Ep. 13 - Death

Semua mata langsung tertuju pada Catherine yang memasuki ruangan Divisi Kejahatan Serius dengan langkah gontai. Biasanya gadis pirang itu selalu masuk dengan senyum yang bisa membuat semua yang melihatnya tersenyum. Memang senyum Catherine bisa menular.

Namun, polisi wanita itu kali ini datang dengan wajah kuyu seperti kehabisan tenaga, padahal sekarang masih pagi.

"Kat, kamu kenapa?" tanya Jack. "Apa kamu masih kepikiran soal kasus bunuh diri kemarin?"

Catherine menatap Jack sejenak sebelum mengembuskan napas. "Haaa... Tidak kok. Aku hanya lelah karena sejak aku muncul di depan kamera, banyak yang ingin minta foto bareng denganku atau bersalaman. Aku sampai lelah melayani mereka semua."

Atas perintah Inspektur Akasha, Catherine memang muncul di depan wartawan untuk menjelaskan soal kematian Barry Pole, namun beberapa jam setelah beritanya rilis, nama "Katarina Lindberg" menjadi trending nomor 1. Bahkan Barry Pole hanya masuk ranking 5.

Sarah yang mendengar percakapan mereka pun tertawa. "Hahahahaha!!! Hebat sekali kamu, Kat! Kamu trending lho di sosial media!" Lalu Sarah mengeluarkan handphone-nya dan menunjukkan list trending. "Lihat, 'polisi cantik', 'abdi cantik', 'mau dong ditangkap', dan masih banyak lagi! Semua mengarah padamu, Kat!"

Catherine menekan kepalanya di mejanya sambil mengerang.

"Rasanya sudah lama aku tidak merasakan seperti ini. Terakhir aku kayak begini saat SMA, dimana banyak cowok yang suka sama aku dan selalu mengikutiku. Aku sampai lelah menanggapi mereka semua," ucapnya dalam hati. "Oh, ya, Cat juga terkenal seperti aku kan?"

Entah kenapa tiba-tiba Cat muncul dalam benaknya. Namun pikirannya buyar ketika mendengar kata-kata Sarah yang menggodanya.

"Kamu kan memang cantik, Kat! Wajar begitu kamu muncul di depan kamera, semua langsung memperhatikanmu."

Catherine hanya mendengus kesal.

"Kau bilang banyak yang minta foto bareng ya, Kat?" Natasha yang tadinya hanya diam saja, akhirnya membuka suara. "Kalau kamu terganggu, bagaimana kalau minta tolong Clive untuk mengantar jemputmu ke kantor untuk sementara sampai semuanya mereda?"

"Kalau bisa sih, aku mau. Tapi belakangan ini aku jarang ketemu Clive," balas Catherine.

"Benar juga. Clive sedang sibuk mengurus kasus pembunuhan berantai. Pelakunya sudah diserahkan ke kejaksaan, mungkin Clive sedang banyak diskusi dengan Jaksa Wolf-jaksa yang memegang kasus itu," kata Jack.

"Iya ya! Kalau tak salah, Clive menyamar jadi pengamen sendirian demi mengejar pelaku kan?" kata Sarah. Jack mengangguk.

"Benar. Berkat penyamarannya, ia berhasil menangkap pelakunya dan dapat banyak uang. Katanya uang yang ia dapat dari mengamen 2 minggu lebih banyak daripada gaji polisi sebulan."

"Yah, Clive kan tampan dan punya suara bagus. Sudah pasti banyak yang memberinya uang."

"Kalau sibuk, kurasa aku tidak bisa seenaknya minta tolong padanya," kata Catherine. "Yah, mungkin nanti aku minta tolong Altair aja."

Ujung mata Catherine tiba-tiba menangkap sesuatu yang menyembul dari celah laci mejanya. Hal itu mengingatkan Catherine pada sesuatu yang harus ia lakukan. Diam-diam ia membuka lacinya, mengambil benda yang menyembul tersebut, lalu berlari keluar ruangan setelah membuat alasan pada teman-temannya.

Langkah Catherine baru berhenti setelah ia tiba di atap gedung Kepolisian Daylily. Angin kencang langsung mengusap wajahnya. Namun hal itu diabaikannya dan ia hanya berjalan ke salah satu tempat duduk yang tersedia di sana.

Setelah pantatnya nyaman berada di tempat duduk, tangannya membuka dokumen yang ia bawa itu perlahan.

Catherine menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat sebelum membaca dokumen tersebut.

Matanya mulai menari, fokus pada tulisan yang tertera di dokumen itu. Setiap kata ia cermati seksama tanpa kecuali. Bibirnya semakin melengkung ke bawah seiring dengan banyaknya kata yang ia serap.

Setelah selesai, Catherine menutup dokumen tersebut dan meletakkannya di sampingnya. Ia menunduk sambil menekan kepalanya.

"Jepit yang kutemukan di TKP asli ternyata benar milik Cat. Lalu terdapat sedikit sperma di jepitnya namun tidak bisa terdeteksi siapa pemiliknya karena mungkin DNA-nya tidak atau belum terdaftar di sistem," gumam Catherine. "Berarti pelaku yang memperkosa Cat setidaknya tidak pernah berurusan dengan polisi dan masih ada di luar sana."

Catherine kembali menghela napas. "Berarti memang harus mencari orangnya langsung dan membandingkan DNA-nya dengan sperma yang ada di jepit Cat."

Mengetahui perjalanan penyelidikannya tidak akan semudah yang dipikirkan, Catherine mulai menjambak rambutnya frustrasi. Namun ia berhenti menarik rambutnya ketika tangannya dicengkeram oleh seseorang.

"Apa yang kamu lakukan? Kenapa menyakiti diri sendiri?"

Catherine segera menoleh ke arah suara dan menemukan Altair menatapnya dengan tatapan khawatir. Pria itu lalu melepaskan cengkeraman tangannya dan menepuk kepala Catherine sambil merapikan rambutnya.

"Rambutmu jadi berantakan, nih," ucapnya.

Catherine hanya mengembuskan napas berat. Altair lalu duduk di sebelahnya dan mulai menanyakan apa yang terjadi.

"Kamu kenapa, Catherine Lindberg?"

"Altair, kamu benar-benar tidak tahu pelaku yang menyakiti Cat?" tanya Catherine. "Bukannya kamu mendengar suara pelakunya? Kamu tidak memeriksanya?"

Altair menggeleng. "Saat itu aku sama sekali belum kepikiran untuk memeriksanya. Perasaan ini... Perasaan ingin memberikan Cat keadilan, muncul setelah aku menonton berita kematiannya di televisi.

"Kalau aku bisa memutar waktu, aku juga ingin melihat wajah orang-orang yang menyakiti Cat. Aku menyesal kenapa tidak memeriksanya..."

Suara Altair yang bergetar menyentuh rasa simpati pada hati Catherine. Gadis itu hanya bisa mengelus pelan punggung Dewa Kematian itu.

"Kita sama sekali tidak memiliki petunjuk soal pelakunya. Clive juga sulit ditemui karena sedang sibuk sehingga tidak bisa minta bantuan. Aku bingung harus berbuat apa," ucap Catherine kemudian.

"Itukah sebabnya kamu menarik rambutmu begitu?" tanya Altair.

Catherine mengangguk. Lalu, keheningan sejenak menyelimuti mereka.

Catherine mengusap wajahnya sambil menghela napas dengan berat. "Haaah... Aku akan coba cari cara."

"Kalau kau butuh bantuan, panggil saja aku," kata Altair.

"Ya. Terima kasih, Altair."

"Ngomong-ngomong," Altair kembali bicara. "Sebaiknya kamu jangan pergi ke kantin siang nanti pukul 13.00."

"Kenapa?"

"U-uh... Aku tak bisa mengatakannya. Po-pokoknya jangan datang ya! Apapun yang terjadi!"

Sebelum Catherine berhasil menanyakan maksud Altair lebih lanjut, Dewa Kematian itu sudah menghilang. Dipanggil pun tidak muncul lagi. Catherine hanya mendengus kesal dan bergumam kecil mengeluarkan kata-kata kasar untuk Altair.

Lalu Catherine mengambil handphone-nya dari dalam saku dan mencari kontak Clive. Kontak Clive di dunia ini sama seperti di dunia asalnya. Berkat kekuatan Altair, Catherine bisa menghubungi siapapun di dunia ini.

Catherine membuka room chat Clive. Ia hanya bisa mengembuskan napas berat melihat room itu kosong. Biasanya, ada banyak chat antara mereka berdua, mulai dari tanya kabar hingga perang sticker atau meme.

Jari-jari Catherine kemudian menari cepat mengetik pesan untuk Clive.

"Clive, ini Katarina. Bisa kita bertemu? Aku mau membicarakan soal kasus Cat."

Setelah itu, jempol Catherine menekan tombol send. Ditunggu 5 menit, 10 menit, ceklis satu itu masih belum berubah juga.

Catherine menghela napas. "Haaaa... Sepertinya dia masih sibuk."

Catherine pun memasukkan kembali handphone-nya ke dalam sakunya dan beranjak dari tempat duduknya. Sebelum ia pergi meninggalkan atap, ia memastikan bahwa dokumen forensik yang ia bawa tersembunyi di balik blazer abu-abunya. Ia tidak mau ada orang lain yang melihatnya dan bertanya soal itu padanya.

Catherine kembali mengerjakan tugasnya seperti biasa sambil sesekali mencuri waktu menyelidiki kasus Cat. Tanpa bantuan Clive, Catherine merasa semakin pesimis terhadap keberhasilannya memecahkan kasus ini. Kalau tidak bisa menyelesaikannya, ia tidak akan bisa pulang.

Sudah tak terhitung berapa kali dan berapa jam Catherine memeriksa chat-nya dengan Clive. Pesan terakhirnya masih saja ceklis satu. Orangnya tak terlihat di kantor, dikirimi pesan pun tidak bisa. Rasa tidak sabar Catherine semakin memuncak.

"Aaarggghhh!!!!" Catherine menggerutu sambil mengacak-acak rambutnya.

"Ya ampun, kamu kenapa Kat?" Sarah mendekati Catherine dan langsung merapikan rambutnya dengan tangannya.

"Aku cuma merasa frustrasi terhadap kasus yang aku selidiki," balas Catherine.

"Mau kubantu?"

"Terima kasih. Untuk saat ini, masih belum ada yang bisa kamu lakukan untukku. Tetapi kalau aku butuh bantuan, aku akan memanggilmu."

"Panggil aku kapan saja!"

Mata Catherine menangkap mug bergambar logo Kepolisian Daylily yang dipegang Sarah. Dari aroma yang muncul dari dalam mug itu, sudah pasti mug itu berisi kopi.

"Itu kopi?" tanya Catherine sambil menunjuk mug Sarah.

"Iya. Aku sulit kerja kalau tidak minum kopi," balas Sarah. "Mau?"

Catherine lalu mengambil mug itu lalu menyeruput isinya. Wajahnya langsung mengerucut begitu rasa pahit kopi menyelimuti lidahnya.

"Terima kasih, Sarah," kata Catherine sambil mengembalikan mugnya.

"Hahahaha! Kamu gak terlalu suka kopi ya?"

"Aku sukanya minuman manis."

Sarah membalas dengan tawa kecil. "Hahahaha! Dari pagi mukamu kusut terus. Yuk ke kantin lalu makan siang. Siapa tahu makan pork cutlet kesukaanmu bisa bikin kamu ceria lagi!"

Catherine mengangguk. Lalu kedua gadis pergi meninggalkan ruang Divisi Kejahatan Serius setelah Sarah menenggak habis kopinya dan meletakkan mug di atas mejanya.

Kantin Kepolisian Daylily sangat ramai. Hal itu bukan sesuatu yang aneh karena ini sudah jam istirahat. Para polisi dan pegawai kantor berkumpul untuk beristirahat sambil makan siang. Untungnya setelah memesan makanan pun, Sarah dan Catherine masih bisa mendapatkan meja kosong.

"Untunglah kita dapat meja. Kalau tidak dapat meja, kita harus makan di ruangan divisi," kata Catherine.

"Memangnya kenapa kalau makan di sana?" tanya Sarah.

Catherine menunjuk mangkuk mie yang dibawa Sarah. "Kamu kan makan mie. Aromanya pasti bakal menyebar ke seluruh ruangan dan menghipnotis semua orang yang ada di ruangan itu. Ingat tempo hari? Saat Jack bawa cup mie ke dalam ruangan?"

Sarah tertawa geli. Saat itu, semua anggota Divisi Kejahatan Serius sedang sibuk mengerjakan laporan kasus yang mereka selesaikan. Semuanya terlihat serius dan sedikit terburu-buru karena Inspektur Akasha memerintahkan semuanya agar selesai sebelum pukul 16.00 karena semua jumlah laporan yang selesai ingin dimasukkan ke dalam DayStat-sistem statistik Kepolisian Daylily untuk menganalisis tingkat kejahatan dan cara penyelesaian menggunakan ilmu statistik-sebelum deadline berakhir.

Jumlah laporan kasus yang harus mereka selesaikan tidak sedikit. Itu sebabnya semuanya sangat sibuk.

Namun Jack tiba-tiba datang ke ruangan membawa cup mie yang isinya sudah siap santap. Aromanya langsung menyebar ke seluruh ruangan dan menyeruak masuk ke dalam hidung semua polisi yang ada di sana. Aroma tersebut juga membuat cacing di perut semua polisi itu berbunyi.

Lalu semuanya jadi ingin makan mie juga. Mereka berbondong-bondong membeli cup mie dan mengantri di pantry untuk mengambil air panas. Hal tersebut membuat mereka terlambat menyelesaikan tugas mereka yang membuat mereka harus mendengarkan ceramah panjang dari Inspektur Akasha.

"Hahahaha! Sebenarnya bukan hal aneh kok makan mie di dalam ruangan divisi!" seru Sarah. "Kami sering makan mie saat kerja kok. Tapi mungkin saat itu semuanya sedang sibuk, kelelahan, dan lapar, makanya mudah tergoda oleh mie yang dibawa Jack."

"Benar! Gara-gara Jack, pekerjaan penting jadi tertunda," balas Catherine.

"Kalian ngomongin aku?"

Kedua gadis itu menengok ke arah suara dan melihat Jack yang membawa nampan makanannya. Jack lalu mempersilakan diri sendiri duduk di sebelah Catherine dan ikut menyantap makanannya.

"Iya. Kami sedang membicarakan soal insiden cup mie tempo hari," kata Catherine.

"Hahahaha! Tahu ga? Ada polisi yang sampai pergi ke ruang divisi lain untuk minta air panas buat mie-nya!" Jack lalu tertawa terbahak-bahak. Namun setelahnya ia terbatuk-batuk hingga matanya memerah dan kesulitan bernapas. Catherine menepuk punggungnya dan Sarah memberikannya air minum.

Setelah lebih lega, Jack melanjutkan perkataannya.

"Aku tak menyangka kalian semua gak bisa tahan sama aroma mie. Padahal biasanya kalian bisa tahan."

Mereka bertiga pun tertawa. Catherine mengalihkan pembicaraan.

"Ngomong-ngomong, kamu tadi dimana, Jack? Seharian kamu tidak ada di kantor?" tanya Catherine.

"Oh, aku dihukum Inspektur Akasha karena aku jatuh di TKP kasus Barry Pole kemarin," jawab Jack santai.

Jack lalu menceritakan soal hukuman yang ia terima. Ia harus berdiri di sebelah Akasha yang sibuk menandatangani tumpukan dokumen sambil memarahinya. Jack juga dipaksa untuk memegang dokumen yang sudah ditandatangani Akasha. Ia berdiri selama 3 jam.

Mendengar cerita Jack, Sarah dan Catherine langsung meletakkan sedikit lauk mereka di piring Jack. Catherine memberikan sepotong pork cutlet-nya, sedangkan Sarah memberikan telurnya. Mereka merasa kasihan.

Mereka lalu melanjutkan makan sambil saling bercerita. Catherine selalu berusaha menghindari pertanyaan soal dirinya karena tidak ingin identitas aslinya terbongkar. Untungnya kedua temannya itu tidak curiga.

Tak sadar makanan mereka sudah habis. Jack yang merasa kekenyangan bersandar pada kursinya sambil mengelus perutnya. Senyum bodohnya tidak lepas dari bibirnya.

"Kenyang, kenyang! Habis ini enaknya tidur," kata Jack. Catherine mengangguk setuju.

"Hey, kalau langsung tidur, nanti bisa berubah jadi sapi lho. Lalu dimarahi Inspektur," timpal Sarah.

"Gaaaghh!! Benar juga! Yah, lagipula aku masih punya laporan yang harus aku selesaikan," balas Jack. "Nanti dulu ya kita pindahnya. Istirahat sebentar."

Catherine dan Sarah setuju. Mereka pun duduk istirahat sebentar sambil kembali mengobrol.

Ujung mata Catherine menangkap sosok serba hitam yang berdiri di ujung kantin. Altair. Ia berdiri sambil mengamati berbagai kegiatan yang ada di ruangan ini. Sepertinya ia tidak menyadari keberadaan Catherine.

"Altair? Sedang apa dia di sini? Apa ada hubungannya dengan permintaannya supaya aku tidak datang ke sini?" pikir Catherine. "Tapi dia tidak melakukan apa-apa selain memperhatikan orang-orang. Apa dia malu jika ketahuan melakukan hobi anehnya itu?"

Lamunan Catherine tersadarkan oleh suara Sarah yang memanggilnya. Mereka bertiga pun kembali bercakap-cakap.

Praaaang!!! Tiba-tiba ada suara piring pecah terjatuh. Semua mata, termasuk Catherine dan kawan-kawan, langsung tertuju ke arah suara. Seorang polisi yang tubuhnya berkeringat menjatuhkan piring hingga pecah.

"Itu Letnan Furshort dari Divisi Kejahatan Pencurian," kata Jack. "Ada apa-?"

Sebelum Jack berhasil menyelesaikan kalimatnya, Letnan itu terjatuh ke lantai sambil memegang dada kirinya dengan keras. Ia mengerang kesakitan dan kesulitan bernapas. Semua yang melihat langsung berdiri dan berusaha menolong Letnan Furshort.

"Hubungi ambulans!!"

"Letnan Furshort, bertahanlah!!"

Semuanya kalang kabut berusaha menolong Furshort. Catherine dan kawan-kawan hanya bisa melihat apa yang terjadi.

"Kenapa? Serangan jantung?" tebak Sarah.

"Sepertinya begitu. Tapi memangnya Letnan Furshort punya penyakit itu?" balas Jack. Sarah hanya menggeleng.

Di dalam keributan itu, Catherine melihat Altair mulai bergerak dari tempat berdirinya. Melihat mata Dewa Kematian itu fokus pada Letnan Furshort, membuat Catherine tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Catherine sekarang mengerti kenapa Altair melarangnya datang ke kantin siang ini.

"Hey, ayo kita per-"

Suara Catherine terhenti seperti ada yang memutus suaranya. Ia berusaha memanggil temannya namun suaranya tidak lagi terdengar. Bahkan, suara ribut yang memenuhi kantin seperti hilang begitu saja.

Catherine menyadari bahwa sekelilingnya semuanya berwarna abu-abu. Semuanya diam tidak bergerak, terlihat seperti video yang di-pause. Catherine juga tidak bisa menggerakkan tubuhnya, kecuali bola matanya.

Yang tidak berwarna abu-abu hanya Altair yang bisa bergerak bebas dan Letnan Furshort yang terkapar di lantai. Altair berjalan mendekati dan berjungkat di dekat Letnan itu.

"Cano Furshort, waktumu di dunia sudah habis."

Mendengar perkataan Altair, membuat jantung Catherine berdetak cepat. Walau sebenarnya Catherine tidak bisa bergerak, tapi kalau bisa, pasti ia sudah gemetaran sekarang.

Ia ingin berteriak agar Altair menghentikan apapun yang ia lakukan, namun suaranya tidak keluar.

"Peganglah tanganku dan aku akan mengantarmu ke perjalananmu yang selanjutnya."

Furshort yang terbaring di lantai dengan rasa sakit menghantam dada kirinya, berusaha keras menatap pria berpakaian serba hitam di depannya.

"Kamu...siapa?" tanya Furshort.

"Namaku Altair. Aku adalah makhluk yang biasa kalian-para manusia- sebut Dewa Kematian. Aku datang untuk mengantarmu ke perjalananmu yang selanjutnya karena waktumu di dunia sudah habis."

"Jadi, aku akan mati?"

Altair mengangguk.

Air mata Furshort mengalir dari ujung matanya. Fakta yang baru saja ia terima membuat ia bisa melupakan rasa sakit di dadanya, karena fakta ini justru lebih terasa sakit, melebihi sakit yang di dadanya.

Namun, sebenarnya ketika ia merasakan rasa sakit di dada kirinya, ia pun tahu kalau ini merupakan akhir kehidupannya. Wajah anak dan istrinya terbayang dalam ingatannya dan membuatnya semakin menyesal karena ia tidak akan bisa melihat wajah mereka lagi.

Namun, takdir kematian tidak bisa diubah. Sebagai polisi yang sudah 25 tahun melihat banyak kematian, ia sangat tahu hal itu.

"Apa yang terjadi setelah aku ikut denganmu?"

"Bagaimana kalau kau mencari tahu?" Altair mengulurkan tangannya lagi.

Perlahan tangan Furshort meraih tangan Altair. Catherine yang melihat mereka berusaha berteriak, memperingati Furshort agar tidak mengambil tangan itu. Namun sia-sia karena tak ada satu pun yang bisa mendengarnya.

Begitu tangan Furshort menggenggam tangan Altair, tubuh mereka bercahaya berwarna biru. Lalu, dari dada Furshort, muncul bola cahaya seukuran bola tenis yang terbang mengambang. Sebelum bola tersebut semakin jauh terbang, Altair menangkap bola tersebut dan memegangnya erat dengan kedua tangannya. Tubuh Altair bercahaya semakin terang dan bola itu perlahan berubah menjadi butiran debu cahaya yang terbang ke langit.

"Selamat jalan, Cano Furshort," ucap Altair.

Cahaya itu menghilang. Seketika itu juga warna di ruangan itu kembali. Suara keributan pun kembali terdengar. Semua orang, termasuk Catherine, bisa menggerakkan tubuhnya kembali.

Catherine jatuh terduduk berusaha menerima apa yang baru saja terjadi. Sosok Altair sudah tidak terlihat dimanapun. Gadis itu hanya bisa diam dengan tatapan nanar menatap para polisi yang berusaha memberikan CPR pada Letnan Furshort. Catherine tahu bahwa hal itu sia-sia karena nyawa Furshort sudah dicabut Altair.

"Kat, kamu gak apa-apa?" tanya Sarah. Ia membantu Catherine berdiri. Catherine tidak berkata apa-apa dan hanya berlari menjauhi tempat itu tanpa menghiraukan panggilan dari temannya.

Catherine berlari kencang dan saat sadar ia sudah berada di atap. Catherine menutup erat pintu atap dan kakinya langsung terasa lemas tak bisa menopang tubuhnya.

Kedua tangan Catherine memeluk tubuhnya sendiri yang tak bisa berhenti bergetar. Ia ingin menghentikan getaran tubuhnya namun ia tidak bisa. Napasnya pun tercekat, rasanya seperti ada bola yang menyumbat tenggorokannya.

"Catherine Lindberg."

Dengan mengerahkan seluruh keberaniannya, Catherine berusaha menatap orang yang memanggil namanya itu.

"PERGI!!! JANGAN DEKATI AKU!!" serunya.

"Catherine...Lindberg..?"

"PERGI, ALTAIR!!!"

Catherine lalu terdiam sambil duduk memeluk lututnya.

"Apakah Cat juga mengalami hal itu? Apakah suatu saat aku juga akan mengalami hal itu?"

Pikiran dan perasaannya benar-benar kacau seperti benang kusut. Rasanya seperti jatuh dalam jurang kegelapan tanpa tahu kapan akan menghantam dasarnya. Sekuat apapun mengulurkan tangan, tidak ada yang akan menggapainya dan menariknya dari kegelapan itu.

Semua yang dirasakan Catherine tentu saja dirasakan Altair. Altair ingin sekali menghapus rasa ketakutan Catherine, namun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri menjaga jarak sambil mengawasi Catherine.

"Saat mencabut nyawa Cano Furshort, aku sudah merasakan rasa takutnya. Aku ingin sekali berhenti dan membawanya pergi, namun aku tak bisa melakukannya. Seandainya saja aku berhenti ... "

Altair tak bisa berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Gara-gara dia, Catherine menjadi seperti itu. Hal parahnya, sama sekali tidak ada air mata yang menetes dari mata Catherine.

"Kamu masih di sini?"

Altair melihat Catherine yang memberinya tatapan tajam bagaikan pedang. Kalau saja ia bisa mati tertusuk pedang, tatapan itu pasti sudah membunuhnya.

"Aku tidak mungkin meninggalkanmu sendiri," jawab Altair.

Altair perlahan mendekati Catherine. Melihat tidak ada penolakan dari gadis itu, Altair mempercepat langkahnya dan langsung duduk di hadapannya.

Catherine menatap Altair dengan tatapan tajam. Ia ingin sekali mengusir pria itu, tapi ia tahu ia tak akan bisa. Apalagi perasaannya masih kacau begini.

"Maafkan aku sudah membuatmu melihat hal yang mengerikan," Altair membuka suara.

Tatapan Catherine melembut walaupun ia masih belum berniat mengatakan apapun.

"Manusia biasa tidak akan bisa melihatku mencabut nyawa. Namun, karena kamu bisa melihat Dewa Kematian, kamu bisa melihat prosesnya juga," lanjut Altair. "Maafkan aku..."

Sebuah tenaga besar mendorong tubuh Altair hingga ia jatuh telentang di lantai. Ia melihat Catherine berada di atasnya memukuli dadanya. Sakit. Namun Altair membiarkan gadis itu melampiaskan perasaannya.

"Kenapa kamu gak bilang hal sepenting itu?!! Aku kan tidak mengerti kenapa kamu melarangku ke kantin!!" teriak Catherine.

Altair mengangkat tangannya dan menyeka air mata Catherine yang mulai mengalir dengan ibu jarinya.

"Aku tidak bisa mengatakannya. Kalau aku memberitahumu bahwa ada yang akan meninggal, bisa-bisa kamu bisa menebak siapa yang akan meninggal dan berusaha mencegahnya. Itu akan membawa masalah besar dan bahaya bagiku dan terutama bagimu," ucap Altair.

Catherine tidak membalas. Ia hanya terisak sambil terus memukuli pria di bawahnya.

"Aku tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan kematian seseorang di masa depan diketahui oleh manusia biasa. Kamu memang bukan berasal dari dunia ini, tetapi kamu tetap manusia," Altair melanjutkan.

Kali ini pukulan Catherine berhenti. Ia hanya mencengkeram baju Altair dengan tangannya yang bergetar.

Altair menggenggam tangan bergetar itu dan merasakan getaran itu merambat ke tangannya.

"Catherine Lindberg," panggil Altair. "Aku akan menghapus ingatanmu."

"Eh?"

"Ingatan ini terlalu menakutkan untuk diingat olehmu. Aku akan menghapus ingatanmu sehingga kamu akan melupakan semua kejadian ketika aku mencabut nyawa orang itu."

Catherine bergerak menjauhi tubuh Altair. Ia hanya menunduk tanpa berkata apa-apa. Altair bangkit dan menyentuh kepala Catherine, bersiap untuk menghapus ingatannya.

"Tunggu!"

Mendengar perintah Catherine, Altair menurunkan tangannya.

"Aku tidak mau ingatanku dihapus," ucap Catherine tegas.

"Ke-kenapa?" Altair terkesiap.

"Menghapus ingatanku tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan bisa menambah masalah," kata Catherine. "Ketika kamu menghapus ingatan para perampok itu, yang terjadi adalah aku hampir dicurigai sebagai komplotan perampok oleh Jaksa Victoria. Bahkan sekarang keberadaan dirimu sudah diketahui Victoria walaupun dia belum tahu kalau kamu bukan manusia. Aku tidak mau menghadapi masalah yang akan timbul akibat perbuatanmu."

"Tapi ini berbeda ... "

"Aku tidak mau ingatanku dihapus!!" teriak Catherine.

Altair paham bahwa keputusan Catherine sudah final. Ia tidak akan bisa mengubah pikiran gadis itu.

"Baiklah. Tetapi kalau kejadian ini sampai mengganggu kehidupanmu, misalnya sering mimpi buruk atau terus merasa ketakutan, aku akan menghapus ingatanmu walau kau tak mau."

Catherine mengangguk.

Altair lalu mengangkat tangannya dan kemudian muncul sebuah kubah besar transparan kebiruan yang mengelilingi mereka.

"Aku sudah membuat barrier agar tidak ada yang bisa mendengar atau melihat kita. Di dalam sini kamu bisa berteriak, menangis, atau melakukan apapun yang bisa membuatmu tenang," kata Altair.

Catherine menengadahkan lehernya dan menatapi kubah biru itu.

"Dengar, Catherine Lindberg. Apa yang kamu lihat adalah hal yang sulit dilupakan. Aku bisa merasakan ketakutan yang sekarang kamu rasakan. Kamu tidak boleh memendam semua itu. Lampiaskan semuanya di sini. Menangis, berteriak, atau mungkin jika memukulku membuatmu tenang, lakukanlah. Terima rasa takutmu dan kemudian melangkah lagi ke depan. Aku akan terus di sisimu."

Setelah Altair beres bicara, lantas tangisan Catherine yang sedari tadi ia tahan pecah. Ia menangis meraung-raung sambil mengatakan semua hal yang membuatnya takut dan sesekali memaki Altair. Altair hanya tersenyum tipis mendengarkan semua keluh kesah Catherine sambil sesekali menepuk lembut kepala gadis itu.

Berangsur-angsur pikiran dan perasaan Catherine yang kusut lama-lama mulai terurai.

✧✧✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top