Ep. 17 - Temper
"Katarina!"
Catherine melihat Clive yang berlari ke arahnya dengan wajah khawatir. Catherine sudah menduga penyebabnya dan apa yang akan Clive tanyakan selanjutnya.
Catherine meletakkan mug berisi minuman coklat panasnya dan tersenyum menyapa Clive yang terengah-engah berdiri di sebelah mejanya.
"Ada apa, Clive? Baru datang sudah panik begitu?" tanya Catherine.
"Apa benar semalam kamu hampir dibunuh stalker yang menguntitmu?" tanya Clive.
Sesuai dugaan Catherine, Clive akan menanyakan hal itu. Pasalnya, Sarah dan Natasha juga sudah menanyakan hal itu tadi pagi. Catherine rasa berita soal stalker itu menyebar cepat.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Clive.
Catherine menggangguk. "Aku tidak apa-apa. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
"Maaf aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu," ucap Clive penuh dengan rasa sesal.
"Tidak apa-apa, Clive."
"Lain kali, jangan ragu minta tolong apapun padaku! Karena kita sama-sama menyelidiki kasus Cat, kita adalah partner. Tetapi luar kasus Cat pun, kamu bisa bergantung padaku kapan saja."
Wajah Catherine memerah mendengar ucapan Clive. Ia mencengkeram dadanya untuk menyembunyikan bunyi detak jantung yang semakin keras. Ia tak mau detak jantungnya sampai terdengar Clive.
Perhatian kecil dari Clive sudah bisa membuat jantungnya berderu dan memenuhi perutnya dengan kupu-kupu.
"Lho? Wajahmu merah sekali. Kamu tidak apa-apa?" tanya Clive.
Clive menyingkap poni Catherine dan menempelkan dahinya pada dahi Catherine. Wajah Clive yang begitu dekat malah membuat Catherine hampir teriak.
"Kamu tidak demam," ucap Clive.
"Tidak kok! Aku baik-baik saja!" Catherine mendorong pelan tubuh Clive agar ada jarak di antara mereka. Kalau tidak begitu, sedetik lagi Catherine pasti akan mencium bibir pria-yang-saat-ini-bukan-kekasihnya itu.
"Ma-maaf. Dulu kalau Cat memeriksa apakah aku sedang demam atau tidak, selalu melakukan itu. Jadi kebiasaan..." kata Clive.
"Aku harus berterima kasih pada Cat," pikir Catherine.
Clive lalu duduk di kursi sebelah meja Catherine. "Bagaimana hal itu bisa terjadi?" tanyanya.
Kemudian Catherine menceritakan semuanya. Mulai dari pertama kali bertemu stalker rambut merah itu, hari-hari ia dikuntit, alasan stalker itu mengikutinya, dan bahkan apa yang terjadi malam itu. Namun ia sama sekali tidak menyebut nama Altair.
"Untunglah ada temanmu yang bisa membantumu," kata Clive.
"Ya. Dia benar-benar menolongku. Tanpanya aku tak bisa menangkapnya sendirian," balas Catherine.
"Lalu, apa kata Inspektur?"
"Inspektur masih menginterogasi si stalker itu. Beliau sebenarnya ingin bertemu dengan temanku itu untuk mengucapkan terima kasih, namun aku yakin dia sama sekali tidak mau menemui Inspektur."
"Ugh... Dia diinterogasi Inspektur? Aku jadi merasa kasihan padanya."
Catherine mengangguk setuju.
"Lalu, kenapa temanmu tidak mau menemui Inspektur?" tanya Clive lagi.
"Dia orangnya pemalu. Tidak suka bertemu orang baru."
Clive sebenarnya masih punya banyak pertanyaan soal "teman" Catherine. Namun ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih lanjut.
"Lindberg. Chester."
"Inspektur!"
Inspektur Akasha mendekati mereka berdua.
"Saya sudah selesai menginterogasinya. Orang itu benar-benar terobsesi denganmu, Lindberg. Sudah gila," kata Akasha.
Catherine tidak tahu harus membalas apa selain menunjukkan wajah jijik.
"Namun saya sudah memberi 'nasihat' padanya. Semoga dia sadar," lanjut Akasha.
Catherine dan Clive gemetaran mendengar perkataan Akasha. "Nasihat", berarti Akasha menegur atau memarahi si stalker hingga (tak sengaja) menyerangnya secara psikis. Stalker itu sudah pasti mengalami hal paling buruk dalam hidupnha.
"Lalu apa yang akan terjadi pada orang gila itu, Inspektur?" tanya Clive.
"Orang itu sudah melanggar beberapa aturan pidana, termasuk percobaan pembunuhan. Sudah pasti ia akan dipenjara," jawab Akasha. "Tapi saya butuh beberapa bukti lagi."
"Bukti?"
"Chester, bisakah kamu pergi ke rumah stalker itu dan mencari bukti bahwa ia memang sudah lama mengincar Lindberg? Ia sudah mengaku, tetapi saya ingin bukti kuat untuk jaga-jaga," kata Akasha.
"Inspektur! Izinkan saya untuk ikut juga," pinta Catherine.
"Tetapi mungkin ini akan sulit untukmu, Lindberg, karena kamu korbannya-"
"Tidak apa-apa, Inspektur! Saya akan melakukan apa saja demi menjebloskan sampah itu ke penjara!" seru Catherine cepat.
Akasha diam sejenak lalu mengangguk. "Baiklah. Chester, tolong jaga Lindberg."
"Siap, Inspektur."
Kemudian Inspektur Akasha memberikan alamat tempat tinggal si stalker itu. Ternyata tempat tinggalnya masih satu distrik dengan Kantor Kepolisian Daylily.
Catherine dan Clive meluncur ke lokasi menggunakan mobil Clive. Tak sampai 15 menit, mereka sudah tiba di sebuah rumah kontrak yang agak kumuh.
Catherine menatap rumah kecil itu. "Aku tak menyangka ada rumah seperti ini di Daylily."
Rumah itu masih bisa ditempati, hanya saja wujudnya memang tidak enak dipandang. Selain ukurannya kecil, ada banyak lumut yang tumbuh di tembok luarnya. Pagarnya pun berkarat dan agak sulit dibuka. Ada banyak sampah menumpuk di depan rumahnya hingga baunya menusuk hidung.
Menurut tetangga, ia selalu terlambat mengumpulkan sampah sehingga ditumpuk saja di depan rumah. Warga sekitar sudah komplain tapi tak digubris. Bahkan warga sudah melapor polisi agar John ditindak.
Sebelum masuk ke dalam rumahnya, mereka memang mengumpulkan informasi ke tetangga sekitar, bahkan ke pemilik kontrakan.
Stalker itu bernama John Vestin. Ia mengontrak di rumah itu sejak 8 bulan yang lalu. Tak ada yang mengetahui pekerjaannya dan ia jarang keluar rumah, namun ia tak pernah terlambat membayar sehingga tak dipermasalahkan.
Kemudian Catherine dan Clive masuk ke rumah kumuh itu. Rumah itu hanya terdiri ruang keluarga yang bergabung dengan dapur dan satu kamar tidur. Seperti yang Catherine duga, rumah itu sangat berantakan. Baju kotor dimana-mana dan piring kotor menumpuk hingga menimbulkan bau busuk.
"Ugh, bagaimana nanti kalau dia dipenjara? Tak ada yang membereskan ini semua," omel Catherine.
"Hahahaha. Benar juga," Clive membalas seperlunya.
Kedua polisi itu terbelalak begitu melihat bagian dalam kamarnya. Di dinding kamar penuh dengan foto Catherine. Gambar itu kebanyakan dari screenshot berita saat Catherine muncul di televisi. Namun, ada juga foto lainnya yang sepertinya John potret sendiri.
"Gila," kata pertama yang Clive ucapkan juga mewakilkan apa yang Catherine rasakan. "Orang ini benar-benar tidak waras."
Catherine bergidik ngeri melihat betapa terobsesinya pria yang ia tak kenal itu padanya. Apalagi sampai mengambil fotonya tanpa izin.
"Kapan dia memotretku? Ini kan saat aku pergi ke minimarket untuk belanja," kata Catherine sambil menatap salah satu foto.
"Katarina, inikah temanmu yang kau maksud itu?" tanya Clive tiba-tiba.
Catherine mendekati Clive dan melihat foto yang dipegang Clive. Foto itu merupakan fotonya yang sedang makan di suatu restoran dekat apartemennya bersama Altair.
"Ah, kalau Altair membuka topinya, ia bisa terpotret," pikir Catherine.
Pada foto minimarket yang barusan Catherine lihat, sebenarnya saat itu ada Altair di sebelahnya. Namun Altair tidak terlihat di foto itu. Memang saat itu Dewa Kematian itu sedang memakai topinya.
"Kat?"
"Ah, ya!" Catherine tersadar dari lamunannya. "Ah, iya. Itu temanku yang kuceritakan tadi. Ia membantuku semalam."
"Begitu ya?" Clive lalu diam menatap foto itu.
Catherine kemudian berjalan-jalan sebentar sambil memandangi fotonya di dinding.
"Stalker itu jago juga memotret. Aku terlihat manis di semua foto ini," pikir Catherine.
"Ini bisa jadi bukti kalau John memang mengincarmu. Mengerikan sekali," kata Clive. Ia lalu mulai memotret dinding yang dipenuhi foto Catherine.
Clive lalu berhenti memotret ketika sadar Catherine sedari tadi menatap satu foto dengan wajah ketakutan.
"Ada apa, Kat?" tanya Clive. Matanya terbelalak ketika melihat foto yang dilihat Catherine.
Foto itu merupakan foto saat Catherine pergi keluar apartemennya.
"Dia tahu tempat tinggalku," ucap Catherine dengan suara gemetar. "Untunglah dia cepat tertangkap. Kalau tidak ... "
Clive segera memberi Catherine sapu tangannya ketika melihat air mata gadis itu mengalir keluar dari matanya. Ia menepuk-nepuk punggung Catherine yang bergetar sambil membawanya keluar rumah.
"Ini terlalu berat untukmu. Tunggulah di mobil. Aku akan selesaikan penyidikan di sini," kata Clive. Catherine mengangguk dan menuruti perkataan Clive. Clive kembali masuk ke dalam rumah.
Mata Clive tertuju pada sebuah buku catatan lusuh yang berada di atas meja. Begitu membaca isinya, tangannya mencengkeram erat bukunya hingga lecek. Pasalnya buku catatan itu berisi tulisan yang mengatakan betapa John sangat menyukai Catherine. Ia bahkan menulis apa yang ia ingin lakukan pada Catherine jika ia berhasil membawa Catherine pulang.
Clive tahu bahwa Catherine tidak boleh membaca isi buku ini.
Lalu ada satu paragraf yang membuat Clive tertarik.
"Katarina Lindberg. Gadis misterius. Ketika aku berusaha mencari tahu tentang masa lalunya atau sebelum dia datang ke Kota Daylily, aku tak bisa menemukan info apapun. Rasanya dia seperti tiba-tiba muncul di tengah kita. Gadis misterius ini cocok menjadi jodohku. Setiap hari aku akan-"
Clive segera menutup buku itu karena kalimat selanjutnya kelewat meresahkan dan seksual. Namun pikirannya jadi dipenuhi pertanyaan.
"Katarina Lindberg. Memang dia tiba-tiba muncul dan berkata ingin menyelidiki kasus Cat. Bahkan seorang stalker yang berhasil mengetahui tempat tinggalnya, sama sekali tidak bisa menemukan informasi tentang gadis itu," gumam Clive.
Clive lalu pergi keluar rumah dan menatap Catherine yang berada di dalam mobilnya.
"Katarina Lindberg, siapa kamu sebenarnya?"
___________________
Catherine dan Clive tiba di tempat parkir basement Kepolisian Daylily. Namun mereka tidak segera turun karena Catherine butuh waktu. Air matanya masih belum bisa berhenti.
Clive menunggu Catherine tenang sambil sesekali menepuk punggungnya dengan lembut.
"Jangan khawatir. John sudah tertangkap. Kamu aman," kata Clive. Ia tidak tahu bagaimana menenangkan Catherine selain mengatakan hal itu. Padahal bahu gadis itu bergetar.
"Maaf, Clive. Kamu harus melihatku seperti ini," ucap Catherine sambil menyeka air matanya dengan sapu tangan Clive.
"Tidak perlu malu," balas Clive.
Catherine mengerjapkan matanya berkali-kali dan menepuk kedua pipinya. Ia menatap Clive dan mengangguk.
"Aku sudah tidak apa-apa. Ayo, Clive."
Mereka berdua lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju ruangan pimpinan mereka. Tetapi mereka bertemu Akasha di lorong dekat Gedung B. Mereka pun memutuskan untuk segera melaporkan hasil temuan mereka.
"Bagaimana hasil penyidikannya?" tanya Akasha.
"Kami menemukan ini," ucap Clive seraya memberikan foto-foto yang ia potret serta buku catatan yang ia temukan. "Ini bukti kuat bahwa John memang mengincar Lindberg dari awal."
Akasha menatap semua bukti yang dibawa Clive. Lalu pandangannya mengarah pada Catherine.
"Maafkan saya. Kamu jadi harus mengalami hal ini," ucapnya.
Catherine menggeleng cepat. "Inspektur, sudah saya bilang ini bukan kesalahan Anda."
Akasha tersenyum. Kemudian perhatian mereka bertiga tertuju kepada polisi berseragam yang menggiring John Vestin.
John meronta-ronta walau kedua tangannya diborgol ke belakang. Petugas yang membawanya berkali-kali memarahinya agar tenang.
"Ada apa? Mau dibawa ke mana dia?" tanya Akasha pada petugas berseragam itu.
"Siap, Inspektur! Orang ini akan dipindahkan ke Pusat Penahanan Gedung B! Kalau dikurung di sel lantai 1, ia bakal terus-terusan menggoda para polisi wanita di ruangan kami. Makanya, saya memindahkan orang ini ke Gedung B. Di sana hanya ada laki-laki," jawab petugas tersebut.
"Begitu ya," gumam Akasha. "Apa kamu sudah lupa apa yang saya katakan beberapa jam yang lalu?" tanya Akasha pada John.
Seperti hewan kecil di hadapan hewan buas yang siap memakannya, wajah John memucat dan tubuhnya gemetar. "Hiiii! Maafkan aku!"
John lalu menatap Catherine yang dari tadi menatapnya dengan tatapan tajam. Senyumnya terkembang di wajahnya.
"Aaah, Lindberg! Apa kabar? Apakah kamu sudah lihat altarku?" sapa John riang.
"Altar?" tanya Clive.
"Dinding yang penuh dengan wajah cantik Lindberg! Itu altar kesayanganku. Kalian pasti sudah berkunjung ke rumahku kan?"
"Khhh..." Catherine hanya bisa mengeram menahan amarahnya.
"Kuharap aku diperbolehkan membawa altarku ke penjara. Setiap pagi bisa melihat wajah cantik Lindberg akan membuatku selalu ber~ga~i~rah~" John mengucapkannya sambil memajukan bibirnya ke arah Catherine.
Amarah menguasai Catherine. Bahkan ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri. Kepalan tangannya sudah melayang tinggi dan bergerak menukik cepat menuju wajah stalker rambut merah itu.
Namun kepalan tangan itu tidak bisa menyentuh targetnya karena Akasha bergerak cepat menghadang pukulan Catherine. Kedua lengan Akasha menghalangi tinju Catherine sehingga ia malah meninju lengan pimpinannya.
Namun Catherine tidak berhenti sampai situ. Tangan satunya meluncur cepat ke arah John.
Lagi, sebelum berhasil menyentuh John, Akasha sudah menepis kuat lengan Catherine dan mengunci gerakan polisi wanita itu.
"Aaagh!!" Catherine mengerang kesakitan.
"Tenanglah, Lindberg! Saya tahu kamu marah, tetapi kamu tidak boleh memukulnya!" sahut Akasha.
Clive lalu menyuruh petugas berseragam membawa pergi John agar Catherine tidak lagi menyerangnya.
Akasha kemudian melepaskan Catherine yang sudah agak tenang setelah John pergi. Clive menepuk bahu Catherine dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja.
"Lindberg, temui saya di kantor," ucap Akasha singkat lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Amarah Catherine langsung sirna dan digantikan oleh rasa takut. Ia hampir melakukan kekerasan polisi terhadap John. Sudah pasti yang menunggunya di ruangan Akasha adalah hukuman berat yang menantinya.
"Semoga kamu baik-baik saja," kata Clive. "Aku akan menunggumu di ruangan divisi."
Catherine tahu kalau Clive mengetahui apa yang akan terjadi pada Catherine selanjutnya. Namun, Clive tidak bisa membantunya menghindari amarah atasannya itu. Ia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Catherine.
Catherine lalu melangkah gontai berjalan menuju ruang atasannya. Di depan ruangan, ada Maya yang senyum-senyum menahan tawa ketika melihat Catherine datang.
"Aduduh, ada yang bikin kesalahan nih," goda Maya.
"Diam, Maya," balas Catherine kesal.
"Yah, kamu belum resmi menjadi anggota Divisi Kejahatan Serius kalau belum menerima hukuman aneh dari Inspektur. Jadi, selamat ya akhirnya kamu resmi jadi anggota kami," kata Maya lagi.
"Berhenti menggodaku!!"
"Spoiler alert! Kamu bakal kelihatan makin imut."
Catherine hanya diam dengan tatapan lesu. Walau Maya memberi tahu kalau ia akan jadi "imut", itu bukanlah hal yang baik.
"Inspektur sudah menunggu. Masuklah," kata Maya.
Catherine menatap pintu ruangan Inspektur Akasha. Dirinya dan hukuman yang akan diterimanya hanya dibatasi dengan pintu berwarna cokelat itu. Namun Catherine sudah bisa merasakan aura hitam ganas yang keluar dari sela-sela pintu.
Melihat Catherine yang hanya terpaku di depan pintu, Maya segera mengetuk pintunya.
"Inspektur, Lindberg sudah datang," kata Maya.
"Biarkan dia masuk," ucap Akasha dari dalam ruangan.
Walaupun suara Akasha terdengar seperti biasa, namun Catherine bisa mendengar ada sedikit rasa kesal di balik suara bariton itu.
Maya membukakan pintu untuk Catherine. Mau tak mau Catherine harus masuk ke dalamnya.
___________________
"Clive, mana Kat? Bukannya tadi dia bersamamu?" tanya Sarah.
Clive menunjuk meja Catherine. "Dia ada di bawah mejanya."
Sarah lantas melongok ke kolong meja Catherine dan menemukan gadis itu meringkuk di bawahnya. Catherine berteriak kaget begitu melihat Sarah menemukannya.
"Kat! Kamu kenapa?" tanya Sarah.
Awalnya Catherine tidak menjawab dan masih meringkuk di bawah mejanya. Namun akhirnya dia keluar juga setelah dibujuk oleh Sarah.
Sarah tercengang ketika melihat sesuatu yang terpasang di kepala Catherine.
Catherine memalingkan wajahnya yang memerah seperti tidak ingin ada yang melihatnya saat ini. Itu karena ia sedang memakai bando dengan hiasan pita warna hitam yang terkesan gothic. Selain itu, ada lonceng kecil di pinggirnya sehingga setiap kali Catherine bergerak, akan terdengar bunyi lonceng seperti kalung kucing.
Bukan hanya sampai di situ. Di bagian atas bandonya ada hiasan telinga kucing. Catherine benar-benar ingin menenggelamkan dirinya ke laut saat ini.
"Itu...bando punya Maya, kan? Aku pernah melihatnya memakai itu di pesta Halloween Kepolisian Daylily," kata Sarah.
Catherine mengangguk.
"Kenapa kamu pakai?" tanya Sarah lagi. Catherine tidak menjawab dan hanya menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Sarah langsung mengerti apa yang terjadi. "Kamu dihukum Inspektur?" tanyanya.
Catherine mengangguk.
"Ya ampun... Apa yang kamu lakukan?"
"Aku hampir memukul John ketika dia menggodaku lagi."
"John?"
"Penguntit yang mengikuti dan hampir membunuh Katarina semalam," timpal Clive.
Sarah mengangguk-angguk paham.
"Dia mengatakan hal yang menjijikkan padaku, jadi aku marah dan hampir memukulnya," kata Catherine.
"Kalau aku jadi kamu, aku juga bakal mukul wajahnya sampai babak belur!" kata Sarah.
"Inspektur tidak suka itu, lalu menghukumku untuk memakai ini selama jam kerja. Tidak boleh dilepas."
Sarah menatap bando Catherine. "Yah, hukuman Inspektur memang bikin malu. Aku juga pernah dihukum-ah, tidak, aku tak mau mengingatnya."
Catherine teringat kejadian saat Akasha menegurnya. Memang, hal itu salahnya karena terlalu cepat terbawa emosi. Apalagi John sama sekali tidak menyentuhnya. Kalau Akasha tidak menghentikannya, ia pasti sudah di-skors.
Catherine teringat kata-kata Akasha.
"Sebagai seorang polisi, kamu tidak boleh mudah terbawa emosi apalagi melampiaskannya dengan kekerasan. Kalau begitu terus, kamu akan menjadi polisi yang keras hati dan mau menang sendiri, bahkan menggunakan kekuatanmu untuk keuntunganmu sendiri. Bagaimana jadinya polisi yang seharusnya melindungi masyarakat, malah menyerang masyarakat hanya karena kata-kata?
"Saya juga tidak setuju dan merasa marah terhadap apa yang diucapkan Vestin padamu. Tetapi kita harus bisa menghadapi semuanya dengan kepala dingin."
Catherine menghela napas. Perkataan Akasha memang ada benarnya. Jika polisi tidak berkepala dingin, saat dikritik masyarakat, pasti akan langsung menyerangnya dengan kekerasan dan akan terjadi kekacauan. Masyarakat bahkan tidak akan percaya polisi lagi.
"Untuk introspeksi, pakailah bandana milik Watson ini agar kamu belajar menghadapi kata-kata yang dilontarkan padamu dengan kepala dingin."
Catherine ingin sekali menghantamkan wajahnya ke meja begitu mengingat saat-saat Akasha menyuruhnya memakai bando terkutuk ini. Apalagi saat melihat wajah senang Maya ketika memakaikan bando ini padanya.
Hal paling mengerikannya adalah Akasha menasihatinya sambil tersenyum. Namun Catherine bisa merasakan aura hitam besar yang ada di belakang Akasha, seperti iblis hitam yang siap mengoyaknya dengan taring tajamnya.
Catherine hampir ngompol ketika berhadapan dengan atasannya yang sedang marah itu.
"Inspektur memang orang yang baik, ramah, dan perhatian. Tapi kalau marah sangat menyeramkan. Apalagi marahnya sambil tersenyum," pikir Catherine.
"Ah, Jack!" panggil Sarah pada Jack yang baru saja masuk ke ruangan divisi.
"Apa?"
"Boleh jaga pintu? Beri tahu jika Inspektur atau Frederick mau masuk ke sini. Biar Kat bisa lepas bandonya," kata Sarah.
"Bando?" Jack lalu melihat Catherine yang masih memakai bando telinga kucingnya. Wajahnya memerah dan tak bisa berhenti menatap Catherine, sampai ia diteriaki oleh Sarah.
Jack pun mengiyakan permintaan Sarah dan mulai berjaga di depan pintu.
"Fyuhh... Akhirnya," ucap Catherine lega sambil melepas bandonya.
"Clive, jangan lapor ke Inspektur lho!" kata Sarah.
"Kamu pikir aku tukang ngadu?" balas Clive agak ketus.
"Sudah, sudah," Catherine menenangkan mereka.
Catherine dan lainnya kembali mengerjakan tugasnya di meja masing-masing. Namun sekitar 10 menit kemudian, Jack memberi tahu bahwa Inspektur mendekat.
"Inspektur dan Frederick datang ke arah sini!" ucap Jack. Ia juga lari terbirit-birit ke mejanya.
Catherine segera memakai kembali bandonya.
"Semua polisi, berkumpul di ruang rapat! Ada situasi darurat yang harus segera diselesaikan!" perintah Inspektur Akasha begitu ia masuk ke dalam ruangan Divisi.
Semua polisi mematuhi perintahnya. Setelah semua berkumpul, Akasha membuka rapat.
"Seorang narapidana kabur ketika sedang dalam perjalanan pindah ke lapas Distrik Xylemma. Narapidana itu melukai polisi yang menjaganya dan juga melukai supir. Lalu ia menabrakkan mobil ke bangunan terdekat dan kabur. Setelah itu, ia kabur bersama komplotannya yang sudah menunggunya di mobil curian berwarna hitam."
"Ini data soal napi itu yang perlu kalian ketahui," kata Frederick sambil membagikan dokumen. Ia lalu berhenti di meja Catherine dan menatap gadis itu. "Apa yang kamu pakai, Katarina?" tanyanya.
"Jangan tanya," balas Catherine singkat.
Frederick langsung mengerti apa yang terjadi dan melanjutkan pembicaraan soal kasusnya.
"Saat napi itu kabur ada 3 saksi yang melihat kejadian itu. Ketiga saksi itu sudah diamankan di sini dan siap memberikan kesaksiannya."
"Klein dan Levan, kalian tetap di kantor dan mengambil kesaksian dari para saksi," kata Akasha.
"Siap!" balas Jack dan Sarah.
"Sedangkan lainnya pergi ke lapangan dan melacak narapidana itu. Diduga ia ada di Distrik Sepalith, tempat mobilnya mengalami kecelakaan. Kemungkinan ia bersembunyi di distrik itu bersama komplotannya. Timnya adalah Chester - Lindberg dan Gregory - Linn," lanjut Akasha.
"Siap, Inspektur!" balas Catherine, Clive, Edward, dan Natasha.
"Baiklah, lakukan tugas kalian. Silakan bubar," Akasha menutup rapat.
Catherine tersenyum melihat dokumen narapidana yang kabur itu. Di dalam pikirannya muncul suatu ide.
"Ini kesempatan emas untuk bisa terbebas dari hukuman Inspektur! Aku harus berhasil menangkap napi ini! Dengan begitu, Inspektur akan memaafkanku dan mencabut hukuman memalukan ini!" seru gadis itu dalam hati.
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top