba?"

Tavi tidak tahu kenapa dirinya bisa menangkap nada cemburu dari kalimat Nolan. Entah siapa perempuan yang membuat Nolan cemburu pada Arthur.

"Emangnya perempuan yang lo incar suka sama Arthur?" tanya Tavi.

"Hm! Bukan cuma suka, tapi cinta!"

"Wow! Siapa, sih? Kok, bisa belum kenal Arthur secara mendalam tapi udah cinta?"

"Lo nggak perlu tahu."

"Dih? Kok, gitu? Sekarang lo main rahasia-rahasiaan sama gue, Lan?"

"Iya! Mulut lo suka ember kalo sama bunda. Nanti lo cerita ke bunda dan malah bikin gue ditagih kapan nikah."

"Gue nggak gitu, ya! Itu, sih, lo aja yang udah paranoid karena belum nikah juga. Gue mah nggak bakalan ngomporin bunda biar nyuruh lo cepet-cepet nikah. Lagian kalo lo suka sama cewek, harusnya lo approach langsung—"

Tavi tidak bisa melanjutkan ucapannnya karena Nolan sengaja memasukkan kue ke dalam mulut perempuan itu. Mau tak mau Tavi mengunyahnya lebih dulu sebelum memprotes pada temannya itu. "Nolan!"

"Berisik, Vi. Nanti kalo Mory bangun ini kerjaan belum selesai juga, salah lo ya? Gue nggak mau kena damprat bunda."

"Resek!" ucap Tavi.

"Cerewet!" balas Nolan.

"Ish, Nolan!"

"Ihhh, Tavi!" balas Nolan bersikap seperti perempuan itu.

Bagi Tavi, dia tidak akan bisa menemukan teman sebaik dan segila Nolan. Sebisa mungkin Tavi tidak akan mengubah hubungan mereka, sebab bagi Tavi pria itu adalah keluarga. Nolan dan Bunda adalah keluarganya yang sudah diidamkan sejak lama. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top