Ep. 16 - I Will Always Protect You

Tell me what's bothering you.
If you don't like the colour of the sky, I will change it for you.
If you want the sweets from over the world, I'll get them for you.
If there's someone you hate, I'll ...

❁⃘*.゚

Catherine berjalan keluar dari apartemennya menuju tempat kerjanya, Kantor Kepolisian Daylily. Hari ini ia tidak diantar Altair karena Catherine masih belum memaafkan Altair atas tuduhannya pada Clive. Pagi ini juga Dewa Kematian itu sama sekali tidak datang mengunjunginya.

Catherine menghela napas berat. Rasanya berat harus pergi keluar setelah bertemu dengan stalker aneh yang sembarangan memeluknya itu. Hal yang paling Catherine bikin sebal adalah ia ditolong oleh Altair ketika stalker itu mengejarnya.

Catherine berjalan menyusuri trotoar bodega menuju stasiun. Dari apartemennya ke stasiun sangat dekat, hanya perlu ditempuh dengan jalan kaki. Walau suasana ramai, untungnya tidak ada lagi warga yang ingin minta foto bareng atau bersalaman dengan Catherine.

"Lindberg!"

Kecuali stalker itu.

Bulu kuduk Catherine berdiri ketika melihat pria rambut merah itu berjalan ke arahnya sambil menyapanya ramah seakan sudah kenal dekat. Rasa benci tumbuh di dalam dada Catherine. Ia sangat ingin menangkap pria itu.

Pria berambut merah itu berlari kecil mendekati Catherine. Sejujurnya Catherine ingin sekali kabur apalagi orang itu kembali menggenggam kedua tangannya.

"Syukurlah pagi ini kita bisa bertemu! Ayo kita main!" ucap stalker itu.

"Aku harus pergi," balas Catherine singkat sambil menarik tangannya. Semakin lama ia melihat senyum pria itu, semakin tumbuh rasa takut di dada Catherine.

"Ayo dong! Masa' ga mau temenin aku aja bentar?" tanya pria itu dengan suara manja.

Catherine hanya tersenyum lalu pergi meninggalkan pria itu. Namun, pria itu kembali mengejar Catherine.

"Bisakah kamu membiarkanku sendiri?" tanya Catherine agak ketus. "Kalau tidak, aku akan meringkusmu."

"Awww! Mau dong ditangkap Lindberg!"

Catherine merinding mendengar ucapan pria itu. Walaupun ia ringkus orang ini, dia akan malah tambah senang.

"Tolong bebaskan aku dari si rambut merah ini!!" pekik Catherine dalam hati.

"Katarina Lindberg."

Sebuah tangan dingin memegang erat bahu Catherine. Wangi melati yang dipancarkan tangan itu membuatnya bisa mengindentifikasi siapa pemilik tangan itu.

"Altair."

"Siapa ini?" tanya Altair yang saat ini bisa dilihat manusia biasa. Altair menarik tangan Catherine agar gadis itu mendekat padanya. Kedua mata birunya berkilat seperti ada amarah di ujungnya. Tatapannya terfokus pada pria yang sedari tadi menganggu Catherine. Kalau saja tatapan Altair benar-benar bisa menusuk, pria itu pasti sudah bersimbah darah. Bahkan Catherine sampai agak takut melihat tatapan Altair.

Catherine memanfaatkan momen ini untuk kabur dari stalker rambut merah ini. Ia mengamit lengan Altair dan memeluknya.

Pria rambut merah itu sedikit cemburu melihat interaksi Catherine dan Altair. Apalagi gadis itu memeluk lengan Altair dengan kuat. Namun, tatapan tajam Altair membuat nyalinya menciut sehingga ia memutuskan untuk pergi. Seperti singa yang kalah merebut teritori singa lainnya.

"Kamu tak apa-apa, Catherine Lindberg?" tanya Altair setelah pria itu pergi.

Catherine melepas pelukannya. "Aku tak apa-apa. Terima kasih sudah menyelamatkanku darinya, Altair."

"Aku tadi merasakan rasa takutmu. Untunglah kamu tidak terluka," kata Altair. "Kalau mau, aku akan mengantarmu sampai kantor polisi. Biar aman."

Catherine menunduk sebentar lalu menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Aku sendiri saja tak apa-apa."

"Baiklah kalau itu maumu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa panggil aku kapan saja."

Catherine hanya terdiam lalu berjalan pelan menjauhi Altair.

___________________

"Stalker?!"

Catherine mengangguk sambil menatap wajah terkejut kedua temannya, Sarah dan Natasha. Sarah langsung menggenggam tangan Catherine erat-erat.

"Aku tak menyangka ada stalker yang berani mengikuti seorang polisi," kata Natasha.

"Sejak kapan?" tanya Sarah.

"Kemarin malam stalker itu pertama kali muncul di depanku saat aku dalam perjalanan pulang. Dia bilang dia selalu menungguku di depan kantor Kepolisian Daylily," kata Catherine. "Kurasa dia melakukannya sejak pertama kali melihatku di televisi."

"Kamu tidak apa-apa? Selain ngomong denganmu, apa lagi yang dia lakukan?"

"Dia begini," lalu Catherine memeluk Natasha sebagai peragaan apa yang dilakukan stalker rambut merah itu.

"KURANG AJAR!!!" sahut Sarah. Suara keras Sarah membuat orang-orang menatap ke arahnya beberapa saat sebelum kembali fokus ke pekerjaannya masing-masing.

"Maaf, Lindberg. Karena saya memintamu untuk menemui wartawan, kamu mengalami hal ini."

"Ah, Inspektur!"

Inspektur Akasha kebetulan lewat dekat mereka bertiga dan mendengar percakapan mereka.

"Ti-tidak kok! Ini bukan salah Inspektur. Stalker itu saja yang aneh!" kata Catherine berusaha menghilangkan rasa bersalah Akasha.

"Kalian bertiga, cobalah cek CCTV yang terpasang di gerbang markas kita. Jika ketemu, fotonya serahkan pada saya. Saya akan meminta polisi yang ada di sekitar tempat tinggal Lindberg agar waspada terhadap orang itu bahkan meringkusnya," ucap Akasha. "Lindberg, pernahkah kamu mencoba untuk meringkusnya sendiri?"

"Ya. Saya mengancamnya akan meringkusnya. Namun dia malah senang dan ingin sekali saya ringkus. Entah kenapa bulu kuduk saya berdiri ketika mendengarnya," balas Catherine.

Akasha menepuk lembut bahu Catherine. "Tidak apa-apa. Pria itu sudah melakukan pelecehan padamu dengan memelukmu. Wajar bila kamu merasa takut."

"I-Inspektur..."

"Makanya, semakin cepat kalian mendapat foto stalker itu, semakin cepat ia bisa tertangkap oleh kita. Lindberg, apakah kamu punya seseorang yang bisa mengantarmu pulang? Kalau tidak, saya akan meminta seseorang mengantar pulang," tanya Akasha.

"Ah terima kasih, Inspektur. Tetapi saya tidak apa-apa. Selama ini, stalker itu hanya menganggu saja. Kali ini, saya akan kumpulkan keberanian dan benar-benar akan meringkusnya," kata Catherine.

"Baiklah. Kalau ada apa-apa, beri tahu saya."

"Inspektur, saya minta izin untuk membuatnya pingsan sebelum meringkusnya. Yah, saya banting saja kok."

Sarah dan Natasha merinding takut karena mereka pernah melihat Catherine membanting penjahat yang jauh lebih besar darinya dan membuatnya pingsan. Akasha hanya tersenyum.

"Ya. Lakukan jika ia menyentuhmu. Mohon ingat agar tidak menyerangnya berlebihan atau membunuhnya," kata Akasha santai.

"Terima kasih, Inspektur!" sahut Catherine sambil memberikan pose hormat.

Akasha lalu pergi ke ruang kerjanya. Sedangkan Catherine, Sarah, dan Natasha bergegas ke ruang CCTV untuk memeriksa rekaman CCTV apakah kamera menangkap stalker yang dimaksud Catherine.

Mereka meminta pak pengawas untuk memberikan rekaman CCTV dari tanggal saat Catherine pertama kali muncul di TV.

Setelah mendapatkannya mereka pun bersama-sama memeriksa dan mencari target yang dimaksud.

"Rambutnya merah kan?" tanya Sarah.

"Iya. Badannya juga tinggi. Mungkin lebih tinggi dari Inspektur. Badannya juga kurus," jawab Catherine.

"Oke."

Cukup lama ketiga gadis itu memeriksa rekaman CCTV satu persatu sampai akhirnya Natasha menemukan sesuatu.

"Ah! Dia bukan, Kat?" tanya Natasha.

"Mana?" Catherine bergegas berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Nastasha. Awalnya ia berharap Natasha berhasil menemukan stalker itu, namun ternyata itu hanyalah Mihail.

"Itu Mihail, kan? Kayaknya dia lagi ngerokok di depan markas," kata Catherine. "Rambut Mihail memang warna merah sih."

"Ah, iya ya," kata Natasha. "Tumben sekali dia tidak tidur."

"Yah, dia sih kalo gak tidur, ya merokok."

"Dia dokter forensik tapi suka ngerokok," komentar Sarah.

Catherine dan Natasha hanya membalas dengan tawa ringan. Mereka bertiga pun kembali bekerja.

Tak lama kemudian, Sarah berhasil menemukan stalker yang mereka cari dan sudah dikonfirmasi oleh Catherine. Sarah segera mencetak screenshot rekaman CCTV dan mereka bertiga bergegas ke ruangan Inspektur Akasha.

"Maya, Inspektur ada di dalam?" tanya Catherine pada Maya yang asyik berkutat pada komputernya.

"Iya ada. Mau bertemu dengannya?" tanya Maya.

"Iya."

Maya lalu berdiri dan mengetuk pintu ruangan Akasha. "Inspektur, ada Lindberg, Levan, dan Linn yang ingin bertemu Anda."

"Biarkan mereka masuk," terdengar suara Akasha dari dalam ruangan.

Maya pun mempersilakan ketiga gadis itu masuk ke ruangan pimpinan mereka. Akasha menyambut mereka dengan senyum khasnya.

"Bagaimana? Sudah menemukan tersangkanya?" tanya Akasha.

"Sudah, Inspektur," Catherine menyerahkan secarik kertas bergambar screenshot rekaman CCTV. "Orang ini sudah menunggu di seberang kantor Kepolisian Daylily sejak sehari setelah saya muncul di televisi."

"Hmm... Begitu ya. Saya akan menginfokan kepada petugas yang ada di sekitar sini dan dekat tempat tinggalmu untuk mengawasi orang ini. Begitu orang ini mengganggumu, mereka akan segera menangkap orang ini."

"Baik, Inspektur. Terima kasih banyak."

"Baiklah, silakan kembali ke tempat."

"Siap!" sahut Catherine, Sarah, dan Natasha.

Ketiga polisi wanita itu meninggalkan ruangan atasannya. Mereka kembali berkumpul di sekitar meja Catherine dan mengobrol.

"Kat, bagaimana nanti kuantar pulang dengan mobilku?" tawar Sarah.

"E-eh tidak perlu. Kalau kamu mengantarku pulang, nanti kamu malah kemalaman karena rumah kita jauh dan beda arah," balas Catherine merasa tidak enak.

"Memang sih. Tapi aku khawatir sama kamu."

Catherine hanya menunduk. Dadanya dipenuhi rasa penyesalan. Ia merasa sudah merepotkan semua orang karena ketidakmampuannya.

Alasan ia menolak bantuan dari Inspektur-mencarikan Catherine petugas yang bisa menemaninya pulang-itu karena Catherine tidak mau terlihat lemah di mata atasannya.

"Ada apa denganku? Sejak aku tiba di dunia ini, aku selalu saja merepotkan orang. Bagaimana mungkin orang sepertiku bisa membantu Clive mengungkap kasus Cat kalau aku sendiri tidak bisa berdiri dengan kaki sendiri?"

Perasaan sedih dan kecewa berkecamuk dalam dada Catherine. Sarah dan Natasha memeluk Catherine dengan lembut seakan ingin mengambil perasaan tidak enak itu.

"Kamu tidak perlu khawatir, Kat. Nanti aku antarkan ya," kata Sarah.

Catherine akhirnya mengangguk. Ia tahu bahwa Sarah memang orang yang selalu peduli pada orang lain. Di dunia asalnya, Catherine sering dibantu oleh Sarah. Rasanya tidak enak menolak bantuan yang ditawarkan Sarah, apalagi ia sangat bersungguh-sungguh.

"Kalau begitu, aku juga ikut ya," kata Natasha. "Lebih banyak orang, lebih baik."

"Terima kasih, Nat!" seru Catherine.

__________________

Catherine berjalan melewati trotoar bodega dekat stasiun menuju apartemennya. Ia pulang sendiri lagi. Pasalnya, saat Catherine, Sarah, dan Natasha akan pulang bareng, mobil Sarah mengalami masalah dan tidak bisa jalan. Makanya Sarah harus memanggil truk derek dan mengurus mobilnya di bengkel. Karena itu, Sarah tidak bisa mengantar Catherine.

Catherine tersenyum tipis ketika mengingat Sarah yang merasa sangat bersalah karena tidak bisa menepati janjinya. Sebenarnya Catherine sama sekali tidak marah. Ia paham bahwa Sarah juga mengalami kesulitan. Malahan ia sedikit lega karena tidak perlu merepotkan Sarah.

Natasha juga tidak bisa mengantar Catherine karena mobil Sarah rusak. Setiap hari ia selalu nebeng Sarah karena rumah mereka memang dekat. Jadi, ia ikut Sarah ke bengkel.

Kali ini Catherine memilih jalan lain. Walau agak jauh memutar tetapi jika ia ganti rute pulang, kemungkinan besar ia tak perlu bertemu stalker itu.

Jalanan ini agak sunyi, tak ada orang yang lewat. Kendaraan juga jarang. Stalker rambut merah itu juga tak terlihat.

Padahal Catherine sudah mengembuskan napas lega, namun rasa lega itu segera berganti jadi rasa kesal ketika ia mendengarkan suara menyebalkan itu.

"Lindberg!"

Catherine tahu si stalker itu ada beberapa meter di belakangnya. Catherine pun hanya mendiamkannya saja dan terus melanjutkan perjalanan.

"Kyaa!" Catherine memekik ketika pergelangan tangannya digenggam erat. Tentu saja pelakunya si stalker.

"Lindberg! Kita bertemu lagi!" serunya ceria.

Catherine menatap tajam pria itu dan membalasnya ketus. "Apa maumu? Lepaskan tanganku!"

"Kalau kamu galak, jadi terlihat makin manis deh. Jadi pengen bawa kamu pulang," ucap stalker itu.

Bulu kuduk Catherine berdiri mendengar perkataan pria itu. Belum sempat membalas, pria itu sudah menarik tangan Catherine dan mengajaknya pergi ke suatu tempat.

"Kamu sudah selesai kerja kan? Ayo kita main berdua. Kita pergi ke tempat yang menyenangkan!"

"Lepaskan aku!" Catherine kemudian menarik tangannya kasar dan mencengkeram kerah baju pria itu. Ia kemudian memutar tubuh pria itu dan membantingnya keras ke tanah. Lalu Catherine mendaratkan sikutnya tepat di ulu hati pria itu.

Pria itu terbatuk-batuk. Ia tidak pingsan namun badannya tidak bisa bergerak.

Catherine mengambil borgolnya. "Anda saya tahan atas tuduhan pelecehan seksual. Anda bisa me-"

Sebelum Catherine berhasil menyelesaikan kalimatnya, pria berambut merah itu mencengkeram tangannya lagi.

"Lindberg, kenapa kamu selalu kasar sama aku?! Padahal aku suka kamu sejak melihatmu di TV, Lindberg!" sahut pria itu.

"Kalau kamu menyukaiku, kamu seharusnya tidak akan melakukan ini. Ini namanya pelecehan! Kamu mengikutiku bahkan sembarangan menyentuhku!" sahut Catherine.

"Kamu menolakku... Apa gara-gara pria baju hitam yang tadi pagi itu? Dia pacarmu ya?!" tanya pria itu. "Aku tak peduli. Aku ingin kamu jadi punyaku seutuhnya!"

Tanpa Catherine sadari tangan pria itu merogoh sakunya dan dengan cepat mengeluarkan pisau dan mengarahkannya pada Catherine. Kalau saja Catherine tidak bergerak menjauh dengan cepat, pisau itu bisa menusuk dadanya.

Pria itu perlahan berdiri. Sambil mengacungkan pisaunya ke arah Catherine, ia berteriak.

"Tak peduli hidup atau mati, kamu harus jadi milikku, Lindberg!"

Pria itu berlari ke arah Catherine sambil mengacungkan pisaunya. Semakin dekat pria itu, Catherine semakin tidak bisa menggerakkan tubuhnya akibat dikekang rasa takut yang sekelebat menyelimutinya.

"Kalau aku mati, aku tidak bisa menepati janjiku. Aku tak mau mati!" teriaknya dalam hati.

Trakk!!

Pisau yang seharusnya menusuk tubuh Catherine, menghantam sesuatu yang keras. Kedua mata Catherine terbuka lebar ketika melihat siapa yang ada di depannya.

"Altair!" seru Catherine.

Pisau milik pria itu menusuk gagang payung milik Altair. Pria itu menatap tajam Altair yang saat ini bisa dilihat manusia biasa.

"Kamu! Yang tadi pagi!!" sahut pria itu marah.

"Kamu yang mengganggu Katarina Lindberg tadi pagi," balas Altair.

"Lindberg itu punyaku! Enyahlah kau!" sahut pria itu lagi.

"Dia bukan milikmu!"

Altair kemudian menendang pria berambut merah itu. Pria itu terpental tiga kali di jalanan sampai akhirnya ia terkapar.

Altair langsung membalikkan badannya dan memeriksa kondisi Catherine.

"Catherine Lindberg, kamu tak apa-apa?" tanya Altair. "Jangan takut. Aku ada di sini."

Catherine tidak menjawab. Ia hanya meneteskan air matanya.

Altair menyeka lembut air mata Catherine dengan jarinya.

"Tenanglah. Aku akan melindungimu."

"Altair..."

"Tunggulah di sini. Aku akan memeriksa sebentar kondisi pria itu. Kuharap aku tidak menendangnya terlalu kuat sampai dia mati. Aku kan tak boleh membunuh makhluk hidup."

Altair kemudian mendekati stalker rambut merah itu yang terkapar di tanah. Karena tidak bergerak sama sekali, Altair mencolek badan pria itu dengan payungnya.

"Aku tidak melihat ada nyawa yang keluar dari tubuhnya. Jadi seharusnya dia belum mati," gumam Altair sambil mencolek-colek pria itu. "Ya kan?"

Pria itu tiba-tiba membuka matanya dan langsung menyerang Altair. Dengan sekejap, Altair sudah berada di bawah pria itu dan pria itu mencekik lehernya.

"Menjauh dari Lindberg!" seru pria itu.

"Harusnya itu kata-kataku!" balas Altair.

Walau stalker berambut merah itu berbadan kurus, namun ternyata ia lumayan kuat. Pasalnya Altair sudah merasakan tulang lehernya retak akibat cekikannya.

"Pantas Catherine Lindberg tidak bisa melumpuhkannya. Manusia ini lumayan kuat juga," pikir Altair dalam hati.

Namun, kekuatan manusia tidak akan pernah bisa melebihi kekuatan dewa. Dengan mudah, Altair memutarbalikkan keadaan. Kini pria itu ada di bawah Altair. Altair cukup kesulitan mengunci gerakan pria itu.

"Aku harus ingat dia ini manusia. Aku tak boleh menggunakan seluruh kekuatanku atau dia akan mati," pikir Altair. "Tapi rasanya sulit sekali melawan seseorang tetapi tidak bisa menggunakan seluruh kekuatanku."

"Altair!!!"

Catherine berteriak memanggil nama Dewa Kematian itu ketika melihat pisau yang dibawa stalker itu menusuk perut Altair. Kemudian stalker itu mencabutnya dan kembali menusuk perut dan dada Altair berkali-kali.

"Sialan! Aku lengah! Aku lupa kalau dia bawa senjata!" keluh Altair.

Tubuh Altair roboh. Darah mengalir deras keluar dari tubuhnya. Stalker itu berdiri lalu menendang-nendang luka Altair tanpa ampun. Altair hanya bisa mengerang kesakitan.

Stalker berambut merah itu tersenyum puas melihat kondisi Altair yang kacau dan berlumuran darah. Bahkan Altair sama sekali tidak bergerak.

"Lindberg, orang baju hitam ini sudah mati. Lupakan dia dan datanglah padaku. Aku jauh lebih kuat dari dia," ucap stalker rambut merah itu sambil mendekat ke arah Catherine.

Catherine tidak membalas. Lututnya lemas hingga ia jatuh terduduk dan ia hanya menyebut nama Altair berkali-kali dengan mata berlinang air mata.

Pria itu menarik rambut Catherine dan memaksanya berdiri. Sambil menahan sakit, Catherine berusaha melepaskan tangan itu dari rambutnya.

"Kenapa kamu masih saja peduli padanya? Lihatlah aku!" sahut stalker itu.

Catherine menendang perut pria itu namun pria itu masih bisa berdiri tegak dan menjambak rambutnya. Pria itu memperlihatkan pisau yang berlumuran darah Altair.

"Kalau begitu, terpaksa aku melakukan ini," ucap pria itu. Catherine meringis ketika bilah dingin itu menyentuh lehernya.

Duakk!

Terdengar bunyi hantaman keras dan pria rambut merah itu jatuh pingsan. Di belakangnya, Altair berdiri sambil memegang payungnya.

"Oooh... Apakah dia mati? Aku tidak memukul kepalanya terlalu keras kan?" ucap Altair khawatir.

Altair tidak sempat memeriksa kondisi stalker itu karena Catherine keburu memeluknya erat hingga mereka berdua terjatuh.

Catherine membenamkan wajahnya di dada Altair sambil menangis keras. Ia luapkan rasa takutnya dalam tangisnya. Altair balas memeluk Catherine sambil menepuk lembut pucuk kepalanya.

"Kamu tidak apa-apa, Catherine Lindberg?" tanya Altair.

"Harusnya aku yang bertanya! Kamu tertusuk pisau dan banyak mengeluarkan darah!" sahut Catherine.

"Aku tidak apa-apa. Luka kecil begini akan sembuh sendiri."

Catherine tidak menjawab dan hanya menatap perut Altair yang tertusuk pisau. Berangsur-angsur darahnya menghilang dan lukanya sembuh.

Catherine menunduk dalam. Tangannya mencengkeram blazer-nya.

"Ada apa, Catherine Lindberg?" tanya Altair khawatir.

"A-Aku minta maaf atas perkataan jahatku kemarin. Walaupun aku sudah berkata sejahat itu padamu dan mendiamkanmu, tetapi kamu masih saja menolongku," ucap Catherine sambil terisak.

"Tugasku adalah melindungimu. Aku sudah berjanji bahwa aku akan selalu menjadi perisaimu, walaupun kamu membenciku."

"Altair..."

"Lalu, aku juga minta maaf. Sebenarnya aku tahu Clive Chester tak mungkin melukai Cat. Aku...hanya mengatakan itu secara impulsif karena...entahlah. Ketika kamu sangat mengkhawatirkan Clive Chester, rasanya dadaku sakit seperti disayat pisau," ujar Altair. "Mungkin seperti orang itu rasakan ketika kamu lebih mengkhawatirkanku dibanding dirinya," Altair menunjuk si stalker yang pingsan itu.

Catherine menggeleng. "Tidak. Kamu berbeda. Kamu tidak berusaha membunuhku, tetapi malah melindungiku."

Kesunyian sejenak menyelimuti mereka.

"Jadi, kita baikan?" tanya Catherine memecah kesunyian.

Altair mengangguk. "Sejak awal aku tidak marah padamu."

Catherine terkekeh kecil.

"Apa yang akan kamu lakukan pada orang itu?" tanya Altair.

Catherine melirik ke arah si stalker. "Tentu saja membawanya ke kantor polisi. Selain melakukan penguntitan, ia juga melakukan pelecehan dan percobaan pembunuhan. Bahkan ia melukaimu."

"Tolong jangan sebut namaku saat menyerahkannya ke polisi," pinta Altair.

"Ke-kenapa?"

"Aku tidak mau diketahui banyak orang."

"Padahal kamu juga korban," kata Catherine. Ia diam sejenak dan baru ingat kalau Altair memang tidak terlalu suka berhubungan dengan manusia. "Baiklah kalau itu maumu. Identitasmu aman."

"Terima kasih," ucap Altair. Ia lalu berdiri dan membantu Catherine berdiri. "Nah, ayo pergi ke kantor polisi. Aku akan mengantarmu."

Catherine mengangguk.

Altair lalu menggenggam tangan Catherine. "Jangan lepaskan tanganmu," ucapnya.

Lalu Altair mencengkeram tangan si stalker yang masih pingsan itu. Dalam sekejap, mereka sudah tiba di Kantor Kepolisian Daylily.

"Tunggulah di sini, Altair. Aku akan membawanya agar diproses petugas," kata Catherine.

"Jangan lembur. Kamu harus istirahat malam ini karena sudah mengalami banyak hal," balas Altair.

"Tenang saja. Aku hanya menyerahkan sampah ini ke petugas lalu pulang. Besok baru akan kuurus. Nanti antarkan aku pulang, ya?"

Altair mengangguk. Matanya mengikuti Catherine yang pergi menyeret si stalker rambut merah itu masuk ke ruangan petugas polisi berseragam.

"Padahal belum sebulan Catherine Lindberg ada di dunia ini. Namun, bahaya yang datang sudah separah ini. Aku harus terus ada di sampingnya, memastikan ia aman," ucap Altair dalam hati. "Akan semakin banyak bahaya yang akan menghampirinya."

✧✧✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top