#30 | Masa Tersulit

بسم الله الرحمن الرحيم

¤Marentin Niagara¤
-- Selamat Membaca --

Ucapan adalah hati
Gudangnya adalah fikiran
Penguatnya adalah akal
Pengungkapnya adalah lisan
Jasadnya adalah huruf
Ruhnya adalah makna
- Ali bin Abi Thalib

✍✍


"Ghulam koma?" tanya Tantri memastikan kondisi putranya kepada dokter yang merawat.

"Iya Bu Tantri. Mohon untuk sering diajak bicara, ingatkanlah kepada memori-memori yang membuat hatinya bahagia. Dengan stimulan ini diharapkan akan menstimulus kerja otak bawah sadarnya agar bisa segera kembali ke alam nyata." jawab dokter.

Tidak ada bantahan, semua instruksi dari dokter telah dilakukan. Semua usaha telah diupayakan tapi ternyata Ghulam tetap memilih untuk memejamkan mata. Meskipun jantungnya masih berdetak namun dia masih membujur diam tanpa suara.

Hanya suara electrokardiograf yang setia memberikan informasi bagaimana kerja jantung Ghulam. Sudah hampir 3 bulan Ghulam menjadi penghuni tetap ruang VIP rumah sakit umum untuk memperoleh kesembuhannya.

"Mas, ayo buka matamu. Apa kamu tidak bosen berada di kamar ini terus? Apa kamu tidak mau mencari istri dan anakmu? Bunda kangen sama kamu, Ayah, Umma, Adekmu, juga Omai dan calon anakmu." bisik Tantri di dekat telinga Ghulam dengan tangan kanan yang menggenggam erat tangan kanan Ghulam.

Tidak ada air mata yang tidak menetes saat melihat kondisi Ghulam sekarang. Tubuh Ghulam kini tidak sesegar dahulu. Meski semua lebam telah berangsur pulih namun warna pucat tidak bisa jauh dari kulitnya.

Wajahnya kini mulai tirus, semburat jambang telah tumbuh tipis di dagu. Itu artinya berat badan Ghulam menurun. Semua makanan Ghulam memang hanya bergantung pada infus yang tertancap di tangannya.

"Kamu ingat nggak dulu kamu paling suka kalau Bunda masak bothok pelas, hari ini Bunda masak bothok pelas loh amas, ayo buka matanya Sayang." Dafi yang melihat istrinya berbicara dengan anaknya yang tak bergerak sedikitpun tak kuasa membendung air matanya.

"Ayah kangen sama kamu, Nak. Lihatlah Bundamu setiap hari jagain kamu. Apa kamu tidak ingin melihat kami? Bangunlah Sayang." kini gantian Dafi yang berbicara dengan Ghulam dan mencium keningnya.

Tidak banyak kemajuan dan perkembangan dari kondisi Ghulam. Sejak operasi terakhirnya dahulu hingga kini belum sekalipun dia membuka kedua matanya.

"Maafkan Bunda, Mas gara-gara Bunda kamu menjadi korbannya. Tapi Diandra dan keluarganya kini telah diputus bersalah Sayang. Ayah yang membantu Bunda untuk menyelesaikan semua urusan dengan mereka." cerita Tantri.

"Kamu harus kuat, ayo buka matamu. Keluargamu membutuhkanmu, Omaimu, calon anak kalian. Tidakkah engkau ingin melihat dan merengkuh mereka ke dalam pelukanmu?" tanya Dafi sambul mengusap kepala anak sulungnya.

Anak yang dibesarkan dengan penuh cinta. Anak yang diajarkan untuk selalu mencintai keluarga, anak lelaki yang harus berani mengorbankan apa yang dia bisa untuk membela keluarganya.

Seperti hilang separuh kehidupan Dafi melihat sang putra tergolek tak berdaya. Apapun yang telah terjadi tidak patut untuk disesali. Kondisi putranya yang belum ada peningkatan sementara menantu kesayangan belum bisa dihubungi sampai kini. Hati orang tua mana yang tidak trenyuh mendapati peristiwa seperti ini.

Ini adalah bulan keenam usia kehamilan Omaira. Sendirian tanpa suami, sementara itu sejak usia usia kandungannya 4 bulan dia sering mengalami flek apabila terlalu lelah.

Dia merasakannya, tidak ada yang enak dirasakan jauh dari orang yang dicintai tanpa tahu kabar seperti apa dia sekarang. Mungkin Ghulam telah menikah dengan Diandra dan mulai belajar untuk mencintainya. Mengingat semuanya justru membuat hati Omai semakin nyeri.

Pernahkah dia berpikir bahwa sejatinya dalam setiap doa yang dia langitkan itu selalu tersampai kepada dzat pemiliknya? Hanya saja pengabulan atas permintaanya itu yang bisa jadi diberikan secara langsung, ditunda sampai waktu dimana Allah merasa tepat untuk memberikannya, atau justru diganti dengan yang lebih baik.

Jika sekarang Allah memberikan rasa nyeri atau sedikit masalah dengan kehamilannya, bisakah itu diartikan sebagai bentuk peringatan dari Allah atas sikap dan keputusan yang dia ambil. Kesalahannya meninggalkan Ghulam.

Kini apa yang dia dapat, bukankah seharusnya Ghulam bisa dengan mudah menemukan dia di Madinah? Memang Omai telah meminta kepada Fawwaz dan juga Isna untuk tidak menghubungi Ghulam.

Mengapa? Alasannya hanya satu. Omai ingin tahu benarkah hanya dia wanita satu-satunya yang dicintai Ghulam sementara dia telah menikah dengan orang lain?

Tapi sayang seribu sayang, untung tak dapat diraih malang tak bisa di tolak. Sampai 3 bulan dia meninggalkannya tidak sekalipun dia menerima pesan atau apapun itu yang mengisyaratkan bahwa Ghulam mencarinya. Ataukah mungkin dia sudah melupakannya?

Seribu macam pikiran berkecamuk dan tentu saja tidak akan pernah mendapat jawaban karena Omai hanya sibuk bertanya tanpa mencoba mencari tahu jawabannya seperti apa.

Cukupkah hanya Allah bersamanya?

Suami itu membutuhkan istri demikian pula sebaliknya. Dua orang yang seharusnya saling mendukung. Mengapa kini justru saling berjauhan dan tidak saling bertukar kabar?

'Ampuni aku ya Rabb, dosa ini aku aku bawa sampai mati. Tapi mohon izinkanlah nanti anakku bertemu dengan babanya'

🍒🍒

Pagi ini Tantri dan Rayya berada di ruang perawatan Ghulam. Sudah 4.5 bulan Ghulam terdiam bisu dalam tidur panjangnya.

Rencananya pagi ini Tantri akan mencoba kembali untuk memperdengarkan rekaman suara murrotal AlQur'an Ghulam ketika dia masih kecil dulu.

Suara khas anak anak SD itu terdengar cukup indah di telinga orang yang mendengarkan. Bahkan mahraj yang dibawakan begitu sempurna.

"Mas ingat, waktu ini kamu dapat juara satu tartil Qur'an tingkat kota. Bunda bangga sama kamu. Bukalah matamu Mas, kami semua merindukanmu." tangan Tantri tetap menggenggam erat tangan kanan putranya.

Hening,

1 menit
2 menit
5 menit

Hingga rasanya tangan Tantri merasakan ada sedikit pergerakan. Memastikan, firasatnya yang benar ataukah hanya halusinasi ataupun pergerakan itu terjadi karena hospital bed yang menjadi penopang tubuh Ghulam sedikit bergeser.

Saat Tantri mulai mengamati, tiba-tiba suara Rayya menggema disamping tubuhnya.

"Mbak, telunjuk Mas Ghulam__itu perha__tikan!!! Bergerak perlahan, mashaallah!!" pekik Rayya dengan rasa membuncah.

"I__iya, panggil dokter Ray. Tolong cepat panggil dokter." tanpa menunggu waktu lagi Rayya segera menekan tombol yang ada diatas Ghulam untuk memanggil paramedis yang berjaga.

Dalam buncahan rasa yang kini bercokol di hati Rayya dan Tantri, tiba-tiba bibir Ghulam bergerak. Suaranya sangat lirih, serak seperti kehabisan suara. "O__oma__i, ak__ku cint__a ka__mu. Jang__an per__gi__"

Seorang dokter yang masuk langsung memeriksa kondisi Ghulam. Menekankan beberapa kali stetoskop di dada Ghulam, memeriksa kelopak mata dan juga segera melakukan pengukuran tensi darah dibantu oleh seorang perawat.

"Normal Dok."

"Alhamdulillah, sepertinya Pak Ghulam memberikan reaksi positif Ibu. Dengan kata lain dia telah berhasil melalui masa kritis komanya. Kemungkinan sebentar lagi akan terbangun. Saya ada di nurse station nanti kalau sudah sadar tolong panggil saya, kami siapkan kebutuhan untuk penanganan lanjutan."

"Baik dok"

"Oma__i, _____Omai, ____Omai", perlahan mata Ghulam membuka. Bibirnya masih terus memanggil nama Omaira. Tantri dan Rayya sudah berlinang air mata sambil menyebut keagungan Allah.

Putranya kini telah kembali. "Rayya, tolong kabari Mas Dafi." Rayya segera mengambil gawai dan menekan nomor kakak iparnya kemudian memberitahukan kondisi Ghulam dan meminta Dafi untuk segera ke rumah sakit.

"Dokter, pasien sudah sadar tolong___" Rayya juga yang berlari ke nurse stasion yang kebetulan tidak terlalu jauh dari tempat Ghulam dirawat.

Beberapa tindakan, penggantian infus dan suntikan diberikan kepada Ghulam.

"Bapak Ghulam, apakah anda mendengar suara saya?" tanya dokter kepada Ghulam. Sementara Ghulam hanya memberikan isyarat dengan mengedipkan mata tanda dia mendengar.

"Baik berarti anda mendengar dengan cukup baik. Lantas siapakah ini?",l tanya dokter kemudian sambil menunjukkan jari kepada Tantri.

"Bun__da", sangat lirih jawaban yang keluar dari mulut Ghulam.

"Kalau ini?" kini ganti sang dokter menunjukkan jari ke Rayya.

"Umm__a"

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan ingatan Ghulam masih baik. Buktinya dia bisa mengenali wajah sang Bunda dan juga Ummanya.

"Kenapa suaranya menjadi seperti ini dok?" tanya Rayya pelan.

"Sangat wajar, empat setengah bulan tidak dipakai untuk berbicara. Pita suaranya butuh penyesuaian Bu. Tidak ada yang perlu di khawatirkan, daya ingat pasien juga masih sangat bagus hanya saja tolong jangan dipaksa untuk mengingat apabila dia sedikit lupa. Semuanya berangsur tidak bisa seketika." kata dokter sambil memeriksa semuanya sebelum dia meninggalkan Tantri dan Rayya di samping Ghulam.

"Bunda, Omai?" tanya Ghulam kemudian dia menitikkan air matanya.

"Omai baik-baik saja. Kamu jangan berpikir yang lain dulu. Pulihkan tenaga Sayang. Alhamdulillah akhirnya kamu membuka mata." jawab Tantri.

Tak berselang lama kemudian Dafi datang ke ruangan rawat Ghulam di waktu yang sama Tantri sedang memberikan minuman kepada sang putra.

"Ghulam?"

"Ayah__" keduanya saling memeluk.

Sadar dari koma, tentu saja masih ada serangkaian panjang untuk perawatan mengembalikan fungsi alat-alat tubuh seperti sedia kala. Fisioterapi dan psikoterapi dipilih untuk membantu Ghulam bisa berjalan dan beraktivitas seperti semula.

Ketika badan dan psikis Ghulam yang dirasa kuat keluarga akhirnya sepakat mengatakan bahwa sampai saat ini mereka belum menemukan Omaira.

"Baiklah Ayah, biar Ghulam yang akan mencari sendiri. Tolong jangan beritahukan kondisi Ghulam kepada dia jika suatu misal Omai menghubungi kalian." pesan Ghulam.

"Kamu harus menuntaskan terapimu terlebih dahulu. Ayah tidak ingin terjadi apa apa lagi denganmu. Cukup 4.5 bulan yang telah kami lalui dengan ketegangan. Melihatmu tergolek tak berdaya tanpa bisa apa-apa." kata Dafi.

"Tapi sebentar lagi Omai akan melahirkan ayah. Anak Ghulam." bantah Ghulam.

"Tidak Mas, ada Paman Hasan disana yang selalu memberikan info kepada Umma. Sebaiknya memang kamu menjalani terapi di sini sampai tuntas terlebih dahulu." kata Rayya.

Ghulam hanya pasrah dan mengalah. Kondisinya memang sudah pulih tapi belum 100% pulih. Sesekali dia masih bergetar apabila harus berjalan sedikit lama.

Hingga saatnya dokter mengatakan bahwa Ghulam dinyatakan pulih 100%, dia tidak lagi menjalani serangkaian terapi. Disaat yang sama pula Omaira yang berada di belahan bumi yang berbeda sedang memperjuangkan nyawanya untuk seseorang yang akan dia hadirkan ke dunia. Anak yang ada di dalam kandungannya kini siap untuk dilahirkan.

Ada Fawwaz dan juga Isna yang menyertai Omai. Dibantu seorang dokter kandungan wanita, Omaira segera dibawa ke verlos kamer.

Ketika pembukaan sudah sempurna, akhirnya dokter tersebut memberikan aba-aba untuk Omaira segera mengejan dan cukup singkat 5 menit prosesnya, seorang bayi perempuan lahir dengan selamat.

"Taflak hu fatat, jamilatun jidaan mithl walidatiha. Mabruk likunik 'am." kata dokter tersenyum kepada Omaira. -- bayi anda perempuan, dia sangat cantik seperti ibunya. Selamat telah menjadi seorang ibu --

Setelah bayinya dibersihkan dan Omai sudah dipindahkan keruang rawat. Fawwaz dan Isna memasuki ruang rawat sahabat mereka.

"Let's take an adzan for this baby, who's her father here?" adakah perlu ditanyakan jika hanya ada seorang laki-laki didalam ruangan itu. "Mr?" lanjutnya kepada Fawwaz.

"No, I'm not. Her father is still in Indonesia, I'm her uncle." jelas Fawwaz.

"Ok no problem, please take it for her." perawat itu segera memberikan bayi kepada Fawwaz. Namun sebelum menerimanya tiba-tiba gawai Fawwaz bergetar. Satu nama yang tertera di gawainya membuat keningnya sedikit mengernyit. Isna yang tanggap segera mengambil alih bayi Omai dari tangan perawat dan mendekatkannya kepada Omaira.

"Isna bisakah sekali lagi suamimu menolongku? Tolong adzani anakku." pinta Omai kepada Isna.

Isna mengangguk, tetapi Fawwaz segera mendekatkan gawai yang telah dia loudspeaker ke telinga putri Omai.

Suara merdu seseorang sedang melantunkan adzan di seberang gawai milik Fawwaz. Merdu dan begitu syahdu. Hingga Omai meneteskan air matanya.

Selanjutnya dibacakan iqomah dan gawai kembali ditarik oleh Fawwaz untuk berbicara dengan lelaki bersuara merdu itu di luar kamar rawat Omaira.

Tidak perlu bertanya siapa pemilik suara itu. Bahkan Omaira merindukannya dalam setiap desahan nafasnya. Mencintainya dalam setiap inchi tubuhnya. Mengaharapkan dia ada disisinya kini, bersama membesarkan putri mereka.

"Susui anakmu dahulu. Jangan berpikir macam-macam. Pasti nanti Mas Fawwaz akan menjelaskannya kepadamu." perintah Isna.

Omai segera memberikan puting susunya. Merangsang putrinya untuk mencari sumber makanan barunya. 'Ya Allah, rasanya seperti mimpi. Memiliki malaikat kecil ini untuk melengkapkan hidupku. Padahal kemarin waktu Isna melahirkan Syaddam aku sudah bahagia, kali ini kebahagiaanku menjadi berlipat ganda. Alhamdulillah, ya Rabb'

"Siapa nama gadis cantik ini Omai?"

"Dulu waktu kami baru mengetahui jika aku hamil mas Ghulam menuliskan 2 nama untuk laki-laki dan perempuan. Karena yang lahir ternyata perempuan maka aku ambil nama perempuan yang telah dia siapkan. Azzalea Dzahin Mufazzal, seperti bunga yang penuh keanggunan dengan kepandaiannya." ucap Omai sambil mengecup puncak kepala Azza.

Benar benar seperti mimpi. Omai kembali ke mahtab Isna setelah diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit. Sebelumnya Fawwaz sempat mengatakan kepadanya, "O, Ghulam minta maaf kepadamu karena tidak bisa mendampingimu saat kamu melahirkan karena____"

"Syukraan Mas Fa, aku sudah mengerti apa kalimat selanjutnya. Tidak perlu kau teruskan." jawab Omai.

"Kamu salah faham Omai, Ghulam kecelakaan saat tahu kamu menghindarinya dan berangkat ke Madinah. Bahkan dia mengalami koma beberapa bulan." kata Fawwaz meluruskan.

Omai hanya diam mendengarkan. Tidak ada yang perlu di tangisi. Bisa jadi itu hanya alasan Ghulam karena merasa bersalah dia tidak bisa mendampingi Omai melahirkan.

Hei tapi tunggu, ini Ghulam. Suami yang tidak pernah berbohong sedikitpun kepadanya. Ataukah Fawwaz yang mengarang indah sebuah cerita agar Omai mau kembali ke Indonesia lagi?

"Terimakasih Mas Fa, biarlah saatnya nanti dia membuktikan kebenarannya." kata Omai kemudian masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka kembali.

Lima hari berlalu dari kepulangan Omai dan Azza. Kini rumah Isna kembali diadakan acara aqiqah bayi, penyembelih seekor kambing dan mensedekahkan kepada tetangga kanan kiri. Karena sunnah hadiah lahir seseorang yaitu aqiqah dilaksanakan di hari ke tujuh.

Sederhana tapi sesuai syariat, itu yang diinginkan Omaira.

Saat anaknya mulai digundul, rasanya seperti bergetar bahwa laki-laki yang menggendong Azza bukanlah Fawwaz. Tubuhnya cukup dikenali oleh Omai, hanya saja kini berubah sedikit kurus.

"Ma hu aismuh?" tanya tetangga Fawwaz -- siapa namanya? --

"Azza__Azzalea Dzahin Mufazzal", kemudian laki-laki itu mencium kepala Azza dan membacakan doa di ubun-ubunnya

Allahuakbar, selesai para tamu kembali ke mahtab mereka masing-masing kini Omai ingin segera memeluk suaminya. Bersujud dan mencium kakinya untuk meminta maaf.

"Omai, kemarilah." panggil Fawwaz.

Isna yang mendampingi Omai tahu bagaimana rasa yang kini ada di dalam dada sahabatnya. "Ayo, aku antarkan."

"Mas Ghulam_____" Omai sudah tidak sanggup lagi berkata kata air matanya kini telah luruh bersimpuh bersama dirinya yang seketika melesat masuk ke dalam dekapan suaminya. Azza yang terlebih dulu diamankan oleh Fawwaz masih juga tidur dengan begitu tenang. Kini giliran Fawwaz dan Isna memberikan ruang dan waktu kepada kedua sahabatnya untuk menyelesaikan masalah dan kesalahpahaman diantara mereka.

"Maafkan aku tidak menyertaimu, saat kamu berjuang untuk melahirkan Azza. Maafkan aku jika menurutmu aku bukanlah suami yang terbaik seperti yang kamu mau. Aku mencintaimu Omai, sungguh mencintaimu. Jangan pernah tinggalkan aku lagi apapun itu alasannya. Aku butuh kamu." suara Ghulam yang serak diakhirnya karena memang dia menahan perasaannya dan berusaha untuk tidak menangis di hadapan istri tercintanya.

"Mas___bukan Mas yang harus minta maaf. Omai yang salah, Omai minta maaf." tiba-tiba Omai berlutut kemudian hendak bersujud di kaki suaminya namun dengan cepat Ghulam mencegahnya. Membimbingnya untuk kembali berdiri.

"Sekarang, ceritakanlah kepadaku mengapa waktu itu kamu pergi tanpa pamit kepadaku. Aku sudah seperti orang gila, sampai harus mengalami kecelakaan itu." tanya Ghulam.

Omai memperhatikan wajah suaminya. Memang terlihat tirus dari sebelumnya. Setelah itu Omai akhirnya menceritakan bahwa dia ingin mencabut perkataannya perihal mengizinkan Ghulam untuk menikah dengan Diandra tapi saat ia hendak mengatakan itu mendengar Ghulam yang sedang berbicara dengan Tantri seolah mengatakan bahwa dia menyetujui usulan Omai untuk menikahi Diandra.

Tawa tipis keluar dari bibir Ghulam kemudian merengkuh Omai ke dalam pelukan eratnya. "Jangan berpikir seperti itu, sampai kapanpun kamu adalah satu satunya istriku. Tidak ada yang lain. Makanya kalau mencuri dengar itu sampai selesai jangan hanya setengah jalan, jadi salah paham kan? Untung ada Isna dan Fawwaz yang bisa menjaga kalian. Jika seandainya kalian tidak ditemukan, mungkin aku juga akan memilih untuk menghilang dari dunia ini." jawab Ghulam.

"Mas___" kata Omai manja sambil menepuk bahu Ghulam sebelah kanan.

"Awww, sakit jangan sebelah situ ya. Masih nyeri akibat operasi kemarin." kata Ghulam.

Omai segera memeriksa bahu suaminya dengan membuka sedikit kancing atasan yang teratas. Ketika sebuah bebal masih melingkar di bahu suaminya kini dia baru percaya bahwa apa yang dikatakan Fawwaz waktu itu adalah benar.

"Sakit sekali ya?" tanya Omai.

"Bahkan aku hampir mati." jawab Ghulam.

"Astaghfirullah Mas, jangan berbicara seperti itu aku belum siap menjadi janda."

"Itu benar sayang, setelah kecelakaan dasyat itu aku koma 4.5 bulan. Aku tidak pernah menyesali selain satu hal."

"Apa?"

"Saat aku membutuhkan tubuhku untuk mencarimu bahkan aku tak mampu. Setelah sadar aku harus melakukan beberapa terapi untuk pemulihan. Kamu tahu waktu aku telepon Fawwaz hingga akhirnya aku yang mengadzani anak kita. Itu aku baru saja keluar dari rumah sakit." cerita Ghulam.

"Itu artinya masih 7 hari yang lalu dan mas Ghulam langsung kemari?" tanya Omai.

"Karena aku merindukanmu, aku juga ingin secepatnya bertemu denganmu dan anak kita. Aku mencintaimu Omairaku." jawab Ghulam sambil mengecup kening Omai.

"Maafkan aku Mas, aku berdosa kepadamu. Hapuskanlah dosaku dengan ridhomu Mas, aku mohon." pinta Omai.

"Aku telah memaafkanmu, aku juga meridhoimu. Tapi biar bagaimanapun kamu harus mendapatkan hukuman atas semua yang kamu lakukan padaku." kata Ghulam akhirnya.

"Apapun hukuman yang engkau berikan aku akan menerimanya dengan ikhlas dan sepenuh hatiku. Katakanlah apa hukuman yang harus aku jalani untuk ridho dan maaf darimu." jawab Omai.

"Berjanjilah___"

"Iya aku berjanji atas nama Allah." kata Omai dengan sangat mantap.

"Hukumannya adalah berjanjilah untuk menua bersamaku. Hidup bersama membesarkan anak-anak kita nantinya, mendidik mereka dan bersama sama berjalan menuju surgaNya. Jangan pernah meninggalkan aku selain maut yang telah ditentukan Allah untuk kita." jawab Ghulam yang kini menatap Omai dengan penuh cinta di matanya.

Hening, tidak ada jawaban. Masih ada yang menyesak di dada Omai sebenarnya sejak tadi. Meski tidak suka akhirnya dia melahirkan melalui kata-kata, "dan Diandra?"

"Subhanallah Sayang, mengapa di moment romantis seperti ini kamu justru mengingat orang yang kini telah mendekam di penjara?" tanya Ghulam.

"Diandra dipenjara?"

Akhirnya Ghulam sedikit menceritakan bahwa Ayahnya telah berhasil membuktikan bahwa satu keluarga Diandra telah benarMbenar dan nyata merencakan beberapa tindakan kriminal. Termasuk pembakaran butik milik umma Rayya.

"Maafkan aku Mas" kini Omai berada dalam pelukan hangat Ghulam.

"Aku mencintaimu." bisik Ghulam dengan lembut di telinga Omai.

"Heh, kalian kangen kangenannya dilanjut nanti. Ini si Azza kebangun minta nenen." interupsi Fawwaz dan Isna.

Semuanya tertawa, Omai meraih Azza yang ada di gendongan Isna. Membawanya masuk ke dalam kamar kemudian menyusuinya.

Ghulam minta izin kepada sahabatnya untuk menyusul istrinya untuk melihat bagaimana Azza, buah hatinya menyusu kepada Ummanya.

"Besok aku akan mengajak Omai kembali ke apartment. Syukraan, jika tidak ada kalian entahlah apa yang terjadi pada istriku." kata Ghulam kepada Fawwaz.

"Kita ini sahabat, bahkan Isna dan Omai sudah seperti saudara. Sudah sepantasnya kami menolong sahabat sekaligus saudara kami." kata Fawwaz kemudian menyilakan Ghulam segera ke kamar.

Itulah cinta, cinta suci karena Allah. Cinta yang ditumbuhkan karena kecintaan yang lebih kepada pencipta dari yang dicinta.

Cinta yang akan selalu mengalir, seperti telaga kautsar yang tidak pernah mengering.

Cinta yang selalu ada seperti kisahnya Adam dan Hawa, Yusuf dan Zulaikha, Muhammad dan Aisyah juga Fatimah AzZahra dan Ali bin Abi Talib.

Cinta itu tidak sekedar memberi tetapi juga menerima. Allah telah menentukan jalannya. Laluilah cintamu dengan cinta yang lebih kepadaNya.

🍒🍒

-- end --
eh
-- to be continued --
eh

Jadikanlah AlQur'an sebagai bacaan utama

Jazakhumullah khair

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top