Ep. 9 - Tea, Cake, and Robbery Case
A fun conversation about nothing
A pot of brewing tea leaves
A cake stand full of one-bite-sweets
And you
Those what make this afternoon tea more excited everyday
❁⃘*.゚
"Ugh..."
Rasa sakit langsung menyerang kepala Catherine saat ia membuka kedua matanya. Ia juga merasakan ada sesuatu yang mengalir di dahinya.
Catherine menyentuh dahinya dan kedua matanya terbelalak melihat cairan merah mengotori tangannya. Darah. Walau tidak banyak, darah mengalir dari luka di dahinya.
Catherine berusaha mengingat apa yang terjadi padanya.
- 1 jam yang lalu -
Pukul 09.00, Catherine kembali dari jogging paginya. Ia memang sering memanfaatkan pagi hari di hari liburnya untuk olahraga. Kepalanya masih terasa nyut-nyutan akibat sisa-sisa mabuk semalam. Namun, ia sudah minum obat pemberian Clive, sehingga sudah baikan.
Sebelum masuk ke apartemennya, Catherine berhenti sejenak di depan pintunya. Sambil mengelap keringatnya, ia memperhatikan pemandangan dari lantai 3 gedung apartemennya itu.
"Psst! Hey, nona muda!"
Catherine merasa suara itu memanggilnya, ia pun menoleh ke arah suara.
Dilihatnya wanita sekitar umur 50 tahunan-an dengan rambutnya yang ditumbuhi sedikit uban. Wajahnya tidak terlihat tua karena tertutup senyuman yang ia pancarkan. Wanita itu melambaikan tangannya memanggil Catherine.
Catherine mendekati wanita itu.
"Hey, nona muda! Kita belum sempat berkenalan sejak kamu pindah ke sini," ucap wanita itu. "Perkenalkan. Namaku Mary Pattie. Aku pemilik toko kue Pattie Series yang ada di bodega dekat stasiun."
Tentu saja Catherine mengenal wanita ini. Wanita yang merupakan tetangganya yang tinggal di unit 303 ini adalah tetangga kesukaannya di dunia asalnya. Mary sering membagikan kue buatannya pada Catherine dan tetangga lainnya. Kue buatannya sangat enak hingga Catherine menjadi pelanggan toko kuenya.
Namun, Catherine teringat bahwa ia harus berpura-pura tidak mengenalnya.
"Salam kenal. Namaku Katarina Lindberg," ucap Catherine. "Maaf aku belum sempat berkenalan dengan tetangga di sini. Aku...sibuk dengan pekerjaanku."
"Oh, memang pekerjaanmu apa kalau boleh tahu?"
"Polisi."
"Wah, hebat sekali!" seru Mary. "Katarina, yuk ke apartemenku! Aku membuat kue lho. Kita makan kue sambil ngobrol."
"Eh? Bolehkah?"
"Tentu saja!"
Catherine berjalan mengekori Mary yang masuk ke unitnya. Catherine sangat suka kue buatan Mary, tentu saja kesempatan ini tidak akan ia sia-siakan. Apalagi gratis.
Begitu Catherine masuk, hal pertama yang menarik perhatiannya adalah lemari besar yang berisikan barang antik yang terlihat mahal. Barang-barang itu koleksi suaminya Mary yang sudah meninggal. Catherine selalu kagum ketika melihat koleksi barang antik itu.
Mary mempersilakan Catherine duduk di ruang tamu. Catherine tersenyum melihat sofa yang berwarna seperti permen karet itu. Terlihat manis sampai Catherine ingin mencicipinya. Namun, tentu saja Catherine tak akan melakukannya.
Mary datang membawa nampan berisi 2 cangkir teh, 1 teko teh, dan 2 piring kue. Setelah menatanya di atas meja, Mary mempersilakan Catherine untuk mencicipinya.
"Silakan dinikmati. Ini rose tea dan kue jenis baru yang akan kurilis di toko kueku minggu depan. Aku ingin kau mencicipinya dan memberi tahu pendapatmu," ucap Mary.
"Baiklah. Terima kasih, Bu Mary," ucap Catherine.
Catherine mengambil piring kecil yang berisi sepotong kue yang dilapisi krim berwarna biru muda. Di atasnya ada meses warna-warni sebagai hiasan.
Catherine memotong kue tersebut dengan garpunya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasa manis dari kue tersebut dan lembutnya krim langsung memenuhi mulutnya. Catherine juga bisa merasakan wangi vanilla dari kue tersebut.
"Enak! Enak sekali, Bu Mary!" seru Catherine.
"Wah! Syukurlah kau suka! Terima kasih!" balas Mary. "Lain kali datanglah ke tokoku. Aku akan beri diskon!"
"Wah terima kasih! Aku pasti datang!"
Catherine lalu mengambil cangkir tehnya dan meneguk rose tea-nya. Wangi mawar yang lembut langsung terasa begitu ia meminum teh tersebut. Sangat cocok dengan kue yang ia makan.
"Rose tea ini juga enak. Cocok sekali dengan kuenya," komentar Catherine.
"Katarina suka teh?"
"Ah, panggil saja aku "Kat". Teman-temanku biasa memanggilku dengan panggilan itu," ucap Catherine. "Hmm... Sebenarnya dibilang suka juga tidak sih, tapi aku masih menikmatinya," Catherine menjawab pertanyaan Mary.
"Kat suka minuman apa?"
"Coklat panas! Itu semacam comfort drink-ku. Lalu aku juga suka minuman beralkohol. Saat lelah bekerja paling enak kalau minum salah satu dari minuman itu untuk melepas penat!"
Mary tertawa kecil. "Oh, ya, Kat polisi kan ya? Sudah banyak memecahkan kasus?"
"Karena aku baru pindah, aku baru mengurus kasus pembunuhan pemilik restoran. Kemarin juga baru saja selesai menangkap pengedar narkoba."
"Oh, kasus pembunuhan itu? Di sosial media ramai sekali. Katanya kalau pemilik restoran "Flow Dining" mencuri resep dari restoran kecil. Banyak sekali hujatan dari netizen di sosial media."
Catherine tidak menyangka kalau banyak yang akan membahas kasus itu di sosial media. Saat wawancara dengan media, Inspektur memang mengatakan soal motif pelaku dengan lengkap, termasuk mengatakan soal buku resep itu. Sepertinya banyak yang bersimpati pada Mita.
Sejak Catherine datang di dunia ini, ia tidak bisa membuka semua akun sosial medianya. Mungkin penyebabnya sama ketika ia tidak bisa menelepon teman-temannya saat ia pertama datang. Tetapi, kali ini Altair tidak bisa memulihkan sosial medianya karena ia tidak paham soal sosial media walaupun Catherine sudah menjelaskannya panjang lebar berkali-kali. Karena itu, ia tidak tahu berita yang viral di sosial media.
"Rasanya aman kalau ada polisi tinggal di apartemen ini. Apalagi katanya banyak perampok yang berkeliaran," kata Mary.
Catherine jadi salah tingkah. "U-um, yah, aku akan membantu sekuat tenaga kalau ada yang kesulitan. Jangan ragu minta tolong padaku!"
Mary mengangguk. "Ya, Kat! Kamu hebat sekali!"
Mendengar pujian dari Mary membuat wajah Catherine memerah.
Ting tong! Suara bel terdengar.
"Ah, sepertinya ada tamu datang. Aku juga sekalian pulang deh," ucap Catherine. "Aku baru selesai jogging jadi belum mandi. Bau!"
"Hahaha! Baiklah, aku akan antar sampai pintu sekalian membuka untuk tamu di luar," balas Mary. "Tetapi siapa ya yang datang? Rasanya hari ini tidak ada yang mau datang."
Catherine dan Mary berjalan ke pintu keluar. Mereka melihat di interkom bahwa di luar ada seseorang pria memakai seragam pengantar makanan. Mary berpikir mungkin pengantar itu salah antar karena ia tidak memesan apapun. Ia pun membuka pintu.
"Permisi, saya datang untuk mengantarkan paket dimsum pesanan Anda!" ucap pengantar makanan itu.
"Lho? Ini makanan benar ke alamat di sini? Soalnya saya tidak pesan apa-"
Duakk!!
Terdengar bunyi benturan lalu diiringi dengan tubuh Mary yang jatuh terkulai ke lantai. Pengantar itu masuk dan melihat Catherine yang terbelalak kaget.
Pengantar itu menggenggam batu besar berlumuran darah Mary. Batu yang membuat Mary pingsan juga menghantam kepala Catherine hingga ia pun jatuh pingsan.
"Kepalaku sakit sekali," kata Catherine dalam hati. "Untunglah aku tidak diikat jadi bisa bergerak bebas."
Catherine lalu merayap pelan di lantai mendekati Mary yang masih tak sadarkan diri tak jauh darinya. Untunglah Mary masih hidup, ia hanya pingsan.
Catherine menajamkan telinganya. Ia mendengar suara 3 laki-laki yang berbeda dan suara gasrak-gusruk mencari sesuatu. Ia mengenal salah satu suara perampok itu, yang merupakan suara pengantar makanan yang menyerang mereka. Sepertinya setelah Catherine dan Mary pingsan, mereka masuk dan menjarah rumah Mary.
Catherine langsung teringat soal perampok yang diberitahu Clive semalam. Seketika itu, rasa kesal memenuhi dada Catherine. Ia kesal karena mengabaikan peringatan dari Clive. Ia juga kesal karena tidak waspada saat ada tamu mencurigakan, padahal Clive sudah memberitahu MO-nya.
"Ugh! Aku payah sekali!!" teriak Catherine dalam hati.
Catherine merogoh saku celananya dan merasa lega karena handphone-nya masih ada. Sepertinya para perampok itu tidak menggeledahnya.
Perlahan Catherine mengambil handphone-nya dan menekan nomor darurat.
Klik!
Suara itu membuat sekujur tubuh Catherine membeku. Ia sangat mengenal suara itu. Suara slide pistol yang ditarik. Tak salah lagi, ada seseorang yang berdiri di belakangnya sambil mengarahkan pistol kepadanya.
"Untunglah aku memeriksa keadaan di sebelah sini. Ternyata kamu sudah bangun," terdengar suara seorang pria. "Cepat berdiri dan serahkan handphone-mu!"
Sambil menahan denyut sakit di kepalanya, Catherine perlahan berdiri sambil mengangkat tangannya. Handphone-nya masih ia pegang di tangan kanannya.
Catherine menatap pria yang menodongkan pistol dengan peredam suara ke arahnya. Seorang pria bertubuh tinggi kekar dengan janggut hitam di wajahnya. Di wajahnya banyak bekas luka yang menambah aura seramnya. Kedua mata pria itu berkilat penuh amarah menatap Catherine.
Catherine hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Tak ada yang bisa ia lakukan dalam keadaan seperti ini.
Pria itu mendekati Catherine dan merebut handphone-nya yang dipegangnya. Ia lalu menghancurkan handphone Catherine hanya dengan genggaman tangannya. Ia mundur beberapa langkah menjaga jarak dengan Catherine.
"Handphone-ku!" teriak Catherine dalam hati.
"Bos! Semua barang antik mahal sudah diangkut!" ucap salah seorang anak buahnya. Orang itu adalah "pengantar" makanan yang menyerang mereka.
"Bagus," balas bos itu tanpa menurunkan senjatanya.
"Kalian ke sini untuk mencuri barang antik milik Bu Mary?" tanya Catherine. "Kalian ini perampok yang saat ini selalu dibicarakan di TV?"
Sang Bos mendengus. "Yah, belakangan ini kami memang terkenal," ucapnya. "Rumah ini memiliki banyak barang antik mahal yang dikoleksi oleh suami ibu yang pingsan itu," ucapnya sambil menunjuk Mary yang masih terkapar di lantai. "Banyak yang rela membelinya dengan harga mahal. Sayang kalau tidak diambil."
"Kalian tahu almarhum suami Bu Mary? Apakah kalian kenalan beliau? Atau kalian sudah mengawasi keluarga ini sejak lama?"
"Diam, rambut pirang!!!" Suara Sang Bos menggelegar seperti petir hingga membuat Catherine terkejut. Sulit berbohong kalau suara orang itu tidak membuat jantungnya berdetak cepat. "Bicara denganmu tidak ada untungnya bagi kami. Apalagi kamu sudah melihat wajah kami, jadi lenyaplah."
Tubuh Catherine gemetaran saat melihat jari Sang Bos mulai menyentuh pelatuk pistolnya. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia sama sekali tidak membawa senjata apapun. Kakinya membeku. Menyerang mereka dengan jurus judonya pun akan percuma.
Catherine menutup matanya. Ia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Ia akan mati dan tidak akan bisa kembali ke dunia asalnya. Ia akan mati di dunia yang asing ini tanpa seorang pun di sisinya. Terlebih lagi, ia tidak bisa menepati janjinya pada Altair.
"Maafkan aku, Altair..."
Psyiuuuu!!
Catherine bisa mendengar suara tembakan yang diredam oleh peredam suara. Sang Bos sudah menarik pelatuknya. Namun anehnya, Catherine tidak merasakan apa-apa.
"Siapa kamu?!! Kenapa bisa tiba-tiba muncul??!!" terdengar suara keras Sang Bos. Suaranya terdengar seperti orang terkejut bercampur takut.
Catherine membuka matanya perlahan. Di depannya ada sosok pria memakai pakaian serba hitam yang melindunginya dari peluru yang akan melukainya. Ia merentangkan kedua tangannya untuk melindungi Catherine.
"Altair!" seru Catherine.
Saat ini Altair tidak memakai topi dan jubah hitamnya sehingga Sang Bos juga bisa melihatnya.
Tangan Sang Bos yang masih mengacungkan senjatanya gemetaran. Siapa yang tidak syok melihat orang yang sudah kena tembak di jantungnya namun masih bisa berdiri tegak dan menatapnya dengan tatapan yang bisa membunuhnya? Bahkan darahnya yang menetes sama sekali tidak ia hiraukan.
"Catherine Lindberg, kamu tidak apa-apa?" bisik Altair tanpa melepaskan pandangannya dari pria berpistol itu.
"A-aku tidak apa-apa," balas Catherine. "A-Altair, kamu tertembak? Ka-kamu tidak ... "
"Tidak perlu mengkhawatirkanku. Cepat sembunyi di balik sesuatu. Aku akan membereskan mereka."
Catherine perlahan merunduk dan bersembunyi di pinggir sofa. Ia mengintip sedikit melihat Altair yang masih berdiri tegak.
Altair bergerak perlahan mendekati Sang Bos. Bos itu dengan gemetaran mengacungkan pistolnya pada Altair dan menembakinya berkali-kali. Kepala, dada, perut, tangan...semua ditembaki hingga pelurunya habis. Hujan tembakan berhenti, Altair kembali mendekati Bos itu.
Sang Bos mundur perlahan dengan ekspresi ketakutan. Tatapan Altair yang membunuh ditambah wujudnya yang penuh luka tembak dan berlumuran darah di sana-sini, membuat pria kekar itu gentar.
"Beraninya kau mengacungkan benda berbahaya itu padanya!!" sahut Altair. Altair lalu mengayunkan payung hitamnya yang dari tadi ia bawa dan memukul keras Sang Bos hingga pria kekar itu terlempar dan menghantam dinding lalu akhirnya jatuh pingsan.
Kedua anak buahnya tidak tinggal diam. Mereka juga mengeluarkan pistol mereka dan menembaki Altair.
"Altair!!"
Pemandangan yang mengerikan bagi Catherine. Altair ditembaki di sekujur tubuhnya dan darahnya terciprat kesana kemari. Altair terlihat seperti target latihan tembak yang ditembaki oleh para polisi yang berlatih.
Peluru mereka habis. Mereka tidak bisa menggunakannya lagi. Melihat Altair yang terjatuh ke lantai membuat mereka terlihat lega. Namun tidak bagi Catherine.
"Altair!! Altaiiirrr!!!" Catherine berteriak memanggil Dewa Kematian itu. Pandangannya memburam akibat air mata yang menutupi pandangannya. Ia segera menyekanya dan berlari ke arah Altair.
Namun larinya terhenti saat ia melihat Altair berdiri lagi. Ia memegangi lukanya yang mengeluarkan banyak darah sambil menatap Catherine dengan tatapan ramah.
"Aku tidak apa-apa. Hanya terkejut saat mereka menembakiku," ucap Altair. Altair tersenyum tipis pada Catherine lalu melompat ke arah anak buah perampok yang berteriak ketakutan. Dengan satu serangan, dengan payungnya, Altair memukul mereka seperti bola baseball. Mereka berdua terlempar ke tempat yang sama seperti bos mereka dan langsung pingsan.
"Sudah aman," ucap Altair. Seketika itu juga, Altair jatuh berlutut. Ia batuk berdarah. Selain dari luka tembaknya, darah juga mengalir dari mulutnya. Ia mengatur napasnya. "Huff... Huff... Ini pertama kalinya aku ditembak. Ternyata rasanya sakit," ucapnya.
"Altair!!" Catherine bergegas mendekati Altair. Ia memeriksa keadaan Altair. Namun, ia sendiri sebenarnya merasa ngeri melihat penampilan Altair yang berantakan, penuh dengan luka tembak dan berlumuran darah. Bahkan cravat putihnya sudah berubah menjadi merah.
"Maaf kamu harus melihatku dalam keadaan seperti ini. Tapi aku tidak apa-apa," kata Altair.
"Bagaimana mungkin kamu baik-baik saja?! Padahal kamu ditembus peluru berkali-kali!!" seru Catherine.
"Tenanglah, Catherine Lindberg!" Altair menepuk kedua pipi Catherine. "Sekarang ada hal yang harus kamu lakukan! Misalnya menghubungi polisi dan ambulans. Lalu kita tidak boleh membiarkan Mary Pattie terbaring di lantai dingin ini!"
Catherine teringat kalau Mary masih tergeletak di lantai dalam keadaan pingsan. Catherine segera berlari ke tempat Mary dan menggendongnya.
"Altair, tolong hubungi polisi dan ambulans!" Setelah berkata itu, Catherine berlari ke arah kamar untuk merebahkan Mary di tempat tidur.
Altair yang ditinggal sendiri hanya merasa kebingungan. "...Bagaimana caranya menelepon?"
Catherine perlahan merebahkan Mary di atas tempat tidur. Catherine menepuk pipi Mary dengan lembut sambil memanggil namanya. Namun masih belum ada respon.
Catherine berlari keluar untuk memeriksa apakah Altair sudah menelepon polisi dan ambulans atau belum. Namun, yang dilihat Catherine adalah Altair sedang mengikat para perampok dengan tali yang entah ia temukan dimana. Setelah itu, ia menyentuh kepala mereka.
"Robby Rye, Randall Bort, Ronald Dock, kalian akan melupakan semua yang berhubungan denganku," ucap Altair.
Setelah Altair mengatakan hal itu, sinar warna biru muncul sedetik lalu menghilang.
"Apa yang kamu lakukan, Altair?" tanya Catherine. "Apakah mereka mati dan kamu mencabut nyawa mereka?"
"Mereka hanya pingsan. Aku tidak boleh membunuh makhluk hidup yang belum saatnya mati," jawab Altair. "Aku hanya menghapus ingatan mereka soal diriku."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau jadi bahan pembicaraan. Seseorang yang masih berdiri tegak setelah ditembak beberapa kali."
Catherine bingung harus bereaksi seperti apa. Sebenarnya perkataan Altair ada benarnya. Ia sendiri masih merasa aneh melihat Altair masih bergerak bebas setelah ditembaki seperti itu. Di sisi lain ia khawatir pada Altair.
Catherine melihat handphone-nya yang tergeletak di lantai. Keadaannya lumayan parah. Layarnya retak parah dan tidak bisa dinyalakan lagi.
"Aduh, aku harus mencari handphone punya Bu Mary dan menelepon polisi dan ambulans!" ucap Catherine.
Altair mengulurkan tangannya. "Akan kuperbaiki henfonmu."
"Hah?"
Catherine memberikan handphone-nya pada Altair dan muncul sinar warna biru selama beberapa detik. Catherine terkesiap melihat handphone-nya mulus seperti baru. Retakan di layarnya benar-benar menghilang!
"Woah!" Catherine merasa kagum.
"Aku bisa memperbaiki barang dengan kekuatanku," Altair menjelaskan.
Catherine segera menghubungi polisi dan ambulans, melaporkan apa yang terjadi dan kondisi saat ini. Mereka akan datang sesegera mungkin.
Tiba-tiba Catherine mendengar Altair yang batuk semakin parah. Darahnya semakin banyak keluar. Catherine segera membantu Altair duduk di sofa. Ia bahkan menyuruh Altair untuk rebahan.
Catherine duduk bersimpuh di lantai sambil menggenggam tangan dingin Altair. Air matanya kembali mengalir. Gara-gara melindungi dirinya, Altair jadi terluka begini. Rasa bersalah menyelubungi dadanya.
"Maaf, Altair... Gara-gara aku ... " ucap Catherine sambil terisak.
Altair menyeka air mata Catherine dengan jarinya. "Jangan menangis. Sudah kewajibanku melindungimu. Syukurlah kamu tidak apa-apa."
"Tapi...tapi... Kamu jadi-"
"Aku tidak apa-apa. Memang sih rasanya sakit. Tapi aku tidak akan mati. Luka-lukaku akan hilang dengan sendirinya dan darahku yang mengotori tempat ini pun juga akan menghilang dengan sendirinya."
Catherine membenamkan wajahnya di bahu Altair. Ia mulai menangis keras. Altair hanya bisa menepuk kepalanya dengan lembut.
"Catherine Lindberg, aku punya permintaan," ucap Altair.
Catherine mengangkat kepalanya.
"Saat polisi datang, jangan katakan apapun soal aku. Aku tidak ingin diketahui manusia lain."
"E-eh?"
Ting tong! Bel berbunyi. Mungkin itu para polisi dan dokter.
Catherine beranjak dari duduknya dan membuka pintu. Seorang polisi berjanggut dan berbadan tegap yang memakai jaket kulit warna cokelat menunjukkan lencana polisinya pada Catherine.
"Inspektur Ash Whitlock dari Divisi Kejahatan Perampokan," ucapnya memperkenalkan diri. "Ah! Kamu terluka! Sebentar, akan saya panggilkan dokter."
Beberapa saat kemudian, beberapa dokter datang dengan tergopoh-gopoh. Catherine mempersilakan semuanya masuk. Inspektur Ash dan beberapa polisi berseragam langsung meringkus para perampok yang masih pingsan. Catherine berbicara kepada para dokter.
"Dok! Tolong! Tadi teman saya terluka parah... Berdarah banyak sekali... Tolong...!" ucapnya.
"Tenanglah, Nona. Di sini tidak ada tetesan darah sama sekali. Sekarang, ayo duduk. Saya akan memeriksa dan mengobati lukamu," ucap salah seorang dokter.
Catherine mengangguk. Saat itu ia tersadar bahwa Altair menghilang. Beberapa kali Catherine memanggil namanya, Altair tidak muncul juga.
"Altair kemana? Padahal dia sedang luka parah begitu. Dokter akan memeriksanya. Apa jangan-jangan dia ... "
Catherine mulai berpikiran kemungkinan terburuk yang terjadi pada Altair setelah ditembaki seperti itu. Rasa bersalah menyelubungi hatinya. Dadanya terasa sakit seperti diikat oleh rantai berduri. Rasa bersalah itu membuat air matanya kembali mengalir.
"Huhuhu... Altair... Kamu dimana...?" Catherine mulai terisak.
"Nona, tenanglah. Ayo duduk dulu dan tenangkan dirimu. Kamu pasti syok setelah mengalami hal berat ini kan?" ucap dokter itu.
Dokter membimbing Catherine untuk duduk di sofa panjang. Lalu ia juga duduk di sebelah Catherine dan mulai memeriksa lukanya.
Soal Mary tiba-tiba muncul di benak Catherine. Catherine segera memberi tahu bahwa tetangganya, Mary, juga terluka dan saat ini ada di kamar. Dokter yang duduk di sebelah Catherine menyuruh dokter lainnya untuk memeriksa kamar dan menolong Mary.
Dokter mulai merawat luka Catherine. Sambil memeriksa dan mengobati luka di kepala Catherine, Dokter mengajak Catherine bicara. Namun, Catherine sama sekali tidak merespon karena pikirannya sama sekali tidak ada di sini. Pikirannya sibuk dengan kemungkinan yang terjadi pada Altair. Dan hal itu adalah salahnya.
"Apakah dia baik-baik saja?" tanya Ash tiba-tiba. Ia berdiri di samping sofa.
"Lukanya tidak parah. Namun, sepertinya Nona ini mengalami syok. Mohon untuk tunggu sebentar sebelum menginterogasinya, Inspektur," ucap dokter itu.
"Padahal aku ingin bertanya beberapa hal padanya," ucap Ash.
Catherine mengerjapkan matanya. Ia tidak boleh merasa begini terus. Ia juga punya kewajiban membantu penyidikan kasus ini.
"Aku tidak apa-apa. Silakan tanya apa saja, Inspektur. Aku akan jawab sebisanya," ucap Catherine.
"Benarkah kamu tidak apa-apa, Nona? Tidak butuh istirahat dulu?" tanya dokter.
Catherine menggeleng. "Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengobatiku, Dokter ... " Catherine melihat name tag yang tergantung di saku jas putih itu. "Dokter Fransisca."
"Fran saja sudah cukup. Baiklah, tapi jangan memaksakan diri," ucap Fran.
Catherine setuju. Ash pun mulai menembakkan beberapa pertanyaan pada Catherine.
Ash menatap wajah Catherine. Matanya menelusuri setiap fitur wajah Catherine. "Rasanya aku pernah melihatmu," ucapnya.
"Mungkin Anda pernah melihat saya di kantor Kepolisian Daylily. Saya juga seorang polisi. Anggota Divisi Kejahatan Serius, Katarina Lindberg."
"Oh! Kamu anggota baru itu kan? Inspektur muda itu menceritakan soal kamu! Kamu bersama Linn, menghajar pengedar narkoba yang menawan Linn kan? Kamu hebat!"
"Ah, terima kasih."
"Apakah ini unitmu?"
Catherine menggeleng. "Ini unit milik Bu Mary Patie, yang sedang ada di kamar. Saya kebetulan ada di sini setelah diundang beliau untuk makan kue."
Ash melirik ke arah meja tamu. Memang ada bekas piring kue dengan sisa krim warna biru dan cangkir teh yang setengah kosong.
"Lalu apa yang terjadi?" tanyanya.
Catherine menjelaskan semua yang terjadi. Mulai dari bel pintu berbunyi sampai Mary diserang.
"Begitu, ya. Setelah itu?"
"Setelah diserang mereka, kami pingsan. Saya bangun duluan dan berusaha menghubungi polisi tapi ketahuan mereka. Setelah itu ... "
Walau kalimatnya ada di ujung bibirnya, Catherine tidak bisa mengatakannya. Hatinya bimbang apakah ia harus menceritakan soal Altair yang ditembaki dan melumpuhkan para perampok itu atau tidak.
"Ada apa, Lindberg? Apa yang terjadi?" tanya Ash. "Kalau itu terlalu sulit, tidak perlu dipaksakan."
Catherine mengerjapkan matanya sejenak. "Saya... berusaha melumpuhkan mereka."
Catherine terpaksa mengatakan hal itu walau sebenarnya Altair yang mengalahkan para perampok itu. Altair sudah menghapus ingatan para perampok itu. Hal yang mereka ingat terakhir kali adalah saat Sang Bos menodongkan pistol pada Catherine.
"Kerja bagus. Untunglah kamu masih selamat. Pasti mengerikan kan? Apalagi kamu tidak membawa senjata," ucap Ash sambil menepuk lembut bahu Catherine. Catherine hanya menunduk. "Oh ya, Lindberg. Apakah ini milikmu?"
Catherine mengangkat kepalanya dan melihat top hat hitam yang dipegang Ash. Catherine sangat mengenal top hat itu. Itu milik Altair. Mungkin Altair tak sengaja menjatuhkannya saat ia akan menolongnya.
"Ah, iya, itu punya saya," jawab Catherine. Lalu Ash memberikan topi itu pada Catherine. Catherine menatap topi hitam itu dan memeluknya erat. Pikirannya dipenuhi oleh pemilik topi itu.
"Mereka adalah kelompok perampok yang sedang kami kejar. Mereka selalu menyamar jadi tukang listrik, pengantar makanan, tukang paket, dan lainnya, lalu menyerang pemilik rumah dan menguras harta di rumah tersebut," kata Ash. Catherine hanya mengangguk-angguk mendengarnya.
Seorang polisi berseragam datang dan membisikkan sesuatu pada Ash. Ash mengangguk-angguk.
"Dia sudah sadar? Baiklah, aku akan mengecek keadaannya," ucap Ash.
Catherine juga bangun dari tempat duduknya dan mengikuti Ash ke kamar Mary walaupun Dokter Fran melarangnya. Saat Catherine masuk ke kamar, dilihatnya Mary sudah bangun dan lukanya sudah diobati oleh dokter yang ada di kamar itu.
Catherine segera berlari menghampiri Mary dan memeluk wanita itu.
"Kat!!" seru Mary. "Kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa," ucap Catherine. "Maaf aku tidak bisa melindungi Ibu dari serangan mereka."
"Bukan salahmu. Itu salah mereka. Aku bersyukur kamu tidak apa-apa. Kudengar kamu juga menangkap mereka semua."
Catherine tidak membalas.
Ash berdehem kencang sebelum akhirnya bicara. "Nyonya Patie, para perampok sudah kami tahan dan bawa ke kantor polisi. Saya ingin meminta izin untuk membawa barang-barang antik yang hampir mereka curi sebagai barang bukti. Saat kasus selesai, kami akan mengembalikannya."
Mary mengangguk. "Ya, bawa saja. Semoga mereka mendapat hukuman yang pantas."
"Ya tenang saja. Mereka pasti akan dihukum berat. Sudah 3 bulan ini mereka meneror warga bahkan memiliki senpi ilegal."
"Terima kasih, Inspektur Ash," kata Catherine.
Inspektur Ash izin menyelidiki sekitar apartemen untuk beberapa saat. Setelah itu, ia keluar dari kamar.
Sambil mengenggam tangan Mary, Catherine bertanya pada dokter yang sedang membereskan barangnya. "Dok, apakah Bu Mary baik-baik saja?"
Dokter mengangguk. "Ya, lukanya tidak mengancam nyawanya. Mungkin akan terasa tidak nyaman untuk beberapa hari, tetapi Bu Patie akan baik-baik saja."
"Terima kasih, dok."
Dokter tersebut minta izin untuk pergi. Ia memberi tahu apa saja yang harus dilakukan Catherine dan Mary pada lukanya. Ia juga memberi tahu bahwa sebaiknya minggu depan mereka ke rumah sakit untuk kontrol.
Setelah itu, Catherine mengantar para dokter sampai pintu keluar. Sebelum mereka pergi, Catherine berterima kasih sekali lagi pada mereka.
Catherine kembali lagi ke dalam kamar. Ia harus menemani Mary yang sejak tadi merasa ketakutan. Tubuhnya sedari tadi gemetaran. Getarannya berkurang ketika Catherine menggenggam tangannya.
"Kat, aku takut. Aku tinggal sendirian..." ucap Mary.
"Jangan khawatir, Bu Mary. Aku akan tinggal di sini beberapa hari untuk menemanimu. Apalagi kita sama-sama terluka. Kalau kita bersama, kita bisa saling membantu. Bu Mary pun tidak perlu merasa takut lagi," balas Catherine. "Ini juga sebagai permintaan maafku yang tidak bisa melindungimu."
"Terima kasih, Kat. Aku bisa tenang kalau kamu ada di sini. Aneh ya, padahal kita baru saja bertemu."
Mereka berdua pun tertawa.
"Kat," panggil Mary. "Kamu tidak perlu minta maaf. Sudah kubilang, kamu tidak salah. Kita tidak bisa memprediksi dan mengendalikan apapun yang terjadi. Yang bisa kita lakukan adalah berjuang sekuat tenaga dan seperti katamu, membantu satu sama lain. Kita kan tetangga."
Ucapan Mary menghangatkan hati Catherine. Bendungan air matanya runtuh. Mary tidak menyalahkannya sama sekali, itu sangat berarti bagi Catherine.
"Bu, aku akan kembali ke unitku sebentar untuk mengambil barang-barangku. Ibu istirahat di sini saja ya. Masih ada polisi di luar kok," ucap Catherine.
Mary mengangguk. "Ya. Jangan lama-lama ya."
Catherine mengiyakan lalu pergi ke unitnya. Ia sama sekali tidak melihat Inspektur Ash walau masih ada beberapa petugas polisi yang berkeliaran di apartemennya. Salah satu petugas mengatakan bahwa Inspektur Ash sedang meminta rekaman CCTV di management.
Catherine masuk ke unitnya. Ia diam tak bersuara sambil bersandar di pintu apartemennya. Kepalanya menunduk dan matanya menatap top hat hitam yang ia pegang.
Pikirannya masih kacau memikirkan apa yang terjadi pada Altair. Ia tak bisa berhenti menyalahkan diri sendiri. Kalau Altair mati, itu adalah salahnya.
Tiba-tiba ujung mata Catherine menangkap suatu buntalan hitam di sandaran lengan sofa panjangnya. Catherine menajamkam penglihatannya dan melihat bahwa bentuknya seperti kepala seseorang. Tapi kepala siapa? Ia tinggal sendiri!
Catherine perlahan mendekati buntalan itu. Jantungnya berdegup cepat, merasa was-was kalau ada perampok yang berhasil menyusup ke apartemennya.
Perlahan tapi pasti, Catherine mendekati buntalan hitam tersebut untuk memastikan siapa yang ada di sana.
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top