Ep. 3 - The Man Who Wears All Black

There was a gentleman
who was wearing all black
But his heart is pure white
And his heart is already taken
by a pure-hearted lady with a beautiful smile.

❁⃘*.゚

Daylily adalah sebuah kota yang ditumbuhi banyak bunga daylily kuning. Bunga daylily kuning sudah menjadi bagian dari kehidupan penduduk Kota Daylily. Bagi mereka, bunga daylily kuning adalah sumber mata pencaharian, bahan makanan, alat kebudayaan, dan lain-lain.

Salah satu kebudayaan yang ada di Kota Daylily adalah menghias foto seseorang yang sudah meninggal dengan rangkaian bunga daylily kuning. Jika sudah layu, harus diganti dengan yang baru. Hal ini dipercaya warna terang bunga daylily kuning akan membantu roh dari orang yang sudah meninggal itu menuju surga.

Catherine tidak menyangka bahwa fotonya dihiasi bunga Daylily kuning, itu berarti dia sudah meninggal. Candaan yang tidak lucu.

Di tengah kebingungannya itu, ia bertemu dengan seseorang yang malah membuatnya tambah bingung.

"Akhirnya aku menemukanmu, Catherine Lindberg."

Catherine mengangkat kepalanya. Di hadapannya, ada seorang pria yang memakai baju serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Catherine merasa pakaian orang ini aneh karena mengingatkannya pada buku sejarah negara Inggris. Pria ini memakai top hat hitam di kepalanya dan memakai jubah hitam yang menutupi suit hitam di baliknya. Warna mata lapis lazulinya begitu indah diantara warna hitam di tubuhnya. Warna kulit yang putih pucat membuat Catherine mengira kalau orang ini sedang sakit. Tangan kanannya memegang sebuah payung hitam.

"Kamu siapa?" tanya Catherine. "Kamu mengenalku?"

"Tentu saja aku mengenalmu."

Catherine menyeka air matanya lagi dan berdiri. "Tapi aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Itu karena ini pertama kalinya kita bertemu."

Catherine bingung harus menjawab apa. Ia mulai berpikir kalau orang di hadapannya ini adalah seorang stalker. Namun, Catherine tetap menjaga ekspresinya dan mulai bertanya, "Kamu siapa?"

"Aku adalah sesuatu yang biasa kalian―para manusia―sebut Dewa Kematian atau Malaikat Maut," jawab pria itu.

Catherine memutar bola matanya. "Apa-apaan orang ini? Dewa Kematian? Malaikat Maut? Apa ini modus baru penculikan? Benar-benar mencurigakan. Pakaiannya saja aneh."

Catherine menarik napas dan mengembuskannya. "Maaf. Aku sama sekali tidak mengenalmu. Lalu, Anda ini terlihat sangat mencurigakan sebaiknya ikut denganku ke kantor polisi."

"Eh? Tapi aku―"

Catherine merogoh sakunya dan mengeluarkan borgol. "Walau begini aku ini polisi. Sebaiknya jangan melawan dan ikut saja."

Saat Catherine akan meraih tangan pria itu untuk diborgol, pria itu menghilang. Hilang tanpa jejak.

Catherine melemparkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari pria itu. Namun, hasilnya nihil. "Orang itu benar-benar menghilang seperti asap."

Catherine memegang dahinya mengira ia sedang demam hingga berhalusinasi melihat pria serba hitam itu. Namun, suhu tubuhnya normal.

"Kurasa aku harus banyak istirahat," gumam Catherine.

Catherine berpikir sejenak karena rasanya suara pria itu pernah ia dengar sebelumnya. Lalu ia teringat bahwa suara itu sama dengan suara bariton yang memanggilnya semalam saat ia meringkus penjahat bersama Jack.

"Apa orang itu yang ... "

Catherine memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Setelah sampai, ia langsung membersihkan diri agar terasa lebih segar. Lalu, ia mengambil kue dari kulkas dan menyantapnya sambil menonton TV.

"Aneh. Semua acara TV sangat berbeda dari yang aku ingat. Tidak ada berita yang membicarakan soal kasus pembunuhan berantai. Bahkan semua orang di kepolisian juga tidak ada yang membicarakannya. Ada apa ini?" gumam Catherine.

Pikiran Catherine berkecamuk. Bagaimana mungkin kejadian terkejam dan terparah saat ini bisa dilupakan begitu saja? Selain itu, apa yang terjadi pada Catherine hari ini, membuatnya berpikir ulang tentang dirinya sendiri.

"Apakah aku ini benar-benar sudah meninggal?"

Catherine menyendokkan kue ke mulutnya dan mengunyahnya. Krim lembut yang manis meleleh dan memanjakan bagian dalam mulutnya. Ditambah dengan rasa manis coklat dan kopi yang menambah cita rasa kue tersebut.

"Aku bisa merasakan kue ini. Mana mungkin orang yang sudah meninggal bisa merasakan enaknya kue ini?"

Catherine melahap kuenya lagi. Kali ini pikirannya melayang pada pria baju hitam yang tiba-tiba menghilang itu. Karena orang misterius itu satu-satunya orang yang mengenalnya sebagai "Catherine Lindberg".

"Aku ingin bertemu dengan pria itu. Tapi bagaimana caranya ya? Lalu, apakah dia benar-benar ada? Apalagi dia bilang kalau dia adalah Dewa Kematian," ucap Catherine.

Ting tong!!

Bel pintu berbunyi. Catherine meletakkan kuenya di atas meja dan menatap ke arah pintu, bertanya-tanya siapa yang datang.

Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Kedua matanya terbelalak ketika ia melihat pria baju serba hitam misterius di depan pintunya.

Bruuk! Catherine jatuh terduduk dengan mata masih terbuka lebar. Ia tidak menyangka kalau orang itu akan datang menemuinya lagi.

"Ma-Maaf aku mengagetkanmu, Catherine Lindberg," ucap pria itu yang lalu mengulurkan tangannya. "Ayo, kubantu berdiri."

Catherine mengerjapkan matanya berkali-kali namun orang itu masih ada di hadapannya. Ia pun memberanikan diri mengambil tangan orang itu. Dingin. Betapa dinginnya tangan orang itu. Rasanya seperti es.

Catherine berdiri dan masih tidak melepaskan tatapannya dari pria di hadapannya. Genggaman tangannya semakin erat.

"Uh... Uhm... Catherine Lindberg..." panggil orang itu.

"Ah, maaf!" Catherine lantas melepaskan genggaman tangannya. "Aku tidak ingin kamu tiba-tiba menghilang lagi. Eh, maksudku... um..."

Entah kenapa suasananya jadi canggung.

"AAAAHHH!!! BODOHNYA AKU!!! KENAPA AKU MENGATAKAN HAL SEPERTI ITUU!! MANA MUNGKIN ORANG BISA MENGHILANG!" teriak Catherine dalam hati.

Pria itu menunduk sambil memegangi ujung topinya. "Ma-Maaf, tiba-tiba aku menghilang seperti itu. Aku terlalu gugup karena aku tidak terbiasa bicara dengan manusia. Apalagi kamu juga mengeluarkan borgol."

"Hah?! Dia beneran menghilang?! Bagaimana caranya?! Lalu dia ini orang yang pemalu???" pikir Catherine.

"Um... Catherine Lindberg, kamu pasti merasa bingung kan? Aku akan menjelaskan semua yang terjadi pada hari ini," ucap pria itu.

Catherine pun teringat kalau ia juga ingin bicara padanya. Catherine pun mempersilakan pria itu masuk dan duduk di salah satu sofa. Mamanya selalu mengajari agar selalu sopan pada tamu yang tidak punya niat jahat. Makanya, Catherine pun menyuguhkan teh dan kue.

"Terima kasih," ucap pria itu saat Catherine meletakkan secangkir teh di depannya.

Catherine lalu duduk dan menatap pria itu. Ia sama sekali tidak merasakan ada niat jahat dari pria itu. Ia pun menggelengkan kepalanya dan tetap meningkatkan kewaspadaannya.

"Kamu... satu-satunya yang memanggilku dengan nama asliku, "Catherine Lindberg"," ucap Catherine memulai pembicaraan. "Kamu ini siapa?"

"Aku sudah mengatakannya tadi sore kan? Aku ini Dewa Kematian. Mungkin sebagian manusia menyebutku dengan julukan Malaikat Maut," jawab pria itu.

Catherine mendengus. "Aku tidak percaya dengan hal seperti itu. Baiklah, kau ini Dewa Kematian, tapi apa kau punya nama? Masa' aku harus memanggilmu dengan sebutan itu?"

"Altair. Namaku Altair."

Catherine terdiam sebentar. Nama pria itu lebih indah dari yang ia duga.

"Baiklah, Altair," kata Catherine. "Tadi kau bilang kau akan menjelaskan apa yang terjadi hari ini. Apa maksudmu?"

"Hari ini semua orang tidak mengenalmu, kan?"

"Iya."

"Aku minta maaf. Itu semua gara-gara aku. Aku yang membuatmu mengalami hal ini. Aku memindahkanmu ke dunia ini. Di sini bukanlah dunia yang biasa kamu tinggali atau ken―"

Altair tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba ada tenaga besar yang menarik kerah bajunya hingga ia beranjak dari tempat duduknya. Namun ia tidak melakukan apa-apa walau mengetahui Catherine yang melakukan hal itu.

"INI GARA-GARA KAMU?! CEPAT KEMBALIKAN SEPERTI SEMULA!! AKU TIDAK SUKA INI! SEMUA ORANG TIDAK MENGENALKU DAN MENGATAKAN AKU SUDAH MENINGGAL!!! HAL INI SANGAT MENGERIKAN BUATKU!!!"

"A-Aku mengerti. Untuk itu aku akan menjelaskan alasannya," balas Altair.

Catherine menatap tajam Altair dan mendorongnya keras. Catherine membanting pantatnya ke sofa dan menyilangkan kakinya.

"Cepat jelaskan atau aku akan menyeretmu ke kantor polisi!" sahut Catherine.

Altair merinding. Lalu ia pun mulai bicara.

"Aku memindahkanmu ke "Dunia Dimana Catherine Lindberg Sudah Meninggal". Di dunia ini, tidak ada "Catherine Lindberg" karena "Catherine Lindberg" memang sudah meninggal."

"Tapi aku di sini!! Lihat! Aku masih hidup!!" sahut Catherine sambil menepuk dadanya.

"Ya. Kamu memang masih hidup. Namun, kamu bukanlah "Catherine Lindberg" asli di dunia ini. Dirimu yang di dunia ini sudah meninggal. Kamu di sini hanya orang asing, datang dari "Dunia Dimana Catherine Lindberg Masih Hidup"."

"Jadi, ini bukan tempat yang aku kenal?"

"Benar. Dunia ini terlihat sama seperti dunia asalmu, namun sebenarnya berbeda. Di dunia ini, kamu sudah meninggal. Maka dari itu, tidak ada yang mengenalmu."

Air mata Catherine menitik. Ia bingung harus berkata apa. Dadanya terasa sesak, kepalanya terasa sakit. Ia ingin semuanya kembali seperti semula.

"La-lalu kenapa kamu membawaku ke sini? Aku tidak suka di sini. Aku kesepian. Aku mau pulang. Aku mau semuanya kembali seperti semua. Tidak apa-apa aku kerja lembur terus dan mengurusi kasus sulit dan berbahaya, yang penting aku bisa kembali..." isak Catherine.

"Aku bisa memulangkanmu ke dunia asalmu. Namun dengan satu syarat," ucap Altair.

"Apa itu?"

"Kamu harus mengabulkan permintaanku. Aku ingin kamu mengungkap kebenaran dari kematian "Catherine Lindberg"."

Catherine mengusap air matanya. Ia tertegun. Apa maksudnya dari 'kebenaran' dari kematian dirinya yang lain itu?

Mengetahui rasa bingung Catherine, Altair pun menjelaskan.

"Menurut polisi, Catherine Lindberg di dunia ini meninggal dunia karena terpeleset jatuh ke sungai dan hanyut. Namun sebenarnya―"

"Tunggu sebentar!" potong Catherine. "Aku tidak tahan mendengarmu menyebut nama diriku yang sudah meninggal itu dengan nama lengkapku! Kenapa kamu selalu memanggil seseorang dengan nama lengkapnya sih?!"

Altair menunduk sambil memegangi ujung topinya. "Ma-Maaf. Ka-kalau begitu, bagaimana kalau kita kasih julukan untuk menyebutnya?"

"Julukan? Hmmm..." Catherine pun berpikir sejenak. "Cat!! Cat saja! Aku selalu dipanggil "Cat" oleh semua kenalanku, pasti diriku di dunia ini juga dipanggil "Cat". Karena namaku sepertinya berubah menjadi "Katarina", kurasa tidak apa-apa pakai nama "Cat"."

"Baiklah," balas Altair. "Menurut polisi, Cat meninggal dunia karena terpeleset jatuh ke sungai dan hanyut. Namun sebenarnya bukan itu sebenarnya."

"Memangnya apa yang sebenarnya terjadi?"

"Cat diculik lalu dirudapaksa hingga tewas karena tubuhnya tidak kuat," jawab Altair.

"Ru-rudapaksa...? Maksudmu... Cat... diperkosa?"

Altair mengangguk.

Catherine tiba-tiba kehilangan keseimbangannya. Ia jatuh merosot dari sofa. Altair sontak berdiri dan membantu Catherine. Catherine memegangi tangan Altair dan berusaha kembali duduk di sofa.

"Ma-Maaf... Aku ... " ucap Catherine setelah mengumpulkan tenaganya kembali.

"Tidak apa-apa. Aku tahu apa yang kamu rasakan," Altair menunduk lagi.

"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya, Altair? Polisi bilang kecelakaan karena jatuh di sungai?"

"Ya. Polisi menutup kasusnya dan menyatakan bahwa Cat tewas karena kecelakaan."

Catherine mengelus dagunya dan berpikir. "Aneh. Kalau kasus rudapaksa seharusnya bisa meninggalkan banyak bukti. Kalaupun bukti di TKP maupun pada pelaku sudah dibersihkan oleh pelaku, tidak mungkin dia bisa membersihkan barang bukti yang ada di tubuh korban. Apalagi kalau kejadiannya hingga korbannya tewas."

"Ya. Namun polisi menutup kenyataan itu. Kupikir juga... polisi seharusnya menyadari itu ketika Cat ditemukan."

"Kamu kenapa tahu kalau Cat tewas bukan karena kecelakaan?"

Altair diam sejenak. Setelah beberapa detik, Altair pun membuka mulutnya. "Karena aku mencabut nyawa Cat."

Mendengar hal itu, Catherine terbatuk-batuk. Rasanya lehernya seperti tercekik. Informasi itu begitu berat baginya. Catherine berusaha menenangkan diri dengan menarik napas perlahan.

Altair yang khawatir memberikan Catherine teh yang tadi disuguhkannya dan memintanya untuk meminumnya.

"Catherine Lindberg, minumlah. Pelan-pelan saja tidak apa-apa," ucap Altair.

Catherine menerima cangkir gelas dari Altair dan meneguk perlahan isinya. Wangi dan kehangatan teh peppermint membuat perasaannya lebih tenang dari sebelumnya.

"Te-Terima kasih, Altair..." ucap Catherine lirih.

Setelah itu, Catherine terdiam. Altair membiarkan Catherine istirahat sebentar. Ia paham bahwa Catherine merasa kewalahan menerima informasi itu. Apalagi hari ini ia juga melewati hari yang melelahkan.

"Ah iya, kamu kan Dewa Kematian. Makanya pekerjaanmu mencabut nyawa ya?" ucap Catherine memecah keheningan.

"Benar. Karena saat itu aku mencabut nyawa Cat, aku mengetahui penyebab kematiannya yang asli. Tetapi polisi malah menyatakannya berbeda dari kenyataan."

"Hmmm. Kemungkinan pelakunya punya kekuasaan hingga bisa mengendalikan polisi," ucap Catherine. "Kapan kejadiannya?"

"Sekitar 15 tahun yang lalu."

"Berarti itu saat aku masih SMP ya?" Catherine berhitung dengan jarinya. "Apa saat kejadian itu aku sudah pacaran dengan Clive?"

"Keinginanku adalah kasus kematian Cat terungkap dan pelakunya ditangkap," ucap Altair.

"Kenapa? Apa hubunganmu dengan Cat?"

Altair terlihat salah tingkah. "Uhm... Aku tidak ada hubungan apapun dengan Cat. Aku pertama kali bertemu dengannya saat aku mencabut nyawanya. A-Aku hanya merasa kalau kematiannya ini tidak adil. Aku tidak mau orang jahat yang menyakiti Cat bisa menikmati kehidupannya padahal Cat menderita. Aku ingin keadilan untuk Cat."

Catherine menatap Altair sebentar lalu mengangguk. "Begitu ya? Saat itu kamu melihat pelakunya?"

Altair menggelengkan kepala. "Sayangnya tidak. Saat aku mencabut nyawanya, aku tidak melihat siapapun. Namun, aku mendengar suara pelakunya. Ada lebih dari satu orang. Mungkin tiga orang."

"Kasian Cat..." gumam Catherine lirih. "Lalu, kamu ingin aku mengungkap kasus itu? Kenapa aku?"

Altair menatap Catherine. "Karena kamu orang hebat. Kamu pantang menyerah dan bisa berempati pada orang lain. Aku yakin, cuma kamu yang bisa memecahkan kasus ini. Selain itu ... "

"Selain itu?"

"Kurasa kamu juga bisa membantu Clive Chester dalam penyelidikannya. Ia menyadari ada keanehan dalam kasus kematian Cat dan sudah menyelidikinya sejak dulu, namun mengalami kebuntuan."

Catherine menunduk. "Clive..." bisiknya.

"Kalau kamu mengabulkan keinginanku, aku akan membawamu pulang ke dunia asalmu," kata Altair.

Catherine terdiam sejenak sebelum mengembuskan napas berat. "Haaaa... kurasa memang tidak ada cara lain. Baiklah, aku akan BERUSAHA mengungkap kasus itu dan menangkap pelakunya. Yah, walau sebenarnya aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu. Karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan."

"Aku yakin kamu pasti bisa melakukannya. Aku juga akan membantu sebisaku."

"Baiklah."

Altair lalu beranjak dari tempat duduknya dan mendekati Catherine.

"Permisi," ucapnya sambil mengambil jepit merah yang terpasang di rambut Catherine.

"Jepitku!"

Altair menggenggam jepit merah itu, lalu jepit itu mengeluarkan sinar berwarna biru selama beberapa detik. Setelah itu, Altair kembali memasangkannya pada rambut Catherine.

"Aku sudah memberi sebagian kekuatanku pada jepit itu. Dengan begitu saat kamu dalam bahaya, merasa sedih, marah, bingung, bahkan kesepian... aku bisa langsung datang ke tempatmu dan membantumu."

Wajah Catherine memerah mendengar perkataan dari pria di hadapannya itu. Apalagi kedua mata lapis lazulinya menatap dalam kedua mata Catherine. Ditambah jari Altair yang masih menyusuri rambut pirangnya dengan lembut. Tanpa sadar, jantung Catherine pun berdegup cepat.

Altair menjauhkan dirinya dan kembali duduk di tempat duduknya. "Kalau kau membutuhkan bantuanku, kamu tinggal memanggil namaku saja. Walau hanya dengan bisikan, dalam sekejap aku akan berada di sampingmu."

Catherine menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Bisa-bisanya ada pria lain selain Clive yang bisa membuatnya seperti itu.

"Kenapa ucapannya manis sekaliiiii??!!!!" teriak Catherine dalam hati.

"Catherine Lindberg, kamu tidak apa-apa?" tanya Altair yang khawatir. "Sebaiknya kamu istirahat. Kamu sudah mengalami banyak hal kan?"

"Eh... Uhmm... Aah..." Catherine salah tingkah. "O-oh iya! Aku ada pertanyaan!!"

"Apa itu?"

"Uhmm... Kenapa namaku jadi Katarina Lindberg?"

"Ah soal itu ya," ucap Altair. "Aku mengubah namamu agar para Dewa Kematian tidak mengincarmu. Kalau sampai Dewa Kematian mengetahui bahwa kamu adalah Catherine Lindberg, mereka akan langsung mencabut nyawamu karena seharusnya "Catherine Lindberg" sudah meninggal. Aku satu-satunya Dewa Kematian yang tidak akan menyerangmu."

"Begitu ya..."

"Salah satu fungsi kekuatanku pada jepitmu itu adalah menyamarkan namamu. Dewa Kematian bisa mengetahui nama manusia hanya dengan melihatnya, namun karena kekuatanku, mereka tidak akan bisa melihat nama "Catherine Lindberg" pada dirimu. Yang mereka lihat adalah "Katarina Lindberg"."

"Jadi, aku tidak boleh menggunakan nama asliku?" tanya Catherine.

Altair mengiyakan. "Tepat sekali. Kamu harus berhati-hati. Namun, aku akan memanggilmu dengan nama aslimu agar kamu tidak lupa namamu. Tenang saja, aku bisa berhati-hati."

"Ba-baiklah. Lalu satu lagi," ucap Catherine lagi.

"Ya?"

"Walau ini bukan dunia asalku, aku tetap harus bekerja di Kepolisian Daylily?"

"Benar. Aku tidak hanya memindahkan dirimu, tetapi juga identitasmu sebagai polisi dan apartemenmu ini agar kamu bisa merasa nyaman. Lagipula, lebih mudah menyelidiki kasus kalau jadi polisi kan?"

Catherine manggut-manggut. "Benar juga. Kamu hebat juga bisa memikirkan sejauh itu."

"Te-terima kasih," balas Altair.

Kedua orang itu lalu terdiam beberapa saat. Catherine hanya diam menunduk memandangi lututnya sedangkan Altair hanya menatap Catherine. Lalu, Altair yang lebih dulu memecah keheningan.

"Aku akan pergi dan membiarkanmu istirahat. Kamu harus istirahat cukup, Catherine Lindberg. Kamu sudah melewati hari yang melelahkan hari ini," ucap Altair sambil berdiri.

"Ah, baiklah," Catherine pun berdiri dan berniat mengantar Altair sampa pintu.

"Ah tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri. Menghilang tiba-tiba seperti yang kamu lihat tadi sore. Karena kita akan berhubungan terus, kuharap kamu terbiasa dengan aku yang pergi dengan menghilang tiba-tiba," ucap Altair.

"A-ah begitu ya," balas Catherine. "Oh, ya, Altair, sebelum kau pergi. Aku mau bertanya sesuatu."

"Apa?"

"Berapa lama kamu sudah menjadi Dewa Kematian? Apa kamu terus-terusan mencabut nyawa manusia?"

Altair mengangguk. "Ya. Pekerjaanku adalah mencabut nyawa manusia yang sudah saatnya mati. Aku sudah melakukannya sejak lama. Hmm... mungkin sudah sekitar 100 tahun? Atau lebih?"

"100 tahun?!" Catherine terperanjat. "W-wow... Umurmu berapa?"

"Aku tidak tahu," balas Altair singkat.

Entah kenapa Catherine merasa tidak enak. Ia berpikir mungkin Altair tipe orang yang tidak suka ditanyai umur. "Ah begitu. Baiklah, kau boleh pergi," Catherine memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.

Altair mengangguk. "Ya. Selamat istirahat, Catherine Lindberg."

Setelah mengucapkan hal itu, Altair langsung menghilang. Catherine diam dengan mata terbelalak karena terkejut melihat Altair yang benar-benar menghilang.

Catherine mengerjapkan kedua matanya dan menepuk kedua pipinya.

"Kasus Cat ini kemungkinan adalah kasus yang berbahaya karena ada orang yang berkuasa yang terlibat. Namun, aku juga harus tetap waspada pada pria itu.

"Altair. Dia tidak menceritakan semuanya. Aku tidak tahu soal kekuatan Dewa Kematian, tetapi apakah mungkin dewa yang kerjaannya mencabut nyawa bisa memindahkan manusia dan elemennya dari satu dunia ke dunia lain? Lalu, aku rasa dia tidak jujur saat menjelaskan alasan kenapa ia mau pelaku yang menyakiti Cat ditangkap.

Sebagai Dewa Kematian, dia pasti sudah melihat banyak kematian yang tidak adil seperti Cat. Namun kenapa hanya karena kematian Cat, dia mengambil aksi seperti ini? Selain itu, kenapa baru sekarang, setelah 15 tahun berlalu? Kalau dia benar-benar ingin Cat mendapatkan keadilan, seharusnya sejak dulu ia melakukan ini kan?

Altair masih menyembunyikan sesuatu. Aku harus waspada terhadapnya."

✧✧✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top