Ep. 12 - Hanging Around
"Korban bernama Barry Pole, umur 23 tahun. Penyebab kematian, patah leher akibat digantung," ucap Mihail sambil membaca buku catatannya.
Catherine hanya mengangguk mendengarkan penjelasan Mihail. Matanya fokus menelusuri mayat pria yang terbujur kaku di depannya.
"Tempat ia digantung adalah palang kayu di langit-langit," tunjuk Jack. "Dari bawah sini kemungkinan tingginya lebih dari 5 meter."
"'Digantung'?" tanya Catherine. "Kamu yakin dia dibunuh seseorang?"
"Tentu saja! Palang setinggi itu tidak mungkin bisa dicapai tanpa alat. Sedangkan kondisi ruangan ini sama sekali kosong tanpa ada alat pijakan. Bahkan korban tidak memiliki tangga. Lalu lihat sepatu yang korban pakai!" ucap Jack.
Pandangan Catherine dan Mihail langsung mengarah ke arah yang ditunjuk Jack.
"Korban memakai sepatu yang penuh lumpur, tetapi lantai di ruangan ini sama sekali tidak ada bekas lumpur sedikitpun. Sudah pasti ada yang menggotongnya, menaikkannya dengan alat, dan menggantungnya. Setelah itu, pelakunya membereskan alat itu."
"Kami sudah menyisir ruangan ini, tetapi tidak ada serpihan tanah sedikitpun. Paling hanya debu," Mihail mengonfirmasi.
"Tapi masih ada kemungkinan bunuh diri," ucap Catherine. "Korban bisa saja memanjat jendela besar dan ventilasi itu lalu melompat meraih palang itu, memutar tubuhnya hingga ia bisa berdiri di atas palang, dan menggantung dirinya."
"Kalau begitu, kenapa di jendela tidak ada bekas tanah?" tanya Jack dengan nada menantang.
"I-Itu ... "
"Itu karena sebenarnya dia dibunuh. Saksi mata kita saja berkata begitu."
Catherine langsung mengarahkan pandangannya pada seorang pria tinggi yang berdiri di luar ruangan.
Pria itu adalah Jimmy Taylor, orang pertama yang menemukan korban. Ia sedang berkunjung ke rumah korban dan menemukan korban dalam keadaan tergantung.
Catherine membuka buku catatannya dan kembali membaca catatan saat mereka mengambil keterangan dari Taylor.
Taylor berkunjung ke rumah korban seperti biasa pada pukul 11.00. Saat itu, di depan gerbang ia bertemu pembantu Barry Pole yang kebetulan baru saja datang untuk membersihkan rumah. Saat mereka mencari keberadaan Barry yang tidak terlihat sejak mereka masuk rumah, Taylor menemukan si pemilik rumah sudah dalam keadaan tergantung.
Taylor lalu menyuruh si pembantu untuk menelepon polisi lalu mereka menunggu polisi datang sekitar 6 menit di ruang tengah.
"Jimmy Taylor. Dia sahabat korban kan ya?" tanya Catherine.
"Masa' kamu tidak tahu dia sih Kat? Jimmy Taylor adalah mantan atlet senam palang pria yang terkenal! Karena ketampanannya, setelah ia berhenti menjadi atlet, ia sering jadi model peralatan olahraga atau brand ambassador gym!" seru Jack.
"Yah, kudengar Taylor berhenti jadi atlet karena penghasilannya sebagai model jauh lebih besar dari penghasilan atlet," timpal Mihail.
Catherine hanya mengangguk-angguk. Ia tidak pernah mengikuti trend olahraga sehingga ia tidak langsung mengenal korban maupun temannya walau sebenarnya ia juga pernah mendengar nama mereka di dunia asalnya.
"Berarti korban, Barry Pole, juga atlet ya?" tanya Catherine.
"Benar. Namun sampai sekarang ia masih menjadi atlet. Baru saja ia selesai mengikuti pertandingan senam palang tingkat internasional. Sayangnya dia kalah," kata Jack.
"Entah kenapa dia sudah kalah di 3 pertandingan berturut-turut. Padahal sebelumnya dia jago banget," komentar Mihail. "Dia melakukan banyak kesalahan hingga cedera."
Jack hanya mengangkat kedua bahunya.
"Mihail, kapan perkiraan kematian korban?" tanya Catherine.
"Setelah pemeriksaan singkat, mungkin sekitar 2 jam sebelum kita datang. Namun tentu saja kami harus mengautopsi mayat dulu," jawab Mihail.
Catherine membuka buku catatannya. Ia memeriksa alibi Taylor saat dua jam perkiraan kematian. Namun ternyata Taylor punya alibi kuat. Ia jogging di Taman Olahraga, bahkan banyak fans-nya yang minta berfoto bersama.
"Kalau ini pembunuhan seperti kata Jack, mungkin bukan Taylor pelakunya," pikir Catherine.
Catherine lalu memutuskan untuk memeriksa lingkungan sekitar TKP. Ia pergi keluar dan berjalan mengelilingi bangunan itu. TKP kali ini merupakan ruangan luas yang dibangun terpisah dengan rumah utama. Menurut keterangan si pembantu, ruangan ini biasa digunakan korban untuk latihan atau sekedar olahraga kecil, bahkan menyendiri.
Catherine menatap jendela yang terbuka. Jendela itu bisa dilewati orang dewasa, namun sama sekali tidak ada jejak kaki di sekitar jendela tersebut.
"Kat!" Jack menepuk bahunya. "Bagaimana? Sudah siap mengakui bahwa dia dibunuh?" tanyanya.
"Tidak. Aku masih berpikir bahwa dia bunuh diri," sanggah Catherine. "Di sekitar bangunan ini, sama sekali tidak ada jejak kaki padahal tanahnya lumayan basah akibat hujan semalam. Sepatu korban juga berlumpur kan?"
"Jejak kaki bisa saja dihapus," bantah Jack. "Aku akan meminta petugas forensik untuk memeriksa tanah di sekitar sini. Teoriku bahwa korban dibunuh pasti benar, karena teorimu bahwa dia bunuh diri sangat lemah."
Catherine berpikir ulang soal teorinya. Pikirannya buyar ketika Jack menepuk bahunya.
"Mau taruhan siapa yang benar?" ajak Jack.
"Hah?"
"Kalau kasus ini bunuh diri sesuai dugaanmu, aku akan mentraktirmu di Mott's Bar sepuasnya."
Catherine menatap Jack. "Serius?"
Jack mengangguk.
"Baik, aku ikut taruhan ini. Aku yakin tebakanku tepat," Catherine tersenyum menantang.
"Taruhan apa?"
"Hiii!!" Catherine dan Jack memekik lalu mata mereka terbelalak lebar melihat siapa yang berdiri di belakang mereka.
"I-Inspektur!!"
"Untung saja saya datang ke sini. Ternyata polisi yang menangani kasus ini malah taruhan," ucap Akasha.
Aura hitam di sekitar pimpinan mereka yang bisa mereka rasakan itu membuat kedua polisi itu hanya diam menunduk. Senyum manis yang terpatri di bibir beliau juga tidak mengurangi rasa seramnya. Mereka tak berkutik bagaikan mangsa di hadapan pemburunya.
"I-Inspektur kenapa ada di sini?" Jack dengan hati-hati membuka suara.
"Divisi Kejahatan Serius Kepolisian Pusat ingin mengambil kasus ini karena melibatkan orang terkenal. Saya rasa saya memang harus menyerahkan kasus ini pada mereka melihat polisi di sini malah taruhan."
Bulu kuduk Catherine berdiri mendengar suara Akasha yang terdengar dingin.
"Yang kalian berdua lakukan sangat tidak profesional. Bagaimana bisa ada orang tewas tetapi kalian malah tidak punya empati terhadap korban? Menjadi polisi bukan hanya memecahkan kasus, tetapi juga berhubungan dengan masyarakat. Bagaimana kita bisa dipercaya masyarakat kalau melakukan hal bodoh seperti ini?"
Catherine dan Jack hanya diam menunduk mendengarkan ceramah dari Akasha.
"Saya akan berikan kasus ini ke Kepolisian Pusat," ucap Akasha lagi.
"I-Inspektur! Maaf, tolong jangan berikan kasus ini pada mereka. Beri kami kesempatan lagi! Kami sudah menyadari kesalahan kami, Inspektur!" seru Jack.
Akasha tidak menjawab. Pandangannya hanya tertuju pada Jack dan bergantian pada Catherine.
"Beri kami kesempatan untuk melayani masyarakat dengan menyelesaikan kasus ini," Catherine juga ikut meminta.
Akasha mengembuskan napas sebelum berbicara. "Baiklah. Tapi saya akan mengawas di sini."
"Siap, Pak!! Terima kasih!!" sahut Catherine dan Jack.
Akasha lalu masuk ke dalam TKP dan berbicara pada Mihail. Catherine dan Jack yang masih di luar mengembuskan napasnya lega.
"Kamu sih ngajak taruhan!" cibir Catherine sambil menyikut Jack.
"Apaan sih? Kamu juga setuju sama taruhan itu."
"Huh ya sudah. Ayo kerja."
Setelah berpisah dengan Jack yang mencari petunjuk di tempat lain dan memastikan bahwa tidak ada orang di sekitarnya, Catherine memanggil Altair.
"Altair!"
"Kamu memanggilku?" Seperti biasa Altair langsung muncul di hadapannya.
Catherine mengangguk. "Aku mau bertanya sesuatu."
Catherine lalu menarik lengan Altair dan membawanya ke sisi jendela luar. Mereka bisa melihat mayat korban dan beberapa petugas forensik di sekitarnya.
"Dia korban kasus yang saat ini kuselidiki," tunjuk Catherine. "Kamu tahu siapa yang membunuhnya? Atau apakah dia bunuh diri?"
"Catherine Lindberg, sudah kubilang aku tidak bisa mengetahui siapa yang membu-" ucapan Altair terhenti ketika ia menatap mayat yang terbujur kaku di lantai. Lalu ekspresinya berubah menjadi kelam. Sinar matanya terlihat lebih sedih dari biasanya.
"Altair?"
Dewa Kematian itu tidak menjawab. Ia hanya menunduk sambil memegangi ujung topinya. Ia sama sekali tidak menjawab Catherine yang dari tadi memanggilnya.
"Altair?" Catherine mencubit pipi Altair. Namun pria itu tak bergeming.
"Ma-Maaf, Catherine Lindberg. Aku harus pergi," ucap Altair tiba-tiba. Lalu dalam sekejap ia menghilang dari hadapan Catherine.
"Kenapa dia?" Catherine mengernyitkan alisnya. Ia kembali memanggil Altair, namun yang dipanggil tidak kunjung datang. Catherine pun menyerah dan memutuskan untuk melanjutkan penyidikan.
_________________
Catherine menatap jendela yang ia curigai dipanjat oleh korban sebelum ia bunuh diri. Namun jendela itu bersih tanpa ada lumpur sedikitpun. Hal itu juga dikonfirmasi oleh petugas forensik.
"Bagaimana korban bisa memanjat palang itu tanpa alat kalau tidak memanjat jendela?" pikir Catherine. "Apakah dia memang dibunuh seperti kata Jack?"
"Kat!" Jack memanggilnya. Catherine segera pergi ke tempat Jack dan lainnya. Sepertinya hasil autopsi sudah keluar.
Mihail menyerahkan dokumen pada Akasha. Para polisi itu membacanya sambil mendengarkan penjelasan dari Mihail.
"Terdapat sidik jari korban pada tali yang menjerat leher korban. Tidak ada sidik jari lain," kata Mihail.
"Beneran sudah diperiksa?" tanya Jack tak percaya.
"Kamu meragukan hasil kerjaku?" ucap Mihail sinis. "Tentu saja sudah diperiksa. Hanya ada sidik jari korban dan bahkan ditemukan serpihan kuku milik korban dan bercak darahnya di talinya."
"Berarti korban dibunuh! Ia dijerat dari belakang, makanya ia berusaha membebaskan dirinya hingga kukunya patah saat mencengkeram talinya," kata Jack.
"Oh, ya, lihat di halaman ini," Mihail membuka 2 halaman di dokumennya dan menunjuk bagian yang harus dibaca. "Di palang atas tempat korban tergantung, terdapat jejak kaki yang cocok dengan kaki korban. Saat diperiksa, terdapat debu yang sama dengan yang ada di palang pada kaki korban."
"Korban berjalan di palang itu?" tanya Akasha memastikan.
"Kalau dilihat dari buktinya, sepertinya begitu, Inspektur," balas Mihail.
"Untuk apa korban berjalan di atas palang? Apa korban memanjat palang dan dibunuh di atas?" Catherine menebak-nebak.
"Semua ukuran jejaknya sama. Jadi kurasa kemungkinannya sangat kecil ada orang lain selain dia naik ke palang. Kami juga sudah memeriksa kaki dan sepatu Taylor, yang memiliki ukuran tubuh yang sama dengan korban, namun tidak ditemukan serpihan debu yang sama."
"Mungkin sudah dibersihkan?" tebak Akasha. "Apakah kalian sudah memeriksa hubungan antara Taylor dan korban?"
"Sudah, Inspektur," jawab Jack sambil membuka buku catatannya. "Mereka adalah sahabat baik. Menurut teman-teman korban, Taylor sangat dekat dengan korban. Mereka sering olahraga bersama atau makan bersama. Menurut keterangan pembantu korban, Taylor sering datang ke sini dan mereka sama sekali tidak pernah bertengkar. Korban selalu terlihat senang jika Taylor datang."
"Kalau Taylor bukan pelakunya, apa mungkin pelakunya orang luar seperti kata Taylor?" gumam Catherine.
"Ah, ya, Taylor berkata bahwa korban punya banyak musuh kan?" tanya Akasha.
"Sebenarnya bukan musuh tetapi haters," jawab Catherine. "Sejak korban kalah pertandingan sampai 3 kali, banyak hujatan bahkan death threat yang ia terima dari para penggemar olahraga. Menurut Taylor, korban depresi dan mengunjungi psikiater seminggu 3 kali sampai sekarang."
"Kami juga sudah memeriksa akun sosial media milik korban," timpal Jack. "Isi DM-nya dalah ratusan ujaran kebencian yang mungkin bisa...bikin depresi."
"Sebanyak itu?"
"Benar, Inspektur," balas Catherine. "Membacanya saja membuat darah ikut mendidih. Rasanya ingin mendatangi orang yang menulis pesan jahat itu dan menamparnya lalu bilang 'Kamu gak punya orang tua yang mendidikmu ya?!'"
"Sepertinya ada kemungkinan dibunuh. Klein, periksa CCTV di sekitar rumah ini apakah ada orang keluar-masuk atau tidak. Lalu Lindberg, kumpulkan data soal orang-orang yang menghujat dan mengirim death threat pada korban," perintah Akasha.
"Siap, Inspektur!" seru Catherine dan Jack.
Catherine dan Jack langsung mengerjakan tugas masing-masing.
Catherine, dibantu Sarah mengumpulkan data soal haters yang menyerang korban. Setiap kali membaca kalimat jahat yang ditulis mereka, dadanya terasa nyeri.
"Gak becus! Malu-maluin satu negara aja!"
"Gue masih lebih jago dari elu! Mending elu mati aja sana! Jangan pulang ke sini lagi!
Catherine menekan kepalanya. Walaupun pesan-pesan itu bukan ditujukan padanya, namun dadanya terasa perih.
Sebenarnya sedari tadi Catherine juga merasa ada yang janggal dalam kasus ini namun tidak bisa menunjuk dimana kejanggalannya. Selain itu, tingkah Altair yang aneh juga mengganggu pikirannya.
Catherine kembali membaca catatannya soal penemuan mayat korban oleh Taylor dan pembantu Barry Pole.
"Taylor bilang bahwa setelah menemukan korban, ia menunggu di luar. Tapi ... "
Sesuatu seperti ada yang menyala dalam pikiran Catherine. Ia memiliki teori bagaimana korban meninggal dan ditemukan dalam keadaan memakai sepatu berlumpur walaupun TKP sangat bersih. Namun Catherine masih tidak yakin dengan teorinya.
"Bagaimana kalau aku salah? Apa sebaiknya aku konsultasikan pada Inspektur dan Jack?" pikir Catherine.
Catherine pun kembali pergi ke TKP dan menemui Inspektur yang sedang berbicara dengan Jack dan Mihail. Jack melaporkan bahwa tidak ada yang keluar masuk rumah korban sekitar waktu perkiraan kematian kecuali Taylor dan pembantu korban.
"Mihail, apakah tim forensik memeriksa sepatu yang dipakai korban?" tanya Catherine tiba-tiba.
"Ada apa dengan sepatunya, Kat?" tanya Jack.
"Bagaimana kalau sebenarnya korban bunuh diri?" ujar Catherine. "Korban memanjat jendela lalu naik ke palang dan menggantung dirinya sendiri. Namun, karena ia juga manusia-memiliki insting untuk menyelamatkan diri-ia berusaha melepas jeratan talinya karena merasa kesakitan. Makanya kukunya tertinggal di sana."
"Hey, korban kan ditemukan dalam keadaan memakai sepatu. Bagaimana mungkin dia memakai sepatu setelah tewas?"
"Nah itu dia! Korban memakai sepatu setelah ia tewas. Namun, seseorang memakaikannya untuk mengaburkan penyelidikan."
"Taylor!" ucap Akasha. "Dia memiliki banyak waktu untuk memakaikan sepatu pada kaki korban. Setelah menemukan mayat korban, ia menyuruh pembantu menelepon polisi dan ambulans. Saat itulah ia memakaikan sepatu berlumpur milik korban!"
"Benar juga! Taylor bersikeras bahwa korban dibunuh oleh salah satu haters-nya. Itu sebabnya ia berusaha mengubah kasus bunuh diri ini menjadi kasus pembunuhan agar kita memeriksa haters yang membuat korban depresi," sambung Jack.
"Diaz, periksa sepatunya," perintah Akasha.
"Kami sudah periksa sepatunya," Mihail menunjuk dokumennya. "Nah, ini dia. Ah, memang ditemukan sidik jari Taylor. Sidik jari berlumpur."
"Benar dugaan Lindberg! Klein, segera panggil Taylor! Kita harus bertanya soal sidik jarinya," perintah Akasha.
"Siap!"
Jack segera berlari menuju rumah Pole karena Taylor dan pembantunya menunggu di dalam rumah. Tiba-tiba terdengar suara hantaman keras yang berasal dari Jack. Polisi itu tersandung sesuatu di lantai yang bersih dan jatuh terjerembab dan menimbulkan suara yang keras. Wajahnya tepat menghantam lantai.
"Klein!" seru Akasha.
Mendengar suara Akasha, Jack langsung bangkit dan berlari ke luar sambil berteriak,
"Maaf, Inspektur! Aku tidak merusak TKP kooookk!!!"
Semua yang memperhatikan Jack hanya bisa geleng-geleng kepala.
Tak lama kemudian, Jack datang kembali bersama Taylor yang memasang wajah kebingungan. Pasalnya, semua mata langsung tertuju padanya begitu ia masuk.
"Um...Ada apa?" tanyanya.
"Tuan Taylor, kami menemukan sidik jari Anda di sepatu yang dipakai korban," ucap Catherine.
"Apakah kalian mencurigaiku membunuhnya? Sudah kubilang, yang membunuhnya ada para penghujat itu! Apakah kalian tidak menyelidiki mereka?"
Catherine menggeleng. "Sayang sekali, Tuan Taylor. Kasus ini adalah bunuh diri."
"Apa?!"
"Bukti yang kami temukan menunjuk bahwa Tuan Pole bunuh diri. Palang di atas itu hanya ada jejak kakinya dan tali yang menjeratnya hanya ada sidik jari dan patahan kukunya."
"Anda seharusnya juga sudah mengetahui ketika menemukan korban, bukan?" sambung Akasha. "Anda memang sahabat yang baik. Anda ingin sekali para haters itu diperiksa dan ditangkap, sehingga memasangkan sepatu berlumpur pada kaki korban agar terlihat seperti bunuh diri."
Kedua mata Taylor terbelalak mendengar kata-kata Akasha. Lalu ia mengalihkan tatapannya dari Akasha seakan takut isi pikirannya dibaca.
"Kami menemukan sidik jari Anda yang berlumpur pada sepatu korban. Mungkin Anda bermaksud menghapusnya, namun tidak terhapus total," kata Mihail.
Taylor tidak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya.
Karena tidak ada tanggapan dari Taylor, Catherine memanggilnya. "Tuan Taylor?"
Seketika bahu Taylor bergetar. Titik air mata berjatuhan ke lantai. Dengan suara terputus-putus akibat isakannya, ia menyebut nama sahabatnya. "Barry... Barry..."
Jack yang berdiri di sebelah Taylor mengelus punggung Taylor dengan lembut. Namun, isakannya malah semakin keras.
"Ya, Barry memang sudah menceritakan niatnya untuk bunuh diri," akhirnya Taylor mulai bicara. "Aku segera menghubungi psikiaternya dan ia langsung ditangani."
Taylor mengelap air matanya sejenak sebelum melanjutkan.
"Ia sempat dirawat dan baru keluar sekitar 4 hari yang lalu. Ia terlihat lebih baik dari sebelumnya, makanya kukira ia sudah baik-baik saja.
"Namun, ternyata ia pandai menyembunyikan perasaannya. Aku terus menemuinya untuk mengajaknya makan bersama agar ia tidak sendirian terus. Namun selama kami bersama, ia selalu tersenyum ceria, padahal sudah lama aku tidak melihatnya tersenyum.
"Lalu, hari ini, aku malah menemukannya...dalam keadaan seperti itu."
Taylor jatuh terduduk dan memukul-mukul lantai.
"Bodohnya aku!! Kenapa aku tidak menyadari bahwa dirinya sangat tersiksa?! Kenapa aku tidak bisa menolongnya?!" sahut Taylor.
Catherine ikut berjungkat lalu menepuk lembut bahu Taylor. "Ini bukan salahmu."
Dengan mata sembab, Taylor menatap Catherine. "Kalau begitu, ini salah para haters itu yang selalu mengirimkan hujatan padanya! Aku ingin mereka kalian-para polisi-tangkap sehingga hidup mereka hancur! Agar mereka merasakan apa yang Barry rasakan!"
Taylor menarik napas sebelum melanjutkan. Suaranya semakin serak bahkan seperti tercekat sesuatu. Kesedihan benar-benar memenuhi dadanya.
"Itu sebabnya...aku memakaikannya sepatunya yang kebetulan berlumpur."
Tak ada satupun yang mengatakan apapun. Di dalam ruangan itu, hanya terdengar suara isakan Taylor. Catherine juga hanya diam sambil menatap atap yang tinggi supaya air matanya tidak ikut jatuh.
"Baiklah, Tuan Taylor. Silakan ikut kami ke kantor polisi. Soal haters yang mengirim ujaran kebencian pada Tuan Pole, akan kami serahkan kepada Divisi Cyber Crime Kepolisian Pusat. Mereka adalah tim yang sangat hebat dan bisa diandalkan. Para haters itu pasti akan mendapat ganjarannya," kata Akasha kemudian.
Taylor berdiri dan mengangguk. "Te-terima kasih, pak polisi."
Jack dan seorang polisi berseragam kemudian mengantarkan Taylor ke salah satu mobil polisi yang membawanya ke kantor polisi.
Jack kembali ke TKP dan menemukan Akasha sedang menepuk lembut bahu Catherine. Gadis pirang itu menunduk dalam sambil menyembunyikan wajahnya dengan tangannya. Suara isakan juga terdengar dari bibirnya.
"Kat..." panggil Jack.
Catherine segera mengelap air matanya dan tersenyum pada Jack.
"Ayo, kita kembali," kata Jack lagi.
Catherine mengangguk. Sebelum Catherine dan Jack pergi meninggalkan TKP, Akasha menghentikan mereka.
"Tunggu! Saya ingin memberi tahu sesuatu," kata Akasha.
"Ada apa, Inspektur?" tanya Jack.
"Saya ingin memberi kalian tugas."
Sang Inspektur memerintahkan Catherine untuk menjadi juru bicara kasus kematian Barry Pole dan berbicara pada wartawan. Menurut Akasha, Catherine cocok menjelaskan semuanya pada wartawan karena dialah yang menyadari bahwa kasus ini adalah bunuh diri. Jack juga harus membantunya.
Akasha akan pergi ke Kepolisian Pusat untuk sementara waktu. Tentu saja untuk membicarakan kasus kejahatan siber yang terjadi pada Barry Pole pada polisi Divisi Cyber Crime Kepolisian Pusat. Selain itu, ia juga harus siap dimarahi oleh pimpinan Divisi Kejahatan Serius Kepolisian Pusat karena Akasha tidak menyerahkan kasus ini pada mereka.
Walaupun sebenarnya hal tersebut bukan pelanggaran, namun pimpinan divisi tersebut memang agak galak.
Para polisi membereskan sisa pekerjaan mereka dan menutup kasus menyedihkan ini.
__________________
Langit malam yang indah dihiasi taburan bintang yang berkilauan, tidak bisa mengalihkan perhatian Catherine dari rasa sesaknya.
Dadanya terasa penuh hingga membuatnya sedikit sulit bernapas. Ia tidak bisa berhenti merasakan itu sejak ia selesai memecahkan kasus itu. Padahal dugaannya tepat dan ia menang taruhan, tapi hal itu tidak membuatnya senang.
Catherine duduk di beranda apartemennya untuk mencari udara segar. Namun, hal itu juga belum bisa melegakan perasaannya. Mug berisi hot chocolate yang sedari tadi ia pegang pun mulai mendingin.
"Catherine Lindberg, kamu tidak apa-apa?"
Catherine mengalihkan perhatiannya ke arah suara. Dilihatnya pria dengan pakaian serba hitam yang menatapnya dengan tatapan khawatir.
Tentu saja Altair bisa mendeteksi apa yang Catherine rasakan saat ini.
Catherine meletakkan mugnya di atas meja dan lari menubruk pria itu.
"Altair!" serunya. Ia membenamkan wajahnya di dada Altair dan mulai terisak.
Altair yang tadinya bingung harus berbuat apa, ia pun memeluk Catherine. Ditepuknya punggung gadis itu dengan lembut.
"Ada apa, Catherine Lindberg? Kenapa kamu bersedih?"
Masih sambil terisak, Catherine mulai bicara. "Tadi saat aku memanggilmu, kamu sudah mengetahui bahwa orang itu bunuh diri ya?"
"Ya," jawab Altair. "Semua manusia yang dicabut nyawanya oleh Dewa Kematian selalu meninggalkan tanda. Namun, orang tersebut tidak memiliki tanda. Makanya aku tahu bahwa ia mencabut nyawanya sendiri."
Tangisan Catherine makin keras. Cengkeramannya pada jubah hitam Altair juga semakin kuat.
"Orang itu...mengalami hal yang sangat menyakitkan selama dia hidup. Ia pun tidak tahan dan akhirnya bunuh diri," kata Catherine. "Apakah kamu dulu juga mengalami hal yang sama?"
"Apa?"
Catherine mengangkat wajahnya dan menatap kedua mata Altair. "Kamu pernah bilang kalau kamu jadi Dewa Kematian karena kamu bunuh diri. Apakah selama kamu hidup kamu juga menderita?"
"Catherine Lindberg..."
Catherine lalu jatuh terduduk di depan Altair. Ia menutupi wajahnya yang penuh air mata.
"Kamu menderita namun aku tidak bisa melakukan apa-apa. Sama seperti Taylor yang merasa tidak bisa melakukan apapun untuk sahabatnya. Altair, kenapa aku lemah sekali...?"
Altair lalu membantu Catherine berdiri dan duduk di atas kursi. Lalu ia duduk berjungkat di depan Catherine sambil menggenggam kedua tangannya.
"Catherine Lindberg, saat aku memutuskan untuk mengakhiri hidupku, mungkin kamu belum lahir. Aku bahkan tidak ingat kapan aku mati atau bagaimana diriku semasa aku masih hidup. Yang pasti, keputusanku sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Jadi, jangan menangis."
"Tapi... Tapi... Kamu menderita kan? Bahkan sekarang?"
Altair diam sejenak. "Hukuman ini memang menyiksaku. Namun, belakangan ini aku sama sekali tidak menderita dan itu karena kamu, Catherine Lindberg."
"Eh?"
"Kamu gadis yang baik hati, bahkan menangis untukku dan untuk korban yang kasusnya baru saja kamu tangani. Kamu mau membantuku mewujudkan keinginanku yaitu dengan menyelidiki kasus kematian Cat. Kamu adalah secercah cahaya di kegelapan yang sehari-hari menyelimutiku."
Altair lalu berdiri dan mengeluarkan saputangannya. Ia menyeka air mata yang membasahi kedua pipi Catherine. Lalu ia mengambil mug yang berisi minuman kesukaan Catherine dan memberikannya pada Catherine.
"Jangan bersedih. Apapun keputusanku saat itu tidak perlu kamu pikirkan," kata Altair lagi. "Kuharap Taylor itu juga paham bahwa itu bukan kesalahannya dan terbebas dari belenggu rasa bersalahnya."
"Kalau kamu merasa menderita, tolong beri tahu aku. Aku tidak mau ada orang terdekatku yang menderita. Bagi rasa sedihmu padaku, Altair," ucap Catherine.
Altair menepuk pucuk kepala Catherine. "Aku memang tidak salah minta tolong padamu. Kuharap ada lebih banyak manusia yang memiliki empati sebesar dirimu. Dengan begitu, dunia ini akan semakin indah."
Altair lalu duduk di kursi di sebelah Catherine. Ia ingin menemani Catherine sampai gadis itu merasa baik, dan kalau Catherine membutuhkannya, ia bisa segera membantunya.
Catherine menyeruput hot chocolate-nya yang sudah dingin. Ia mengangkat wajahnya dan merasa kagum bahwa langit malam ini terasa lebih indah dari sebelumnya.
✧✧✧
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top