Ep. 11 - Questions

Mata Catherine berkeliling di sekitar ruang tamu rumah masa kecilnya sambil menunggu Maylene yang sedang sibuk di dapur membuatkan teh dan kue untuk suguhan.

Sekali lagi Catherine mengamati persamaan dan perbedaan ruang tamu ini dengan yang ada di dunia asalnya. Tentu saja perbedaan terbesar adalah adanya foto dirinya yang dihiasi bunga Daylily, sebagai tanda bahwa orang yang ada di foto tersebut sudah meninggal.

Hiasan bunga daylily kuning yang berada di pinggiran frame foto itu masih terlihat segar. Mungkin baru saja diganti oleh mamanya.

Semakin lama Catherine menatap foto tersebut, semakin sesak dadanya. Ia ingin sekali memberi tahu mamanya bahwa ia masih hidup dan meminta maaf padanya karena sudah membuatnya sedih selama bertahun-tahun. Namun, Catherine tak mungkin melakukan hal itu karena ia bukan "Catherine" yang sebenarnya. Ia hanyalah "Catherine" dari dunia lain dan merupakan orang asing di sini.

"Akhirnya aku menemukanmu."

Catherine menengok ke arah suara. Dilihatnya Altair muncul di sebelahnya dengan raut wajah lega. Catherine baru ingat kalau sebenarnya ia janji akan menunggu pria itu di taman, tetapi ia malah pergi ke tempat lain. Wajar saja kalau Dewa Kematian ini kebingungan mencarinya.

"Ah, Altair. Maaf membuatmu khawatir," bisik Catherine. "Aku tadi bertemu mamaku―maksudku mama Cat dan ia mengajakku ke sini."

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Altair.

"Aku baik-baik saja. Ada apa? Kamu terlalu khawatir."

"Soalnya tadi ada Dewa Kematian lain di sekitar sini. Kebetulan Dewa Kematian itu adalah temanku. Kukira kamu ... "

"APA?!" seru Catherine. Namun ia segera menutup mulutnya dan memastikan bahwa Maylene tidak mendengarnya. Yup, Maylene masih sibuk dengan kegiatannya. "Apakah dia mengikutiku?" tanyanya.

"Untungnya tidak. Dia memang bicara sebentar denganku saat aku mencarimu, setelah aku membuat alasan, akhirnya dia pergi," jawab Altair.

"Seperti apa temanmu itu?"

"Namanya Deneb. Dia memakai pakaian seperti koboy―hanya saja serba hitam dan kemejanya kotak-kotak hitam-putih. Lalu ia memakai scarf merah di lehernya."

"Woah! Aku jadi pengen melihat dia!" ucap Catherine dengan mata berbinar-binar.

"Tidak boleh! Kamu jangan sampai bertemu Dewa Kematian lain! Bisa-bisa mereka malah mencabut nyawamu karena seharusnya Catherine Lindberg sudah mati di dunia ini!"

"Aku cuma bercanda. Lalu, bagaimana kau bisa menemukanku?"

"Aku mendeteksi perasaan sedihmu. Saat itu aku bisa mengetahui keberadaanmu," jawab Altair. "Rupanya kamu merasa sedih karena foto itu ya?" Altair menunjuk foto Cat.

Catherine hanya tersenyum simpul sambil terus menatap foto itu.

Altair menjulurkan tangannya ingin menepuk lembut pucuk kepala Catherine. Ia ingin menghibur gadis ini walau hanya sedikit. Namun, ia mengurungkan niatnya dan menurunkan tangannya. Ia merasa tidak bisa membuat perasaan Catherine lebih baik.

"Lihat deh foto ini! Ini fotoku pas SMP lho! Aku cantik kan!!"

Ucapan Catherine yang tiba-tiba membuat Altair merasa bingung. Apalagi gadis itu mengembangkan senyum manisnya begitu lebar, seakan memberi tahu bahwa rasa sedih yang ia rasakan sudah menghilang.

"Ya, kamu cantik," balas Altair pelan.

Namun sayangnya Catherine tidak mendengarnya karena perhatian Catherine beralih pada Maylene yang datang membawakan teh dan kue. Dengan senang hati Catherine menyantap hidangan yang dibawa Maylene.

Maylene dan Catherine lalu asyik saling bercerita banyak hal soal diri sendiri maupun Cat, walau semua yang diceritakan Catherine adalah bohong. Ia juga memastikan bahwa cerita Cat yang ia katakan sama dengan yang ia ceritakan pada Clive. Altair hanya memperhatikan mereka di belakang Catherine.

Tak terasa waktu sudah berjalan lama. Terlihat semburat oranye keunguan di langit yang bisa terlihat dari jendela ruang tamu. Catherine pun meminta izin untuk pergi.

"Ma, aku harus pergi. Kalau tidak cepat-cepat, nanti keburu malam. Rumahku lumayan jauh," ucap Catherine.

"Memang Kat tinggal di mana?" tanya Maylene.

"Aku tinggal di Sepalith Apartment di Distrik Sepalith."

"Distrik Sepalith? Dari sini harus naik kereta sekitar 30 menit kan ya?"

"45 menit."

Ah, begitu ya. Ini kuenya juga dibawa ya," Maylene langsung membungkuskan beberapa cookies dan kue untuk Catherine. Walau Catherine sudah berkata ia tidak ingin merepotkan Maylene, namun Maylene memaksa Catherine membawanya. Lalu Catherine pun pergi dengan membawa sekantung plastik berisi cookies dan cake kecil.

Setelah berpamitan, Catherine-dan juga Altair berjalan ke arah taman, memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka.

Catherine lalu menggenggam tangan Altair dengan erat, detik berikutnya mereka tiba di depan pintu apartemen nomor 302.

"Uwaaaa!!!"

Tubuh Catherine tiba-tiba kehilangan keseimbangannya begitu mereka tiba. Ia memang belum terbiasa dengan kekuatan Altair yang satu ini. Bisa berpindah tempat dalam sedetik merupakan hal yang baru baginya.

Sebelum kepala Catherine menyentuh lantai, dengan sigap Altair mendekap pinggang Catherine agar gadis itu tidak jatuh.

Kedua mata mereka bertemu dan saling terkunci satu sama lain. Bagi Catherine, waktu seperti berhenti. Entah ini karena salah satu kekuatan aneh Altair atau karena keindahan kedua iris lapis lazuli Altair yang membuatnya tidak bisa melepaskan pandangannya.

Altair lalu bergerak dan membantu Catherine berdiri tegak.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Altair.

"O-oh? Aku tidak apa-apa! Teleportasi ternyata ... uh..." Catherine kehilangan kata-katanya. Ia bahkan bingung apa yang harus dikatakan.

"Oh, ya, aku tahu kamu sudah mendapat banyak kue, tapi aku ingin memberikan ini padamu. Kurasa kamu akan menyukainya," ucap Altair sambil memberikan plastik kecil yang diikat pita warna biru dan berisi cookies coklat kecil.

"Kamu dapat dari mana?"

"Dari Deneb. Tadi pas ketemu, dia ternyata mencariku karena ingin memberikan cookies ini."

Catherine hanya menatap Altair dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Altair yang mengerti langsung menceritakan saat ia bertemu dengan Deneb.

"Deneb?"

"Hey, Altair! Kamu sedang mencari siapa? Kelihatannya rusuh sekali," tanya Deneb dengan suara riangnya.

Altair yang kebingungan mulai memutar otak karena Deneb tidak boleh tahu bahwa ia mencari seseorang yang keberadaannya tidak boleh diketahui Dewa Kematian lain.

"Aku... mencari kucing! Tadi aku mengamati kucing dan dia lari ke arah sini," ucap Altair asal. Namun hanya itu yang bisa ia pikirkan.

"Kucing? Bukannya kamu sukanya mengamati manusia?" Deneb memicingkan matanya.

Altair berusaha sekuat tenaga memasang poker face walaupun dalam hatinya ia sangat panik.

"Ngomong-ngomong, ke-kenapa kamu ada di sini, Deneb?" tanya Altair berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Ah!" Deneb lalu memunculkan sekantung plastik cookies di tangannya dengan kekuatannya. "Aku tadi membuat ini kebanyakan dan saat aku melihatmu kupikir cookies ini untukmu saja," Deneb lalu menyerahkan cookies itu.

Altair menatap cookies itu lalu kembali bertanya, "Kamu ada kerjaan di sekitar sini?"

"Iya. Aku baru saja selesai mencabut nyawa seorang kakek yang tinggal tak jauh dari sini. Lalu karena kebetulan melihatmu, aku ke sini deh."

"Sepertinya Deneb tidak bertemu Catherine Lindberg," pikir Altair.

"Baiklah, Altair. Aku pergi dulu ya! Sampai jumpa di rumah!" ucap Deneb sebelum ia menghilang.

Altair diam sejenak sambil memasukkan cookies itu ke kantung jasnya. Tiba-tiba ia mendeteksi perasaan sedih Catherine. Ia pun langsung mengetahui keberadaan Catherine. Tanpa basa-basi lagi, Altair langsung teleportasi ke tempat Catherine berada.

"Deneb tinggal di rumahmu?" tanya Catherine setelah Altair selesai bercerita.

"Ya. Di rumahku kan ada 2 Dewa Kematian lagi yang tinggal bersamaku. Salah satunya dia," jawab Altair. "Hobinya memasak dan bikin kue. Semua buatannya sangat enak. Makanya, kamu pasti suka."

"Hmm, sebenarnya aku penasaran bagaimana rasa cookies yang dibuat oleh Dewa Kematian. Namun aku takut."

"Tenang saja. Ia membuatnya dengan bahan-bahan murah yang ia beli di supermarket. Lalu ia selalu mengikuti buku resep yang ditulis Maylene Lindberg atau resep dari chef di TV."

"BUKU RESEP KARYA MAMAKU???!!!" sahut Catherine. "Mamaku memang banyak menulis buku resep masakan dan sering menjadi best seller. Aku tidak menyangka kalau Dewa Kematian juga membacanya ... " Catherine mulai memijit keningnya.

"Makanya, cobalah kue ini," Altair memasukkan cookies pemberiannya ke dalam kantung plastik yang dibawa Catherine.

"Tapi, kurasa temanmu lebih suka kalau kamu yang memakannya. Kenapa ga kamu saja yang makan?" tanya Catherine.

"Aku sudah sering makan cookies buatannya. Lagipula pasti masih ada banyak di rumahku. Aku bisa makan beberapa di rumah."

Catherine membalas dengan tawa yang datar.

__________________

Keeseokan harinya, Catherine mengendap-endap di depan ruang istirahat khusus pria. Matanya tajam mengawasi sekitar memastikan tidak ada orang lain di sekitarnya. Tentu saja akan terlihat aneh apabila ia ketahuan berkeliaran di ruang istirahat khusus pria. Bisa-bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Catherine lalu membuka pintu ruang istirahat khusus pria secara perlahan dan masuk ke dalam. Ia mengembuskan napas lega saat melihat orang yang sedari tadi ia cari.

"Mihail," panggil Catherine.

Mihail yang tadinya asyik sibuk dengan handphone-nya sambil tiduran di sofa, terkejut hingga menjatuhkan handphone-nya ke atas wajahnya begitu melihat Catherine. Ia lalu mengeluhkan rasa sakit di wajahnya.

"Katarina? Ada apa kamu di sini?" tanya Mihail dengan wajah kesal.

"Maaf mengejutkanmu. Aku ingin meminta bantuan padamu," balas Catherine. "Cuma kamu yang bisa."

"Ada apa?" Mihail pun bangkit dari tidurannya.

Catherine lalu menyerahkan sebuah amplop coklat pada Mihail. Saat dibuka, Mihail menemukan barang-barang yang terlihat seperti sampah di dalamnya.

"Apa ini?" Mihail mengeluarkan sebuah kancing dan jepit berwarna merah yang masing-masing dibungkus plastik khusus barang bukti.

"Barang bukti dari kasus yang sedang aku urus. Tolong periksa barang-barang ini dan cari DNA yang mungkin menempel di barang-barang ini," ucap Catherine. "Sampel untuk perbandingannya ada di dalam amplop."

"Kasus? Aku tidak mendapat kabar bahwa ada kasus baru yang datang dan butuh bantuan forensik."

"Uhh..." Catherine mulai mencari alasan. "Ini memang bukan kasus yang baru datang dan terdaftar. Ini kasus yang sedang aku selidiki sendiri."

Mihail hanya diam sambil menatap Catherine.

"Jadi... tolong ya?" Catherine mengedipkan sebelah matanya.

"Boleh aku tahu kasus apa yang sedang kamu selidiki?"

"Maaf, aku belum bisa bilang. Soalnya ... hmm susah menjelaskannya."

"Aku tidak pernah mendapat request di luar jadwalku begini," kata Mihail dengan nada setengah mengeluh.

"Uuh... Aku akan membayarmu agar kamu mau! Sebut saja berapa. Tapi tolong jangan mahal-mahal."

"Hahahahaha!" Mihail malah tertawa. "Aku cuma bercanda. Kamu hanya perlu membayarku dengan mentraktirku di Mott's."

"Baiklah. Aku akan mentraktirmu nanti," kata Catherine.

"Oh, ya, aku masih banyak tugas yang mengantri. Jadi, aku baru bisa mengerjakan ini setelah semua tugasku selesai."

Catherine mengangguk. "Tidak apa-apa, Mihail. Lakukan saja saat kamu ada waktu. Tolong rahasiakan ini."

"Oke."

Karena Mihail merasa pembicaraan sudah selesai, ia kembali merebahkan tubuhnya di sofa dan kembali fokus pada handphone-nya. Catherine pun cepat-cepat pergi dari ruangan itu.

Saat Catherine baru akan masuk ke ruangan Divisi Kejahatan Serius, Inspektur Akasha memanggilnya.

"Lindberg!"

Catherine menghentikan langkahnya dan langsung menghadap atasannya.

"Ada apa, Inspektur?" tanya Catherine.

"Jaksa Wolf ingin bertemu denganmu," jawab Akasha.

"Hah? Kenapa?"

"Jaksa Wolf adalah jaksa yang memegang kasus perampokan yang kamu alami tempo hari. Ia memiliki beberapa pertanyaan untukmu."

"A-ah begitu."

"Ayo, kita ke ruang rapat," kata Akasha.

Saat mereka tiba di ruang rapat, sudah ada seorang wanita berambut hitam panjang yang duduk di sana. Wanita itu yang tadinya sibuk dengan handphone-nya, langsung berdiri begitu melihat Akasha dan Catherine masuk.

"Ini yang namanya Katarina Lindberg?" tanya wanita itu.

"Benar, Jaksa Wolf," jawab Akasha. "Lindberg, ini Victoria Wolf, jaksa yang menangani kasus perampokan tempo hari."

"Akasha, sudah kubilang panggil saja dengan nama depanku," keluh Victoria.

"Hahahaha. Setelah ini selesai, apakah Jaksa Wolf bisa ke ruangan saya? Saya ingin menunjukkan perkembangan saya dalam membuat teh. Memang sih, belum seenak buatan Levenstein, tapi saya yakin kemampuan saya meningkat," kata Akasha.

"Yah, kita lihat saja nanti," Victoria terkekeh.

"Baiklah, saya tinggal dulu," ucap Akasha sebelum ia meninggalkan ruangan.

Catherine lalu duduk di depan Victoria. Ia menatap wanita cantik di hadapannya dengan jantung yang berdegup kencang. Kharisma yang dipancarkan Victoria membuatnya ia gugup. Padahal di dunia asalnya, Catherine dan Victoria lumayan akrab. Namun, Catherine harus ingat bahwa Victoria di dunia ini tidak mengenalnya.

"Bagaimana kondisi lukanya? Apakah parah?" tanya Victoria membuka percakapan.

Catherine sendiri baru sadar kalau ia masih memakai perban untuk menutupi luka di kepalanya. "Sudah lebih baik. Minggu depan mau konttrol ke rumah sakit," jawab Catherine. Victoria mengangguk.

"Aku ada pertanyaan berkaitan dengan perampokan yang terjadi hari Sabtu lalu," ucap Victoria. "Aku ingin memastikan apakah benar orang-orang yang ada saat hari itu hanya 3 orang perampok, kamu, dan Ibu Mary?"

"Benar."

Victoria lalu mengeluarkan kertas yang tergambar sketsa denah apartemen Mary. "Boleh beri tanda dimana semua orang saat perampok itu berusaha menembakmu? Kalau sulit, aku bisa maklum kok."

"Tidak, kok. Aku masih mengingatnya," ucap Catherine. Lalu ia menulis beberapa tanda pada denah itu dengan pulpen yang diberikan Victoria. Setelah selesai, Victoria mengamatinya sambil mengangguk-angguk.

"Baiklah, jadi kamu berdiri dekat sofa ini, lalu pimpinan perampok itu berdiri tak jauh di depanmu? Sambil menodongkan pistol?" kata Victoria.

Catherine mengangguk.

"Apa kau yakin tidak ada orang lain selain yang sudah kamu tuliskan ini?"

"Ya. Aku, si bos, lalu Bu Mary ada di ruang keluarga ini, sedangkan 2 anak buah perampok ada di kamar Bu Mary."

Victoria lalu mengeluarkan plastik untuk barang bukti yang berisi beberapa butir peluru. "Kamu tahu ini apa?"

"Peluru kan?"

"Benar. Ini peluru yang ditembakkan oleh para perampok itu. Semua sudah dicek dan ballistic-nya cocok dengan senjata masing-masing. Itu berarti semuanya menembakimu."

"U-Uh..." Catherine mulai tahu kemana arah pembicaraan ini.

"Di dalam rumah Ibu Mary, tidak ada bekas peluru yang menancap sama sekali. Kalaupun kamu seperti Akasha―bisa menghidari peluru yang ditembakkan, seharusnya peluru-peluru ini menancap di tembok atau barang lainnya. Kamu tahu dimana peluru ini ditemukan?"

"Ti-tidak."

"Di bawah sofa. Semua peluru dalam keadaan seperti ini. Sangat bersih, tak ada bekas darah dan lainnya."

Tentu saja Catherine tahu apa yang terjadi. Pasti Altair mengeluarkan peluru itu dari tubuhnya dan meletakkannya di bawah sofa. Namun, Catherine tidak mungkin membicarakan soal Altair. Otaknya mulai berputar mencari cara agar ia bisa menghindari pertanyaan Victoria yang ia takutkan.

"Apakah kamu bisa menangkap peluru yang ditembakkan?" tanya Victoria.

"Ma-mana mungkin."

"Kalau begitu, apakah ada orang lain yang menolongmu? Yang melindungimu? Orang tersebut tidak mau diketahui makanya kamu tidak memberitahukan pada polisi?"

Mendengar pertanyaan Victoria itu, Catherine serasa disambar petir. Pertanyaan yang ia takutkan meluncur juga. Akan sulit berbohong melawan seorang Victoria Wolf―Sang Jaksa Jenius―yang dari tadi menyelidiki sinar matanya.

"Uum..." Catherine masih bingung harus berkata apa.

"Orang misterius ini mungkin adalah salah satu komplotan perampok itu," ujar Victoria. "Kalau dia adalah salah satu perampok, alasan dia melindungimu adalah kamu juga salah satu dari mereka."

"Dia bukan perampok!!!" sahut Catherine. "Aku juga bukan!!"

Victoria tersenyum mendengar perkataan Catherine. "Ternyata benar ada orang ketiga. Namanya Altair, bukan?"

Kedua pupil Catherine membesar setelah Victoria bertanya hal itu. Padahal ia sudah berhati-hati agar tidak menyebutkan nama Altair saat Inspektur Ash bertanya padanya. Bagaimana Victoria bisa mengetahui nama Altair?

"Ternyata benar. Nama pelindungmu Altair, ya?" ucap Victoria lagi. "Aku tahu namanya dari dokter yang merawat lukamu. Dia bilang saat pertama kali menemukanmu, kamu terus berkata bahwa ada orang terluka parah dan terus menyebut namanya."

Catherine menjitaki kepalanya sendiri. Ia baru sadar kalau ia melakukan hal itu karena panik.

"Jadi, Altair ini bisa menangkap peluru yang ditembakkan ya? Makanya tidak ada darah pada peluru dan tidak ada bekas peluru yang menancap di apartemen Ibu Mary," ucap Victoria. "Memang ada orang yang bisa menghindari peluru seperti Akasha dan asistenku, Albert. Namun ini pertama kalinya mendengar ada orang yang bisa menangkap peluru."

Entah kenapa Catherine merasa Victoria sangat tertarik pada Altair namun ketertarikannya tidak ada hubungannya dengan kasus ini.

"Tapi kenapa kamu bilang dia terluka parah? Padahal sama sekali tak ada darah orang misterius tersebut," tanya Victoria lagi.

"Mungkin aku...sedikit panik saat melihatnya...melakukan itu," jawab Catherine sambil menundukkan wajahnya.

"Apa aku bisa bertemu dengannya?"

"Uhh... Ku-kurasa hal itu akan sulit."

"Mungkin dia punya alasan menyembunyikan identitasnya," gumam Victoria. "Aku mengerti hal itu."

"Jaksa Wolf―"

"Victoria saja."

"Ba, baik. Victoria, Altair bukan orang jahat. Sejak awal aku datang ke kota ini, dia selalu membantuku. Mana mungkin ia merampok apartemen tetanggaku kalau awalnya dia mendekatiku? Padahal aku sama sekali belum mengenal tetanggaku sebelum kejadian perampokan itu terjadi," ujar Catherine.

"Yah, sebenarnya aku pun tidak berpikir bahwa dia komplotan perampok itu. Selama aku menyelidiki mereka, mereka selalu bertiga. Tidak pernah ada orang keempat di kelompok mereka. Lalu, penadah mereka juga sudah diringkus semua. Tidak ada yang cocok dengan "Altair" ini," balas Victoria. "Aku juga sudah menyelidiki soal dirimu dan sama sekali tidak ada hubungan dengan perampok itu. Maaf membuatmu kaget."

Catherine menghela napas lega. Ia sempat khawatir kalau Altair bakal dituduh sebagai perampok. Karena dia juga akan dituduh sebagai perampok.

"Apakah pelindungmu ini juga yang membuat para perampok itu hilang ingatan?" tanya Victoria.

"Hilang ingatan?"

"Ya. Mereka sama sekali tidak mengingat apapun. Ingatan terakhir mereka adalah saat mereka menjarah apartemen Ibu Mary dan mengambil barang-barang antik."

"Oh iya, Altair kan menghapus ingatan mereka," pikir Catherine. "Um, aku dan dia bersama-sama melumpuhkan mereka. Aku tidak tahu soal hilang ingatan itu."

"Mungkin mereka amnesia karena dipukul kalian," gumam Victoria.

Victoria lalu membereskan barangnya dan beranjak dari kursinya.

"Terima kasih sudah mau ngobrol denganku, Katarina. Kuharap kita bisa santai ngobrol lain kali. Mungkin kamu bisa mengajak Altair juga," ucap Victoria sambil tersenyum. Ia mengeluarkan kartu namanya dan menyelipkannya di kantong blazer Catherine.

Catherine juga berdiri. "Aku tidak yakin kalau dia mau ikutan."

"Yah, siapa tahu," kata Victoria sambil mengedipkan sebelah matanya. Setelah itu ia pergi keluar ruangan dan pergi ke ruangan Akasha.

Begitu sosok sang jaksa tidak terlihat lagi, Catherine langsung menjatuhkan dirinya ke kursi terdekat. Rasanya seperti baru saja lolos dari gua yang ada banyak singanya. Walau Victoria hanya mengambil keterangan darinya, namun rasanya seperti diinterogasi sebagai tersangka. Bahkan, degup jantung Catherine masih belum tenang.

"Dasar Altair. Gara-gara dia aku jadi merasa seperti ini. Bahkan hampir dituduh komplotan perampok. Kurasa aku tidak boleh banyak melibatkan dia dalam apapun agar hal seperti ini tidak terjadi."

✧✧✧

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top