lima.

Merah. Biru. Jingga. Hijau. Putih.

Lima bersaudara. Kini, tinggal empat.

Merah. Jingga. Hijau. Putih.

Inspektur menatap buku catatan kecil di tangannya, lalu pada empat bersaudara yang tengah berdiri di hadapannya. Mereka semua memiliki ekspresi yang berbeda-beda.

Merah, saudara tertua, kakak satu-satunya bagi korban, jarak tiga tahun. Senyuman santai yang biasa terpampang di wajahnya itu terlihat layu dan pucat sekarang. Seakan-akan ia sudah kehilangan semangatnya untuk terus memasang wajah ceria. Mengingat tragedi yang baru saja terjadi, hal ini wajar. Inspektur memang belum pernah melihat Merah saat ia tengah berduka, tapi ia salut pada sang tertua yang terus memasang topeng kuatnya. Lagi pula, Inspektur akan lebih curiga jika dia tidak terlihat sedih atas kematian korban.

Jingga, saudara ketiga, adik pertama korban, jarak lima tahun. Wajahnya masih terlihat kesal, sama seperti saat Inspektur meninggalkan dia di ruang depan. Namun, dibanding menyuarakan keras-keras kekesalannya itu seperti tadi, ia kini memilih untuk menggerutu saja. Nampaknya ada salah satu petugas yang menegur dia sebelum ini. Tentu saja hal ini tidak membuat ia akan berhenti marah-marah sepenuhnya. Jingga memang merupakan seseorang yang mudah meluap-luap sejak kecil.

Hijau, saudara keempat, adik kedua korban, jarak enam tahun. Bisa dibilang dia adalah saudara yang paling waras di antara semuanya. Sekarang ini ia menunjukkan wajah yang tenang meskipun Inspektur bisa melihat ia memainkan kuku jari-jarinya, pertanda saat ia sedang gugup. Semua informasi pribadi yang Inspektur punya sekarang ini tidak cukup untuk menentukan apakah dia gugup akibat kakaknya yang terbunuh atau apa karena ia tahu sebuah informasi penting.

Putih, saudara termuda, adik ketiga korban, jarak delapan tahun. Sang inspektur memang dekat dengan korban dan saudara-saudaranya, tapi saudara terkecil ini merupakan orang yang sangat tertutup bahkan terhadap saudara-saudaranya sendiri. Ia jadi teringat saat korban datang ke taman, tempat janjian mereka, membawa adik terkecilnya. Dulu, Putih adalah anak yang cukup ceria. Inspektur tidak tahu mengapa ia bisa berubah drastis. Di hadapannya kini, Putih berdiri dan menatap ke arah lain, seakan-akan dia tidak peduli dengan apa yang baru saja terjadi. Kalau saja Inspektur tidak mengetahui korban secara pribadi, ia akan menarik kesimpulan itu dengan mudah.

Korban sering bercerita tentang saudara-saudaranya dengan senyuman hangat di wajahnya. Matanya akan bersinar dan cahaya seakan-akan berpancar dari dirinya. Inspektur tahu betul korban sangat menyayangi mereka.

Ia menghela nafas panjang, mengingat bahwa ada kemungkinan besar pelakunya ada di antara mereka.

Di saat yang bersamaan, kedua staff yang tinggal di rumah itu mengetuk pintu. Inspektur segera mengarahkan mereka untuk menunggu di luar terlebih dahulu. Mereka mengangguk sebelum menutup pintu ruangan tanpa berkata apa-apa lagi.

Teringat akan tugasnya, sang inspektur membuka halaman baru di buku catatannya lalu mengambil sebuah pulpen dari saku kemejanya. Biasanya ia tidak pernah mencatat sebuah wawancara awal seperti ini. Namun, jika kasusnya seperti ini, mengapa tidak?

"Baiklah," ujar sang inspektur, berusaha mengambil perhatian keempat tersangka di tengah gaduhnya suara hujan dari luar rumah. Suara derasnya air memang terdengar lebih tersumbat di dalam ruang tengah yang tengah mereka tempati itu daripada di ruang depan, tapi nampaknya sang hujan ingin mengumumkan dirinya sekencang mungkin.

Ia menganggukkan kepalanya kepada salah satu bawahannya yang akan merekam wawancara mereka, menandakan mereka telah siap. "Wawancara 25 Agustus, tahun 2019, jam sembilan malam lewat tujuh menit. Masing-masing tersangka harap sebutkan nama dan status terhadap korban."

Merah mengedipkan matanya dua kali sebelum ia tersadar ketiga saudaranya tengah menunggu dirinya untuk berbicara terlebih dahulu. Dengan suara yang lebih berat dari biasanya, ia berkata, "Merah. Kakak korban dan saudara tertua."

Inspektur cukup terkejut mendengar Merah langsung mengatakan apa yang diminta tanpa membuat satu lelucon pun untuk mencairkan suasana. Ia tidak pernah melihatnya seserius ini.

Yah, dia bisa dibilang merupakan yang paling dekat dengan korban sih, pikirnya. Tak hanya korban, Merah juga sering berbagi cerita mengenai saudara-saudaranya, terutama mengenai korban, meskipun ia dan Inspektur tidak sedekat ia dengan korban. Inspektur bisa melihat bahwa ada sesuatu yang lebih erat di antara mereka. Mungkin akibat solidaritas sebagai dua saudara tertua.

Hal ini juga membuat Inspektur semakin mencurigai dia. Bisa saja semua yang ia lihat sekarang adalah akting. Berpura-pura sedih atas kematian adik pertamanya setelah ia membunuhnya dengan darah dingin.

Namun, ketika Inspektur menatap kedua mata hitamnya, kesedihan yang ia lihat adalah tulus. Bola hitam itu bahkan terlihat lebih bersinar daripada biasanya. Bukan akibat rasa senang, tapi akibat air mata yang mengering. Kemaja merah yang ia pakai memang berantakan seperti biasanya, tapi sekarang hal itu hanya menambah penampilan lelahnya.

Sang inspektur tidak berhenti bertanya-tanya apakah yang ia lihat sekarang hanyalah sebuah bentuk simpati sebagai seseorang yang mengenal korban secara pribadi atau sebagai seorang inspektur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top