Ep. 18 - Escaped Prisoner
If you feel down, call me.
I'll come to you.
If you want to talk to someone, call me.
I'll come to you.
If you want to see me, call me.
I'll come to you.
Rely on me. Don't leave me.
I'll find you.
❁⃘*.゚
Catherine menatap serius tablet yang berisikan data napi yang kabur itu. Walau foto napi itu sedikit mengerikan karena wajahnya yang bisa membuat anak kecil menangis, namun Catherine tidak gentar.
"Kalau ditatap terus, lama-lama mungkin tablet-nya akan berlubang tertusuk tatapanmu," komentar Clive sambil tetap fokus menyetir.
Catherine tertawa mendengar celetukan Clive. "Bisa saja kau, Clive! Aku hanya menghapal wajah napi ini. Pokoknya aku harus bisa menangkap napi ini agar Inspektur memaafkanku!"
Clive melirik ke arah bando telinga kucing yang ada di atas dashboard mobilnya. Catherine melepas bando hukumannya itu mumpung sedang ada di luar kantor.
Walau hukuman Inspektur Akasha selalu terasa berat, namun beliau adalah orang yang sangat menghargai kinerja baik anak buahnya. Makanya, jika Catherine bisa bekerja dengan baik dan membuat bangga atasannya itu, ia pasti bisa dimaafkan dan terbebas dari hukumannya.
"Hmm... Napi ini kuat juga ya. Badannya besar, bahkan tingginya mencapai 2 meter," gumam Catherine.
"Ya. Neville Stronghart, pelaku pembunuhan berantai. Ia membunuh wanita muda yang rambutnya diikat. Amarahnya selalu memuncak ketika melihat wanita yang rambutnya diikat karena mirip pacarnya yang sudah memutuskan hubungan dengannya. Ia membunuh para korbannya dengan memukul kepala korbannya," kata Clive. "Bahkan saat pengadilan, ia hampir menyerang Jaksa Wolf. Tapi untungnya Jaksa Wolf bisa melumpuhkannya dengan mudah."
"Jaksa Wolf memang rambutnya diikat sih," pikir Catherine.
"Sebaiknya kamu juga melepas ikatan rambutmu, Katarina. Kita tidak mau memicu amarah napi berbahaya itu saat meringkusnya kan?"
Catherine setuju dengan perkataan Clive. Ia segera melepas kuncir kudanya dan menyisiri rambutnya dengan jari-jari tangannya.
"Sudah rapi belum, Clive?" tanya Catherine.
Clive menatap wajah Catherine. Namun tatapan Clive terpaku pada wajah Catherine. Ada rasa rindu menyelubungi dadanya ketika melihat wajah gadis itu hingga ia tidak mau berhenti menatapnya agar rasa rindu ini tidak menghilang.
"Clive!! Awas di depan!!!" pekik Catherine tiba-tiba.
Clive segera menginjak pedal rem dengan cepat sehingga mobilnya tidak jadi menabrak kendaraan di depannya. Rasanya jantung Clive seperti mau copot. Clive diam sejenak sambil mengatur napasnya.
"Maafkan aku," gumam Clive pelan. Ia lalu menjalankan mobilnya hati-hati ketika kendaraan di depannya sudah berjalan menjauhinya.
"Clive kenapa?"
Walau awalnya Catherine khawatir, namun ia bisa melihat fokus Clive sudah kembali sehingga ia merasa lega.
___________________
Menurut informasi, napi yang mereka cari memang berada di Distrik Sepalith. Namun distrik ini lumayan luas sehingga Team Clive dan Team Edward membagi wilayah pencarian mereka. Team Clive mencari di utara-yang merupakan daerah dekat tempat tinggal Catherine, sedangkan Team Edward mencari di selatan.
Karena mobil curian milik komplotannya ditinggal begitu saja di pinggir kota, kemungkinan Neville bersembunyi di suatu tempat.
"Katarina, bagaimana menurutmu? Apakah di sekitar sini ada tempat persembunyian?" tanya Clive.
"Hmm... Seingatku di sini banyak gedung-gedung tua bekas pabrik yang terbengkalai. Tidak ada siapapun di sana membuat tempat itu cocok untuk tempat persembunyian," jawab Catherine.
Catherine lalu membuka aplikasi maps pada tabletnya. Ia menunjukkan letak-letak gedung-gedung tua itu pada maps-nya.
"Di sekitar sini ada 3 gedung ya?" Clive memastikan.
"Bagaimana kalau aku memeriksa gedung ini, lalu kamu yang ini. Selanjutnya kita berdua memeriksa gedung ini karena gedung ini paling luas," ucap Catherine sambil menunjuk petanya.
"Tidak. Kalau sendirian, akan sulit jika salah satu dari kita butuh back up. Apalagi kita tidak tahu apakah Neville sendirian atau masih bersama komplotannya. Sebaiknya kita harus terus bersama," tolak Clive mentah-mentah.
Catherine tersipu mendengar kalimat "kita harus terus bersama". Pikirannya menyalahartikan maksud Clive.
"Aku juga mau terus bersama denganmu, Clive. Selamanya."
"Katarina?"
"Ah, ya!"
Clive menghela napas berat. "Aku tahu kamu ingin lekas menangkap napi itu agar bisa terbebas dari hukumanmu. Tapi biarkan aku membantumu juga. Ini tugas kita bersama."
"Clive..."
"Dan kalau dilihat dari sifatmu, kalau kamu dibiarkan sendirian, kamu bakal melakukan hal yang nekat yang bisa membahayakan dirimu demi menangkap napi itu."
Catherine seperti ditampar oleh kata-kata Clive. Memang di dunia asalnya ia sering gegabah dalam mengejar penjahat hingga beberapa kali masuk rumah sakit karena terluka-walau lukanya tidak separah itu. Catherine pun menganggukkan kepalanya setuju.
Catherine dan Clive bergerak menuju gedung pertama yang merupakan bekas pabrik sepatu. Gerbangnya digembok dan dirantai. Mereka memutuskan untuk mengitari gedung ini sambil mencari pintu masuk lain. Kalau tidak ada, terpaksa mereka harus memanjat pagar.
Untungnya ada pintu yang tak terkunci. Sebenarnya ada gembok, namun gembok itu sudah tua dimakan karat sehingga tidak bisa menjaga pintunya terkunci. Model gemboknya juga memang gembok model lama.
Catherine dan Clive memasuki gedung tua itu dan mulai menelusuri di setiap sudut dan celah. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada manusia di sana. Namun, mereka tidak boleh lengah.
Setelah menelusuri seluruh gedung itu dengan seksama, mereka memutuskan bahwa napi yang mereka kejar tidak bersembunyi di gedung ini. Namun Clive meminta beberapa polisi berseragam untuk terus mengawasi gedung ini dari jarak aman karena siapa tahu suatu waktu napi itu bersembunyi di sini.
Catherine dan Clive segera menuju gedung kedua yang kira-kira jaraknya 2 km. Sama seperti tadi, mereka memeriksanya ke setiap sudut dan celah.
Tangga menuju lantai 3 bercabang menjadi 2. Clive meminta Catherine untuk memeriksa ke arah kanan, sedangkan ia ke kiri.
"Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku lewat walkie talkie," kata Clive.
Catherine mengangguk dan segera menjalani tugasnya.
Gadis itu berjalan sendirian di lorong yang gelap dan berdebu. Tangannya menggenggam erat pistolnya. Suara yang terdengar hanya suara langakahnya dan suara napasnya yang setengah tercekat. Ia takut kalau tiba-tiba ada hantu-atau parahnya-Dewa Kematian, yang bersemayam di sini.
Catherine memeriksa setiap ruangan hingga ujung lorong, namun hasilnya nihil. Catherine menghela napas lega dan kembali menuju tangga dan menunggu Clive. Sepertinya Clive belum selesai memeriksa lorongnya.
"Ada ayam lepas!!!"
Suara Clive menggema dari lorong membuat Catherine segera bersiaga. Ia melihat ada seseorang berlari ke arahnya dengan cepat. Namun orang itu kalah cepat, karena Catherine segera melompat dan menjatuhkan orang itu.
Catherine mengacungkan pistolnya kepada orang yang berada di bawah kakinya.
"Jangan bergerak!" gertaknya.
"Katarina! Kamu berhasil menghentikannya?!" ucap Clive yang berlari ke arahnya dengan napas tersengal-sengal.
"Iya."
Catherine segera menarik kerah baju orang itu agar ia bisa melihat baik wajahnya. Mulut pistolnya yang dingin menempel di dahi pria itu.
"Ah, ini bukan napi yang kita cari," kata Catherine. Nada suaranya terdengar sedikit kecewa.
"Saat aku menggeledah ruangan terakhir, tiba-tiba orang ini muncul, mendorongku, dan kabur dariku," kata Clive.
"Kamu ngapain lari?" tanya Catherine pada pria itu.
"Oh." Clive merogoh saku celana pria itu dan menemukan beberapa bungkus plastik transparan berisi bubuk putih. "Narkotik."
"Pasti dia pengedar narkoba. Kita serahkan saja pada polisi berseragam."
Clive setuju. Karena penelusuran mereka berdua di gedung ini sudah selesai, Clive kembali mengutus beberapa polisi berseragam untuk mengawasi gedung ini dan juga polisi lainnya untuk membawa pengedar narkoba yang tak sengaja mereka tangkap ke kantor Kepolisian Daylily.
"Tinggal satu gedung lagi di area ini," kata Catherine. "Kalau di gedung terakhir ini, target kita tidak ada, masih ada beberapa gedung tua lagi di sekitar Sepalith utara ini."
Clive hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Apakah ada kabar dari polisi berseragam? Siapa tahu mereka melihat napi itu masuk ke salah satu gedung yang sudah kita periksa."
"Tidak ada," kata Clive.
"Kalau begitu, ayo kita coba periksa gedung selanjutnya."
Tak butuh lama untuk tiba di gedung ketiga karena jaraknya tak sampai 10 menit dengan mobil.
Catherine dan Clive segera bergegas masuk ke dalam gedung tua itu. Ia tak sabar meringkus Neville dan membebaskan dirinya dari hukuman Inspektur Akasha yang membuatnya malu.
Tempat mereka berada sekarang terlihat seperti ruangan kecil bekas penitipan barang karena ada banyak rak-rak tua dengan warna khas toko yang berjejer. Mereka melangkah pelan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan Catherine sedikit menahan napasnya agar tidak menghirup debu yang berterbangan dan bersin-bersin.
Catherine membuka pintu di depannya. Ia melihat anak tangga menuju ke lantai 2. Sejauh ini ia belum merasakan ada sosok seseorang selain dirinya di tempat itu. Bahkan ia tidak bisa merasakan keberadaan Clive.
"Lho? Clive?"
Catherine tidak melihat sosok Clive dimana-mana. Padahal tadi Clive ada di depannya namun pria itu menghilang begitu saja.
"Gawat... Aku terpisah!"
Catherine berusaha menghubungi Clive melalui walkie talkie-nya namun tidak ada respon.
"Kemana dia...?" suara Catherine mulai bergetar.
Catherine terus berjalan sambil terus mencari Clive. Kakinya mulai memijak anak-anak tangga.
Di puncak tangga, terlihat ruangan yang cukup luas dengan beberapa rak yang sudah rusak di pojok ruangan. Mungkin lantai ini dulunya dipakai untuk area belanja lantai 2. Cahaya di ruangan itu hanya berasal dari beberapa jendela ventilasi yang ada di bagian atas tembok.
Tidak ada siapa-siapa, Catherine memutuskan untuk kembali dan menunggu di luar. Siapa tahu Clive sudah ada di luar.
Begitu ia membalikkan tubuhnya, tiba-tiba ada tangan besar dan kuat menariknya. Catherine tidak sempat menghindar, orang tersebut melempar tubuhnya hingga punggungnya menghantam ke salah satu dinding.
Kedua tangan Catherine dicengkeram kuat hingga gadis itu tidak bisa melepaskan diri. Kedua matanya terbelalak ketika melihat siapa orang di hadapannya.
"Neville Stronghart!!" seru Catherine.
"Hah! Polisi...berani-beraninya kalian mengejarku sampai ke sini!"
Suara Neville yang menggelegar dan bergema membuat Catherine sedikit gentar. Namun ia terus menajamkan tatapannya untuk menyembunyikan rasa takutnya.
"Sepertinya polisi meremehkanku sampai-sampai hanya mengirim dua orang untuk mencariku. Yang satu polisi lemah dan yang satu lagi hanya seorang wanita!" ucap Neville sambil mencengkeram rahang Catherine dengan tangannya hingga Catherine merasa kesakitan.
"Polisi lemah?? Apakah maksudnya Clive?! Clive memang tidak sekuat polisi lainnya...apa jangan-jangan Neville menangkap Clive lebih dulu saat aku terpisah? Itukah sebabnya ia tak bisa dihubungi?"
"Apa yang sudah dia lakukan pada Clive??!!"
Pikiran Catherine mulai terisi dengan hal-hal buruk yang kemungkinan terjadi pada Clive. Namun ia segera menepis pikirannya dan fokus menghadapi monster di hadapannya ini. Setelah itu, ia harus mencari Clive.
Dengan satu tangannya yang terbebas, Catherine meninju kedua siku Neville dengan keras. Berkat itu, Catherine terbebas dari cengkeraman Neville.
Catherine segera memungut pistolnya yang terjatuh dan menjaga jarak dari Neville. Catherine lalu mengacungkan pistolnya.
"Jangan bergerak, Neville Stronghart! Anda saya tahan! Anda memiliki hak untuk diam. Semua yang Anda katakan bisa menjadi bukti ... "
Sebelum Catherine menyelesaikan kalimatnya, Neville maju menerjang Catherine dan meninju perut Catherine dengan keras.
Tinju dari Neville yang bagaikan bola besi penghancur yang digunakan untuk menghancurkan tembok bangunan, membuat tubuh Catherine terpelanting hingga mental 3 kali di lantai yang dingin. Catherine berusaha bangkit lagi namun tubuhnya merasakan rasa sakit yang amat sangat hingga ia hanya bisa terbatuk-batuk dan memuntahkan darah.
"Aaghhh..." Catherine mengerang kesakitan.
Dilihatnya Neville membalikkan tubuhnya dan mencari sesuatu di antara barang rongsokan di pojok ruangan. Catherine memakai kesempatan itu untuk menghubungi Inspektur Akasha. Namun sayang sekali, walkie talkie-nya rusak. Handphone-nya juga retak layarnya dan tidak bisa menyala.
Tak ada cara lain selain melumpuhkannya sendiri.
Catherine mencari pistolnya namun ia tak berhasil menemukannya. Mungkin pistolnya terpelanting entah kemana saat ia dibanting. Ia merogoh sakunya dan bernapas lega ketika menemukan baton di sana.
Catherine memanjangkan batonnya dan berusaha berdiri. Walau rasanya tubuhnya seperti patah semua, namun ia harus berjuang, setidaknya sampai ada yang datang membantunya. Semua polisi akan datang ke gedung tua ini. Catherine hanya perlu menahannya.
Neville berjalan mendekati Catherine sambil menyeret pipa besi yang ia temukan di tumpukan barang rongsokan. Senyuman yang bisa membuat anak kecil menangis terpampang di wajahnya.
"Matilah kau!"
Neville mengayunkan pipa besinya dan mengarahkannya ke kepala Catherine. Untungnya Catherine bisa menghindar sebelum pipa besi itu menghancurkan kepalanya. Dengan sigap, Catherine menghantam kedua lutut dan lengan Neville dengan batonnya.
Neville sempat goyah namun ia berhasil mempertahankan keseimbangannya. Ia kembali mengayunkan pipa besinya ke arah Catherine. Sayangnya, pipa itu menghantam lengan kirinya hingga Catherine terpelanting lagi.
"Ughhh... Sakit..." keluh Catherine. Air mata menetes dari kedua ujung matanya. Namun ia segera menyekanya karena tak ada waktu untuk menangis.
Catherine berusaha bangkit lagi, namun kakinya tidak punya tenaga. Ia hanya bisa duduk. Jantungnya berdegup kencang ketika melihat Neville berjalan pelan ke arahnya.
"Sepertinya aku meremehkanmu. Bisa-bisanya kau menyentuhku dengan tongkat kotormu itu," ucap Neville.
Kemudian ia mengayunkan pipanya ke atas, bersiap memukul kepala Catherine yang menunduk. Badannya tidak mau mendengar perintahnya.
"Inikah akhirnya? Aku...tidak mau mati..."
Dengan asanya yang tersisa, Catherine berteriak dalam hati. Ia tidak ingin mati sendirian di dunia yang asing tanpa diketahui siapapun. Apalagi ia mati dalam keadaan belum menepati janjinya pada Cat...dan juga Altair.
"Selamat tinggal, polisi," ucap Neville. Tangannya mengayunkan pipanya cepat ke arah kepala Catherine.
Duaakk!!!
Bunyi pipa menggema di seluruh ruangan diiringi dengan cipratan darah merah yang mengotori pipa itu.
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top