Ep. 4 - Katarina's First Case

The sun's warmth touches her skin for the first time after a long time
The wind grazes her hair softly
My hand holds hers
A sweet smile of hers adorns her face
Everything will be okay
Today will be okay

❁⃘*.゚

Suara alarm bergema di kamar bertembok biru muda itu. Gadis pirang yang berbaring di atas tempat tidur menggeliat malas merasa terganggu dengan suara alarm itu. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan dan meregangkan tubuhnya.

"Huaaaaahhhhhmmmmmhhh!!!! Sudah pagi ya? Padahal aku masih mau tidur," gumam Catherine. "Aku bermimpi aneh. Aku bermimpi berada di universe lain dan aku harus memecahkan suatu kasus untuk bisa kembali."

Gadis pirang itu duduk dan menguap lebar sambil mengucek matanya. Lalu kedua matanya terbelalak karena matanya menangkap sosok serba hitam yang berdiri di pojok kamarnya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!" Catherine spontan berteriak. Anehnya, sosok serba hitam itu juga itu terkejut.

"Hu-Huwaa! Catherine Lindberg! Tenanglah! Ini aku, Altair!" sahut Altair.

Catherine menatap Altair beberapa detik. "Si-siapa?" Catherine diam sejenak lalu akhirnya ia mengingat siapa Altair. "Oooh! Yang ngakunya Dewa Kematian itu!"

"Aku benar-benar Dewa Kematian," ucap Altair.

Catherine hanya membalas dengan dengusan. "Kamu ngapain ke sini?"

"Ah, ada yang ingin aku beri tahu sebelum kamu pergi bekerja. Saat aku datang, kamu masih tidur. Kukira kamu sudah bangun. Jadi, aku menunggumu bangun di sini."

"Hah? Berapa lama kau menunggu?"

Altair merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah pocket watch. "10 menit. Tak kusangka kamu suka bangun siang."

"Bi-Biarin!!" balas Catherine dengan wajah memerah. "Bagaimana kamu bisa masuk? Semua jendela dan pintu kan aku kunci."

"Aku bisa teleportasi ke mana pun yang aku mau. Pintu dan jendela yang terkunci bukan halangan."

Catherine menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia masih tidak percaya Altair bisa melakukan itu. Catherine beranjak dari tempat tidur dan berdiri di depan Altair dengan melipat lengannya di dada.

"Lain kali, jangan sembarangan masuk ke kamar seorang gadis!" ucap Catherine. "Sekarang tunggulah di luar. Kalau ingin bicara, tunggu aku sampai selesai siap-siap."

"Ma-Maaf," ucap Altair yang menundukkan kepalanya. "Aku akan menunggumu di ruang depan."

Altair lalu menghilang dengan sekejap di depan mata Catherine. Tentu saja Catherine terkejut melihatnya. Namun Catherine hanya menggelengkan kepalanya dan berkata,

"Dasar orang aneh."

__________________

15 menit kemudian, Catherine keluar dari kamarnya dalam keadaan bersih dan rapi. Ia memakai pakaian kerjanya. Rambutnya juga sudah disisir dan diikat dengan rapi.

Catherine melihat Altair yang duduk di sofa tempat mereka berbicara semalam. Altair hanya diam sambil menatap televisi yang tidak menyala. Catherine berdehem agar kehadirannya disadari Altair.

"Ehem!"

"Ah, Catherine Lindberg. Kamu sudah selesai?" tanya Altair.

Catherine mengangguk. "Kamu sudah sarapan? Eh, apakah Dewa Kematian bisa makan?"

"Aku tidak butuh makan walaupun bisa makan kalau ingin. Lalu aku juga belum sarapan. Aku jarang makan," jawab Altair.

"Kalau begitu, yuk sarapan bareng! Aku akan membuatkanmu roti bakar."

"Eh, tapi ... "

"Aku tidak menerima penolakan! Kamu harus ikut sarapan bareng aku!"

Altair mengalah dan mengangguk. Catherine pun bergegas ke dapur dan mempersiapkan sarapan untuk mereka berdua. Altair terus memperhatikan apa yang Catherine lakukan. Setelah selesai, Catherine memanggil Altair ke ruang makan.

Sebelum Altair duduk di kursi makan, ia membuka kancing jubah hitamnya. Jubahnya bersinar dan melebur menjadi serpihan cahaya yang akhirnya menghilang. Di balik jubah itu, Altair mengenakan kemeja putih dan setelan jas hitam dengan cravat putih yang menghiasi lehernya.

Setelah itu, Altair melepas top hat hitamnya dan membuatnya menghilang.

"Tidak sopan kalau menyantap suguhan dari tuan rumah dengan tetap memakai top hat dan inverness coat," ucap Altair.

Catherine hanya diam dengan mulut terbuka melihat Altair. Melihat keajaiban di hadapannya, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.

"Wow," ucap Catherine beberapa saat kemudian. "Ah, silakan duduk. Ini untukmu. Aku buatkan roti bakar dengan telur goreng."

Altair duduk di kursi dan menatap makanan di hadapannya dengan mata berbinar. "Terima kasih."

Catherine mengangguk dan mulai menyantap sarapannya.

"Ngomong-ngomong kenapa saat aku membuat sarapan ini kamu terus memperhatikanku seperti itu?" tanya Catherine.

"Ah, aku suka sekali melihat kegiatan manusia. Apa yang kamu lakukan saat membuat makanan ini terlihat menarik," jawab Altair.

"Padahal aku cuma memanggang roti dan menggoreng telur. Itu menarik?"

Altair mengangguk.

"Kurasa jalan pikiran Dewa Kematian berbeda dengan manusia," pikir Catherine. "Oh iya, apa yang kamu ingin bicarakan?"

Setelah Altair menelan yang ia kunyah, ia menjawab, "Aku ingin memberitahumu kalau ini bukan mimpi. Kudengar kamu mengatakan bahwa ini semua mimpi."

"Itu saja?"

"Tidak. Aku juga mau mengingatkan kalau namamu sekarang adalah Katarina Lindberg. Lalu, kuharap kamu jangan memberitahu soal keberadaanku. Aku tidak suka keberadaanku diketahui banyak orang."

"Hah? Jangan-jangan kamu ini pemalu?"

Altair hanya diam dan memalingkan wajahnya.

"Oh iya, kenapa kau memilih nama "Katarina" sebagai nama baruku?" tanya Catherine lagi.

"Saat memikirkan nama barumu, entah kenapa nama itu langsung muncul di kepalaku. Apa kamu tidak suka?"

Catherine menggeleng. "Aku suka kok. Namanya manis sekali."

"Syukurlah kalau kau suka."

Setelah makanan mereka habis, Catherine membereskan piring dan meja. Setelah itu ia mengambil tasnya dan bersiap-siap pergi.

"Aku mau pergi," ucap Catherine.

"Kalau begitu, aku juga pergi. Aku ada kerjaan hari ini," balas Altair.

"Memangnya kamu kerja apa?"

"Tentu saja mencabut nyawa manusia. Sudah jelas itu pekerjaan Dewa Kematian, kan?"

Catherine mengembuskan napas berat. "Terserah. Oh ya, soal kasus Cat, aku akan coba mencari infonya di database kepolisian. Kemungkinan aku juga akan membutuhkan keterangan darimu karena kamu adalah saksi."

"Baik. Kalau membutuhkanku, panggil saja namaku."

Catherine mengangguk. "Ya. Sampai jumpa, Altair."

Setelah Altair menghilang entah kemana, Catherine mengunci pintu dan bergegas pergi ke kantor polisi. Ia berlari karena ia sudah kesiangan.

Untungnya Catherine tiba di ruangan Divisi Kejahatan Serius tepat waktu. Di ruangan itu sudah banyak para polisi yang mengurus pekerjaannya masing-masing. Namun, Clive tidak terlihat. Tadinya Catherine ingin bertanya soal kasus Cat pada Clive dan menceritakan soal Altair. Namun ia harus mengurungkan niatnya.

"Kat!"

Catherine menoleh ke arah Jack yang menyapanya. "Hai, Jack!"

"Barusan Frederick memberiku kasus pembunuhan yang baru saja terjadi. Ia juga menyuruhku untuk mengajakmu. Yuk kita ke TKP," ucap Jack.

Tadinya Catherine ingin pergi ke ruang data dan barang bukti untuk mencari info soal kasus Cat, namun ia harus menundanya.

"Baiklah, ayo!" ucap Catherine.

Catherine dan Jack segera pergi ke Distrik Cambi dimana TKP berada. Mereka tiba di sebuah rumah megah dengan halaman yang luas. Para polisi berseragam dan anggota forensik sudah mengamankan TKP dan mengumpulkan barang bukti. Catherine dan Jack dipersilakan masuk oleh polisi yang berjaga di depan.

"Wah, rumahnya luas sekali, ya," ucap Jack kagum begitu mereka melangkahkan kaki ke dalam rumah. "Rumah besar gini memang cocok untuk latar cerita misteri."

"Setuju," balas Catherine. "Lihat! Di sebelah sana ada taman dan air mancur! Bahkan di halaman kantor kepolisian kita tidak ada air mancur."

"Beruntung sekali ya penghuni rumah ini. Aku juga ingin tinggal di sini. Tidak apa-apa walaupun terjadi pembunuhan."

Catherine mengangguk setuju.

"Jangan sampai pemilik rumah ini mendengar kalian berkata seperti itu."

Catherine dan Jack sontak menoleh ke arah suara. Seorang pria dengan baju hazmat biru berjalan ke arah mereka.

"Mihail! Kamu juga datang!" seru Jack.

"Tentu saja. Sebagai seorang forensik, mana mungkin aku tidak datang ke TKP. Aku ingin melihat TKP secara langsung," jawab Mihail. "Oh, ya Jack. Siapa ini?" tanya Mihail sambil menunjuk ke arah Catherine.

"Oh ini Katarina Lindberg. Dia anggota baru di divisi kami," jawab Jack.

"Perkenalkan. Namaku Ka-Katarina Lindberg," ucap Catherine dengan canggung. Ia masih belum terbiasa dengan nama barunya. Apalagi memperkenalkan diri kepada orang yang ia kenal.

"Aku Mihail Diaz, dokter forensik dari Divisi Forensik Kepolisian Daylily," balas Mihail. "Kalian sudah lihat TKP?"

"Belum," balas Jack. "Kami baru saja datang. Dimana TKP-nya?"

"Di kamar di lantai dua. Ayo."

Catherine dan Jack pergi menuju kamar bersama Mihail. Jack tak henti-hentinya mengungkapkan kekagumannya terhadap tangga besar yang mereka lewati. Tangga tersebut terlihat mewah dengan desain arsitektur yang aestetik ditambah anak tangganya dilapisi karpet merah berkualitas tinggi. Walaupun mereka memakai alas kaki, mereka bisa merasakan betapa lembutnya karpet tersebut. Karpet itu berakhir di anak tangga paling atas.

Mereka tiba di lantai dua, dimana banyak sekali pintu yang berjajar di tembok sebelah kiri. Sedangkan di sebelah kanan adalah ruang santai dengan jendela yang besar sehingga bisa melihat pemandangan luar yang indah. Catherine berpikir, pasti pemilik rumah ini senang bersantai duduk-duduk di sofa sambil menikmati teh dan pemandangan yang indah.

"Kukira rumah orang kaya seluruh lantainya bakal dilapisi karpet lembut. Nyatanya tidak," kata Jack.

"Ya. Tadi di lantai bawah juga tidak dilapisi karpet. Hanya anak tangga," balas Catherine.

Catherine dan Jack lalu pergi ke pintu kedua yang paling dekat dengan ujung tangga. Kamar itu adalah TKP. Banyak polisi berseragam dan petugas forensik yang berkeliaran.

"Baiklah, kasus seperti apa kali ini?" ucap Jack sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celananya, berpose sok keren.

Catherine melihat sekeliling kamar. Kamar tidur luas itu terlihat rapi kecuali di bagian dekat pintu dimana banyak darah yang berceceran. Lalu ia juga melihat mayat seorang pria yang terbaring di lantai berlumuran darah. Sebuah pisau menancap di dadanya.

"Korban bernama Jay Miller. Pemilik restoran "Flow Dining" yang memiliki beberapa cabang di beberapa kota. Ia tewas karena syok kehabisan darah akibat dua luka tusuk di dadanya," ucap Mihail.

"Korban ditusuk dua kali?" tanya Jack.

"Benar. Kalau dilihat dari suhu dan kekakuan mayat, korban tewas sekitar pukul 07.00. Tetapi kita harus melakukan autopsi supaya lebih jelas."

"Mihail, bagaimana dengan sidik jari?" tanya Catherine.

"Tidak ada sidik jari pada senjata pembunuhnya. Pisau yang dipakai adalah pisau dapur di rumah ini. Istri korban dan asisten rumah tangganya sudah konfirmasi," jawab Mihail.

Lalu Catherine melihat pada cipratan darah yang ada di luar pintu. Walau cuma sedikit, namun membentuk pola yang unik. Cipratan darah seperti mengarah dari dalam kamar ke arah luar, namun ujungnya terputus seperti terhalang sesuatu.

"Apakah di rumah ini ada CCTV?" tanya Catherine.

"Tidak ada," jawab Mihail. "Anehnya rumah semegah ini tidak punya CCTV. Padahal alarm kebakaran saja ada."

"Iya, aneh," kata Jack. "Ya sudah, sekarang coba kita selidiki kamar korban. Siapa tahu ada petunjuk soal pelaku atau barang yang hilang."

Jack mulai berkeliling mencari petunjuk. Terutama di sekitar mayat. Namun, kakinya tersandung tangan mayat sehingga ia jatuh terjerembab di sebelah mayatnya.

"JACK!!!" seru Catherine dan Mihail.

Catherine membantu Jack berdiri. Ia tidak mau Jack merusak TKP.

"JACK! DASAR BODOH! JANGAN RUSAK TKP-NYA!!" sahut Mihail dengan suara keras.

Jack menutup telinganya dan memasang wajah cemberut. "Ugh! Maafkan aku!"

Catherine hanya menggelengkan kepalanya. Ternyata Jack di dunia ini tidak beda jauh dengan Jack di dunia asalnya. Sama-sama ceroboh!

Kedua mata Catherine terbelalak lebar ketika melihat ke ruang santai. Ada sosok pria berpakaian serba hitam yang duduk di salah satu sofa, sedang menikmati pemandangan di jendela.

Catherine bergegas mendekati sosok pria itu.

"Altair! Kok kamu ada di sini?!" tanya Catherine.

Yang dipanggil menolehkan kepalanya ke arah Catherine. "Hello, Catherine Lindberg. Kita bertemu lagi."

"Kok kamu di sini?!"

"Aku baru selesai bekerja. Mencabut nyawa pria yang terbaring itu," tunjuk Altair pada mayat korban. "Kupikir pemandangan dari sini sangat indah. Jadi, aku memutuskan untuk istirahat sebentar di sini."

"Pergi dari sini! Ini TKP! Warga biasa tidak boleh ada di sini! Nanti kamu mengganggu penyidikan!"

"Aku bukan "warga", tetapi Dewa Kematian. Lalu, sebaiknya kau mengecilkan suaramu, Catherine Lindberg. Karena tidak ada yang bisa melihatku kecuali kamu. Kamu terlihat seperti berteriak pada udara kosong."

Catherine terperanjat. Ia mengepalkan tangannya. Bisa-bisanya Altair tidak memberi tahu hal sepenting itu. Siapapun yang mendengarnya, pasti akan menganggapnya gila.

Tahu Catherine merasa kesal padanya, Altair menunduk sambil memegangi ujung topinya.

"Kat, kamu kenapa?"

Catherine terperanjat lagi. Sepertinya Jack menemuinya karena mendengar teriakannya.

"A-ah... Uhm... Tadi aku rasanya melihat seseorang yang bukan polisi di sini. Tadinya mau aku tanya soal kasus ini ... " Catherine berusaha membuat-buat alasan.

"Tidak ada orang di sini," kata Jack. "Ya sudah. Ayo kita tanya keluarga korban. Mereka menunggu di lantai satu."

Catherine mengangguk. Sebelum ia pergi mengikuti Jack, Catherine sempat melihat ke arah Altair dan berbisik agar Altair pergi dari sini.

Catherine dan Jack tiba di sebuah kamar yang cukup luas di lantai satu. Para keluarga korban semuanya duduk di sofa panjang yang ada di kamar itu. Seorang wanita muda yang memakai pakaian yang terlihat mahal mendekati mereka berdua.

"Ba-bagaimana apakah sudah menemukan pelakunya?" tanya wanita itu.

"Anda ... "

Mendengar ucapan Catherine, wanita itu memperkenalkan dirinya. "Saya Anna Miller. Istri dari Jay Miller," ucapnya.

Catherine lalu mengajak Anna untuk berbicara di luar ruangan agar yang lain tidak mendengar. Catherine agak terpana melihat pakaian mahal yang dipakai wanita itu. Sangat cocok dengan tubuh rampingnya. Aura "orang kaya"-nya sangat terasa. Pakaian mahal wanita itu sangat cocok dengan sandal rumahnya yang berwarna kuning.

"Saya Jack Klein dan ini partner saya, Katarina Lindberg," ucap Jack memperkenalkan dirinya dan Catherine. "Saat ini kami masih dalam proses penyidikan."

"Maaf, boleh tahu siapa wanita muda yang duduk di sebelah Anda?"

"Itu Mita, asisten rumah tangga kami," jawab Anna.

"Menurut TKP, kemungkinan besar pelakunya adalah orang yang tinggal di rumah ini. Berapa orang yang tinggal di rumah ini termasuk suami Anda?"

"Di rumah ini hanya ada 4 orang. Saya, suami saya, anak kami yang bernama Kenny, dia umur 7 tahun, dan Mita."

"Berarti pelakunya ada di antara mereka berdua," pikir Catherine.

"Tapi, semuanya baik kok! Tidak mungkin kami membunuh suami saya seperti itu," ucap Anna tegas.

"Yah, masih ada kemungkinan pelakunya orang luar. Rumah ini tidak ada CCTV jadi bisa jadi ada orang luar menyelinap dan membunuh suami Anda," ucap Jack. "Apakah ada orang yang dendam pada suami Anda?"

"Banyak sekali. Sejak restorannya semakin terkenal dan ia berhasil membuka banyak cabang, ia sering sekali dapat ancaman. Ia sampai ambil sertifikat kepemilikan senjata api untuk melindungi dirinya."

"Kalau begitu, apakah suami Anda menyimpan surat ancaman atau semacamnya?"

"Tidak. Semuanya langsung dibuang. Tapi saya bisa memberitahu restoran mana saja yang pernah mengancam suami saya."

"Baik, silakan dibuat daftarnya dan berikan kami nanti," ucap Catherine. "Oh, ya, apa saja yang Anda lakukan hari ini? Dari bangun tidur sampai sekarang?"

"Saya bangun pukul 06.00. Setelah itu saya pergi ke taman untuk merawat kebun bunga di belakang sampai waktunya sarapan sekitar pukul 07.30. Lalu ... " Anna mulai menangis.

Catherine langsung memeluk Anna dan menepuk punggungnya dengan lembut. "Baik, kami mengerti. Oh, ya, Kenny dimana?"

"Begitu aku dan Mita menemukan suami saya, aku langsung membawa Kenny pergi dan meninggalkannya di rumah pamannya 2 blok dari sini. Saya tidak ingin Kenny melihat hal yang mengerikan."

"Tindakan yang bagus. Anda yang menemukan suami Anda pertama kali?"

Anna menggeleng. "Tidak. Yang pertama menemukannya adalah Mita. Ia pergi ke kamar suami saya karena suami tidak datang saat sarapan. Lalu, terdengar teriakan. Setelah itu, saya meminta Kenny agar tidak kemana-mana dan langsung ke lantai 2. Saat itulah aku menemukan suamiku yang bersimbah darah dan Mita yang duduk tersungkur di depan pintu."

Catherine mengangguk-angguk sambil mencatat semua pernyataan Anna.

"Berjanjilah bahwa kalian akan menangkap pelakunya!" ucap Anna sambil terisak.

"Kami tidak bisa berjanji, namun kami akan berusaha sekuat tenaga," jawab Jack. "Nah, silakan kembali ke dalam. Tunggulah di sana. Oh, ya, kami juga ingin bicara dengan Mita."

Anna mengangguk. "Baik, akan saya suruh dia kemari."

Anna lalu masuk ke dalam ruangan. Jack mendekat pada Catherine dan berbisik, "Terkadang keluarga korban meminta kita berjanji agar bisa menangkap pelakunya. Tetapi kita tidak boleh berjanji seperti itu karena kita hanya manusia, tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi."

Sebenarnya Catherine sudah tahu hal dasar seperti itu, namun ia pun mengangguk.

"Maaf, katanya Anda mau bicara dengan saya?"

Catherine dan Jack terperanjat. Sosok Mita sudah ada di belakang mereka. Kesan pertama yang Catherine dapat ketika melihat wanita itu adalah "imut". Mungkin karena tinggi badannya di bawah Catherine. Mita memakai pakaian yang biasa—sangat kontras dengan majikannya. Ia juga memakai sandal rumah berwarna merah.

"Anda Mita? Asisten rumah tangga di rumah ini?" tanya Jack.

"Benar. Nama saya Mita Ashemint. Saya sudah bekerja selama 2 tahun di rumah ini."

"Pekerjaan apa yang biasa Anda lakukan?" tanya Catherine.

"Membersihkan rumah, memasak, membangunkan Kenny, membantu Kenny bersiap-siap ke sekolah, dan masih banyak lagi."

"Tadi Bu Anna bilang kalau dia berkebun pagi ini. Apakah Anda juga membantunya?"

"Tidak. Saya dilarang mendekati kebunnya sejak saya tidak sengaja menumpahkan pupuk."

"Begitu ya," Catherine manggut-manggut.

"Apa yang Anda lakukan pagi ini dari bangun tidur hingga saat ini?" tanya Jack.

Mita berpikir sebentar lalu berkata, "Saya bangun pukul setengah 4 pagi, lalu setelah membersihkan diri, saya menyiapkan sarapan dan bekal untuk Kenny."

"Hari ini masak apa?" tanya Catherine.

"Omelet," jawab Mita. "Setelah masakan tersedia di meja makan, saya membangunkan Kenny dan membantunya bersiap-siap."

"Pukul berapa?" tanya Jack. "Lalu membantu Kenny itu ... "

"Kenny sudah bisa mandi sendiri jadi saya hanya membantunya memakaikan bajunya dan merapikan rambutnya. Kira-kira pukul 6 sampai setengah 8."

"Baik, lalu?"

"Lalu, saya membawa Kenny ke meja makan karena saatnya sarapan. Nyonya sudah ada di meja makan."

"Selama mereka makan, apa yang kamu lakukan?"

"Karena Tuan tidak juga datang, saya pergi ke kamarnya. Lalu ... "

"Baik, kami mengerti," ucap Jack sambil tersenyum.

"Satu lagi," ucap Catherine tiba-tiba. "Soal sandal rumah yang kalian pakai ini... unik ya!"

Mita melihat ke arah sandalnya. "Ah, ini sandal rumah yang diberikan kepada masing-masing penghuni rumah. Semuanya punya warnanya masing-masing. Lalu, sandal ini juga pesanan khusus. Tidak bisa dicari di toko manapun. Tidak ada cadangan. Kalau rusak, baru diganti. Begitu kata Tuan."

"Orang kaya terkadang aneh juga ya," komentar Catherine. Jack mengangguk setuju.

"Baik, paling segitu saja dulu pertanyaan dari kami. Silakan kembali menunggu di ruangan tadi. Kalau ada yang ingin kami tanyakan, kami akan menemui Anda," kata Jack.

Mita menunduk sedikit lalu pergi meninggalkan mereka. Catherine membaca catatannya.

"Bagaimana menurutmu, Kat?" tanya Jack.

"Mereka berdua punya kesempatan untuk membunuh korban," jawab Catherine. "Anna, bisa membunuh korban saat "berkebun". Bisa jadi ia berbohong soal berkebun dan malah membunuh suaminya. Sedangkan Mita, bisa membunuh korban ketika Kenny sedang mandi."

"Aku juga memikirkan hal yang sama," kata Jack. "Kurasa kita harus berkeliling di rumah ini mencari petunjuk. Kalau pelakunya di antara mereka, pasti ada petunjuk di rumah ini."

Catherine mengangguk setuju. Lalu, ada seorang polisi berseragam yang menyerahkan secarik kertas kepada Jack. Ia berkata bahwa kertas itu dari Anna.

Jack membaca isi kertas itu dan matanya terbelalak.

"Ya ampun! Ini daftar musuh korban? Banyak banget!"

Catherine ikut membacanya dan otomatis langsung menggelengkan kepalanya. "Ini antara apakah benar mereka musuh korban atau sang istri ingin restoran-restoran ini diperiksa polisi. Mungkin supaya bisa menjadi skandal?"

"Kat, kirim list ini ke Sarah dan minta dia cek soal ini. Lalu, minta Sarah untuk memeriksa database semua identitas anggota keluarga di rumah ini," ucap Jack.

"Baik."

Catherine segera memotret kertas itu dan mengirimkannya pada Sarah. Tak lupa ia juga menyampaikan permintaan Jack.

"Ayo, Kat, kita berkeliling. Kamu periksa lantai ini, aku akan memeriksa di lantai bawah," kata Jack.

"Oke, Jack," balas Catherine.

Catherine dan Jack pun mulai bergerak. Lagi-lagi Jack tersandung sesuatu yang tidak terlihat. Untungnya Catherine segera menangkap kerah Jack sehingga Jack tidak terjerembab ke lantai.

"Fyuuuh... Terima kasih, Kat!" ucap Jack setelah berhasil berdiri.

"Hati-hati, Jack."

Catherine mulai berkeliling memeriksa lantai 2. Di sekitar tangga hanya ada 3 pintu. Pintu pertama adalah kamar korban, sebelahnya adalah ruang tempat Anna dan Mita menunggu, sebelahnya lagi kamar kerja. Mungkin milik korban kalau dilihat dari banyaknya tumpukan kertas laporan keuangan restoran dan binder berwarna merah tua yang berisi kumpulan resep masakan.

Lalu Catherine melemparkan pandangannya ke arah ruang santai. Ia menarik napas lega karena Altair sudah tidak ada di sana.

Mata Catherine menemukan sebuah pintu kecil di sudut ruangan. Karena ada di sudut, ia baru menyadari keberadaan pintu itu.

Di balik pintu itu adalah tangga spiral yang cukup sempit. Hanya muat satu orang. Catherine pun menaiki tangga hingga ke atas. Ia ingin tahu ada ruangan apa lagi di rumah mewah ini.

Setelah menyusuri tangga ke atas, Catherine tiba di atap. Sepertinya ini tempat menjemur pakaian karena ada beberapa tali yang membentang dari ujung tembok ke tembok lainnya. Di ujung atap ada tembok pembatas setinggi pinggang. Catherine segera mendekati pembatas itu dan menikmati pemandangan perumahan yang membentang.

"Kalau aku lompat dari atas sini, apakah aku bisa pulang ke dunia asalku?" gumam Catherine.

"Tidak. Kamu akan mati."

"HUWAAAAAA!!!" Catherine terkejut hingga hampir terjungkal. Tapi ia tidak sampai terjatuh karena orang yang membuatnya terkejut itu menangkapnya sebelum pantatnya menyentuh lantai.

"Maaf aku mengejutkanmu, Catherine Lindberg."

"ALTAIR!!!" Catherine segera berdiri dan mendorong Altair. "Sudah kubilang jangan ganggu TKP!"

"Tapi aku kan tidak terlihat."

"Itu lebih parah!" Catherine berkacak pinggang dan menatap kesal pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Lalu, pandangan Catherine melunak dan mulai bertanya pada Altair. "Apa maksudmu kalau aku akan mati?"

"Kamu akan mati kalau melompat dari sini. Kalau mati, kamu tidak akan bisa kembali ke sini. Karena kamu berasal dari universe lain, saat mati, jiwamu akan berkeliaran tanpa henti dan tanpa tujuan," jawab Altair.

"Gentayangan?"

"Semacam itu. Hanya saja, kamu akan selamanya gentayangan, walau waktu sudah berakhir. Bahkan Dewa Kematian pun tidak akan bisa membimbing jiwamu ke dunia selanjutnya."

Catherine bergidik ngeri. Dalam hati, ia tetap merasa kesal kenapa ia harus mengalami hal ini.

"Kamu tidak perlu khawatir, Catherine Lindberg. Kalau kamu berada dalam bahaya, aku akan melindungimu," ucap Altair.

Catherine tersipu mendengar perkataan Altair. Ia menatap mata lapis lazuli Altair dan ia bisa mengetahui bahwa Altair bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

"Te-Terima kasih? Ugh!" Catherine salah tingkah. Lalu ia teringat kalau harus memeriksa rumah ini ketika kedua matanya menangkap sebuah incinerator. Catherine pun memeriksa alat tersebut.

"Ini alat untuk membakar sampah kan?" tanya Altair.

Catherine sadar kalau Altair masih ada di dekatnya namun ia membiarkannya. "Iya. Sepertinya baru saja dipakai. Aku harus memanggil Mihail agar memeriksa alat ini!"

Catherine bergegas mencari Mihail. Ia cari di lantai 2, tidak ada. Akhirnya ia pergi ke lantai 1. Benar saja, ia menemukan Mihail akan pergi.

"Mihail! Tunggu!" seru Catherine.

Yang dipanggil menghentikan langkahnya dan melihat ke arah suara. Catherine berhenti di depan Mihail lalu mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

"Ada apa, Katarina? Aku mau kembali ke lab karena mau autopsi mayat," ucap Mihail. "Mayat korban sudah tiba di lab."

"Sebentar! Di lantai atas, tempat menjemur pakaian, ada incinerator dan sepertinya baru saja dipakai. Tolong periksa isinya! Siapa tahu ada petunjuk di sana!" seru Catherine.

"Baik, aku akan ke sana dan membawanya ke lab. Oh, ya, sebaiknya kamu bantu Jack. Kasian tuh Jack baru saja jatuh lagi. Kakinya terluka. Tidak parah sih."

"Apa?!"

"Dia ada di ruang tamu. Aku akan memeriksa incinerator itu dan melaporkan apa yang aku temukan padamu," ucap Mihail sambil berlalu.

"Aku yakin kalau incinerator itu menyimpan petunjuk penting! Mungkin pelakunya menggunakan alat itu untuk memusnahkan bukti! Sekarang aku hanya perlu menunggu berita baik dari Mihail!!" ucap Catherine dalam hati.

✧✧✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top