Ep. 14 - Funeral

"Aaaaaaahhhhhhh!!!!!"

Catherine terbangun tiba-tiba akibat mimpi buruk yang menganggu tidurnya. Jantungnya berdetak cepat hingga napasnya tersengal-sengal. Catherine mencengkeram ujung selimutnya sambil berusaha mendapatkan napasnya kembali.

Setelah lebih tenang, Catherine diam sejenak sambil memegangi kepalanya. Semalaman ia terus terbangun berkali-kali akibat mimpi yang sama. Ia sudah melakukan hal-hal yang katanya bisa menghilangkan mimpi buruk, seperti membalikkan bantal, memotong sedikit rambut, minum air hangat, dan lain-lain. Namun semua tak ada yang berhasil.

Mimpi yang ia lihat selalu sama, yaitu Altair mendatanginya dan mencabut nyawanya. Di dalam mimpinya, Catherine merasakan nyawanya terbang dari tubuhnya. Sekeras apapun usahanya-berteriak, menangis, atau memohon-ia tidak bisa menghentikan Altair mencabut nyawanya. Setelah itu ia akan langsung terbangun.

"Untung hanya mimpi," gumam Catherine.

Catherine menghela napas berat dan melihat jam. Masih ada waktu 2 jam lagi sebelum alarm berbunyi, namun Catherine masih agak takut untuk lanjut tidur.

Ujung mata Catherine menangkap sosok serba hitam di pojokan kamarnya. Jantungnya hampir copot melihatnya hingga ia terjungkal dari tempat tidurnya. Namun, ia agak lega ketika mengetahui sosok itu adalah Altair.

"Catherine Lindberg, kamu tidak apa-apa?" tanya Altair yang membantunya berdiri.

Catherine menggenggam tangan Altair dan duduk di pinggir kasurnya.

"Sejak kapan kamu ada di situ?" tanya Catherine.

"Sejak tadi," balas Altair. "Aku mendeteksi rasa takutmu sehingga aku datang mengecek keadaanmu. Kamu...mimpi buruk lagi ya?"

Jantung Catherine seperti ditusuk tombak besi mendengar pertanyaan Altair. Altair tidak boleh tahu bahwa ia mimpi buruk sejak ia menyaksikan Altair mencabut nyawa manusia, kalau tahu, Altair akan menghapus ingatannya.

"Ti-tidak! Aku takut gara-gara kamu tahu-tahu ada di pojokan. Bikin kaget tahu!" sanggah Catherine.

Altair hanya diam menatap Catherine.

"A-apa?!" sahut Catherine. "Apa-apaan matamu itu?! Seakan aku ini berbohong!"

Tatapan Altair melembut, namun Catherine masih melihat ada kecurigaan di mata lapis lazuli itu.

"Aku tidak mimpi buruk! Walau aku melihatmu mencabut nyawa manusia, aku tidak merasa takut kok! Jadi, jangan kau hapus ingatanku!! Lalu kamu tidak perlu datang ke sini tiap pagi!" sahutnya lagi.

Altair hanya menghela napas. Ia tahu Catherine hanya berpura-pura berani. Namun ia mengerti kenapa Catherine tidak mau ingatan menyeramkannya itu dihapus. Menghapus ingatan bukan berarti menghapus masalah, malah bisa menimbulkan masalah baru. Kejadian perampokan tempo hari menyadarkan Altair, dan juga Catherine.

"Aku tidak mau kamu hidup penuh ketakutan," kata Altair.

"Sudah kubilang aku tidak takut!" Catherine memukul dada Altair.

Altair tidak menjawab dan hanya menepuk-nepuk lembut pucuk kepala Catherine. Rasa takut Catherine yang sejak tadi ia deteksi, semakin lama semakin berkurang, bahkan akhirnya menghilang.

Catherine menunduk, tidak ingin Altair melihat wajah merahnya. Ia tidak ingin mengakui bahwa tepukan lembut Altair berhasil menenangkan ombak ketakutan yang sejak tadi menerjang hatinya.

Gadis itu lalu berdiri dan berjalan menuju kamar mandi. Sebelum masuk, ia membalikkan badannya lagi karena Altair memanggilnya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Altair.

"Ke kamar mandi. Mau siap-siap ke kantor."

"Tumben sekali. Biasanya kamu baru bangun sekitar 2 jam lagi."

Catherine membuang wajahnya dari Altair dan menjawab pelan.

"Aku tidak mau tidur lagi. Lagipula hari ini ada acara penting yang aku harus datangi."

"Acara apa?"

"Pemakaman."

__________________

Suasana di gereja hari ini sangat berkebalikan dengan langit yang cerah tanpa awan sekalipun. Sebab akan dilaksanakan upacara untuk mengantarkan seseorang yang pergi meninggalkan keluarganya untuk beristirahat selamanya.

Ya, hari ini adalah upacara pemakaman Letnan Furshort yang meninggal akibat serangan jantung tempo hari. Menurut Inspektur Akasha, beliau memang sudah memiliki penyakit itu dan terkadang kambuh. Walau biasanya tidak fatal, namun kali ini serangannya sangat besar hingga merenggut nyawanya.

Catherine sedari tadi hanya diam. Ajakan Jack untuk taruhan tebakan siapa saja polisi-polisi yang masih single yang datang ke pemakaman ini, ia abaikan. Padahal biasanya Catherine sangat suka taruhan melawan Jack.

"Katarina, dari tadi kamu lesu sekali. Ada apa?" tanya Clive yang duduk di sebelahnya.

Catherine menggeleng pelan dan kembali menatap altar dengan tatapan kosong.

Melihat altar tersebut membuat Catherine mengingat saat-saat Altair mencabut nyawa Letnan Furshort. Tanpa sadar tangannya bergetar.

"Katarina, kamu sakit?"

Genggaman tangan Clive pada tangannya membuat getaran itu berhenti. Catherine akhirnya menoleh ke arah lawan bicaranya dan tersenyum-walau senyum itu sedikit dipaksakan. Ia tahu Clive mengkhawatirkannya, apalagi Clive mendengar dari Sarah dan Jack bahwa Catherine lari kabur entah kemana saat melihat Inspektur Furshort dijemput ajalnya.

"Aku...hanya membayangkan bagaimana saat upacara pemakaman Cat," balas Catherine.

Catherine sengaja berbohong sekaligus mengalihkan pembicaraan agar tidak perlu membahas soal Letnan Furshort. Ia tidak mau lagi mengingat apapun yang terjadi hari itu.

Mungkin membahas kematian Cat bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa takutnya.

"Pemakaman Cat, huh," ucap Clive. "Pemakamannya sangat ramai dikunjungi teman-temannya. Seperti yang kau tahu, lingkaran pertemanannya sangat luas. Banyak yang berkabung ketika mengetahui berita kematiannya. Pinggir sungai tempat ia ditemukan pun dibanjiri bunga dari teman-temannya. Lalu wartawan pun juga hadir meliput."

"Cat benar-benar dicintai orang ya..." gumam Catherine. "Apakah kalau aku yang sekarang meninggal, apakah upacara pemakamanku juga akan seperti Cat?" pikirnya.

Clive kembali melanjutkan ceritanya. "Iya. Semua sangat mencintai Cat. Ketika ia pergi meninggalkan dunia ini, ia juga meninggalkan luka bagi kami."

Catherine menundukkan kepalanya. Hanya satu kata yang bisa ia ucapkan setelah mendengar semua itu, "Maaf."

"Kenapa minta maaf? Itu bukan salahmu dan bukan salah Cat juga. Yang bisa aku lakukan adalah memastikan ia bisa istirahat dengan tenang dengan menangkap pelaku yang membuatnya seperti itu."

Kemudian kesunyian menyelimuti mereka berdua. Clive juga sudah melepas genggaman tangannya pada Catherine. Ia berinisiatif memecah keheningan di antara mereka.

"Setelah ini mau ke makam Cat?" tanya Clive.

Catherine hanya terdiam. Di dalam lubuk hatinya, ia ingin melihat makan Cat untuk memastikan apakah Cat benar-benar sudah meninggal. Namun, di sisi lain, ia tidak yakin apakah bakal kuat melihat batu nisan yang bertuliskan namanya sendiri.

"Katarina?" Clive melambaikan tangannya di depan wajah Catherine, menyadarkan lamunannya.

Catherine mengerjapkan matanya sekali lalu tersenyum tipis ke arah Clive. "Iya. Boleh tolong antarkan? Aku ingin melihat di mana sahabatku beristirahat."

"Baik. Setelah upacara ini selesai, ayo kita ke makam Cat. Aku juga ingin memberinya bunga."

Catherine mengangguk. Ia kembali menatap altar dengan tatapan kosong. Namun, pikirannya penuh dengan rasa gugup melihat makamnya untuk pertama kali. Kira-kira reaksi apa yang harus ia tunjukkan agar Clive tidak mencurigai identitasnya? Apakah ia benar-benar siap melihat makam yang ada tulisan namanya sendiri?

"Percuma saja menghindari melihat makam Cat. Cepat atau lambat, aku pasti akan melihatnya juga," pikir Catherine. "Oh ya, aku jadi kepikiran. Kenapa Altair tidak menunjukkan makam Cat ketika pertama memberi tahu bahwa "Catherine Lindberg" sudah meninggal padaku? Padahal itu cara cepat agar aku percaya padanya."

__________________

Upacara pemakaman dan resepsi pemakaman akhirnya selesai juga. Catherine dan Clive segera undur diri karena mereka harus pergi ke suatu tempat. Tentu saja makam Cat. Makam Cat berada di tempat pemakaman yang berbeda dari makam Letnan Furshort.

Semakin dekat dengan lokasi pemakaman, dada Catherine semakin berisik. Melihat pemandangan luar dari dalam mobil pun tidak membantu menenangkan jantungnya. Ia menggenggam erat buket bunga yang ia beli bersama Clive sebelumnya. Ada sedikit keinginan agar mereka tidak sampai ke pemakaman.

Namun, harapan Catherine tidak terkabul. Mobil Clive masuk ke dalam area parkir pemakaman dan terparkir tanpa masalah. Mau tidak mau Catherine harus siap menghadapi apapun yang terjadi.

Catherine dan Clive berjalan pelan masuk ke area pemakaman. Makam Cat terletak agak jauh di ujung area pemakaman. Setiap langkahnya terasa berat. Genggaman Catherine pada buket bunga semakin erat hingga ada beberapa tangkai bunga yang patah.

"Ini makamnya," ucap Clive.

Catherine menatap makam yang ditumbuhi rumput hijau yang dirawat rapi. Di sisi nisannya terdapat pot kecil berisikan bunga daylily kuning yang segar. Penjaga makam selalu menjaga agar makam selalu dalam keadaan baik.

Isi perut Catherine hampir saja keluar ketika ia melihat tulisan putih yang tercetak di batu nisan marmer hitam itu.

CATHERINE LINDBERG
21/04/2013 - 19/07/2027
Our best friend who was cheerful, smart, and beautiful. We will always miss her.

Genggaman tangan Catherine semakin kuat hingga kukunya menghunjam telapak tangannya. Rasa sakit yang ditimbulkannya membantunya sadar agar ia tetap bersikap biasa saja.

Clive berlutut di depan makam dan meletakkan buket bunganya. Catherine juga melakukan hal yang sama. Kemudian mereka berdua mengirimkan doa untuk Cat.

"Cat. Hari ini aku datang bersama temanmu, Katarina. Kamu senang kan kalau dikunjungi teman-temanmu?" ucap Clive.

Clive melirik gadis di sebelahnya yang sejak tadi hanya menatap kosong batu nisan Cat. Clive menepuk pundak Catherine.

"Akan kubiarkan kamu sendiri bersama Cat. Kamu pasti punya banyak hal yang ingin disampaikan padanya kan? Aku akan tunggu di tempat parkir."

Catherine hanya menjawab dengan anggukan. Setelah sosok Clive benar-benar tak terlihat lagi, Catherine mulai meneteskan air matanya.

"Ternyata...aku benar-benar sudah meninggal di dunia ini," ucap Catherine lirih. Tangannya mengelus marmer hitam yang dingin itu. "Kenapa kamu bisa mengalami hal sekejam itu, Cat...?"

Catherine tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun. Hanya isakan yang terdengar untuk mengeluapkan semua perasaan yang sedari tadi membuat jantungnya berisik.

"Kamu begitu dicintai banyak orang dan membuat semua orang terluka ketika ditinggal olehmu. Bahkan Dewa Kematian pun peduli padamu," rintih Catherine.

Ia terdiam sejenak lalu meninju tanah di sebelah makam Cat yang juga ditumbuhi rumput hijau. "Cat, aku berjanji akan menemukan siapa pelaku yang membuatmu terbaring di dalam tanah seperti ini. Kamu adalah aku. Aku adalah kamu. Aku akan melakukan apapun demi keadilan untuk kita."

Catherine kemudian berdiri tegak. Sambil menyeka air matanya, ia mengembangkan senyum pada Cat.

"Istirahatlah yang tenang, Cat. Tunggulah, aku akan memenuhi janjiku," kata Catherine.

Catherine lalu menatap makam yang ada di sebelah makam Cat. Ia tersenyum sambil mengelus batu nisan makam tersebut.

"Papa, jaga Cat di sana ya. Maaf aku tidak membawa bunga untuk Papa. Aku tidak tahu kalau makam Papa ada di sebelah makam Cat. Lain kali, aku akan membawakan bunga untuk Papa," ucapnya.

Setelah itu, Catherine berdiri tegak. Setelah memastikan matanya tidak sembab, ia pun berjalan keluar area pemakaman. Dadanya terasa lebih ringan. Perasaan buruk yang ia rasakan sudah menghilang, digantikan oleh tekad kuat memecahkan misteri ini.

Catherine berlari kecil menemui Clive yang sedang berdiri bersandar di mobilnya sambil berkutat dengan handphone-nya.

"Clive!" panggilnya.

Yang dipanggil menoleh dan menatap orang yang memanggilnya. "Katarina, sudah selesai ngobrol dengan Cat?"

Catherine mengangguk.

"Kalau begitu, ayo kita pulang. Aku akan mengantarmu sampai apartemenmu."

"Iya. Terima kasih, Clive!"

Kedua polisi itu masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkan area pemakaman itu. Clive memulai pembicaraan mereka.

"Apa yang kamu bicarakan dengan Cat?" tanya Clive.

"Bukan apa-apa. Aku hanya berjanji padanya bahwa aku akan menangkap pelaku yang membuatnya seperti ini," jawab Catherine.

"Kamu teman yang baik, Katarina."

"Terima kasih, Clive. Berkat kamu, aku bisa melihat jelas tujuanku sekarang," kata Catherine.

"Hmm..."

"Awalnya, aku masih berharap bahwa Cat meninggal adalah berita bohong. Namun berkat kamu yang menunjukkan makamnya, mataku menjadi terbuka.

"Selama ini dadaku selalu dipenuhi rasa sesak akibat tidak mau menghadapi kenyataan bahwa Cat sudah meninggal. Saat aku datang ke kota ini, aku hanya ingin memastikan Cat masih hidup lalu pulang. Namun, Cat ternyata benar-benar meninggal.

"Melihat makamnya langsung menghilangkan perasaan denial itu. Sekarang sesak dadaku menghilang digantikan dengan tujuan yang kuat. Aku pasti akan memecahkan kasus ini."

Clive melihat ujung mata Catherine yang sedikit basah. Dari situ ia tahu bahwa tadi gadis itu sempat menangis. Walau begitu, Catherine mengucapkan kata-kata yang penuh semangat itu. Tanpa sadar Clive melengkungkan senyumnya.

Senyum itu senyum dari hati pertamanya sejak 15 tahun yang lalu.

"Kau gadis yang kuat, Kat," ucap Clive.

Catherine menatap Clive yang masih fokus menyetir. Wajahnya memerah ketika melihat senyuman pria itu. Senyum yang sangat ia rindukan. Sayangnya, Catherine tahu bahwa apa yang ia katakan selanjutnya akan menghapus senyuman itu.

"Clive, aku mau memberitahumu sesuatu," kata Catherine.

"Ada apa?"

"Cat tewas bukan karena kecelakaan, tetapi karena diperkosa lalu dibunuh oleh pelakunya."

Tiba-tiba Clive menginjak pedal rem. Bunyi gesekan antara ban mobil dan jalanan terdengar keras. Mobil yang mereka kendarai mendadak berhenti melaju. Dengan cepat Clive membanting setir ke arah kiri hingga mobil menepi. Hampir saja tubuh Catherine terlempar jika saja ia tidak memakai sabuk pengaman dan memegang pegangan tangan.

Untungnya tidak ada tabrakan pada sisi jalan walaupun Clive melempar mobilnya seperti itu. Setelah mobil benar-benar berhenti, Catherine mengaduh keras karena Clive menggenggam lengannya dengan erat.

"Apakah yang kamu katakan itu benar?" tanya Clive. "Cat...diperkosa?!"

Catherine sedikit takut melihat wajah seram Clive yang seperti akan menelannya itu. Namun, Catherine menjawab pertanyaannya dengan tenang.

Catherine mengangguk. "Ya, benar. Aku akan menunjukkan buktinya besok."

Sebenarnya, Catherine masih ingin menyimpan informasi ini sedikit lama. Ia ingin mengumpulkan lebih banyak bukti sebelum menunjukkannya pada Clive. Namun, ia tahu bahwa agar kasus ini cepat selesai, ia membutuhkan Clive. Lebih cepat Clive mengetahui kenyataannya, lebih baik.

Clive sudah mengetahui informasi ini. Catherine sudah tidak bisa mundur lagi. Mau tidak mau ia harus menarik Clive ke dalam bahaya di balik kasus ini.

✧✧✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top