Chapter 2
“Octavian,” ucap Tavi menjabat tangan Arthur yang terlihat terkejut.
Pria itu tidak menjawab perkenalan yang Tavi ajukan lebih dulu hingga Davni menyikut lengan Arthur.
“Arthur.” Lalu pria itu menatap Davni cepat. “Kamu nggak bilang bakalan bawa teman kamu ke sini, Dav?”
“Nggak sengaja, sih. Aku pengen kalian ketemu aja. Kamu sering nggak mau kalo diajak nongkrong bareng temenku, sih.”
Tentu saja Arthur tak akan mau dipertemukan dengan Tavi, karena siasat busuk pria itu bisa diketahui lebih cepat. Memikirkan semua itu membuat Tavi mendadak lemas dan malas melakukan apa pun.
Tavi mengeluarkan ponselnya, enggan mengamati terlalu dalam interaksi itu. Sudah jelas jika kedekatan antara Davni dan Arthur memang lebih dari sekadar kenalan. Tavi bersikap biasa saja dan tak ingin menunjukkan kesedihan dan kekecewaannya di depan pasangan yang sedang kasmaran itu.
“Jadi, kalian udah jadian?” tanya Tavi tiba-tiba, membuat Arthur menatapnya dengan lurus.
“Yep!” jawab Davni dengan cepat.
“Dari?” tanya Tavi lagi.
“Tiga bulan lalu.”
Arthur memejamkan matanya ketika Tavi mencoba melirik pria itu. Apa yang terjadi tiga bulan lalu? Tavi tidak ingat dengan jelas, tapi sepertinya malam itu Arthur menciumnya dengan panas dan mereka berakhir bercinta tanpa pengaman. Ya, Tavi ingat malam itu Arthur tak seperti biasanya. Tavi pikir alasan pria itu mengenai pekerjaan memang benar adanya, tapi rupanya Arthur sedang merayakan keberhasilannya mengikat status dengan Davni. Apa itu juga yang menjadi alasan Arthur tidak kunjung memberikannya status?
Shit, aku mual mikirin semua ini! Tavi berdiri dari tempatnya duduk dan membuat pasangan di hadapannya bingung.
“Mau ke mana, Tav?” tanya Davni.
“Aku ke kamar mandi dulu, ya. Sebentar.”
Tavi membekap mulutnya sendiri dan tidak peduli dengan apa yang Arthur dan Davni pikirkan. Dia buru-buru menutup pintu kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Tidak ada yang keluar, hanya air. Tavi sudah lelah dengan mualnya sejak pagi ini. Ditambah dengan fakta yang diketahuinya saat ini, malah membuatnya semakin mual.
Entah berapa menit Tavi habiskan di dalam toilet, dia mengusap bibirnya. Lipstick-nya sudah memudar, wajah pucatnya terlihat dan dia tidak akan bertahan di meja yang sama dengan Davni dan Arthur. Dia harus kembali ke meja untuk mengambil tas dan berpamitan pada keduanya.
Ketika keluar dari toilet, Tavi terkejut karena diujung lorong ada Arthur yang berdiri menyandarkan punggungnya di dinding. Tatapan mereka bertemu dan Tavi menghela napasnya. Dia menguatkan diri untuk tak mengeluarkan kemarahan apa pun di tempat umum ini pada Arthur. Jangan sampai ada atensi dari orang-orang yang lewat hingga nantinya semakin menyulitkan Tavi.
“Kamu sakit?” tanya Arthur.
“Ya, sakitlah.” Tavi menyindir pria itu.
“Vi, aku mau jelasin semuanya.”
“Ini tempat umum, lagian pacar kamu juga ada di sini.”
Arthur menghela napas dan mengusap wajahnya. “Aku bakalan jelasin di sini buat kamu.” Tavi mengangkat tangannya dan melihat ada orang yang akan ke toilet.
Tubuh Tavi semakin lemas dengan semua lalu lalang orang di sana. Tanpa bicara apa-apa, Tavi berjalan keluar meninggalkan Arthur.
“Vi!” seru pria itu yang berusaha menggapai tangan Tavi tapi tak bisa karena keramaian.
Tavi sudah dekat dengan meja Davni berada, dia mengambil tas dan ponselnya dan mengatakan pada Davni bahwa kondisinya sedang tak baik-baik saja. Davni mengizinkan dan saat itu Arthur sampai di meja mereka berada.
“Ar, Tavi mau pulang duluan. Dia nggak bisa makan bareng kita.”
Arthur yang melihat wajah pucat Tavi langsung menawarkan jasa selayaknya gentleman. “Aku anterin. Kasian Tavi kalo pulang dalam kondisi sakit.”
Davni mengernyit sesaat tapi berusaha memahami keadaan dimana Tavi sedang sakit. Melakukan kebaikan pada orang yang sakit tidak ada salahnya.
“Mau, Tav? Arthur mau anter lo pulang.”
“Nggak, makasih. Makanan kalian udah dateng, tuh. Gue udah pesen Gojek. Have fun!”
Tavi tidak menatap Arthur ketika pergi dan hanya melambaikan tangan pada Davni. Segera berjalan tanpa menatap ke belakang. Menahan tangisannya hingga di atas motor, malam ini hatinya terasa sakit sekali. Di balik helm yang diberikan oleh driver Gojek itu, Tavi menitikkan air matanya dalam diam. Rasanya sangat sakit, Tavi tidak bisa menyembuhkan rasa sakit di hatinya dan akibatnya dia hanya bisa menangis hingga matanya sembab bahkan hingga di rumah Arthur.
“Ngapain aku ke sini?” gumam Tavi yang sudah terlalu terbiasa pulang ke rumah pria itu.
Diantara kebimbangan dan rasa sakitnya, Tavi mengambil barang-barangnya yang bisa dibawanya malam itu. Mencari keberadaan kunci mobilnya yang sudah lama tak digunakan karena selalu diantar jemput oleh Arthur. Dia enggan meneruskan kebodohannya dan cara menyelesaikan semuanya adalah dengan mengakhiri apa yang tak pernah mereka mulai dengan benar. Hubungan tanpa status itu tak akan Tavi pernah anggap ada, seperti Arthur yang dengan mudah memanfaatkannya untuk mendapatkan Davni.
Tavi menggunakan sisa kemampuannya untuk berpikir kemana dia akan tidur malam ini. Jika kembali ke rumah kontrakannya, Arthur akan dengan mudah menemukannya. Maka satu-satunya cara yang dia bisa lakukan untuk tak melihat wajah Arthur lagi adalah menyewa kamar hotel untuk istirahat malam ini.
***
[Ini masih bagian dari bab satu, ya. Seperti yang aku bilang update di wattpad jumlah katanya gak langsung banyak kayak di Karyakarsa. Anyway, yang mau baca bab dua lengkap udah aku update di Karyakarsa. Happy reading!]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top