Ep. 21 - No Break For Catherine
You're the sweetest girl.
You're always being so sweet to other people.
You care about them. Want them happy.
But please don't forget, you need to be sweet to yourself.
❁⃘*.゚
Sudah 4 hari sejak Catherine dirawat di rumah sakit. Kondisinya semakin membaik, luka-lukanya sudah mulai pulih walau perutnya kadang terasa nyeri. Fran selalu memantau kondisi Catherine dan cepat menangani Catherine jika ada apa-apa.
Saat ini Catherine terbaring sendirian di kamarnya. Catherine hanya menatap kosong langit-langit kamar warna putih. TV yang menyala tidak ia lihat karena membosankan. Padahal Altair sudah menyalakannya agar Catherine tidak bosan sendiri.
"Bosan..." keluh Catherine.
Ia baru saja terbangun dari tidurnya akibat efek obat, jadi ia tidak mengantuk lagi. Sendirian di kamar putih penuh aroma antiseptik membuat rasa bosannya meningkat.
Sebenarnya Catherine sudah boleh berjalan-jalan di sekitar rumah sakit, namun ia tidak boleh sendirian. Sepertinya Altair menceritakan pada Fran bahwa ia orang yang sedikit gegabah sehingga Fran khawatir dengan apa yang akan dilakukannya apabila gadis itu diperbolehkan keluar sendiri.
Kalau ada teman, ia boleh jalan-jalan. Namun saat ini Altair sedang bekerja dan teman-temannya tidak ada yang datang. Jadi ia benar-benar sendirian.
"Aku pulang."
Kedua mata Catherine berbinar melihat sosok pria berpakaian serba hitam di hadapannya. Pria itu melepas topinya dan membuat jubahnya menghilang.
"Altair!"
"Kamu sudah bangun? Pantas aku merasakan perasaan bosan dari dirimu."
Catherine membuang mukanya. "Huh! Aku tidak apa-apa!"
Altair hanya tersenyum tipis melihat tingkah Catherine. Catherine menarik selimutnya seakan ingin tidur lagi, namun matanya terpaku pada kursi roda yang ada di pojokan kamarnya. Kursi roda itu selalu ia pakai kalau ingin jalan-jalan.
"Mau jalan-jalan?" tanya Altair.
Catherine menoleh ke arah Altair dan menganggukkan kepalanya perlahan.
Altair kemudian mendekatkan kursi roda ke tempat tidur Catherine. Ia lalu membantu gadis itu turun dari tempat tidurnya dan duduk manis di kursi rodanya.
Altair lalu mengambil selimut yang ia bawa dari apartemen Catherine dan ia gunakan untuk meng-cover kaki Catherine agar tidak kedinginan. Tak lupa Altair memakaikan alas kaki di kedua kakinya.
"Mau kemana?" tanya Altair.
"Taman Timur."
"Baiklah."
Altair kemudian mendorong kursi roda keluar kamar menuju tempat kesukaan Catherine. Catherine dan Altair menyapa perawat yang berjaga di pos mereka dan mengatakan bahwa mereka ingin mencari udara segar. Para perawat mempersilakan mereka dan mengingatkan Catherine agar tidak memaksakan diri.
Setelah mereka pergi, terdengar kasak-kusuk perawat yang merasa iri karena Catherine beruntung sekali ada Altair di sisinya.
Selama perjalanan, mata Catherine juga berkeliling di sekitarnya. Ia bisa melihat orang-orang yang berpakaian unik dan serba hitam, namun tak ada seseorang yang memperhatikan mereka selain Catherine.
"Seperti biasa, di sini banyak Dewa Kematian," celetuk Catherine.
"Sudah kubilang jangan ditatap begitu. Nanti kalau mereka sadar kamu bisa melihat mereka, bisa-bisa kamu berada dalam bahaya," kata Altair.
"Habisnya pakaian mereka unik sekali. Semuanya hitam tapi beragam. Ada yang pakai gaun, ada yang pakai jas sepertimu, ada yang pakai dress imut ala idol ... ah! Dia seperti pakai baju olahraga!" tunjuk Catherine.
Altair langsung memukul tangan Catherine agar tidak menunjuk-nunjuk Dewa Kematian yang dilihatnya. Catherine hanya cemberut sambil mengelus tangannya.
"Ngomong-ngomong, kamu tidak apa-apa kalau teman Dewa Kematianmu melihatmu bersama manusia?" tanya Catherine tiba-tiba.
"Tidak apa-apa. Beberapa Dewa Kematian punya teman manusia. Bahkan ada yang menjalani hubungan romantis dengan manusia. Aku juga punya teman manusia selain dirimu. Yah, hanya sedikit sih."
"Hmm... Ternyata Dewa Kematian boleh pacaran juga?"
"Asal tidak mengganggu pekerjaan," kata Altair. "Kalau sampai mengganggu, Dewa Kematian yang bersangkutan akan dihukum dan pasangannya akan dihapus ingatannya."
Catherine diam sejenak. "Kamu punya pacar?"
"Tidak."
"Oh, begitu."
Catherine kembali mengamati para Dewa Kematian itu sepanjang perjalanan.
Sesampainya mereka di Taman Timur, beberapa pasien yang juga berjalan santai di sekitar taman menyapa Catherine dan Altair.
"Nona Kat! Tuan Altair!"
Catherine tersenyum ke arah wanita tua yang menyapanya. Altair langsung mengarahkan Catherine ke tempat duduk wanita tua itu.
"Bu Hellena! Bagaimana keadaanmu?" tanya Catherine.
"Aku baik-baik saja. Bahkan kondisiku membaik dibanding kemarin," balas Hellena.
"Syukurlah!"
Catherine dan Hellena baru pertama kali bertemu kemarin saat Catherine dan Altair mencari udara segar di taman ini. Walau baru pertama kali bertemu, Catherine dan Hellena sudah menjadi teman baik sesama pasien.
Altair sampai kagum dengan kemampuan sosial Catherine yang bisa berteman dengan siapapun hanya dengan sekali bertemu.
Catherine dan Hellena asyik mengobrol sambil sesekali makan kue yang dibawa Hellena. Tentu saja Hellena membagi kuenya pada Catherine dan Altair.
Sekitar 10 menit kemudian, Hellena kembali ke kamarnya karena sudah waktunya mengganti cairan infusnya.
Catherine berdiri dari kursi rodanya dibantu Altair. Pantatnya merasa pegal dan ingin meluruskan kakinya. Catherine dan Altair berjalan pelan mengelilingi taman itu.
Taman Timur tidak begitu luas namun banyak tanaman hijau dan bunga daylily kuning yang menghiasinya. Di tengah taman ada air mancur mini namun indah dengan patung ukiran berbentuk bunga yang menghiasinya. Kata Altair, suara air mancurnya bisa memberi ketenangan bagi para pasien.
Catherine membuka alas kakinya dan memijakkan kakinya di area bebatuan acupressure. Rasanya enak berjalan di atas bebatuan itu. Walau agak sakit namun rasanya seperti dipijat.
"Catherine Lindberg, kurasa sudah saatnya kembali ke kamar. Biasanya jam segini Dokter Fransisca Sanders datang ke kamarmu, kan?" ucap Altair.
"Ah begitu ya? Padahal aku masih ingin jalan-jalan. Rasanya sumpek di kamar terus."
"Mau berjalan memutar? Kalau kita lewat pintu selatan di sebelah sana, kita bisa melihat perawat melakukan anamnesis pasien anak-anak."
Catherine terkekeh mendengar perkataan Altair. "Bilang saja kamu mau mengamati kegiatan perawat itu kan? Kamu kan suka mengamati orang."
Altair hanya diam salah tingkah. Tak menyangka Catherine bisa menebak niat di balik tawarannya itu.
"Ya sudah. Ayo kita lewat sana," kata Catherine.
Altair mengangguk.
Setelah mengenakan alas kakinya, Catherine berjalan di sebelah Altair. Ia tidak mau duduk di kursi roda karena masih ingin menggerakkan kakinya. Altair memperbolehkannya asal Catherine tidak memaksakan diri.
Area pintu selatan lumayan ramai dipenuhi dengan orang tua yang membawa anaknya yang sakit. Memang kalau berjalan ke arah kanan pintu selatan, ada poli anak, namun pendaftarannya di area ini.
Dari jarak sekitar 5 meter, Altair mengamati perawat yang melakukan anamnesis terhadap anak yang akan diperiksa dokter. Perawat itu begitu cekatan mencatat hasil pengukurannya sambil mendengarkan keluhan yang disampaikan orang tua.
"Waaah..." Altair bergumam kagum.
Catherine yang berdiri di sampingnya hanya tertawa kecil melihat tingkah Altair.
Perawat itu kemudian sadar bahwa Altair memperhatikannya. Semburat merah muncul di pipi perawat muda itu hingga ia sulit berkonsentrasi. Catherine menyadari apa yang terjadi, langsung menarik Altair pergi.
"Hey, hey, aku masih mau mengamati kegiatan perawat itu," kata Altair sedikit meronta-ronta dari cengkeraman Catherine.
"Kamu membuat perawat itu terdistraksi. Jadi ayo pergi dari sini," kata Catherine.
"Aku menganggu? Kenapa?"
Catherine tidak menjawab dan hanya menyeret Altair pergi.
"Hmm... Mungkin aku akan ke sini lagi nanti dengan memakai topiku," gumam Altair.
"Ya, sebaiknya begitu," timpal Catherine.
Mereka pun lanjut berjalan. Catherine mengamit lengan Altair memastikan Dewa Kematian itu tidak kemana-mana sembarangan mengamati orang lain.
"Berhenti! Pencuri!!"
Suara teriakan terdengar dari dalam rumah sakit. Terlihat 2 orang petugas security mengejar seseorang yang diduga pencuri. Pencuri itu kemudian berlari ke arah Catherine.
"Minggir, perempuan!" Pencuri itu mengeluarkan pisau dan mengarahkannya ke Catherine.
Catherine tidak gentar. Pijakan kakinya kuat di lantai membentuk kuda-kuda. Ketika pencuri itu lumayan dekat, Catherine langsung mencengkeram kerah baju pencuri itu dan membantingnya ke lantai 180゜.
"Catherine Lindberg!!" seru Altair. Ia langsung menarik badan Catherine menjauhi pencuri yang sudah jatuh pingsan. "Apa yang kamu lakukan?! Berbahaya!"
"Kalau pria ini tidak dihentikan, malah berbahaya untuk sekitar."
"Tapi kamu masih sakit!"
"Aku baik-baik saja, Altair."
Petugas security segera mendekati Catherine dan Altair. "Terima kasih sudah menghentikannya. Anda tidak apa-apa, Nona? Sebaiknya ayo kita ke ruang dokter untuk diperiksa."
"Kamu tidak boleh menolak," kata Altair agak ketus.
Mendengar nada marah dari suara Altair, Catherine pun mengiyakan. Ia maklum Altair marah karena ia sudah melakukan hal ceroboh yang bisa lukanya sendiri semakin parah.
Salah satu petugas mengantar Catherine dan Altair ke ruang dokter. Namun Altair meminta untuk kembali ke kamar Catherine dan diperiksa oleh Dokter Fran, dokter yang menangani Catherine.
Altair lalu memaksa Catherine untuk duduk di kursi rodanya. Catherine menuruti perkataan Dewa Kematian itu.
"KAU CEROBOH SEKALI, NONA LINDBERG!!!!"
Suara teriakan Fran menggema di kamar Catherine hingga Catherine menutup telinganya.
"Aku tahu kamu kuat, Nona! Tapi kamu saat ini sedang tidak sehat! Bahkan kamu tidak kuperbolehkan bergerak terlalu banyak karena luka-lukamu belum sembuh! Bagaimana bisa kamu berpikir untuk membanting pencuri itu?!"
Catherine hanya diam menunduk, mengaku salah.
"Kamu bisa menyerahkan pada petugas kami! Petugas kami juga kompeten kok kalau hanya menangkap pencuri! Kamu tidak perlu membahayakan dirimu dengan melawan pencuri itu! Bagaimana kalau lukamu makin parah?!"
Catherine melirik ke arah Altair dengan mata berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Dewa Kematian itu sambil merengek. "Altair..."
"Aku setuju dengan apa yang dikatakan Dokter Fransisca Sanders. Kamu terlalu ceroboh," balas Altair ketus.
Catherine berteriak dalam hati melihat Altair tidak membelanya.
"Tapi...terima kasih sudah membantu kami menangkap pencuri itu," kata Fran dengan suara lembut.
Catherine membalasnya dengan senyuman. "Sama-sama."
"Untungnya lukanya tidak ada yang terbuka lagi dan kondisimu baik-baik saja. Tetapi sebaiknya habiskan waktumu dengan beristirahat, Nona Lindberg," ucap Fran lagi.
"Baik."
"Aku akan mengawasinya," kata Altair.
Fran mengangguk.
"Dokter Fran, apa yang dicuri?" tanya Catherine yang penasaran.
"Katarina Lindberg, jangan bekerja," ucap Altair.
"Aku cuma penasaran."
Fran diam sejenak sebelum menjawab. "Satu kotak obat bius jenis Propofol. Pencuri itu menyerang penjaga ruang penyimpanan obat dan mencurinya. Terekam di CCTV bahwa pencuri itu langsung mengambil satu kotak begitu masuk ke dalam ruangan."
"Apakah pencuri itu pegawai di sini?" tanya Catherine.
"Tidak."
"Bagaimana keadaan pencuri itu sekarang?"
"Saat ini masih dirawat di ruang rawat. Masih pingsan. Namun anehnya, kami tidak menemukan botol obatnya. Hanya kotaknya yang sudah dilipat rapi dan disembunyikan di balik bajunya."
Catherine diam sejenak. Merasa janggal dari cerita barusan.
"Hanya kotaknya yang ditemukan?" gumam Catherine. "Boleh ceritakan soal Pro ... propo ... itu?"
"Propofol. Itu adalah obat bius yang kami pakai untuk anestesi saat operasi pasien. Namun jika dosisnya disalahgunakan, bisa membunuh manusia. Merk yang biasa kami beli ada 5 botol dalam satu kotak. Setiap kotak dan botol ada kode yang sama. Yang dicuri adalah kode 0013," Fran menjelaskan. "Nih, bentuknya seperti ini."
Fran memberikan smartphone-nya pada Catherine. Catherine menerimanya dan melihat foto Propofol yang ada di smartphone itu. Kedua jari Catherine memperbesar fotonya agar bisa terlihat jelas.
Kotak obat itu berbentuk balok yang berisi botol-botol kecil Propofol. Ada garis warna blue velvet dan tulisan tentang dosis dan lainnya yang tercantum di labelnya.
"Begitu ya. Tetapi 5 botol itu tidak ditemukan dimana-mana? Apakah botolnya kecil sehingga bisa diselipkan di suatu tempat di tubuhnya atau tasnya?"
"Botolnya memang kecil, namun kami sudah menggeledah total pencuri itu. Hasilnya nihil."
"Apakah petugas security sempat kehilangan pencuri itu sewaktu mengejar?"
Mendengar dirinya disebut, petugas security yang masih menunggu di depan kamar Catherine pun angkat suara.
"Tidak, Nona. Kami kejar dari ruang penyimpanan obat sampai pintu selatan. Selama mengejar, ia sama sekali tidak lepas dari pandangan kami."
"Ah, begitu ya."
Catherine diam memikirkan bagaimana caranya botol obat bius itu menghilang begitu saja dari kotaknya. Padahal pencuri tidak melakukan hal yang mencurigakan selama dikejar.
"Apa dibuang?" pikir Catherine. Namun Catherine menggelengkan kepalanya, tidak setuju terhadap pikirannya sendiri. "Kalau dibuang, buat apa capek-capek mencuri obat itu bahkan sampai menyerang petugas farmasi?"
"Bagaimana keadaan penjaga ruang penyimpanannya?" tanya Altair tiba-tiba.
Catherine menatapnya dengan heran. Ia pikir Altair akan melarangnya terlibat lebih jauh, namun Dewa Kematian ini malah ikut bertanya.
"Aah, Vanessa, petugas farmasi kami, masih dirawat di ruang perawatan. Luka kepalanya lumayan besar walau tak sampai mengancam nyawa," balas Fran.
"Altair, kenapa kamu bertanya hal itu?" tanya Catherine sambil berbisik.
"Aku penasaran seperti apa pekerjaan penjaga penyimpanan obat."
"Aah... Kamu mau mengamatinya ya?"
"Tidak boleh? Aku akan pakai topiku nanti."
"Boleh boleh."
Lalu Catherine menoleh ke arah Dokter Fran. "Kalau Nona Vanessa sudah sadar, boleh aku bicara padanya? Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan."
Fran hanya diam sambil memicingkan matanya. Tatapannya penuh rasa curiga dan ia 100% yakin Catherine akan melakukan sesuatu yang melanggar perintahnya.
"Altair penasaran soal pekerjaan penjaga penyimpanan obat!" seru Catherine sambil menunjuk orangnya. Dewa Kematian itu tersentak mendengar ucapan Catherine.
"Hey!" sahut Altair.
Fran menghela napas. "Nona Lindberg, sebaiknya Anda istirahat saja. Patuhi kata-kataku karena aku adalah dokter Anda." Lalu Fran menatap Altair. "Tuan Altair, mohon bantuannya untuk menjaga gadis ini."
Setelah mengatakan itu, Fran pergi meninggalkan kamar Catherine bersama petugas security dan menutup rapat pintunya.
Catherine perlahan merebahkan tubuhnya dibantu Altair. Tatapannya lurus menatap langit-langit kamarnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Ada apa, Catherine Lindberg?" tanya Altair.
"Aku merasa ada yang aneh dari cerita Dokter Fran," jawab Catherine.
"Soal botol obat bius yang hilang?"
Catherine mengangguk. "Kenapa lenyap begitu saja? Pencuri itu mengambil kotaknya langsung dari ruangan penyimpanan obat. Saat dikejar petugas pun ia tak pernah lepas dari pandangan mereka sedetik pun. Tapi kenapa bisa lenyap? Kalau pencuri itu sempat hilang dari pandangan, dia bisa saja menggunakan kesempatan itu untuk menyembunyikannya di suatu tempat dan menyuruh temannya atau untuk ia ambil sendiri."
"Tapi kenyataannya kelima botolnya benar-benar lenyap."
"Benar. Nah ada ide yang muncul di kepalaku. Bagaimana kalau sejak awal obat-obat itu sudah tidak ada di kotaknya? Jadi si pencuri memang hanya mengambil kotaknya."
Altair membetulkan posisi duduknya. "Untuk apa pencuri itu susah-susah mengambil kotak kosong dari lokasi yang dijaga?"
"Nah itu dia yang bikin aku bingung," keluh Catherine. "Aku tidak punya petunjuk apapun soal RS ini."
Catherine lalu melirik Dewa Kematian yang duduk di sebelahnya itu. Senyum terkembang di wajahnya. Senyum itu membuat perasaan Altair merasa tidak enak karena pasti Catherine punya ide tidak menyenangkan dan Altair-lah yang harus melakukannya.
"Kamu ikuti Fran dan cari tahu soal Vanessa. Siapa tahu Vanessa menceritakan semua yang terjadi pada Fran. Oh, ya, pakai topimu ya," pinta Catherine.
Altair hanya menghela napas dengan lesu. "Aku tidak mau menguping pembicaraan manusia."
"Yah, anggap aja ini seperti melakukan hobimu yang suka memperhatikan kegiatan orang. Kan sama."
"Tidak sama!"
"Kalau kamu tidak mau melakukannya, ya sudah, aku saja yang pergi."
Catherine lalu bangkit dan beranjak dari tempat tidurnya. Ia lalu menarik tiang infusnya dan berjalan pelan menuju pintu kamarnya.
Altair segera teleportasi di depan Catherine dan menahan gerakan gadis itu.
"Tidak! Tidak! Kamu tidak boleh gegabah begini!" sahut Altair. "Baiklah aku akan melakukannya. Tapi kamu harus istirahat ya!"
Catherine mengangguk. "Aku janji."
Altair lalu membantu Catherine kembali beristirahat di atas tempat tidur. Ia lalu memunculkan topinya dengan kekuatan ajaibnya. Ketika ia mengenakan topinya, jubah hitamnya muncul menyelimuti badannya.
"Jangan kemana-mana ya. Tetaplah di tempat tidurmu!" ucap Altair.
"Iya iya. Aku akan tetap berada di atas tempat tidurku, kecuali kalau ingin ke toilet," balas Catherine.
Altair mengangguk dan sedetik kemudian ia menghilang.
___________________
Altair kembali ke kamar Catherine dan menemukan Catherine sedang memakan buah yang dibawakan Clive kemarin. Gadis itu tersenyum melihat kedatangannya.
"Kamu tidak pergi kemana-mana kan?" tanya Altair.
"Seperti yang kau lihat, aku sedari tadi hanya duduk di tempat tidurku sambil makan pisang ini," jawab Catherine sambil menyodorkan pisangnya yang sudah setengah digigit. "Mau?" tawarnya.
Altair menggeleng. Ia lalu menarik kursi ke samping tempat tidur Catherine dan duduk di atasnya.
"Jadi, cerita apa yang kau bawa?" tanya Catherine.
Altair lalu mulai menceritakan soal pengintaiannya. Atas permintaan Catherine, Altair mengikuti Fran. Sesuai dugaan Catherine, Fran mengunjungi Vanessa. Sepertinya Fran dan Vanessa adalah teman baik.
Saat Fran masuk ke kamar Vanessa, wanita itu sudah bangun. Vanessa lalu menceritakan apa yang terjadi pada Fran.
Saat kejadian, Vanessa sedang sendirian di tempat penyimpanan obat. Ia sedang memeriksa beberapa obat yang diminta oleh apotek lantai 2. Tiba-tiba kepalanya dipukul dari belakang dan ia tak sadarkan diri.
Fran pun menjelaskan apa yang terjadi. Vanessa diserang oleh pencuri yang mencuri sekotak Propofol nomor 0013. Pencuri itu hanya mengambil obat itu, tanpa menyentuh yang lain. Bahkan pencurinya seperti sudah tahu letak obatnya. Menurut CCTV, setelah pencuri itu menyerang Vanessa, ia langsung masuk ke ruangan penyimpanan obat dan langsung mengambil Propofol tanpa ragu dan langsung lari.
Tentu saja pencuri itu tertangkap kamera CCTV, makanya petugas security langsung mengejarnya. Pencuri itu dihentikan oleh pasien Fran yang kebetulan berada di jalur lari pencuri itu dan melumpuhkannya.
"Aww... Dokter Fran membicarakanku?" tanya Catherine sambil tersenyum seakan penuh haru.
"Fransisca Sanders sangat mengkhawatirkanmu. Bahkan Vanessa Styles yang mendengar ceritanya pun juga khawatir padamu," timpal Altair.
Catherine hanya terkekeh. Altair lalu melanjutkan laporannya.
Kata Altair, menurut Vanessa, Propofol yang dicuri merupakan salah satu barang yang datang tadi pagi. Vanessa yakin karena ia pagi-pagi sudah sibuk mengurus obat-obat baru yang datang. Saking banyaknya, ia sempat kewalahan namun untungnya ia dapat bantuan dari Dokter Pierre.
"Pierre? Rasanya aku pernah mendengar namanya?" Catherine berpikir sejenak. "Ah! Dokter tampan yang merawat Bu Hellena!"
"Ya benar," jawab Altair. "Tak lama kemudian dokter itu datang menengok Vanessa Styles. Ia menanyakan kondisi Vanessa dan berjanji akan mengurus masalah ini demi Vanessa."
"Baik sekali. Apakah Pierre suka sama Vanessa?"
"Kurasa tidak. Soalnya setelah dokter itu keluar kamar, Fransisca Sanders langsung menggoda Vanessa Styles yang sangat beruntung karena bisa bikin dokter yang Vanessa Styles suka melakukan hal besar untuknya."
"Jadi, justru Vanessa suka Pierre? Pierre mungkin tipe orang yang suka membantu orang lain. Makanya saat Vanessa kerepotan mengurusi barang yang datang pun ia bantu."
"Sepertinya begitu."
Catherine lalu memberikan kulit pisangnya pada Altair untuk dibuang. Altair menggunakan kekuatan telekinesisnya untuk memasukkan kulit pisang itu ke tempat sampah.
"Kata Bu Hellena, Pierre itu memang sangat ramah. Lumayan terkenal di kalangan perawat. Wajahnya memang tampan, apalagi rambut pirang keemasannya juga menambah ketampanannya. Rasanya seperti bukan dari dunia ini," ucap Catherine.
"Kamu juga menganggap dia tampan?" tanya Altair.
"Semua yang punya mata pasti bakal menganggap ia tampan!" seru Catherine.
Altair hanya mendengus.
"Berarti selain Vanessa, ada satu suspect lagi," kata Catherine.
"Suspect? Kamu mencurigai Vanessa Styles?" Altair sedikit terkejut.
"Ya. Setelah punya pikiran bahwa sejak awal kemungkinan Propofol itu sudah dicuri, aku mencurigai siapapun yang punya akses atau yang terakhir berurusan dengan obat itu. Vanessa-sebagai penjaga tempat penyimpanan obat yang punya akses bebas, bahkan dokter atau apotek yang butuh suatu obat harus melewatinya-tentu punya akses luas. Bisa saja saat ia mengurus obat itu tadi pagi, ia mencurinya dan menyembunyikannya di suatu tempat. Ia lalu meletakkan kotak kosongnya di rak dan membayar orang untuk "mencurinya"," Catherine menjelaskan.
Altair mengangguk-angguk. "Masuk akal."
"Namun karena ada orang lain yang "menyentuh" obat yang baru datang itu sebelum hilang, orang itu juga bisa menjadi suspect. Apalagi tidak seharusnya dokter menyentuh obat-obatan di farmasi."
"Makanya dokter itu juga menjadi suspect karena ia juga punya akses terhadap obat itu sebelum hilang? Kan dia membantu Vanessa Styles mengurus obat-obat tadi pagi."
"Benar, Altair!" seru Catherine. "Nah, sekarang ayo pergi!"
Catherine beranjak dari tempat tidurnya dibantu oleh Altair. Lalu ia duduk di kursi rodanya.
"Catherine Lindberg, mau kemana? Sebaiknya kamu istirahat saja," kata Altair.
"Ke kamar Bu Hellena!"
___________________
"Kat!"
Suara ceria Hellena menyambut kedatangan Catherine dan Altair di kamarnya. Catherine dan Altair pun masuk ke dalam kamar Hellena.
"Aduh maaf tidak bisa menyuguhkan apa-apa. Suamiku sedang di ruang dokter," kata Hellena.
"Tak apa, bu," balas Catherine.
"Ada apa? Tumben kamu main ke sini."
"Aku cuma ingin bertanya soal dokter yang merawat ibu."
"Oh, Dokter Pierre? Kenapa?"
"Aku mendengar perawat membicarakan dokter itu. Katanya tampan ya?"
Hellena tertawa. "Benar. Rasanya aku bisa cepat sembuh kalau dirawat sama dokter itu. Bahkan suamiku kadang cemburu."
"Ya ampun," Catherine ikut tertawa. "Oh ya, suami ibu di mana?"
"Sedang ke kantin, makan siang. Ia belum makan dari pagi."
Catherine hanya mengangguk sebagai jawaban.
Kemudian terdengar ketukan pintu dan setelahnya pintu itu terbuka, menampakan sosok yang datang.
"Selamat siang, Nyonya Clayfort," ucap sosok itu.
"Dokter Pierre!"
Pierre masuk ke dalam kamar. Catherine tidak bisa melukiskan perasaan saat ia melihat dokter itu. Rambut kuning keemasannya membuat ia terlihat seperti bangsawan kerajaan. Kedua mata birunya yang juga identik dengan warna mata Catherine yang memancarkan keramahan, membuat dada Catherine berdegup. Bentuk wajahnya yang persegi dengan rahang yang tegas membuatnya terlihat semakin macho. Tinggi badannya yang ideal juga membuat Catherine berpikir bahwa jika dokter ini punya pacar dan pacarnya ingin menciumnya, ia harus berjinjit.
Catherine sempat berpapasan dengan dokter ini tapi belum pernah melihatnya sedekat ini. Ketampanannya bahkan melebihi rumor.
"Saya ingin memberikan obat ini yang harus diminum nanti setelah makan malam," ucap Pierre sambil menyerahkan satu strip obat kepada Hellena.
"Terima kasih, dok."
Tatapan Pierre lalu mengarah ke Catherine.
"Ah, apakah Nona juga pasien? Bukankah sebaiknya istirahat di kamar?" tanya Pierre.
Suara Pierre tidak seberat suara Altair maupun Clive, namun suara itu benar-benar bisa memberinya ketenangan. Ketika mendengar suaranya, isi kepala Catherine seperti penuh dengan awan. Rasanya tenang dan meyakinkan bahwa segalanya akan baik-baik saja.
"Orang ini benar-benar cocok menjadi dokter," pikir Catherine.
Altair lalu menepuk pundak Catherine karena Catherine hanya diam saja tanpa menjawab pertanyaan Pierre.
"Ah, aku cuma mau ngobrol dengan Bu Hellena," kata Catherine. "Aku Katarina Lindberg."
"Saya Pierre Deveroux," balas Pierre. "Ah, saya tahu nama itu. Anda pasiennya Franz ya?"
Catherine mengangguk.
"Terima kasih atas kerja kerasnya menangkap buronan jahat itu, Nona Lindberg. Franz cerita soal keberanian Anda dalam melawan penjahat itu," kata Pierre.
Catherine malah jadi salah tingkah. "I-itu sudah menjadi tugasku sebagai polisi. U-uhm...kalian membicarakanku?"
"Ah maaf. Tapi tenang saja, Franz menceritakan tentang kehebatan Anda saja kok. Ia juga sedikit khawatir karena Anda terlalu aktif dan kadang melanggar perkataannya. Apalagi Anda menghentikan pencuri yang kabur dengan jurus judo, kan? Terima kasih juga sudah membantu kami."
"Wah!! Hebat sekali, Kat!! Kapan?!" tanya Hellena.
Catherine pun menceritakan apa yang ia alami saat melumpuhkan pencuri itu.
"Kota Daylily beruntung punya polisi yang tetap berdedikasi melindungi warganya walau dirinya sedang terluka," komentar Pierre.
Catherine kembali salah tingkah. Dipuji sebanyak ini malah membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi ia melakukan ini bukan untuk pujian.
"Namun ... " lanjut Pierre. "Selanjutnya jangan memaksakan diri ya."
Senyuman Pierre ke arahnya membuat jantung Catherine berdegup cepat. Ia yakin bahwa pipinya memerah saat ini, namun ia tidak kuasa untuk menyembunyikannya. Wanita normal mana yang tidak suka diberi senyuman lembut yang seolah mengatakan "kamu tidak perlu memaksakan diri, kan ada aku untukmu" itu?
Altair hanya memutar bola matanya melihat tingkah Catherine.
Kemudian Pierre izin undur diri dan keluar dari kamar Hellena.
"Gimana? Kamu terpesona kan?" tanya Hellena dengan suara setengah mengejek.
"Aku sudah punya pacar!" balas Catherine.
"Yah, punya pacar atau tidak, kalau melihat pesona Dokter Pierre pasti akan bereaksi begitu. Normal, normal," kata Hellena. "Tuan Altair, kamu harus hati-hati ya!"
Altair hanya memasang wajah penuh tanda tanya, tak mengerti maksud Hellena.
Setelah mengobrol dan mendapatkan info soal perangai Pierre dari Hellena, Catherine dan Altair pun pergi meninggalkan kamar Hellena. Sebelum pergi, Hellena membagi cookies-nya pada Catherine untuk dibawa ke kamar. Catherine berusaha menolak, namun karena Hellena terus memaksa, akhirnya Catherine pun menerimanya.
Di atas kursi rodanya Catherine melahap cookies-nya. Namun pikirannya seperti tidak ada di tempat ini.
"Ada apa, Catherine Lindberg?" tanya Altair yang masih mendorong kursi rodanya.
"Oh!" Catherine tersadar dari lamunannya. "Aku curiga pada Pierre."
"Kenapa?"
"Habisnya mencurigakan sekali. Jarang sekali dokter ikut mengurus obat bersama petugas farmasi. Kurasa Pierre memanfaatkan perasaan Vanessa padanya agar diperbolehkan "membantu". Saat itulah Pierre mencuri obatnya."
"Lalu ia menyewa pencuri itu untuk seolah-olah mencuri obat itu kan?" lanjut Altair.
Catherine mengangguk. "Masalahnya sekarang tak ada bukti. Bagaimana caranya mendapatkan bukti bahwa Pierre lah pelaku di balik semua ini."
"Bertanya pada si pencuri itu?" usul Altair.
"Tapi kita tidak tahu kamarnya di mana."
"Kurasa aku tahu," balas Altair.
"Oh ya?"
"Fransisca Sanders mengatakannya saat aku mengintai di kamar Vanessa Styles."
"Kenapa tidak beri tahu dari tadi?!" keluh Catherine. "Ayo ke sana!"
Catherine dan Altair segera pergi menuju ruangan dimana pencuri itu dirawat. Ruangan tersebut ada di paling ujung koridor. Anehnya, tidak ada penjaga atau polisi yang berjaga di depan. Sepi.
"Benar di sini?" tanya Catherine memastikan. "Terlalu sepi."
"Iya. Tidak salah lagi."
Catherine kemudian membuka sedikit pintu kamar itu tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Mata kanannya menjelajah bagian dalam kamar tersebut. Terlihat si pencuri yang ia banting sebelumnya, masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur.
Namun pencuri itu tidak sendirian. Ada Pierre yang berdiri di sebelah tempat tidur pencuri itu. Dokter itu membawa suntikan dan mengisinya dengan cairan yang ada di dalam botol kecil di tangan kirinya. Botol kecil itu memiliki garis berwarna blue velvet, persis dengan foto yang ditunjukkan Fran padanya.
"Oh! Gawat! Dokter itu akan membunuh pencuri itu dengan propofol!" seru Catherine yang tentu saja sambil berbisik.
"Botol kecil itu memang benar Propofol. Ada tulisannya," kata Altair.
Catherine hanya diam. Matanya tetap menatap tajam pada punggung Pierre yang masih belum sadar bahwa Catherine dan Altair mengintip di belakangnya.
"Syukurlah kamu tertangkap, bahkan dalam keadaan tidak sadar," ucap Pierre sambil menatap pencuri itu.
Catherine menelan ludahnya mendengar suara Pierre. Suara dokter itu sangat berbeda dengan Pierre yang ia temui tadi. Suaranya sangat dingin dan penuh dengan keinginan untuk membunuh.
"Bagaimana mungkin seorang dokter bisa memiliki keinginan untuk membunuh?" pikir Catherine.
Altair mendeteksi perasaan takut Catherine. Ia pun mendorong kursi rodanya dan menjauhi ruangan itu.
"Apa yang kau lakukan?! Kembali!" perintah Catherine.
"Tidak. Orang itu berbahaya," kata Altair singkat.
Catherine melompat dari kursi rodanya dan berlari kembali ke depan pintu ruangan tersebut tanpa mempedulikan bahwa ia berlari tanpa alas kaki.
"Gadis ini...!!!" Altair geram.
Catherine kembali berusaha menguping pembicaraan Pierre.
"Karena kamu ada di sini, aku bisa dengan mudah membereskanmu. Terima kasih sudah menjadi pengalih perhatian agar semua orang tidak menyangka bahwa aku mencuri obatnya. Akan kupastikan bahwa keluargamu mendapatkan uang bayarannya," ucap Pierre.
Jarum suntik yang dingin menyentuh lengan pencuri itu. Namun untungnya belum sempat memasuki kulitnya karena aktivitas Pierre terhenti dengan Catherine yang menendang pintu kamar tersebut.
"Jangan bergerak!! Polisi!!" seru Catherine sambil menunjukkan lencana polisinya.
Di belakangnya, Altair akhirnya berhasil menyusul Catherine.
"Sejak kapan gadis ini membawa lencana polisinya?" pikir Altair.
Pierre menunjukkan senyum lembutnya pada Catherine. Senyum yang sama dengan yang tadi ia berikan sebelumnya.
"Nona Lindberg. Ada apa?" tanya Pierre.
"Jangan bergerak, dokter. Aku sudah mendengar semua perkataanmu," balas Catherine. "Dokter Pierre, Anda saya tahan atas tuduhan percobaan pembunuhan terhadap pencuri itu. Anda-"
"Pembunuhan? Aaah... Kamu mendengar semuanya ya?" suara Pierre yang dingin kembali terdengar. Bulu kuduk Catherine sampai berdiri. "Tak kusangka ada tikus yang mengupingku."
"Letakkan suntikan itu di lantai dan angkat tanganmu," perintah Catherine.
Pierre tidak gentar mendengar perintah Catherine. Walau Catherine adalah polisi namun di matanya, Catherine hanyalah pasien yang lemah. Bukannya melakukan perintah Catherine, ia malah berjalan mendekati Catherine.
Tangannya mencengkeram piyama Catherine. Tangannya yang memegang suntikan berisi obat itu, diangkatmya dengan tinggi.
"JANGAN MENGANGGUKU!!!!" teriak dokter itu.
Suntikan itu bergerak cepat mengarah leher Catherine.
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top