Ep. 20 - In The White Room
"Catherine Lindberg..."
Telinga Catherine menangkap suara bariton nan lembut yang memanggil namanya. Perasaan rindu menyelimuti perasaannya. Selama ia berada di dunia "Dimana Catherine Lindberg Sudah Meninggal" ini, ia jarang sekali mendengar nama aslinya disebutkan.
Hanya Dewa Kematian itu yang bisa santai memanggil nama aslinya.
"Itu...suara Altair."
Suara bariton yang memanggil namanya itu membuat perasaannya tenang. Ia ingin sekali membalas panggilan itu. Namun di sekitarnya hanyalah ruangan hitam dengan kegelapannya yang mencekam. Bahkan Catherine tidak bisa melihat tangannya sendiri.
"Catherine Lindberg..."
Suara itu memanggilnya lagi. Kali ini terdengar sedih. Memori Catherine soal penangkapan Neville perlahan-lahan kembali ke dalam ingatannya.
"Ah ya, aku terluka saat melawan Neville. Pantas saja suara itu terdengar sedih. Pasti Altair mengkhawatirkanku."
Tiba-tiba cahaya putih mulai menyinari ruangan gelap dimana Catherine berada. Catherine memejamkan matanya dan membiarkan cahaya tersebut menerangi wajahnya, badannya, hingga ke kakinya.
Saat Catherine membuka kedua kelopak matanya, hal pertama yang ia lihat adalah atap berwarna putih yang tidak familiar. Aroma desinfektan langsung memenuhi hidungnya. Ia diam sejenak sambil menelaah dimana ia sekarang.
"Catherine Lindberg!"
Suara itu lagi. Walau lehernya terasa kaku, Catherine berusaha menoleh ke arah suara. Dilihatnya sosok berpakaian serba hitam duduk di kursi samping tempat tidurnya. Wajah sosok itu terlihat lega dan tangan dinginnya menggenggam tangannya.
"Altair."
"Selamat pagi, Catherine Lindberg."
"Aku...dimana?"
Altair kemudian memberi tahu semua yang ia tahu setelah insiden Neville. Menurut Altair, Catherine dibawa ke rumah sakit dan dirawat oleh dokter dan perawat. Ada banyak luka di tubuh Catherine yang perlu dipantau oleh dokter. Catherine tertidur selama 29 jam. Selama itu juga Altair selalu menemaninya.
"Clive! Bagaimana dengan Clive?" tanya Catherine meninggikan suaranya. Ia langsung mengaduh begitu rasa nyeri di perutnya kembali akibat ia terlalu bersemangat.
"Clive Chester baik-baik saja. Lukanya tidak parah. Ia juga diopname semalam, namun tadi pagi ia sudah boleh pulang. Ia sempat datang ke kamarmu namun kamu masih belum bangun."
"Apa yang dilakukan Clive ketika ia di kamarku?"
"Tidak ada. Ia hanya diam sambil menatapmu. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya."
Catherine sedikit kecewa. Ia tadinya berharap Clive mengatakan sesuatu yang penuh dengan perhatian atau minimal menyentuh tangannya sambil berdoa agar ia bangun.
"Ah, ya, aku harus menekan tombol di dinding ini begitu kamu sudah bangun," ucap Altair. Ia lalu berdiri dan menekan tombol pemanggil yang tertempel di dinding.
Tak lama kemudian, perawat dan dokter datang. Catherine terkejut begitu mengetahui dokter yang merawatnya adalah Dokter Fransisca, dokter yang membantunya ketika insiden perampokan itu.
"Dokter Fran," panggil Catherine.
Fran tersenyum. "Nona Lindberg, kita bertemu lagi. Aku tak menyangka kamu datang ke rumah sakit ini dalam keadaan babak belur. Yah, tapi kami sangat berterima kasih padamu karena berkatmu penjahat yang membuat takut seluruh warga Daylily bisa ditangkap. Aku tidak menyangka kalau kau sendiri yang menghajarnya."
"Ah aku ... "
Dada Catherine merasa berat mendengar hal itu. Ia tidak melakukan apa-apa ketika berusaha meringkus Neville. Altair lah yang berjasa besar. Namun kalau dilihat dari perkataan Dokter Fran, ada kemungkinan Altair menghapus jejaknya agar tidak ketahuan kalau ia juga terlibat, seperti menghapus ingatan Neville atau lainnya.
"Tuan Altair, terima kasih sudah menemani Nona Lindberg," lanjut Fran.
Catherine terkejut mendengar perkataan Fran. Ia segera menoleh ke arah Altair dan sadar kalau Altair tidak memakai topinya. Altair yang pemalu, menampakkan dirinya di hadapan dokter dan perawat. Ini adalah hal baru yang masih belum bisa Catherine proses.
Altair mengangguk sekali. "Terima kasih atas kerja kerasnya, Dokter Fransisca Sanders."
Fran masih belum terbiasa mendengar seseorang memanggil nama lengkapnya. Kemudian ia mulai memeriksa Catherine.
"Kondisinya lumayan stabil," ucap Fran sambil melepas stetoskopnya dari telinga. "Namun karena ada banyak luka di tubuhmu, mohon untuk tidak banyak bergerak. Yang paling parah ada di perutmu. Sepertinya penjahat itu meninju perutmu ya? Hal itu bisa menyebabkan trauma abdomen. Namun trauma itu terkadang tidak langsung muncul, makanya kami akan terus memantau kondisimu. Kalau ada apa-apa, mohon langsung beri tahu."
Catherine mengangguk. Ia pun baru sadar kalau di antara luka di tubuhnya, perutnya lah yang paling banyak memberinya rasa sakit.
Dokter Fran lalu memberinya obat yang harus diminum dan sekali lagi memperingati Catherine apa saja yang tidak boleh dilakukan. Setelah itu, Fran dan perawat lainnya pergi membiarkan Catherine istirahat.
Catherine menoleh ke arah Altair dengan tatapan tidak percaya. Seperti baru saja melihat UFO yang lewat.
"Apa?" tanya Altair yang merasa gerah dengan tatapan Catherine.
"Tak kusangka aku melihat Altair, Dewa Kematian yang pemalu, bicara dengan manusia selain aku dan manusia yang mau kamu cabut nyawanya."
"Reaksimu berlebihan, Catherine Lindberg."
Catherine tak bisa menahan tawanya. Tawanya hanya singkat karena rasa sakit menusuk langsung menyerang perutnya.
"Aduuuh!!"
"Kamu tidak apa-apa, Catherine Lindberg?" Altair langsung berdiri dan memeriksa kondisi Catherine. Ia menempelkan telapak tangannya pada dahi Catherine dan cahaya biru muncul beberapa detik.
"Hmm... Tidak ada perubahan dengan yang sebelumnya. Kurasa kamu tidak apa-apa."
"Apa yang kamu lakukan, Altair?"
"Memeriksa kondisimu. Aku bisa memeriksa kondisimu dengan cara itu."
"Wow. Kekuatan ajaibmu banyak juga ya."
Altair hanya membalas dengan kekehan kecil.
Catherine lalu terdiam. Kedua tangannya memainkan ujung selimutnya. Altair tahu bahwa Catherine seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ragu.
"Kamu tidak perlu merasa bersalah. Sudah kubilang kan, melindungimu adalah kewajibanku," ucap Altair.
Mendengar perkataan Altair, kedua pupil Catherine melebar. Bagaimana mungkin Altair tahu apa yang dia pikirkan?
"Kamu mudah ditebak, Catherine Lindberg. Kamu merasa bersalah karena aku terluka akibat melindungimu kan? Lalu kau juga merasa tidak berguna karena tidak bisa ikut mencari Clive Chester."
Catherine hanya diam menunduk. Altair mengelus kepala Catherine.
"Karena aku yang membawamu ke dunia ini, tentu saja aku akan menjamin keselamatanmu di sini. Tak akan kubiarkan nyawamu melayang. Kamu tidak perlu khawatir, aku tidak bisa mati lagi. Semua lukaku akan sembuh seketika. Lalu soal Clive Chester ... itu juga bukan salahmu. Yang terpenting dia juga selamat. Tidak ada yang menyalahkanmu."
Bahu Catherine bergetar. Buliran air mata mengalir di pipinya namun jari Altair menangkap butiran air mata itu dan menyekanya. Isakan gadis itu mulai terdengar.
"Ma-Maafkan aku...Altair ... "
"Bukan "maaf", ada kata-kata yang lebih tepat kan?"
Catherine menatap Altair yang tersenyum padanya. Kedua mata lapis lazulinya begitu tenang, seperti lautan di malam hari dengan cahaya rembulan yang menyinari permukaannya, meyakinkan Catherine bahwa semuanya baik-baik saja dan tak ada yang akan menyalahkan Catherine.
Gadis rambut pirang itu membalas senyum Altair.
"Terima kasih, Altair."
_______________________________________
Keesokan harinya, Catherine merasa kondisinya jauh lebih baik. Kalau sebelumnya ketika ia bergerak sedikit, rasa sakit langsung menyengatnya, namun kali ini ia bisa bergerak banyak. Bahkan ia sudah bisa berjalan-jalan sedikit walau hanya ke kamar mandi. Setelah itu biasanya rasa sakitnya kembali menyerangnya. Kalau sudah seperti itu, Catherine akan kembali terpaku di tempat tidurnya.
Makanan rumah sakit rasanya tidak terlalu enak di lidah Catherine. Entah itu karena memang rasanya tidak enak atau karena ia disuapi Altair. Ia ingin makan sendiri namun tangannya tidak kuat memegang sendok lama-lama.
Terkadang Altair pergi dan kembali membawakan Catherine makanan sehat dan kue dari luar. Tentu saja sesuai dengan arahan dokter apa-apa saja yang boleh Catherine konsumsi. Semua makanan yang dibawa Altair adalah buatan teman sesama Dewa Kematiannya yang tinggal bersamanya, Deneb.
Saat ini Altair sedang pergi bekerja. Catherine sendirian berbaring di tempat tidurnya yang agak ditegakkan, sambil menatap keluar jendela sambil mendengarkan suara air mancur yang menenangkan hati. Pemandangan di luar jendelanya adalah taman timur rumah sakit ini. Altair berkata bahwa taman itu sangat indah dan ada air mancurnya. Kalau tenaga Catherine sudah kembali, ia ingin sekali berjalan-jalan di taman itu.
Kamar yang ia tempati tidak terlalu luas, hanya bisa ditempati 2 pasien. Namun saat ini, hanya Catherine yang menempati kamar ini. Kalau ada pasien lain, setidaknya ia bisa punya teman ngobrol.
Terdengar ketukan di pintunya. Kedua mata Catherine berbinar ketika melihat siapa yang masuk. Clive dan atasannya, Inspektur Akasha.
"Lindberg, bagaimana kabarmu?" tanya Akasha.
"Hari ini saya merasa kondisi saya lebih baik dari kemarin. Namun dokter masih menyuruh saya untuk beristirahat."
"Syukurlah." Lalu Akasha menyerahkan sebuket bunga daylily kuning pada Catheirne. "Terima kasih atas kerja kerasmu meringkus Neville. Saat ini ia sudah diamankan di rumah sakit lapas di Distrik Xylemma. Saat ini dia masih tak sadarkan diri, namun nyawanya tidak terancam."
"Terima kasih atas bunganya, Inspektur."
"Atas kerja kerasmu menangkap napi itu, saya akan mencabut hukumanmu. Saat kembali ke Kantor Kepolisian Daylily nanti, kamu tidak perlu memakai bando telinga kucing itu lagi."
Perkataan Akasha membuat senyuman terkembang di wajah manisnya. Rasanya semua rasa sakit yang ia rasakan terbayar semua. Ia tak perlu memakai benda terkutuk milik Maya itu lagi.
"Namun kamu tetap harus membawa bando itu ke kantor dan mengembalikannya pada Watson."
"Siap, Inspektur!" seru Catherine.
Clive tertawa kecil melihat tingkah Catherine yang terus tersenyum seperti anak kecil yang baru mendapatkan permen. "Inspektur, selama kami melacak napi itu, Lindberg sangat bertekad menangkap Neville agar Anda memaafkannya."
"Yah, tidak masalah. Saya senang apabila hukuman saya justru memotivasi anak buah saya untuk bekerja lebih keras."
Ekspresi Catherine berubah menjadi cemberut ketika mendengar Clive menertawakannya. Namun di sisi lain ia merasa lega melihat Clive baik-baik saja.
Di kepala Clive terdapat perban putih yang membungkus luka di kepalanya. Catherine tak berhenti menatap perban itu dan membayangkan rasa sakit yang dialami Clive.
"Oh perban ini?" Clive sadar sedari tadi Catherine memperhatikannya. "Aku tidak apa-apa. Saat itu, Neville memukul kepalaku sekali dan seketika aku langsung kehilangan kesadaran. Namun dokter berkata bahwa aku sudah bisa beraktivitas seperti biasa asal tidak memaksakan diri. Tapi dokter masih belum memperbolehkan perbannya dilepas."
"Maafkan aku, Clive..." ucap Catherine lirih.
"Kenapa minta maaf? Justru aku yang harus minta maaf. Aku sama sekali tidak bisa melindungimu dan membiarkanmu bertarung sendirian melawan penjahat itu."
Catherine menggenggam tangan Clive. "Itu bukan salahmu ... " ucapnya lirih.
"Yang terpenting, kalian berdua selamat dan masih bisa saling mengobrol," ucap Akasha mencairkan suasana.
Kemudian mereka bertiga bercakap-cakap selama sekitar setengah jam. Menurut Akasha, Clive dan Sarah berhasil menangkap juga komplotan Neville yang membantunya kabur. Begitu Clive keluar dari rumah sakit, ia langsung menyelidikinya dibantu Sarah. Komplotan Neville saat ini ditahan di Kepolisian Daylily.
Setelah bercakap-cakap, Clive dan Akasha pulang. Selain jam besuk sudah habis, mereka juga ingin membiarkan Catherine istirahat. Sebelum pulang, Clive meninggalkan cemilan dan buah-buahan untuk Catherine.
Sekitar pukul 5 sore, Catherine terbangun dari tidur siangnya. Sepertinya ia jatuh tertidur setelah Clive pulang. Ia melihat Altair sudah ada di sampingnya, duduk di kursi sebelah tempat tidurnya.
"Sudah bangun, Catherine Lindberg?" tanya Altair.
Catherine lalu berusaha bangkit. Altair membantu Catherine untuk duduk di atas tempat tidurnya. Pria itu meletakkan bantal-bantal di belakang Catherine agar ia bisa duduk tegak dengan nyaman.
"Ada seseorang yang datang?" tanya Altair lagi. "Ada buket bunga, makanan, dan buah-buahan di meja."
"Inspektur Akasha dan Clive datang menjenguk."
Ekspresi Altair sedikit berubah ketika mendengar nama Clive. "Kamu mau makan oleh-olehnya?" Ia mengalihkan pembicaraan.
Catherine mengangguk. Altair lalu menggunakan kekuatan telekinesisnya agar buah apel yang ada di atas meja terbang ke arahnya. Lalu ia mengambil pisau buah di meja kecil di sebelahnya dan memakainya untuk mengupasnya.
"Aduh!" Belum 3 detik, Altair sudah mengaduh kesakitan. Catherine terkejut ketika melihat darah merah segar mengalir dari tangan Altair.
"ALTAIR!!! KAMU TIDAK APA-APA?!!! KENAPA MALAH MENGIRIS TANGANMU SENDIRI??!!"
Altair menatap nanar tangannya yang terus mengeluarkan darah. "Aku tak sengaja," ucapnya polos.
Catherine menjauhkan apel dan pisau dari Altair. Ia juga mengambil banyak tisu dan menutupi luka Altair.
"Tidak perlu khawatir, Catherine Lindberg. Lukaku akan sembuh dengan cepat."
Memang luka di tangan Altair sembuh kembali dalam sekejap. Darah yang tadinya mengotori lantai kamar dan tisu-tisu Catherine, sudah menghilang seakan tidak pernah ada darah di sana.
"Ugh... Iya sih. Tapi kamu jangan membuatku kaget dong!" sahut Catherine.
"Maaf, maaf. Aku akan berhati-hati."
Altair kembali mengupas dan mengiris apel. Kali ini Catherine menatapnya tajam memastikan Altair tidak ceroboh hingga melukai dirinya sendiri lagi.
"Kamu tidak pulang, Altair?" tanya Catherine sambil melahap potongan apel yang dikupas Altair.
"Tidak perlu. Aku di sini saja menemanimu," balas Altair, masih sambil fokus mengupas apel.
"Teman-temanmu tidak khawatir? Siapa tuh namanya? Deneb dan ... ummm ... lupa."
"Deneb dan Pollux. Mereka Dewa Kematian yang tinggal bersamaku di rumahku," lanjut Altair. "Tidak apa-apa. Kalaupun aku tidak pulang, mereka tidak akan khawatir. Paling Pollux juga tidur di perpustakaan karena dia suka membaca buku. Kalau Deneb ... mungkin dia bakal sibuk memasak di dapurku."
"Ah ya. Makanan Deneb semuanya enak. Tak kusangka Dewa Kematian jago memasak."
"Yah, semua Dewa Kematian punya hobinya masing-masing. Hobi Deneb memasak dan semua masakannya enak. Tapi tenang saja, dia tidak tahu kalau kamu memakan masakannya."
"Padahal aku ingin bertemu Deneb dan mengatakan bahwa semua masakannya enak."
"Tidak boleh. Dia Dewa Kematian. Aku sudah memberikan sedikit kekuatanku padamu agar namamu menjadi 'Katarina Lindberg', tetapi kita tetap harus waspada."
"Ya, ya, ya," cibir Catherine. Ia bosan mendengar ceramah Altair soal namanya.
Sepanjang sore mereka berdua habiskan dengan membicarakan banyak hal sambil makan buah-buahan yang dibawa Clive. Semua topik yang mereka bicarakan sangat random dan ringan. Namun mereka berdua tahu kalau mereka sangat menikmatinya.
Walau 80% yang bicara adalah Catherine, namun Altair dengan setia mendengarkan semuanya. Melihat Catherine bercerita sangatlah refreshing baginya, apalagi ia bisa melihat senyum gadis itu di beberapa kesempatan. Yang terpenting, Catherine tidak merasa kesepian.
Ketika Catherine harus membersihkan diri, Altair keluar kamar dan berjalan-jalan di sekitar rumah sakit sambil mengamati kegiatan dokter sementara Catherine mandi dibantu oleh perawat. Ketika selesai, Altair kembali ke kamar Catherine.
Tanpa sadar, waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Catherine yang sudah meminum obatnya mulai merasa kantuk menyerangnya. Ia masih ingin mengobrol, namun kelopak matanya yang sudah semakin berat tidak mengizinkannya.
Altair membantu Catherine kembali berbaring lurus di tempat tidurnya. Ia menyelimuti Catherine dengan selimut, memastikan bahwa gadis itu tidak kedinginan.
Altair kemudian menepuk lembut pucuk kepala Catherine dan berkata, "tidurlah Catherine Lindberg. Besok kita lanjut lagi mengobrolnya."
"Janji?"
Altair mengangguk.
Catherine tersenyum lalu memejamkan kedua matanya. Tak sampai 10 menit, terdengar dengkuran lembut gadis itu. Catherine sudah tenggelam dalam mimpinya. Obat dari Dokter Fran benar-benar menyuruh Catherine untuk beristirahat.
Altair berdiri di samping tempat tidur Catherine dan sedikit membungkukkan badannya sambil terus menepuk lembut pucuk kepala gadis itu. Ditempelkannya sekejap bibirnya pada dahi Catherine.
"Mimpi yang indah, Catherine Lindberg. Aku akan selalu di sampingmu."
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top